Anda di halaman 1dari 14

PEMBAGIAN HADITS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pengantar Studi Islam

pada Program Studi 21TBI 4

Oleh:

NAMA : ASNIA

NIM : 882032021062

PRODI : 21TBI 4

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

IAIN BONE

2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah swt.yang telah memberikan limpahan
rahmat ,taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
sholawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada nabi Muhammad yang telah menunjukkan
jalan kebaikan dan kebenaran di dunia dan akhirat kepada umat manusia.

Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas pengantar studi islam. Makalah ini saya
susun dengan segala kemampuan saya dan semaksimal mungkin. Namun , saya menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidak sempurna dan masih banyak kesalahan
serta kekurangan. Maka dari itu saya sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan
pesan dari semua yang membaca makalah ini terutama dosen mata kuliah pengantar studi
islam yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk saya .

wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarakatuh

Laccori,14 oktober 2021

Asnia

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2
A. Pembagian Hadits dari segi Kuantitas (Perawinya)........................................................2
B. Pembagian Hadits dari segi Kualitas (Sanad dan Matan)...............................................5
C. Kedudukan Dan Fungsi Ijma..........................................................................................7
BAB III PENUTUP................................................................................................................10
A. Kesimpulan................................................................................................................10
B. Saran..........................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................11

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Allah mengakhiri risalah-nya dengan risalah islam yang di turunkan kepada nabi
muhammad saw. Sebagai petunjuk bagi umat manusia agar mereka hidup bahagia baik di
dunia maupun di akhirat. Para ulama sependapat bahwa selain al qur’an, hadits juga
merupakan sumber ajaran islam. Dijadikannya hadits sebagai sumber ajaran islam karena
pada dasarnya hadits merupakan wahyu. Sebagaimana dalam firman allah :
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Ditinjau dari kuantitasnya hadits ada dua macam, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
Sedangkan dari segi kualitas ada 3 macam, yaitu hadits shahih, hasan dan dha’if. Tinjauan
hadits dari segi kualitas dan kedudukan,fungsi hadis kualitas ijma inilah yang akan kami
bahas pada makalah ini.
B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut penulis merumuskan masalah sebagai berikut:


1. Apa saja pembagian hadits ditijau dari segi kuantitas parawinya?
2. Apa saja pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitas sanadnya?
3. Bagaimana kedudukan dan fungsi hadis ditinjau dari kualitas ijma?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk :

1. Untuk mengetahui pembagian hadits ditijau dari segi kuantitas parawinya.


2. Untuk mengetahui pembagian hadits ditijau dari segi kuantitas sanadnya.
3. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi hadis ditinjau dari kualitas ijma.

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pembagian Hadits dari segi Kuantitas (Perawinya)
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur,dan ahad. Ada
juga yang membaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama
golongan pertama, menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri,tidak termasuk ke dalam
hadits ahad, ini dilandasi oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakar Al-
Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar
ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits
masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan bagian
hadits ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan
ahad.
1. Hadits Mutawatir.
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti Mutatabi‟ (beriringan tanpa jarak). Dalam
terminologi ilmu hadits, ia merupakan hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak,
dan berdasarkan logika atau kebiasaan,mustahil mereka akan sepakat untuk
berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat
yang pertama sampai thabaqatterakhir. Seperti redaksi berikut:
“Hadits yang didasarkan pada panca indra (dilihat atau didengar) yang
diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil
menurut tradisi mereka sepakat bohong.”
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta‟akhirin
tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa
hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena
ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak,
adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak
dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib
diyakini dan diamalkan.
b. Syarat Hadits Mutawatir
1) Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi dan dapat
diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda
pendapat tentang jumlah minimal perawi.Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan
bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya
karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-
Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan
banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits
mutawatir sebanyak 70 orang.
2) Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat
berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah
satu persyaratan.

2
3) Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya,
harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena
itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari
suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat
dikatakan hadits mutawatir.
c. Macam-Macam Hadits Mutawatir1.
1) Hadits Mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan
makna yang sama, serta kandungan hukum yang sama.Contoh Mutawatir
Lafzhi:
“Barang siapa yang mendustakan atas namaku, maka hendaklah bersiap- siap
bertempat tinggal di neraka.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi,
An- Nasa‟i, dan Abu Dawud).
Menurut Ibnu Ash-Shalah hadits di atas diriwayatkan lebih 70 orang shahabat,
10 diantaranya para sahabat yang digembirakan Nabi masuk surga, bahkan An-
Nawawi dalam Syarah Muslim memberitakan, bahwa jumlah perawi mencapai
200 orang sahabat, tetapi hal tersebut dibantah oleh Al-Iraqi karena jumlah itu
termasuk hadits kemutlakan bohong. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat
yang pertama.
2) Hadits Mutawatir Ma‟nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai
hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda- beda, tetapi jika
disimpulkan mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Misalnya
hadits tentang mengangkat kedua tangan dalam berdoa. Dalam penelitian As-
Suyuthi terdapat 100 periwayatan yang menjelaskan bahwa Nabi mengangkat
kedua tangannya ketika berdoa dalam beberapa kondisi yang berbeda,seperti
dalam shalat istisqo‟, pada saat ada hujan angin ribut, dalam suatu pertempuran,
dan lain-lain. Maka disimpulkan bahwa mengangkat kedua tangan dalam berdoa
mutawatir melihat keseluruhan periwayatan dalam kondisi yang berbeda
tersebut.
3) Mutawatir ‘Amali, yaitu amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para shahabat, kemudian diikuti lagi
oleh Tabi‟in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Misalnya,
berita-berita yang menjelaskan tentang shalat baik waktu dan raka‟atnya, shalat
jenazah, zakat, haji, dan lain-lain yang telah menjadi ijma‟ para ulama.
Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits
mutawatir lafzhi, maka Bin Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits
mutawatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat mereka dibantah oleh Bin
Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi)
memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Bin Hajar Al-Asqolani,
Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan
cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi,
sehingga dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat
berdusta terhadap hadits yang diriwayatkannya.
d. Kitab-Kitab Hadits Mutawatir, antara lain sebagai berikut:

3
1) Al-Azhaar Al-Mutanaatsirah fi Al-Akhbaar Al-Mutawaatirah, karya As-
Suyuthi.
2) Qathf Al-Azhaar, karya As-Suyuthi.
3) Nazhm Al-Mutanaatsir min Al-Hadiits Al-Mutawaatir, karya Muhammad bin
Ja‟far Al -Kattani.
4) Al- La‟aalii Al -Mutanaatsirah fi Al-Ahaadiits Al-Mutawaatirah, karya
Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu”
jadi, karena ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan.
Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yang diriwayatkan oleh orang perorangan,
atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam
kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya
tidak sampai pada tingkatan mutawatir. Pembagian hadits ahad ada 3 macam, yaitu
hadits masyhur, aziz, dan gharib.
a. Hadits Masyhur
Secara bahasa, masyhur diartikan tenar, terkenal, dan menampakkan.Dalam istilah
hadits masyhur terbagi dua macam, yaitu:
1) Masyhur Ishthilahi, hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih pada setiap
tingkatan (thabaqah) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai
kriteria mutawatir.
2) Masyhur Ghayr Ishthilahi, hadits yang populer pada ungkapan lisan (para
ulama) tanpa ada persyaratan yang definitif. Artinya hadits yang populer atau
terkenal dikalangan golongan atau kelompok orang tertentu, sekalipun jumlah
periwayat dalam sanad tidak mencapai 3 orang atau lebih.
Contoh hadits yang populer (masyhur) dikalangan ulama fikih saja:
“ Halal yang dimurka Allah adalah talak.” (HR. Al-Hakim).
b. Hadits „Aziz
Secara bahasa, „aziz diartikan langka, sedikit, dan kuat. Karena sedikit atau
langkanya atau terkadang posisinya menjadi kuat ketika didatangkan sanad lain.
Hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada
seluruh tingkatan (thabaqat) sanad atau walaupun dalam satu tingkatan sanad saja.
Misalnya dikalangan shahabat hanya terdapat dua orang yang meriwayatkannya,
atau hanya dikalangan ta bi‟in saja yang terdapat dua orang perawi sementara
dikalangan sahabat hanya terdapat satu orang saja. Jadi, pada salah satu tingkatan
sanad hadits tersebut didapatkan tidak kurang dari dua orang perawi atau satu
tingkatan sanad yang terdiri dari dua orang.
c. Hadits Gharib
Secara bahasa, berarti sendirian, terisolir, jauh dari kerabat, perantau asing,
dan sulit dipahami. Dari segi istilah yaitu: “ hadits yang bersendiri seorang perawi
dimana saja tingkatan (thabaqah) daripada beberapa tingkatan sanad.”
Hadits gharib terbagi dua, yaitu:

4
1) Gharib Mutlak, yaitu Hadits yang gharabah-nya (perawi satu orang)
terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung sanad yaitu
seorang shahabat.
2) Gharib Nisbi (Relatif), yaitu: Hadits yang terjadi gharabah (perawinya
satu orang) di tengah sanad.
Kata nisbi memberikan makna bahwa gharabah terjadi secara relatif atau
dinisbatkan pada sesuatu tertentu tidak secara mutlak.Ada 2 macam
gharabah nisbi, yaitu:
a. Muqayyad bi ats-tsiqah, yaitu ke-gharib-an perawi hadits dibatasi pada
sifat ke-tsiqah-an seorang atau beberapa orang perawi saja.
b. Muqayyad bi al-balad, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh suatu
penduduk tertentu sedang penduduk yang lain tidak meriwayatkannya.
B. Pembagian Hadits dari segi Kualitas (Sanad dan Matan)
Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir memberikan pengertian
yang yaqin bin alqath , artinya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau
menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber
yang banyak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenaran
sumbernya sungguh telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa
perlu diteliti lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad
yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya),
mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun
sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima ( maqbul)
sebagai hujjah atauditolak (mardud).
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat darisegi
kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih ,hadits hasan, dan hadits dha‟ if.
1. Hadits shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa
ahli memberikan definisi sebagai berikut:
a. Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung
(muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan
dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber ‟illat”.
b. Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber‟illat.”
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah:
1) sanadnya bersambung,
2) perawinya bersifat adil,
3) perawinya bersifat dhabith,
4) matannya tidak syaz, dan
5) matannya tidak mengandung „illat.
Macam-macam hadits shahih, yaitu:
a. Shahih lidzatihi (shahih dengan sendidirinya), karena telah memenuhi kriteria
hadits shahih sebagaimana definisi di atas.
b. Shahih lighayrihi (shahih karena yang lain), yaitu hadits semestinya sedikit tidak
memenuhi persyaratan hadits shahih ia baru sampai tingkat hadits hasan, karena di

5
antara perawi ada yang kurang sedikit hapalannya dibandingkan dalam hadits
shahih, tetapi karena diperkuat dengan jalan/sanad lain. Kualitas sanad lain
terkadang sama-sama hasan atau lebih kuat lagi yakni shahih.
2. Hadits Hasan
Dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu bermakna al-jamal yang berarti
“keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan definisi hadits hasan secara
beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-
Asqalani dalam An-Nukbah, yaitu:“Khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang
adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersambung sanadnya, tidak ber‟illat, dan tidak
ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit ke-dhabit-annya disebut
hasanlidztih.”
Dengan kata lain hadist hasan adalah: Hadits hasan adalah hadits yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit ke-dhabit-annya, tidak ada
keganjilan (syaz),dan tidak illat. Kriteria hadits hasan hampir sama dengan hadits
shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. Hadits shahih ke-
dhabit-an seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits hasan,
kurang sedikit ke-dhabit-annya jika dibanding dengan hadits shahih.
Macam-macam hadits hasan, yaitu:
a. Hasan lidzatihi adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala
kriteria dan persyaratan yang telah ditentukan.Sebagaimana definisi dan penjelasan di
atas.
b. Hasan lighayrihi
Hadits hasan lighayrihi, ada beberapa pendapat di antaranya adalah:
1) Adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau
lebih kuat.
2) Adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan
karena fasik atau dustanya perawi.
Dari dua definisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bisa naikmanjadi hasan
lighayrihi dengan dua syarat yaitu:
1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti
hapalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul)
identitas perawi.
3. Hadits Dha‟if
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif berarti lemah
lawan dari Al-Qawi yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan
matannya tidak memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah.
Jadi hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua
persyaratan hadits hasan dan shahih, misal sanadnya tidak bersambung(muttashil),
para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baikdalam sanad atau
matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (Illat) pada sanad atau matan.
Dalam meriwayatkan hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu (hadits
palsu). Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu
parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits

6
mawdhu‟ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan
hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu:
1) Tidak berkaitan dengan akidah, seperti sifat-sifat Allah.
2) Tidak menjelaskan hukum syara‟ yang berkaitan dengan halal dan haram tetapi,
berkaitan dengan masalah maui‟zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang
ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam pengamalan hadits dhaif para ulama berbeda berpendapat.Perbedaan
itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu:
1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal
(Fadhail al a‟mal) atau dalam hukum sebagaimana yangdiberitahukan oleh Ibnu
Sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma‟in. Pendapat pertama ini adalah pendapat Abu
Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari,Muslim, dan Ibnu Hazam.
2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a‟mal atau dalam
masalah hukum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan ImamAhmad. Mereka
berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a‟mal, mau‟izhah, targhib (janji-janji
yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi
beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan olehIbnu Hajar Al-Asqalani,
yaitu berikut:
a. Tidak terlalu dhaif, seperti di antara perawinya pendusta (hadits mawdhu‟) atau
dituduh dusta (hadits matruk), orang yang daya ingathapalannya sangat kurang,
dan berlaku fasiq dan bid‟ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits
munkar).
b. Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma‟mul bih) seperti hadits
muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentangan dengan hadits lain),
nasikh (hadits yang membatalkan hukum pada haditssebelumnya), dan rajih
(hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
c. Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-
hati semata atau ikhtiyath.
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak
terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk
kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-amal.Menurut Ibnu
Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah mawdhu matruk, munkar, mu‟allal
mudraj, maqlub, kemudian mudhtharib.
C. Kedudukan Dan Fungsi Ijma
Ijma’ menurut istilah ahli usul ialah pesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam
suatu masa sepeninggalnya Rasulullah saw. Terhadap suatu hukum syar’i mengenai suatu
peristiwa.
Sebagai realisasi ta’arif tersebut ialah apabila terjadi suatu peristiwa yang
memerlukan adanya ketentuan hukum, kemudian setelah peristiwa itu di kemukakan
kepada para mujahid ari kaum muslmin, mereka lalu mengambil persepakatan terhadap
hukum peristiwa tersebut, maka persepakatan itulah disebut Ijma’. Putusan ijma’ ini
merupakan dalil syar’I terhadap masalah itu.

7
Persepekatan itu terjadi setelah wafatnya Rasuullah saw. Sebab ada masa beliau masih
hidup , beliau sendirilah satu-satunya tempat meminta untuk menetapkan hukum suatu
perisiwa oleh karena itu ada saat beliau masih hidup tidak mungkin teradinya perlawanan
hukum terhadap suatu masalah dan tidak pula teradi adanya hukum suatu peristiwa hasil
dari persepakatan, karena persepekatan itu sendiri megingatkan akan adanya beberapa
orang utuk bermusyawarah. Pada hakikatnaya mereka tidak perlu bermusyawarah,
cukuplah kiranya apabila mereka menanyakan saja kepada Rasulullah saw.
1. Kedudukan ijma
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu
sumber atau dalil hukum sesudah Al – Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat
menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada
ketetapan hukumnya dalam Al – Qur’an maupun sunnah.
Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika
sudah terjadi ijma ( kesepakatan ) diantara para mujtahid terhadap ketetapan
hukum suatu masalah atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan
mengamalkannya.
Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qathi’
sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai berikut :
“ wahai orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul
(Muhammad) dan Ulil amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara kamu.” ( Q.S. an-
Nisa’ 59 )
Pandangan ulama’ mengenai Ijma’ sukuti :
Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan
landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid
belum tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan
menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah dan Hanabilah Ijma’ sukuti syah jika digunakan sebagai landasan
hukum, karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika
mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya.
Jika tidak menentang dengan tegas, berarti mereka setuju.
Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan jika diamnya sebagian ulama’ mujtahid
tidak dapat dikatakan telah terjadi ijma’.Dan pendapat ini dianggap lebih kuat
daripada pendapat perorangan.
2. Fungsi ijma
Yang dimaksud fungsi ijma’ di sini adalah kedudukannya dihubungkan
dengan dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu,
menurut ulama Ahl as-Sunnah mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum
dengan sendirinya. Tetapi dalam pandangan ulama Syi’ah, ijma’ itu adalah hanya
untuk menyingkapkan adanya ucapan seseorang yang ma’shum. Dalam hal ini
terlihat ada dua pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma’
dilihat dari sudut pandangan masing-masing kelompok.
Dalam pandangan ulama yang berpendapat bahwa untuk kekuatan suatu ijma’
tidak diperlukan sandaran atau rujukan kepada suatu dalil yang kuat, ijma’ itu

8
berfungsi menetapkan hukum atas dasar taufiq Allah yang telah dianugrahkan
kepada ulama yang melakukan ijma’tersebut. Dalam pandangan ini tampak bahwa
kedudukan dan fungsi ijma’ itu bersifat mandiri.
Dalam pandangan ulama yang mengharuskan adanya sandaran untuk
suatu ijma’ dalam bentuk nash atau qiyas, maka ijma’ itu berfungsi untuk
meningkatkan kualitas dalil yang dijadikan sandaran itu. Melalui ijma’ dalil yang
asalnya lemah atau zhanni menjadi dalil yang kuat atau qath’i, baik dalil itu
berbentuk nash atau qiyas.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3
bagian yaitu: mutawatir lafzhi, mutawatir ma‟nawi danmutawatir „amali. Sedangkan
hadits ahad dibagi menjadi 3 macam, yaitu hadits masyhur (terbagi dua, yaitu: masyhur
ishthilahi, masyhur ghayr ishthilahi), hadits aziz, dan hadits gharib [terbagi : gharib
mutlak, gharib nisbi (terbagi lagi menjadi dua, yaitu: muqayyad bi ats-tsiqah dan
muqayyad bi ats-tsiqah)].Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu hadits maqbul (diterima) dan hadits mardud (ditolak).
Haditsmaqbul terbagi menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad
yangshahih (lidzatihi dan lighayrihi) dan hasan (lidzatihi dan lighayrihi), sedangkan
hadits mardud adalah hadits yang dha‟if . Ijma’ dapat dijadikan hujjah yang harus
dipergunakan untuk menggali hukum syara’ (istinbath) dari nash-nash Syara.Ijma’
memiliki berbagai macam syarat yang harus di penuhi oleh mujtahid ;Memiliki
pengetahuan tentang Al Qur’an. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.Memiliki
pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.Memiliki pengetahuan tentang ushul
fikih. Menguasai ilmu bahasa.

B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Kami sadar bahwa di dalam
makalah ini masih terdapat kekurangan yang perlu dibenahi.Oleh karena itu, kritik dan
saran dari bapak dosen dan rekan-rekan sangat kami harapkan guna memperbaiki
makalah kami. Atas perhatian dan partisipasinya kami ucapkan teriima kasih.

10
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. Pustaka Amani, Jakarta 2003.
Haroen Nasrun, USHUL FIQH 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,2001,
Suwarjin, Ushul Fiqh Yogyakarta,Teras 2012
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh.  Semarang: Dina Utama ,Toha putra Group,1994
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh.  Semarang: Dina Utama ,Toha putra Group,1994

11

Anda mungkin juga menyukai