ULUMUL HADITS
Pembagian Hadits
DOSEN PENGAMPU : Drs. H. Mhd. Thaib Nasution, MA
Kelompok 6 :
Filzah Adlina Awanis ( 21.02.0088 )
Suci Miranda ( 21.02.0016 )
SEMESTER I – 1 PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI )
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh`
Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karna itu dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari teman – teman dan
Dosen Mata Kuliah.
Akhir kata kami berharap semoga isi dari makalah ini dapat memberikan
manfaat dan inspirasi bagi siapa saja yang membacanya, terutama kami dan teman
– teman.
Kelompok 6
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .......................................................................................... 12
B. Saran .................................................................................................... 12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Pembagian Hadits dalam Islam?
2. Bagaimana ciri-ciri dan kehujjahan dari hadits-hadits tersebut?
3. Apa itu Hadits Maudhu’?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui Pembagian Hadits dalam Islam.
2. Untuk mengetahui ciri-ciri dan kehujjahan dari hadits-hadits tersebut.
3. Untuk mengetahui apa itu Hadits Maudhu’.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas Rawi
Kuantitas hadits disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan
suatu hadits atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi
hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadits mutawatir dan hadits
ahad, disamping pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu
pembagian menjadi dua macam yaitu: hadits mutawatir, dan hadits ahad.
1. Hadis Mutawatir
2
Contoh hadits mutawatir lafdhi yang artinya: “Rasulullah ﷺ, bersabda: “Siapa
yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki tempat
duduknya dalam neraka”. (Hadis Riwayat Bukhari).
Contoh : Hadits-hadits Nabi tentang waktu shalat, tentang jumlah rakaat shalat
wajib, adanya shalat ‘ied, adanya shalat jenazah, dan sebagainya.
2. Hadits Ahad
3
Ahad menurut bahasa adalah kata jamak dari wahid atau ahad. Bila
wahid atau ahad berarti satu, maka ahad, sebagai jamaknya, berarti satu-satu.
Sedangkan menurut istilah hadits ahad adalah hadits yang para rawinya tidak
mencapai jumlah rawi hadist mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat,
lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadits
dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir, atau
dengan kata lain hadits ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.
a. Pembagian hadits ahad
Contoh:
“Rasulullah ﷺbersabda: “Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia)
dan yang paling terdahulu di hari kiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu
Hurairah)
Contoh:
b. Kedudukan hadits ahad
4
Bila hadits mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah
ﷺ, maka tidak demikian hadits ahad . Hadist ahad tidak pasti berasal dari
Rasulullah ﷺ, tetapi diduga ( zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan
ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadits ahad mungkin benar berasal dari
Rasulullah ﷺ, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau. Maka kedudukan
hadits ahad, sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadits
mutawatir. Lain berarti bahwa bila suatu hadits, yang termasuk kelompok hadits
ahad, bertentangan isinya dengan hadits mutawatir, maka hadits tersebut harus
ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari
segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits
dhaif.
1. Hadits Shahih
5
· Seluruh periwayat dalam sanad hadits sahih bersifat adil adalah periwayat
yang memenuhi syarat-syarat yaitu beragama Islam, mukallaf, melaksanakan
ketentuan agama, memelihara kehormatan diri.
· Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith, ialah memiliki ingatan dan
hafalan yang sempurna. Dia memahami dengan baik apa yang diriwayatkannya
serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja di kehendaki.
· Sanad dan matan hadits yang sahih itu terhindar dari syadz.
· Sanad dan matan hadis terhindar dari i’llat. I’llat adalah sifat tersembunyi yang
mengakibatkan hadits tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara lahiriah
hadits tersebar dari ‘illath.
Contoh:
- Hadits sahih lidzatih adalah hadits yang karena kehadiran dirinya sendiri telah
memenuhi kelima kriteria hadits sahih sebagaimana dikemukakan di atas.
b. Kehujjahan hadits sahih
6
Hadits sahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah,
tergantung kedhabitannya dan keadilan perawinya, dan semakin dhabit dan adil si
perawinya makin tinggi pula tingkatan kualitas hadits yang diriwayatkan. Hadits
sahih kedudukannya lebih tinggi dari hadits hasan dan dho’if, tetapi berada
dibawah kedudukan hadits mutawatir. Semua ulama sepakat menerima hadits
sahih sebagai sumber ajaran Islam atau hujjah, dalam bidang hukum dan moral.
2. Hadits Hasan
Adalah hadits yang mutttasil sanadnya diriwayatkan oleh rawi yang adil
dan dhabit, tetapi kadar kedhabitannya di bawah kedhabittan hadis sahih dan
hadits itu tidak syadz dan tidak pula terdapat ‘illat.
· Sanadnya bersambung
- Hadits hasan lighairih adalah hadits yang pada asalnya adalah hadits dhaif
yang kemudian meningkat derajatnya menjadi hasan karena ada riwayat lain
yang mengangkatnya.
Matan hadits ini memiliki jalur sanad, Muhammad bin Amr, dari Abi
Salamah, dari Abu Hurairah dari Rasulullah ﷺ. dan Muhammad bin Amr
diragukan hafalan, kekuatan ingatan dan kecerdasannya meskipun banyak yang
7
menganggapnya terpecayahadits ini bersifat hasan lizatih dan hasan lighairih,
karena diriwayatkan pula oleh guru muhammad dan dari gurunya lagi hadits itu
diriwayatkan pula oleh Abu Hurairah oleh banyak orang diantaranyaal-A’raj bin
Hurmuz dan Sa’idal-Maqbari. At- Tarmizi, ia adalah orang yang pertama kali
mengeluarkan hadits hasan.
b. Kehujjahan hadits hasan
3. Hadits Dhaif
Secara bahasa, haditsdhaif berasal dari kata dhu’fun berarti hadits yang
lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari
Rasulullah ﷺ. Secara terminologi hadits dhaif adalah suatu hadits yang tidak
terdapat ciri-ciri keshahihan dan kehasanan suatu hadits, shahih tidaknya suatu
hadits merupakan hasil peninjaun dari sisi di terima atau ditolaknya suatu hadits,
oleh karena itu hadits ini terdapat sesuatu yang di dalamnya tertolak yang tidak
terdapat ciri-ciri di terimanya hadits ini.
8
- Banyak membuat kekeliruan
- Suka pelupa
- Banyak angan-angan
Contoh haditsdhaif:
Hadits ini dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al-Audi,
seorang rawi yang masih dipersoalkan.
a. Pembagian haditsdhaif
b. Kehujjahan
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-
Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh
digunakan, dengan beberapa syarat:
9
- Ketika mengamalkannya, tidak boleh meyakini ke-tsabit-annya.
C. Hadits Maudhu
10
- Untuk mempertahankan pendapatnya sementara tidak ada dalil yang
mengetengahkan yang dilakukan oleh abu al- khathtthab bin Dihyah dan Abdu al-
Aziz bin Haris al- hanbali.
- Untuk menarik perhatian dalam berpidato dan dalam pembicaraan dan simpatti
orang yang menamakan dirinya Zuhud,.
- Untuk mendekatkan diri kepada raja-raja atau pejabat dengan membuat hadis
maudhu yang cocok dengan program dan tujuan mereka.
Hadits maudhu dapat di ketahui dari segi sanadnya dan matannya, jika
dilihat dari sanadnya dari kaum zindiq, munafik atau seorang pendusta dari segi
matannya dapat dilihat dari ciri-ciri yang meliputi:
- Maknanya rusak
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikian hadits dilihat dari kuantitas jumlah para perawi yang dapat
menunjukkan kualitas bagi hadits mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para
perawi secara individu, atau menunjukan kualitas hadits ahad, jika disertai
pemeriksaan memenuhi persyaratan standar hadits yang makbul.
Hadits ahad masih memerlukan barbagai persyaratan yaitu dari segi sifat-
sifat kepercayaan para perawi atau sifat-sifat yang dapat mempertanggung
jawabkan kebenaran berita secara individu yaitu sifat keadilan dan ke dhabithan,
ketersambungan sanad dan ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadits mutawatir
secara absolute dan pasti (qath’i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh
hadits ahad bersifat relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan.
B. Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
· http://b3npani.wordpress.com/tugas-kuliah/92-2/
· /
13