Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ULUMUL HADITS

Pembagian Hadits
DOSEN PENGAMPU : Drs. H. Mhd. Thaib Nasution, MA

Kelompok 6 :
Filzah Adlina Awanis ( 21.02.0088 )
Suci Miranda ( 21.02.0016 )
SEMESTER I – 1 PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI )

STAI UISU PEMATANG SIANTAR


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh`

Segala Puji bagi Allah ‫ ﷻ‬yang telah memberikan kita kesehatan,


kenikmatan, kesempatan sehingga tugas makalah Kelompok 6 Ulumul Hadits
dengan tema “Pembagian Hadits” dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
Makalah ini dibuat sebagai kewajiban untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata
Kuliah Ulumul Hadits.

Kami memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak atas penyusunan


makalah ini, karena itu kami mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Ulumul Hadits, Bapak Drs. H.
Mhd. Thaib Nasution MA, yang telah memberikan dukungan dan kepercayaan
yang begitu besar. Serta dukungan dari banyak pihak.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karna itu dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari teman – teman dan
Dosen Mata Kuliah.

Akhir kata kami berharap semoga isi dari makalah ini dapat memberikan
manfaat dan inspirasi bagi siapa saja yang membacanya, terutama kami dan teman
– teman.

Siantar, 20 October 2021

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan Pembahasan ............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 2

A. Pembagian Hadits berdasarkan kuantitas Rawi ................................... 2


1. Hadits Mutawatir ........................................................................... 2
2. Hadits ‘Ahad .................................................................................. 3

B. Pembagian Hadits berdasarkan kualitas Rawi ..................................... 5


1. Hadits Shahih ................................................................................. 5
2. Hadits Hasan .................................................................................. 7
3. Hadits Dha’if ................................................................................. 8

C. Hadits Maudhu ..................................................................................... 10

BAB III PENUNTUP ..................................................................................... 12

A. Kesimpulan .......................................................................................... 12
B. Saran .................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kitab-kitab hadits yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan


pegangan oleh umat Islam dalam hubungannya dengan hadits sebagai sumber
ajaran Islam adalah kitab-kitab yang disusun oleh para penyusunnya setelah lama
Nabi wafat. Dalam jarak waktu antara kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab
hadits tersebut telah terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadits
tersebut menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi.  Baik dari aspek
kemurniannya dan keasliannya.

Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadits yang


terhimpun dalam kitab-kitab hadits tersebut dapat dijadikan sebagai hujjahataukah
tidak, terlebih dahulu perlu dilakukan penelitian. Kegiatan penelitian hadits tidak
hanya ditujukan kepada apa yang menjadi materi berita dalam hadits itu saja, yang
biasa dikenal dengan masalah matan hadits, tetapi juga kepada berbagai hal yang
berhubungan dengan periwayatannya, dalam hal ini sanadnya, yakni rangkaian
para periwayat yang menyampaikan matan hadis kepada kita.

Keberadaan perawi hadits sangat menentukan kualitas hadits, baik kualitas


sanad maupun kualitas matan hadits. Selama riwayat-riwayat ini membutuhkan
penelitian dan kajian mendalam untuk mengetahui mana yang dapat diterima dan
mana yang ditolak, maka mutlak diperlukan adanya kaidah-kaidah dan patokan
sebagai acuan melakukan studi kritik Hadits.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Pembagian Hadits dalam Islam?
2. Bagaimana ciri-ciri dan kehujjahan dari hadits-hadits tersebut?
3. Apa itu Hadits Maudhu’?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui Pembagian Hadits dalam Islam.
2. Untuk mengetahui ciri-ciri dan kehujjahan dari hadits-hadits tersebut.
3. Untuk mengetahui apa itu Hadits Maudhu’.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas Rawi

Kuantitas hadits disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan
suatu hadits atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi
hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadits mutawatir dan hadits
ahad, disamping pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu
pembagian menjadi dua macam yaitu: hadits mutawatir, dan hadits ahad.

1.      Hadis Mutawatir

Mutawatir secara etimology berasal dari kata tawatara yang berarti


beruntun, atau mutatabi, yakni beriring-iringan antara satu dengan lainnya tanpa
ada jarak. Sedangkan secara terminology mutawatir adalah hadits yang di
riwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk
berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca.

a.       Syarat-syarat Hadits Mutawatir

-          Hadits mutawatir harus di riwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang


membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak sepakat untuk berbohong.

-          Bedasarkan tanggapan panca indra, yakni bahwa berita yang mereka


sampaikan harus benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan
sendiri.

-          Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan)


pertama maupun thabaqat berikutnya.

b.      Pembagian Hadits Mutawatir

Sebagian jumhur ulama menyebutkan Hadits Mutawatir ada 3 yaitu:

-          Hadits Mutawatir Lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis


sama.

2
Contoh hadits mutawatir lafdhi yang artinya: “Rasulullah ‫ﷺ‬, bersabda: “Siapa
yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki tempat
duduknya dalam neraka”. (Hadis Riwayat Bukhari).

Hadits tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan


oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, ada enam
puluh orang sahabat, Rasul yang meriwayatkan hadis itu dengan redaksi yang
sama.

-          Hadits Mutawatir Maknawi adalah hadits mutawatir dengan makna umum


yang sama, walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya.

Contoh hadits mutawatir maknawi yang artinya: “Rasulullah ‫ ﷺ‬pada waktu


berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat
kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdoa memohon
hujan”. (Hadis Riwayat Mutafaq’ Alaihi).

-          Hadits Mutawatir ‘Amali adalah hadits mutawatir yang menyangkut perbuatan


Rasulullah ‫ﷺ‬, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak,
untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak
pada generasi-generasi berikutnya.

Contoh : Hadits-hadits Nabi tentang waktu shalat, tentang jumlah rakaat shalat
wajib, adanya shalat ‘ied, adanya shalat jenazah, dan sebagainya.

c.       Kedudukan Hadits Mutawatir

Hadits-hadits yang termasuk kelompok hadits mutawatir adalah hadits-


hadits yang pasti (qath’i atau maqth’u) berasal dari Rasulullah ‫ﷺ‬. Para ulama
menegaskan bahwa hadits mutawatir membuahkan “ilmu qath’i” (pengetahuan
yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti bahwa perkataan, perbuatan atau
persetujuan berasal dari Rasulullah ‫ﷺ‬. Kedudukan hadits mutawatir sebagai
sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadits mutawatir sebagai sumber
ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad ‫ﷺ‬
sebagai utusan Allah ‫ﷻ‬. Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber ajaran
Islam lebih tinggi dari kedudukan hadis ahad.

2.      Hadits Ahad

3
Ahad menurut bahasa adalah kata jamak dari wahid atau ahad. Bila
wahid atau ahad berarti satu, maka ahad, sebagai jamaknya, berarti satu-satu.
Sedangkan menurut istilah hadits ahad adalah hadits yang para rawinya tidak
mencapai jumlah rawi hadist mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat,
lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadits
dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir, atau
dengan kata lain hadits ahad adalah hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.

a.       Pembagian hadits ahad

-          Hadits Masyhur (Hadits Mustafidah) adalah Hadis yang diriwayatkan dari


sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilang mutawatir, kemudian baru
mutawatir setelah para sahabat dan demikian pula setelah mereka.

Contoh:

“Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin


tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim,
dan Turmudzi).
-     Hadits ‘Aziz adalah Hadis yang perawinya tidak kurang dari dua orang
dalam semua tabaqat sanad.
Contoh:

“Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia)
dan yang paling terdahulu di hari kiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu
Hurairah)

-     Hadits Gharib adalah Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang


perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya tanpa ada orang lain yang
meriwayatkan.

Contoh:

“Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah ‫ﷺ‬


bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang hanya
(memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan
lain-lain)

b.      Kedudukan hadits ahad

4
Bila hadits mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah
‫ﷺ‬, maka tidak demikian hadits ahad . Hadist ahad tidak pasti berasal dari
Rasulullah ‫ﷺ‬, tetapi diduga ( zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan
ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadits ahad mungkin benar berasal dari
Rasulullah ‫ﷺ‬, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau. Maka kedudukan
hadits ahad, sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadits
mutawatir. Lain berarti bahwa bila suatu hadits, yang termasuk kelompok hadits
ahad, bertentangan isinya dengan hadits mutawatir, maka hadits tersebut harus
ditolak.

B.  Pembagian Hadits Berdasarkan  Kualitas Rawi

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hadits  muatawatir memberikan


pengertian yang  yaqin bi al qath, artinya Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬benar-benar
bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para sahabat
berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka sepakat berdusta
kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh telah meyakinkan, maka
dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap sanadnya
maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang hanya memberikan faedah
zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk
mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga
status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak.

Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari
segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits
dhaif.

1.      Hadits Shahih

Kata shahih berasal dari bahasa arab as-shahih  bentuk pluralnya 


ashihha’  berakar pada kata shahha, yang berarti selamat dari penyakit.
Sedangkan menurut istilah hadits sahih adalah hadits yang bersambung sampai
kepada nabi Muhammad ‫ ﷺ‬serta didalam hadits tersebut tidak terdapat
kejanggalan dan cacat.

Sebuah hadits dikatakan shahih apabila memenuhi kriteria yang meliputi:

·         Sanadnya bersambung ialah sanadnya yang bersambung sampai ke musnad,


dalam sifat disebut hadits yang muttashil dan mausul (yang bersambung).

5
·         Seluruh periwayat dalam sanad hadits sahih bersifat adil adalah periwayat
yang memenuhi syarat-syarat yaitu beragama Islam, mukallaf, melaksanakan
ketentuan agama, memelihara kehormatan diri.

·         Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith, ialah memiliki ingatan dan
hafalan yang sempurna. Dia memahami dengan baik apa yang diriwayatkannya
serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja di kehendaki.

·         Sanad dan matan hadits yang sahih itu terhindar dari syadz.

·         Sanad dan matan hadis terhindar dari i’llat. I’llat adalah sifat tersembunyi yang
mengakibatkan hadits tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara lahiriah
hadits tersebar dari ‘illath.

Contoh:

Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata: Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Setiap sendi


tubuh badan manusia menjadi sedekah untuknya pada setiap hari matahari terbit,
kamu melakukan keadilan diantara dua orang yang berselisih faham adalah
sedekah kamu membantu orang yang menaiki kenderaan atau kamu mengangkat
barang-barang untuknya kedalamkenderaan adalah sedekah, Perkataan yang
baik adalah sedekah, setiap langkah kamu berjalan untuk menunaikan solat
adalah sedekah dan kamu membuang perkara-perkara yang menyakiti di jalan
adalah sedekah.” (H.R Bukhari dan Muslim).

a.       Pembagian hadits shahih

Hadits sahih terbagi dua bagian, yaitu

-          Hadits sahih lidzatih adalah hadits yang karena kehadiran dirinya sendiri telah
memenuhi kelima kriteria hadits sahih sebagaimana dikemukakan di atas.

-          Hadits sahih lighairih adalah hadits yang sahihnya lantaran di bantu oleh


keterangan yang lain jadi disimpulkan belum sampai kepada kualitas sahih,
kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya sehingga hadits
tersebut meningkat menjadi hadits sahih lighairih.

b.      Kehujjahan hadits sahih

6
Hadits sahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah,
tergantung kedhabitannya dan keadilan perawinya, dan semakin dhabit dan adil si
perawinya makin tinggi pula tingkatan kualitas hadits yang diriwayatkan. Hadits
sahih kedudukannya lebih tinggi dari hadits hasan dan dho’if, tetapi berada
dibawah kedudukan hadits mutawatir. Semua ulama sepakat menerima hadits
sahih sebagai sumber ajaran Islam atau hujjah, dalam bidang hukum dan moral.

2.      Hadits Hasan

Adalah hadits yang mutttasil sanadnya diriwayatkan oleh rawi yang adil
dan dhabit, tetapi kadar kedhabitannya di bawah kedhabittan hadis sahih dan
hadits itu tidak syadz dan tidak pula terdapat ‘illat.

Adapun kriteria hadits yaitu:

·         Sanadnya bersambung

·         Para periwayat bersifat adil

·         Diantara orang periwayat terdapat orang yang kurang dhabith

·         Sanad dan matan hadits terhindar dari kejanggalan

·         Tidak ber-illat (cacat)

a.       Pembagian hadits hasan

-          Hasan lidzatih adalah hadits yang mencapai derajat hasan dengan sendirinya


sedikitpun tidak ada dukungan dari hadits lain.

-          Hadits hasan lighairih adalah hadits yang pada asalnya adalah hadits dhaif
yang kemudian meningkat derajatnya menjadi hasan karena ada riwayat lain
yang mengangkatnya.

Contoh hadits hasan:

“Sekiranya aku tidak memberatkan umatku, tentu kuperintahkan mereka bersiwak


menjelang setiap sholat”.

Matan hadits ini memiliki jalur sanad, Muhammad bin Amr, dari Abi
Salamah, dari Abu Hurairah dari Rasulullah ‫ﷺ‬. dan Muhammad bin Amr
diragukan hafalan, kekuatan ingatan dan kecerdasannya meskipun banyak yang

7
menganggapnya terpecayahadits ini bersifat hasan lizatih dan hasan lighairih,
karena diriwayatkan pula oleh guru muhammad dan dari gurunya lagi hadits itu
diriwayatkan pula oleh Abu Hurairah oleh banyak orang diantaranyaal-A’raj bin
Hurmuz dan Sa’idal-Maqbari. At- Tarmizi, ia adalah orang yang pertama kali
mengeluarkan hadits hasan.

Meskipun ada haditsdahif yang meningkat menjadi hadis hasan tidak


semua haditsdhaif bisa meningkat menjadi hadits hasan, haditsdhaif yang bisa
meningkat menjadi hadits hasan adalah hadits-hadits yang tidak terlalu lemah
seperti haditsmaudhu, matruk, dan munkar derajatnya bisa lebih meningkat, jika
hadits diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif karena banyaknya kesalahan atau
karena mufsiq maka ia bukanlah hadits hasan lighairih. Sebaliknya hadits daif
yang diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif karena fasiq atau di tuduh berdusta
lalu ada hadits yang juga diriwayatkan oleh  periwayat yang kualitasnya sama
maka hadits itu bukan hanya tidak bisa naik derajatnya menjadi hasan melainkan
justru hadits itu bertambah dhaif.

b.      Kehujjahan hadits hasan

Hadits hasan dapat di gunakan sebagai berhujjah dalam menetapkan suatu


kepastian hukum dan ia harus diamalkan baik hadits hasan lidzatih maupun 
hasan lighairih, al- Khattabi  mengungkapkan bahwa atas hadits hasanlah berkisar
banyak hadits karena kebanyakan hadits tidak mencapai tingkatan shahih, hadits
ini kebanyakan diamalkan oleh ulama hadits.

3.      Hadits Dhaif 

Secara bahasa, haditsdhaif berasal dari kata dhu’fun berarti hadits yang
lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari
Rasulullah ‫ﷺ‬. Secara terminologi hadits dhaif adalah suatu hadits yang tidak
terdapat ciri-ciri keshahihan dan kehasanan suatu hadits, shahih tidaknya suatu
hadits merupakan hasil peninjaun dari sisi di terima atau ditolaknya suatu hadits,
oleh karena itu hadits ini terdapat sesuatu yang di dalamnya tertolak yang tidak
terdapat ciri-ciri di terimanya hadits ini.

Adapun ciri-ciri hadits dhaif ialah:

-          Periwayatnya seorang pendusta atau tertuduh pendusta

8
-          Banyak membuat kekeliruan

-          Suka pelupa

-          Suka maksiat atau fasik

-          Banyak angan-angan

-          Menyalahi periwayat kepercayaan

-          Periwayatnya tidak di kenal

-          Penganut bid’ah bidang aqidah

-          Tidak baik hafalannya.

Dan yang kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits


yang diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al
Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad Firdaus, atau
Tirmidzi Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan beliau bukanlah Tirmidzi penulis
kitab Sunan atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya.

Contoh haditsdhaif:

“ Bahwasannya Rasul wudhu dan beliau mengusap kedua kaos kakinya”.

Hadits ini dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al-Audi,
seorang rawi yang masih dipersoalkan.

a.       Pembagian haditsdhaif

-          Hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya.

-          Hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.

b.      Kehujjahan

Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-
Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh
digunakan, dengan beberapa syarat:

-          Level kedhaifannya tidak parah.

-          Berada di bawah nash lain yang shahih.

9
-          Ketika mengamalkannya, tidak boleh meyakini ke-tsabit-annya. 

C.  Hadits Maudhu

Menurut etimologi kata maudhu dari kata diletakkan, dibiarkan,


digugurkan, ditinggalkan dan dibuat-buat, sedangkan menurut terminologi hadits
maudhu’ ialah sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬secara mengada-
ada dan bohong dari apa yang di katakan beliau atau tidak dilakukan dan atau
tidak di setujui.

a.       Pembagian Hadits Maudhu’

Hadits ini hukumnya bathil dan haram meriwayatkannya, kecuali untuk


mengajar untuk mengetahui hadis maudhu, ada beberapa macam haditsmaudhu
yaitu, Seseorang mengatakan dengan sesuatu yang sebenarnya keluar dari dirinya
sendiri kemudian dia meriwayatkannya dengan menghubungkan kepada
Rasulullah ‫ ﷺ‬, seseorang mengambil perkataan dari sebagian ahli fiqh atau
lainnya kemudian ia menghubungkannya dengan nabi Muhammad ‫ﷺ‬, juga
seseorang melakukan kesalahan dalam meriwayatkan suatu hadits dengan tidak
ada unsur kesengajaan mendustakan nabi seperti Habib bin Musa Al-Zahid dalam
haditsnya menyatakan barang siapa banyak shalatnya dimalam hari wajahnya
indah berseri di siang hari.

Hadis ini dimulai sejak tahun 41 H pada masa pemerintahan Khalifah


keempat ketika muslim saling bersellisih antara kaum khawarij dengan kaum
Syi’ah mereka banyak mengarang hadits untuk keperluannya sendiri inilah
pendorong terjadinya pemalsuan hadits pada berbagai masa orang-orang suka
menurutkan hawa nafsu terus menerus untuk berbohong. Hammad bin Zaid telah
memalsukan tak kurang dari 14.000 hadits palsu dan telah beredar dan Abdul
Karim bin Abi Al-Auja telah memalsukan 4000 hadits mengatakan  adapun yang
melatar belakangi munculnya hadits palsu ini adalah :

-          Untuk menimbulkan kerusuhan didalam agama yang dilakukan oleh orang –


orang munafik.

10
-          Untuk mempertahankan pendapatnya sementara tidak ada dalil yang
mengetengahkan yang dilakukan oleh abu al- khathtthab bin Dihyah dan Abdu  al-
Aziz bin Haris al- hanbali.

-          Untuk menarik perhatian dalam berpidato dan dalam pembicaraan dan simpatti
orang yang menamakan dirinya Zuhud,.

-          Untuk mempertahankan mahzabnya seperti yang dilakukaukan oleh golongan


Khattabiyah dari Aliran Rafidhah.

-          Untuk mendekatkan diri kepada raja-raja atau pejabat  dengan membuat hadis
maudhu yang cocok dengan program dan tujuan mereka.

-          Untuk mencari rezeki dengan membuat haditts-haditsmaudhu  seperti yang


dilakukan oleh pencerita-cerita seperti yang dilakukan oleh Abu Said al- madaini.

b.      Kriteria Hadits Maudhu’

Hadits maudhu dapat di ketahui dari segi sanadnya dan matannya, jika
dilihat dari sanadnya dari kaum zindiq, munafik atau seorang pendusta dari segi
matannya dapat dilihat dari ciri-ciri yang meliputi:

-          Susunan lafalnya kacau

-          Maknanya rusak

-          Bertentangan dengan nas Al-Qur’an yang tidak dapat dilakukan penakwilan.

-          Bertentangan dengan hadis mutawatir

-          Bertentangan dengan Aqidah umum baik dengan Al-Qur’an maupun sunnah.

-          Pembuatnya sendiri bahwa ia telah membuat hadis palsu.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Demikian hadits dilihat dari kuantitas jumlah para perawi yang dapat
menunjukkan kualitas bagi hadits mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para
perawi secara individu, atau menunjukan kualitas hadits ahad, jika disertai
pemeriksaan memenuhi persyaratan standar hadits yang makbul.

Hadits ahad masih memerlukan barbagai persyaratan yaitu dari segi sifat-
sifat kepercayaan para perawi atau sifat-sifat yang dapat mempertanggung
jawabkan kebenaran berita secara individu yaitu sifat keadilan dan ke dhabithan,
ketersambungan sanad dan ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadits mutawatir
secara absolute dan pasti (qath’i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh
hadits ahad bersifat relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan.

Adapun hadits maudhu’ merupakan hadits yang dibuat-buat oleh seorang


pendusta dan dinisbahkan kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬secara palsu dan dusta, baik
disengaja ataupun tidak. Hadits Maudhu’ adalah Hadits Palsu. Dab hukum
menggunakan Hadits Maudhu’ sendiri adalah Haram, baik untuk urusan masa’il
maupun Fadho’il.

B. Saran

Disarankan bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-


benar mengetahui pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas
hadits itu sendiri, supaya timbul ke ihtiyathan kita dalam menyampaikan hadits,
dan untuk bias membedakan keshahihan suatu hadits harus mengetahui
pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan orang-
orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu

12
DAFTAR PUSTAKA

·         Mudzakir, M, Ulumul Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia, 1998.

·         Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis, UIN-Malang


Press: Oktober 2008.

·         Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia.

·         Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, cet. IV, Jakarta: Amzah, 2010.

·         http://b3npani.wordpress.com/tugas-kuliah/92-2/

·          /

13

Anda mungkin juga menyukai