Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH ILMU HADIST

HADIST MUTAWATIR

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


“ILMU HADIS”
Dosen pengampun : : Rifqatul Husna, M.Ag

Disusun oleh:

FAKULTAS AGAMA ISLAM

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

UNIVERSITAS NURUL JADID

PAITON PROBOLINGGO

2022-2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Wa Syukurillah, kami panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi. Karena hidayat,
karunia dan pertolongan-Nya kami dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berisikan
tentang “HADIST MUTAWATIR”.
Shalawat dan salam tetap tercurah limpahkan kepada baginda Rasulullah SAW, yang
mana telah menyempurnakan tugas kenabiannya dengan penuh rahmat. Dan kami sebagai
penulis berharap makalah ini dapat memberi manfaat bagi semua lapisan masyarakat
khususnya bagi para pelajar.
Ucapan terimakasih kami haturkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini, terutama kepada:
1. K.H. Moh. Zuhri Zaini, BA selaku pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid.
2. Dr. KH. Abdul Hamid Wahid, M.Ag Selaku Rektor Universitas Agama Islam
Nurul Jadid.
3. Rifqotul Husna M.Ag selaku dosen pengampu Mata Kuliah Ilmu Hadist yang selalu
selalu membimbing kami.
3. Ayahanda dan ibunda tercinta, yang tak henti-hentinya mengajarkan do’a untuk
kesuksesan kami.
4. Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, hal ini mengingat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan saya. Oleh
karena itu penulis mengharap kritik dan saran yang sifatnya membangun, sehingga dapat
menjadikan makalah ini lebih baik.
Hanya kepada Allah SWT semata, penulis memohon semoga makalah ini bermanfaat
bagi mereka yang mempelajarinya. Dan semoga Allah selalu melimpahkan Rahmat,
pertolongan, dan petunjuknya dalam usaha kami menuju keridloan-Nya. Amin.
Paiton, 17 mei 2023

Kelompok 7
DAFTAR ISI

COVER......................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................2

A. Pengertian.......................................................................................................................2

B. Syarat-syarat Hadist Mutawatir......................................................................................3

C. Pembagian hadits mutawatir..........................................................................................5

D. Buku-Buku Tentang Hadits Mutawatir..........................................................................9

BAB III PENUTUP..................................................................................................................10

A. Kesimpulan............................................................................................................................10
B. Saran………………………………………………………………………………………………………………………………..11
BAB I
PENDAHULUAN

Eksistensi hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an
tidak dapat diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadis berbeda dengan
proses Al-Qur’an, maka dalam proses penerimaannya tentu mengalami berbagai
persoalan serius yang membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an
tertransmisi kepada ummat Islam dengan cara mutawatir. Selain itu, dari sisi
kodifikasi, masa pengkodifikasian hadist jauh lebih lama setelah Nabi wafat
dibandingkan dengan Al-Qur’an. Hadist dikodifikasi pada awal abad kedua Hijriyah,
sedangkan Al-Qur’an sudah dibukukan pada sekitar tahun 22 Hijriyah. Disinyalir
pula, sebelum Nabi wafat, posisi dan sistematika Al-Qur’an telah tersusun dengan
bak. Kondisi ini sangat berbeda dengan apa yang dialami hadist.
Untuk kepentingan netralisasi dan sterelisasi hadist, dalam proses dan
perkembangan selanjutnya para ulama hadist melakukan upaya serius berupa
penyeleksian terhadap hadist dengan menilai para perawi hadist dari berbagai
thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadist tidak secara otomatis
selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum Islam.
Hadist terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat
kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu hadist.
Para filosof misalnya, sering merujuk pendapat Plato dan Aristoteles dalam berbagai
bentuknya. Tetapi sedikit yang dapat ditemukan dari berbagai pendapat itu yang
struktur transmisinya dapat dipertanggung jawabkan sehingga abash bahwa pendapat
itu betul bersumber dari Plato atau Aristoteles.
Kondisi demikian, sekali sangat berbeda dengan struktur transmisi hadist.
Ulama demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadist. Setelah diukur dari sisi
bilangan sanad yang menghasilkan hadist mutawatir dan ahad dengan berbagai
pencabangannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan
tentang Hadist Mutawatir, Masyhur dan Ahad.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Menurut bahasa, kata al-mutawatir adalah isim fa’il berasal dari mashdar ”al-
tawatur´ semakna dengan ”at-tatabu’u” yang berarti berturut-turut atauberiring-
iringan seperti kata “tawatara al-matharu” yang berarti hujan turun berturut-turut.
Menurut istilah, hadis mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh
sejumlah perawi pada semua thabaqat (generasi) yang menurut akal dan adat
kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta1.
Dalam ilmu Hadist maksudnya ialah hadist yang diriwayatkan dengan banyak
sanad yang berlainan rawi-rawinya serta mustahil mereka itu dapat berkumpul jadi
satu untuk berdusta mengadakan hadist itu.
Adapun hadits mutawatir menurut istilah ulama hadist yang artinya

“Khabar yang di dasarkan pada pancaindera yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang
mustahil menurut adat mereka bersepekat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta.

Muhammad ‘Alawy juga menjelaskan tentang hadits mutawatir secara istilah, yaitu;

‫ اﻟﻜﺬب‬t‫ أو ﺣﺼﻮ‬,‫ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﺬب ﻋﺎدة ﻣﻦ أﻣﺮ ﺣ~ﻲ‬ę‫ ﺗﻮاطﺌﮭ‬t‫ اﻟﻌﻘ‬t‫ﻣﺎ رواه ﺟﻤﻊ ﯾﺤﯿ‬
‫ وﯾﻌﺘﺒﺮ ذاﻟﻚ ﻓﻲ ﺟﻤﯿﻊ اﻟﻄﺒﻘﺎت ان ﺗﻌﺪدت‬,‫ !ﺗﻔﺎﻗﺎ‬ę‫ﻣﻨﮭ‬

Hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan sanadnya, yang
menurut akal dan kebiasaan mereka tidak dimungkinkan untuk berdusta, dan dalam
periwayatannya mereka bersandarkan pada panca indra2
B. Syarat-syarat Hadist Mutawatir

Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan


sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang
disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau
rangkuman dari peristiwa- peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam
arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau
dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits
mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang
banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil
mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang
batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a) Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b) Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan
dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c) Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut
berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang
mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir
sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d) Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40
orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:“Wahai Nabi
cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi
penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).

3
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan atau tingkatan)
pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-
syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi
menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan
yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir
itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak
benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan- jalan
hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir
itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur
bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits- hadits mutawatir,
seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al- Mutawatirah, susunan Imam
As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al- Haditsi al-Mutawatir, susunan
Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).

C. Pembagian hadits mutawatir

Hadist mutawatir terdiri dari 2 macam, yakni :


1. Mutawatir Lafdzi
Lafdzi artinya secara lafadz. Jadi Mutawatir Lafdzi itu ialah Mutawatir yang
lafadz hadistnya sama atau hampir bersamaan atau hadist mutawatir yang berkaitan
dengan lafal perkataan Nabi. Artinya perkataan Nabi yang diriwayatkan oleh orang
banyak kepada orang banyak.

Contoh

‫ﻣﻦ ﻛﺬب ﻋﻠﻲ ﻣﺘﻌﻤﺪاﻓﻠﯿﺘﺒﻮأﻣﻘﻌﺪه ﻣﻦ اﻟﻨﺎر‬


Artinya : Barang siapa berdusta atas (nama)-ku dengan sengaja, maka hendaklah
ia mengambil tempat duduknya dari neraka.

4
2. Mutawatir Ma’nawi
Ma’nawi artinya secara ma’na. mutawatir ma’nawi ialah mutawatir pada ma’na,
yaitu beberapa riwayat yang berlainan, mengandung satu hal atau satu sifat atau satu
perbuatan. Ringkasnya, beberapa cerita yang tidak sama, tetapi berisi satu ma’na atau
tujuan atau hadist mutawatir ialah hadist yang menyangkut amal perbuatan nabi, artinya
perbuatan nabi yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak lagi.

Contoh:
Sembahyang maghrib tiga rakaat. Keterangan :
a. Satu riwayat menerangkan, bahwa dalam hadlar (negeri sendiri) nabi
sembahyang tiga rakaat.
b. Satu riwayat menunjukkan, bahwa dalam safar nabi sembahyang maghrib tiga
rakaat.
c. Satu riwayat membayangkan bahwa di Mekkah nabi sembahyang maghrib tiga
rakaat.
d. Satu riwayat mengatakan nabi sembahyang maghrib di Madinah tiga rakaat.
e. Satu riwayat mengabarkan, bahwa sahabat sembahyang maghrib tiga rakaat.,
diketahui oleh nabi.
f. Dan lain-lain lagi.

D. Nilai Hadist Mutawatir

Hadist mutawatir itu mengandung nilai “dlaruriy”. Yakni suatu keharusan bagi
manusia untuk mengakui kapasitas kebenaran suatu hadist, seperti halnya seseorang yang
telah menyaksikan suatu kejadian dengan mata kepala sendiri. Bagaimana mungkin dia
ragu-ragu atas kebenaran sesuatu yang disaksikan itu? Demikian juga dengan nilai hadis
mutawatir, semua hadist mutawatir bernilai maqbul (dapat diterima sebagai dasar hukum)
dan tidak perlu lagi diselidiki keadaan perawinya5.

5
E. Buku-Buku Tentang Hadits Mutawatir

sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam sebuah buku


tersendiri. Diantara buku-buku tersebut adalah :

a. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fil-Akhbaar Al-Mutawattirah, karya As-Suyuthi,


berurutan berdasarkan bab.
b. Qathful Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
c. Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fil-Ahaadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah
Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqy.
d. Nadhmul Mutanatsirah minal-Hadiits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin
Ja’far Al-Kittani

6
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik dari
thabaqat pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir (thabi’at thabi’un).
Dengan demikian penyebutan hadist dengan jenis ini akan sangat dipengaruhi oleh
kualitas perawi dan jumlah perawi dalam setiap tingkatan serta mustahil mereka itu dapat
berkumpul jadi satu untuk berdusta mengadakan hadist itu
Dilihat dari cara periwayatannya, hadist mutawatir dapat dibagi menjadi dua
bagian yakni:
a. Hadist mutawatir lafdzi yaitu hadist yang apabila dilihat dari sisi susunan
kalimat dan maknanya memiliki kesamaan antara satu periwayatan dengan
periwayatan lainnya.
b. Hadist mutawatir ma’nawi adalah hadist yang rawi-rawinya berlainan dalam
susunan redaksinya, tetapi di antara perbedaan itu, masih menyisakan
persamaan dan persesuaian yakni pada prinsipnya. Dengan kata lain hadist
yang dalam susunan redaksi kalimatnya menggunakan kata-kata yang berasal
dari perawi itu sendiri.

Dari segi jumah rawi hadist mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang
jumlahnya begitu banyak pada setiap tingkatan, sehingga menurut adat kebiasaan,
mustahil (tidak mungkin) mereka sepakat untuk berdusta.

Hadist mutawatir menghasilkan ilmu qath’i (pengetahuan yang pasti) atau ilmu
dharuri (pengetahuan yang mendesak untuk diyakini) bahwa hadist itu sungguh- sungguh
dari Rasulullah, sehingga dapat dipastikan kebenarannya. Dapat ditegaskan bahwa
keterangan matan hadist mutawatir mustahil bertentangan dengan keterangan ayat dalam
al-Qur’an. Hadist mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut, memberikan informasi
yang pasti akan sumber informasi tersebut, dengan demikian dapat dipahami bahwa
penerimaan hadist mutawatir tidak membutuhkan proses seperti hadist yang lainnya.

7
B. Saran

Kami menyadari tentu masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan baik
dari penulisan serta penyajian dalam Makalah ini, oleh sebab itu kami mengharapkan
masukan-masukan dari Dosen Pembimbing Serta teman-teman guna kesempurnaan
makalah yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai