Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KONSEP MANUSIA MENURUT ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Materi PAI

DosenPengampu:

Dr. Muhammad Zein S.Pd.I , M. Pd.I

Kelompok 2

Disusun Oleh:

Liza Febrina (21.02.0023)

Penanggap:

Nurmalisah Batubara (21.02.0020)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM “UISU”

PEMATANG SIANTAR

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah SubhanahuWaTa'ala sebagai pencipta telah menciptakan langit dan


bumi, dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya. Salah satu ciptaan
Allah itu adalah manusia, yang diberi keistimewaan berupa kemampuan
berpikir yang melebihi jenis makhluk lain yang sama-sama menjadi penghuni
bumi. Kemampuan berpikir itulah yang diperintahkan Allah agar
dipergunakan untuk mendalami wujud atau hakikat dirinya dan tidak semata-
mata dipergunakan untuk memikirkan segala sesuatu di luar dirinya.

Demikianlah kenyataannya bahwa manusia tidak pernah berhenti berpikir,


kecuali dalam keadaan tidur atau sedang berada dalam situasi diluar
kesadaran. Manusia berpikir tentang segala sesuatu yang tampak atau dapat
ditangkap oleh panca indera bahkan yang abstrak sekalipun. Dari sejarah
kehidupan manusia ternyata tidak sedikit usaha manusia dalam memikirkan
wujud atau hakikat dirinya, meskipun sebenarnya masih lebih banyak yang
tidak menaruh perhatian untuk memikirkannya. Manusia merupakan ciptaan
Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang memiliki derajat paling tinggi di antara
ciptaan yang lain. Pada dasarnya manusia diciptakan dengan kedudukan
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk
individu mempunyai sifat-sifat individu khas yang berbeda dengan manusia
lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Keberadaan manusia?
2. Apa itu Hakikat manusia?
3. Bagaimana Martabat manusia?
4. Apa Fungsi dan peran manusia?
5. Apa Tanggung jawab manusia?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana keberadaan manusia
2. Untuk mengetahui apa itu hakikat manusia
3. Untuk mengetahui bagaimana martabat manusia
4. Untuk mengetahui apa fungsi dan peran manusia
5. Untuk mengetahui apa tanggung jawab manusia

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Keberadaan Manusia

Islam adalah jalan (shari'ah) universal, yang di dalamnya berbicara


berbagai aspek kehidupan.Tak terkecuali tentang manusia, sebagai satu-
satunya ciptaan Allah yang dalam firman-Nya diciptakan dalam sebaik-
baiknya bentuk (Ahsani Taq'win) artinya, manusia merupakan satu-satunya
makhluk Allah yang sempurna, ia memiliki akal sebagai alat berpikir dan
memiliki hati sebagai alat merasa. Lalu di dalam dirinya, ada dimensi fisik
(jasadiyah) dan psikis (ruhiyah), sebagai penyatuan unsur tanah dalam diri
manusia dengan unsur Ilahiyah sebagai pencipta-Nya. Manusia memiliki
kecenderungan berbuat baik dan buruk. Dalam Islam, hal ini sesungguhnya
adalah ujian manusia, supaya dirinya meneguhkan komitmen keberislaman
yang sejati.1

Sejak awal penciptaan, manusia sudah menjadi perdebatan makluk Allah


yang lainnya, yakni malaikat, yang deskripsinya diuraikan oleh Allah dalam
Surah al-Baqarah ayat 30. Malaikat sangat pesimistis ketika Allah hendak
menciptakan manusia, karena sebelumnya khalifah yang diciptakan Allah di
bumi banyak berbuat kerusakan dan pertumpahan darahsejak awal penciptaan
manusia, sudah menjadi perdebatan makluk Allah yang lainnya, yakni
malaikat, yang deskripsinya diuraikan oleh Allah dalam Surah al-Baqarah ayat
30. Malaikat sangat pesimistis ketika Allah hendak menciptakan manusia,
karena sebelumnya khalifah yang diciptakan Allah di bumi banyak berbuat
kerusakan dan pertumpahan darah. Lalu dengan bangga malaikat merasa
dirinya sebagai makhluk terbaik, yang selalu bertasbih memuji keagungan
Allah. Lalu dengan penuh optimisme Allah menjawab bahwa dirinya lebih
mengetahui tentang segala sesuatu dalam surah Al-Baqarah ayat 30:

1
Muhamad Ali Sibran Malisi, "Konsep Manusia Dalam Al-Qur'an". Jurnal Tasamuh, vol.4 ,no 2 ,
(2012).

3
ِ ‫ض َخلِيفَةً ۖ قَالُوا َأت َْج َع ُل فِي َها َمنْ يُ ْف‬
‫س ُد فِي َها‬ ِ ‫وَِإ ْذ قَا َل َربُّ َك لِ ْل َماَل ِئ َك ِة ِإنِّي َجا ِع ٌل فِي اَأْل ْر‬
َ‫ِّس لَ َك ۖ قَا َل ِإنِّي َأ ْعلَ ُم َما اَل تَ ْعلَ ُمون‬
ُ ‫سبِّ ُح بِ َح ْم ِدكَ َونُقَد‬
َ ُ‫سفِ ُك ال ِّد َما َء َونَ ْحنُ ن‬ ْ َ‫َوي‬
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui". (QS. Al-Baqarah: 30)

Kehadiran manusia ke bumi sesungguhnya adalah narasi besar dari


kehendak Allah yang tak terbatas dan tidak bisa ditebak. Betapa tidak,
dalam kesadaran eksistensial, manusia tiba-tiba hadir ke dunia tanpa
sebelumnya berkesempatan meminta hendak dilahirkan dari siapa (orang
tua dan keluarga), dimana (daerah kelahiran), dan kapan (waktu atau
zaman kelahiran). Kehadiran manusia datang secara tiba-tiba, begitupun
kepergiannya datang secara tiba-tiba pula, tanpa mengetahui akan
meninggal dunia bersama siapa, kapan, dan dimana akan mengakhiri
perjalanan hidupnya sebagai manusia.2

Kehidupan manusia merupakan misteri yang tak terbatas. Seperti


pemahaman manusia sendiri tentang manusia, dari dulu hingga zaman
digital ini, pandangan, pencarian, dan refleksi manusia tentang dirinya
sendiri tak pernah selesai. Ada saja celah-celah pikiran yang menerobos
jalan panjang kehidupan manusia yang belum disentuh sebelumnya.
Quraishi Shihab menghadirkan pandangannya, bahwa keterbatasan
manusia dalam memahami dirinya sendiri disebabkan setidaknya oleh tiga
hal berikut:

Pertama, perhatian manusia terhadap masalah dirinya, dalam hal ini


pemahaman terhadap diri manusia sendiri sangat terlambat ketimbang

2
Anton Bakker, Antropologi Metafisik, (Yogyakarta: Kanisius, 2000) hlm 91

4
kehendak manusia dalam memahami alam semesta di sekitarnya. Sejak
awal pada masa nenek moyang manusia ketika primitif, manusia
disibukkan dengan urusan bagaimana menaklukkan hewan, berburu,
bertani, berternak, dan lain sebagainya berkaitan dengan kebutuhan
manusia dalam hidup. Begitupun, ketika dunia sudah maju, Renaisans
hadir di Barat, perhatian manusia tetap lebih fokus pada sesuatu di luar
dirinya. Para pemikir dan ahli teknologi sibuk menjinakkan alam semesta
guna menemukan temuan mutakhir, supaya kehidupan manusia lebih
mudah dan menyenangkan. Sehingga mereka lupa untuk memikirkan
manusia atau dirinya sendiri, sebagai makhluk unik, penuh misteri, dan tak
selesai dibahas sampai kapan pun.

Kedua, manusia selama ini cenderung memikirkan hal-hal yang


sederhana dan tidak kompleks. Sebagai implikasinya manusia tidak suka
memikirkan sesuatu yang berkaitan dengan esensi dan hakikat dari
sesuatu, termasuk dirinya sendiri. Hal yang seperti ini kerap terjadi dalam
berbagai aspek kehidupan, dalam beragama pun manusia seringkali juga
menunjukkan kedangkalannya dalam memahami ajaran Islam. Sehingga
umat Islam yang tak memahami hakikat agamanya, mudah menyesatkan
dan mengkafirkan saudaranya sendiri, mereka yang nyata-nyata sudah
memeluk agama Islam. Sebab kecenderungan manusia kurang berpikir
kompleks dan komprehensif, efeknya manusia sulit memahami dirinya
sendiri membuat dirinya sibuk dengan berbagai persoalan yang hadir di
hadapannya. Efeknya manusia sulit meluangkan waktunya untuk berpikir
tentang dirinya sendiri, ia lebih sibuk dengan segenap persoalan lain yang
menurut dirinya lebih mendesak untuk dipikirkan. Karena seringkali
manusia menganggap memikirkan dirinya sendiri adalah tindakan konyol,
karena manusia sadar ia tak akan pernah tuntas memikirkan dirinya
sendiri.

Ketiga, kompleksitas persoalan hidup. Karenanya, manusia hanya


bisa memaknai secara positif, segenap hal yang hadir dalam dirinya,

5
termasuk kehidupan itu sendiri. Artinya, ketika manusia mengembalikan
kehidupan sebagai sesuatu yang given (pemberian), maka keberadaan
manusia hanyalah gerak yang telah ditentukan.3

B. Hakikat Manusia

Ada beberapa dimensi tentang hakikat manusia dalam pandangan Islam,


yaitu:

1. Manusia sebagai hamba Allah


Sebagai hamba Allah manusia wajib mengabdi dan taat kepada Allah
Subhanahu Wa Ta'ala selaku pencipta karena hak Allah untuk
disembah dan tidak disekutukan. Bentuk pengabdian manusia sebagai
hamba Allah tidak terbatas hanya pada ucapan dan perbuatan saja,
melainkan juga harus dengan keikhlasan hati. Seperti yang di
perintahkan dalam surah Bayyinah ayat 5 :
‫ص ٰلوةَ َويُْؤ تُوا‬ ‫هّٰللا‬
َّ ‫صيْنَ لَهُ ال ِّديْنَ ەۙ ُحنَفَ ۤا َء َويُقِ ْي ُموا ال‬
ِ ِ‫َو َمٓا اُ ِم ُر ْٓوا اِاَّل لِيَ ْعبُدُوا َ ُم ْخل‬
‫ال َّز ٰكوةَ َو ٰذلِ َك ِديْنُ ا ْلقَيِّ َم ۗ ِة‬
Artinya : "Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah
dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan)
agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat dan
yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (QS. Bayyinah:3)
Dan dalam surah Az Zariyat ayat 56 Allah SubhanahuWaTa'ala
berfirman:
َ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ٱ ْل ِجنَّ َوٱِإْل‬
‫نس ِإاَّل لِيَ ْعبُدُو ِن‬
Artinya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat:56).
Dengan demikian sebagai hamba Allah akan menjadi manusia yang
taat, patuh dan mampu sebagai hamba yang hanya mengharapkan
ridho Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
2. Manusia sebagai al- Nas
3
Krisnawati, Lolita (Ed), (2002), Pendidikan Agama Islam. Ghalia. Indonesia: Jakarta hlm 31

6
Manusia dalam Al-Qur'an juga disebut dengan an-nas. Konsep an-
nas ini cenderung mengacu pada status manusia dalam kaitannya
dengan lingkungan masyarakat disekitarnya. Berdasarkan fitrahnya
manusia memang makhluk sosial. Dalam hidupnya manusia
membutuhkan pasangan dan memang diciptakan berpasang-pasangan
dalam surah al- Hujurat ayat 13 Allah Subhanahu Wa Ta'ala
berfirman:
ُ ‫اس اِنَّا َخلَ ْق ٰن ُك ْ‡م ِّمنْ َذ َك ٍر َّواُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْ‡م‬
َّ‫ش ُع ْوبًا َّوقَبَ ۤا ِٕى َل لِتَ َعا َرفُ ْوا ۚ اِن‬ ُ َّ‫ٰيٓا َ ُّي َها الن‬
‫اَ ْك َر َم ُك ْ‡م ِع ْن َد هّٰللا ِ اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗاِنَّ هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم َخبِ ْي ٌر‬
Artinya : "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Dari dalil diatas bisa dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial
yang dalam hidupnya membutuhkan manusia lain diluar dirinya untuk
mengembangkan yang ada dalam dirinya agar dapat menjadi bagian
dari lingkungan sosial dan masyarakat.
3. Manusia sebagai Khalifah Allah
Tujuan penciptaan manusia bahwa pada hakikatnya, manusia
diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai khalifah atau
pemimpin di muka bumi. Dalam surah Shad ayat 26 Allah Subhanahu
Wa Ta'ala berfirman:
‫ق َواَل تَتَّبِ ِع ۡال َه ٰوى‬ِّ ‫س بِ ۡال َح‬ ۡ َ‫ض ف‬
ِ ‫اح ُكمۡ بَ ۡينَ النَّا‬ ِ ‫ٰيد َٗاو ُد اِنَّا َج َع ۡل ٰن َك َخلِ ۡيفَةً فِى ااۡل َ ۡر‬
‫ش ِد ۡي ۢ ٌد بِ َما‬ ‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ٌ ‫سبِ ۡي ِل ِ لَ ُهمۡ َع َذ‬
َ ‫اب‬ َ ‫ضلُّ ۡونَ ع َۡن‬ ِ َ‫سبِ ۡي ِل ‌ِ ؕ اِنَّ الَّ ِذ ۡينَ ي‬ َ ‫ضلَّكَ ع َۡن‬ ِ ُ‫فَي‬
‫ب‬ َ ‫س ۡوا يَ ۡو َم ۡال ِح‬
ِ ‫سا‬ ُ َ‫ن‬
Artinya: "Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan
khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di
antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa

7
nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh,
orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS.Shad:26).
Sebagai seorang khalifah maka masing-masing manusia akan dimintai
pertanggung jawabannya kelak di hari akhir.
4. Manusia sebagai Bani Adam
Sebutan manusia sebagai Bani Adam merujuk kepada berbagai
keterangan dalam Al-Qur'an yang menjelaskan bahwa manusia adalah
keturunan Adam bukan berasal dari hasil evolusi dan makhluk lain
seperti yang dikemukakan Charles Darwin. Konsep Bani Adam
mengacu pada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Konsep
ini menjelaskan pembinaan hubungan persaudaraan antar sesama
manusia dan menyatakan bahwa semua manusia berasal dari
keturunan yang sama. Dengan demikian manusia dengan latar
belakang sosial kultural, agama, bangsa, dan bahasa yang berbeda
tetaplah bernilai sama dan harus diperlakukan sama. Dalam surah Al-
A'raf ayat 26-27 Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
َ‫اس التَّ ْق ٰوى ٰذلِك‬
ُ َ‫س ْو ٰاتِ ُك ْ‡م َو ِر ْيش ًۗا َولِب‬
َ ‫ي‬
ْ ‫سا يُّ َوا ِر‬ ً ‫يَا بَنِ ْٓي ٰا َد َم قَ ْد اَ ْنزَ ْلنَا َعلَ ْي ُك ْم لِبَا‬
َ‫ت هّٰللا ِ لَ َعلَّ ُه ْم يَ َّذ َّك ُر ْون‬
ِ ‫ َخ ْي ۗ ٌر ٰذلِ َك ِمنْ ٰا ٰي‬-
Artinya : "Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah
menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan
bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah
sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka
ingat.” (QS. Al-A'raf :26).
َ ‫ع َع ْن ُه َما لِبَا‬
‫س ُه َما‬ ُ ‫ش ْي ٰطنُ َك َمٓا اَ ْخ َر َج اَبَ َو ْي ُك ْم ِّمنَ ا ْل َجنَّ ِة يَ ْن ِز‬
َّ ‫ٰيبَنِ ْٓي ٰا َد َم اَل يَ ْفتِنَنَّ ُك ُم ال‬
َ‫ش ٰي ِطيْن‬ ُ ‫س ْو ٰاتِ ِه َما ۗاِنَّ ٗه يَ ٰرى ُك ْم ُه َو َوقَبِ ْيلُ ٗه ِمنْ َح ْي‬
َّ ‫ث اَل ت ََر ْونَ ُه ۗ ْم اِنَّا َج َع ْلنَا ال‬ َ ‫لِيُ ِريَ ُه َما‬
َ‫اَ ْولِيَ ۤا َء لِلَّ ِذيْنَ اَل يُْؤ ِمنُ ْون‬
Artinya: "Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu
oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu
bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk

8
memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya
dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat
mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu
pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-A'raf : 27)
5. Manusia sebagai Al-Insan
Tidak hanya disebut sebagai alnas, dalam Alqur’an manusia juga
disebut sebagai Al-insan merujuk pada kemampuannya dalam
menguasai ilmu dan pengetahuan serta kemampuannya untuk
berbicara dan melakukan hal lainnya, Sebagaimana disebutkan dalam
surat Hud ayat 9:
‫س َكفُ ْو ٌر‬ ْ ‫سانَ ِمنَّا َر ْح َمةً ثُ َّم نَزَ ع ْٰن َها ِم ْن ۚهُ اِنَّ ٗه لَيَـ‬
ٌ ‫ُٔو‬ َ ‫َولَ ِٕىنْ اَ َذ ْقنَا ااْل ِ ْن‬
Artinya: “Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat
(nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya,
pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS.
Hud:9)
6. Manusia sebagai makhluk biologis (Al-Basyar)
Manusia juga disebut sebagai makhluk biologis atau al-basyar karena
manusia memiliki raga atau fisik yang dapat melakukan aktifitas fisik,
tumbuh, memerlukan makanan, berkembang biak dan lain sebagainya
sebagaimana ciri-ciri makhluk hidup pada umumnya. Sama seperti
makhluk lainnya di bumi seperti hewan dan tumbuhan, hakikat
manusia sebagai makhluk biologis dapat berakhir dan mengalami
kematian, bedanya manusia memiliki akal dan pikiran serta
perbuatannya harus dapat dipertanggung jawabkan kelak di akhirat.
Segala hakikat manusia adalah fitrah yang diberikan Allah Subhanahu
wa Ta'ala, agar manusia dapat menjalankan peran dan fungsinya
dalam kehidupan. Manusia sendiri harus dapat memenuhi tugas dan
perannya sehingga tidak menghilangkan hakikat utama dari
penciptaannya.4

4
| Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XIII, No. 2, Februari 2013

9
Manusia juga memiliki beberapa karakteristik, yaitu:

1. Kemampuan menyadari diri


Melalui kemampuan ini manusia betul-betul mampu menyadari bahwa
dirinya memiliki ciri yang khas atau karakteristik diri. Kemampuan ini
membuat manusia bisa beradaptasi dengan lingkungannya baik itu
lingkungan berupa individu lainnya selain dirinya, maupun lingkungan
non-pribadi atau benda. Kemampuan ini juga membuat manusia mampu
mengeksplorasi potensi-potensi yang ada dalam dirinya melalui
pendidikan untuk mencapai kesempurnaan diri. Kemampuan menyadari
diri ini pula yang membuat manusia mampu mengembangkan aspek
sosialitas di luar dirinya sekaligus pengembangan aspek individualitas
di dalam dirinya.

2. Kemampuan Bereksistensi
Melalui kemampuan ini manusia menyadari bahwa dirinya memang ada
dan eksis dengan sebenarnya. Dalam hal ini manusia punya kebebasan
dalam ke ‘beradaan’ nya. Berbeda dengan hewan di kandang atau
tumbuhan di kebun yang ‘ada’ tapi tidak menyadari ‘keberadaan’ nya,
Sementara itu manusia mampu menjadi manajer bagi lingkungannya.
Kemampuan ini juga perlu dibina melalui pendidikan. Manusia perlu
diajarkan belajar dari pengalaman hidupnya, agar mampu mengatasi
masalah dalam hidupnya dan siap menyambut masa depannya.

3. Pemilikan Kata Hati (Conscience of Man)


Yang dimaksud dengan kata hati di sini adalah hati nurani. Kata hati
akan melahirkan kemampuan untuk membedakan kebaikan dan
keburukan. Orang yang memiliki hati nurani yang tajam akan memiliki
kecerdasan akal budi sehingga mampu membuat keputusan yang benar
atau yang salah. Kecerdasan hati nurani ini pun bisa dilatih melalui

10
pendidikan sehingga hati yang tumpul menjadi tajam. Hal ini penting
karena kata hati merupakan petunjuk bagi moral dan perbuatan.

4. Kemampuan bertanggung jawab


Karakteristik manusia yang lainnya adalah memiliki rasa tanggung
jawab, baik itu tanggung jawab kepada Tuhan, masyarakat ataupun
pada dirinya sendiri. Tanggung jawab kepada diri sendiri terkait dengan
pelaksanaan kata hati. Tanggung jawab kepada masyarakat terkait
dengan norma- norma sosial, dan tanggung jawab kepada Tuhan
berkaitan erat dengan penegakan norma-norma agama. Dengan kata
lain kata hati merupakan tuntunan, moral melakukan perbuatan,dan
tanggung jawab adalah kemauan dan kesediaan menanggung segala
akibat dari perbuatan yang telah dilakukan.5

5. Moral dan aturan


Moral sering juga disebut etika, yang merupakan perbuatan yang
merupakan wujud dari kata hati. Namun, untuk mewujudkan kata hati
dengan perbuatan dibutuhkan kemauan. Artinya tidak selalu orang yang
punya kata hati yang baik atau kecerdasan akal juga memiliki moral
atau keberanian berbuat. Maka seseorang akan bisa disebut memiliki
moral yang baik atau tinggi apabila ia mampu mewujudkanya dalam
bentuk perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai moral tersebut.

6. Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak


Idealnya ada hak ada kewajiban. Hak baru dapat diperoleh setelah
memenuhi kewajiban, bukan sebaliknya. Pada kenyataanya hak
dianggap sebagai sebuah kesenangan, sementara kewajiban dianggap
sebagai beban. Padahal manusia baru bisa mempunyai rasa kebebasan
apabila ia telah melaksanakan kewajibannya dengan baik dan
mendapatkan haknya secara adil. Kesediaan melaksanakan kewajiban

5
F.J. Monk, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1984, hal. 2

11
dan menyadari hak ini haru dilate melalui proses pendidikan disiplin.
Sebagaimana dikutip oleh Umar dan La Sulo, Selo Soemarjan
menyatakan bahwa perlu ditanamkan empat macam pendidikan disiplin
untuk membentuk karakter yang memahami kewajiban dan memahami
hak-haknya yaitu: 1) disiplin rasional yang bila dilanggar akan
melahirkan rasa bersalah, 2) disiplin sosial, yang bila dilanggar akam
menyebabkan rasa malu, 3) disiplin afektif, yang bila dilanggar akan
melahirkan rasa gelisah dan 4) disiplin agama, yang bila dilanggar akan
menimbulkan rasa bersalah dan berdosa.6

C. Martabat Manusia
Menurut kamus bahasa Indonesia, martabat adalah harga diri atau
tingkatan harkat kemanusiaan dan kedudukan yang terhormat. Martabat ini
merupakan bagian dari sifat manusia, Allah Subhanahu Wa Ta'ala
menempatkan manusia sebagai khalifah dimuka bumi dan memberikan
kedudukan kemuliaan dan martabat kepada manusia sehingga memiliki
derajat tinggi.

Martabat saling berkaitan dengan tingkatan, maksudnya adalah secara


dasarnya tingkatan merupakan martabat seorang hamba terhadap
penciptanya, yang juga merupakan suatu keadaan pada saat dalam
perjalanan spiritual dalam beribadah kepada Allah SubhanahuWaTa'ala.
Tingkatan ini terdiri dari beberapa tingkat atau tahapan seseorang dalam
hasil ibadahnya yang diwujudkan dengan pelaksanaan dzikir pada
tingkatan tersebut.

Tingkatan martabat seorang hamba dihadapan Allah Subhanahu Wa


Ta'ala, Melalui beberapa proses yaitu:
1. Taubat
2. Memelihara diri dari perbuatan makruh, syubhat dan apalagi
yang haram

6
Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka, Al-Husna, 2008, hal.102

12
3. Merasakan kehilangan diri dari segalanya
4. Meningkatkan kesabaran terhadap takdirnya
5. Meningkatkan ketaqwaan dan tawakal
6. Memiliki rasa takut, dan rasa takut ini hanya kepada Allah saja
7. Melazimkan muroqobah (mengintropeksi diri).7
Dalam rangka memberdayakan rohani, Allah Subhanahu wa Ta'ala
berkenan memberi petunjuk wahyu. Ketika manusia menyatakan beriman
kepada Allah Subhhanahu Wa Ta'ala ruh ciptaan Allah Subhanahu wa
Ta'ala yang terpatri dalam dirinya akan tampil sigap menyerap informasi
Al-Quran dengan "khudhu" Wahyu Allah SubhanahuWaTa'ala menjadi
hidayah dan pedoman yang menuntun manusia dalam menghadapi
tantangan hidup. Wahyu Allah Subhanahu Wa Ta'ala memiliki energi
yang luar biasa yang dapat menopang keterbatasan rasio untuk
memecahkan persoalan yang dihadapinya. Selaku orang yang beriman, dia
memiliki keyakinan teguh bahwa selama ia berjalan dalam bingkai ajaran
Islam, pasti mendapat pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Dengan
demikian manusia menjadi makhluk yang suci yang dapat menjaga
eksistensinya dalam hidup secara bermartabat clan dapat menggapai tujuan
hidup dengan sebaik-baiknya.

D. Fungsi Dan Peran Manusia


Manusia memiliki fungsi dan peran dalam kehidupan, yaitu sebagai
'Abdun dan Khalifah di muka bumi. Kedua fungsi dan peran ini harus
dilaksanakan sebaik-baiknya. Sebagai makhluk yang diberi akal pikiran
manusia harus mampu memberdayakan diri menjalankan fungsi dan
perannya sesuai dengan amanah penciptanya. Dalam posisi sebagai
'Abdun, ia harus mengerahkan segenap pikiran dan perilakunya sesuai
dengan rambu-rambu ketaatan dan kepatuhan kepada Allah
SubhanahuWaTa'ala. Manusia tidak boleh mengabaikan fungsinya sebagai
'Abdun yang memiliki kewajiban untuk menghambakan dirinya kepada

7
H. Ismet Junus, Manusia Menurut Hidayah Al-Qur'an, Pusat Islam UMA.2013, hlm 85

13
Allah dan konsekuensinya adalah manusia tidak boleh menghamba pada
diri sendiri, berupa mempertaruhkan hawa nafsu atau menghamba kepada
selain Allah SubhanahuWaTa'ala.
Begitupula posisinya sebagai khalifah, wakil tuhan dimuka bumi,
manusia harus mampu memikul amanah kekhalifahan dan berperan untuk
menciptakan kemakmuran dan kedamaian dimuka bumi. Sebagai penguasa
bumi manusia berkewajiban mengelola alam ini guna menyiarkan
kehidupan yang bahagia. Tugas kewajiban itu adalah ujian Allah kepada
manusia siapa yang paling baik menjalankan ibadahnya.
Kedua fungsi dan peran yang dipikul manusia merupakan suatu
paduan tugas dan tanggung jawab yang melahirkan dinamika hidup yang
syarat dengan kreatifitas dan amaliyah yang selalu berpihak pada nilai-
nilai kebenaran. Oleh karena itu seorang muslim akan dipenuhi dengan
amaliyah dankerjakeras yang tiada henti, sebab bekerja bagi manusia
adalah bentuk amal shaleh yang berguna bagi dunia dan akhirat. Artinya
manusia yang berfungsi sebagai Abdun memiliki peran dalam hidup untuk
menjalankan tugas khalifah yaitu memakmurkan dunia dengan cara yang
sesuai dengan fungsinya selaku hamba yang shaleh dan taat beribadah.8

E. Tanggung Jawab Manusia


Pengertian tanggung jawab, menurut kamus bahasa Indonesia adalah
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, sehingga bertanggung
jawab adalah kewajiban, tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan
tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun tidak disengaja.
Tanggung jawab juga berarti berbuat segala perwujudan kesadaran akan
kewajibannya. Tanggung jawab manusia menurut Islam:
1. Tanggung jawab sebagai hamba Allah
Manusia terdiri dari dimensi tubuh,ruh dan jiwa-jiwa (an-nafs)
memiliki potensi al-aql (akal) dan al- qolbu (hati). Posisi jiwa berada
dalam tarik menarik antara tuntutan pemenuhan kebutuhan

8
H. Ismet Junus, Manusia Menurut Hidayah Al-Qur'an, Pusat Islam UMA. 2013, hlm 81-83

14
tubuh/biologis yang bersifat material yang bernilai rendah dan
temporer, dan tuntutan kebutuhan rohani yang bersifat transendental
yang bernilai luhur, abadi (dunia dan akhirat).
Tugas dan tanggung jawab manusia selaku abdun yang patuh, taat
kepada rambu-rambu ketentuan ilahi ialah haru siap menjalankan
amanah yang dipikulkan kepada nya yaitu beribadah kepada Allah dan
melaksanakan misinya, manusia bertanggung jawab mengendalikan
jiwa dan mengelola nya melalui potensi akal dan hati yang dimilikinya
agar dapat mengarahkan kehidupan mental spiritual untuk
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala melalui ibadah
mahdhah dan ibadah ghairumahdhah, supaya dirinya menjadi
manusia paripurna yang dapat mengantar pribadinya mencapai puncak
kemanusiaan (Insan Kamil) yaitu puncak ketenangan batin yang selalu
merasa dirinya bersama Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Selalu berusaha
mencegah dirinya agar tidak terperosok kedalam cengkraman hawa
nafsu selaku makhluk rendah yang memiliki dorongan biologis.9

2. Tanggung Jawab sebagai Khalifah Allah


Al-Quran pada Surah Al-Baqarah ayat 30-32 menyatakan bahwa
Allah hendak menjadikan khalifah di muka bumi. Khalifah yang
dimaksud adalah Adam ‘Alaihissalam yang menjadi nenek moyang
manusia. Untuk dapat menjadi wakil Tuhan dan penguasa di bumi,
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberinya kemampuan menyebut nama
benda. Dengannya manusia mempunyai bahasa dan dapat
berkomunikasi menyatakan ide dan menganalisisnya sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur'an.
َ َ‫َخل‬
َ ‫ق اِإْل ْن‬
‫۝‬٣َ‫سان‬
Artinya: “Dialah yang menciptakan manusia.”

‫۝‬٤َ‫َعلَّ َمهُ ا ْلبَيَان‬


9
Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta, Djambaran 1992. Hlm 92

15
Artinya: “Mengajarnya pandai berbicara.”(QS.Ar-Rahman:3-4).

Selanjutnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberi tugas kepada


manusia untuk memakmurkan bumi ini, dan menjadikan manusia sebagai
penguasa (Khalifah) di bumi dan meninggikan derajat sebagiannya dengan
maksud menguji manusia terhadap apa yang telah diberikannya. Manusia
sebagai makhluk hidup, pertama kali harus bertanggung jawab mengelola
kehidupan sebagai amanah dari Tuhan. Kehidupan yang dihayatinya harus
mampu diarahkan kepada hal-hal yang positif, baik untuk kehidupan
dirinya, sesama manusia lain maupun alam sekitamya. Kehadirannya di
bumi dapat memberi faedah bagi tegaknya kebenaran, keadilan masyarakat
dan kemanusiaan. Amanah kekhalifahan adalah tantangan dan ujian yang
harus dijalani, apakah ia akan berhasil memakmurkan bumi sebagai tempat
tinggal bersama atau malah akan menghancurkannya dan dia akan
mengalami kerugian. ghancurkannya dan dia akan mengalami kerugian.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah memberikan berbagai kelebihan


kepada manusia dibandingkan makhluk lain. Selain postur tubuhnya yang
lengkap dan nyaris sempurna, juga memberinya kecerdasan pikiran dan
hati. Melalui totalitas potensi kemanusiaan yang dimilikinya, diharapkan
mampu mengelola alam dengan efektif dan dapat melahirkan karya-karya
yang dapat mengangkat martabat kemanusiaan dan peradaban. Manusia
selaku khalifah diberi wewenang berupa kebebasan memilih dan
menentukan, sehingga kebebasannya melahirkan ikhtiar yang kreatif dan
dinamis. Namun dalam perilakunya, manusia tidak memiliki kebebasan
mutlak. Ia terikat dengan takdir sejarah masa lalu, lingkungannya, kondisi
jasmani dan kejiwaan yang dilalui. Dalam rentang situasi kondisi,
akumulasi pembelajaran stimulan clan respon yang dialaminya dan
hidayah Tuhan, serta kemauan yang merekah dalam dirinya, ia mengambil
keputusan yang akan menentukan masa depannya. Apakah positif atau
negatif, menuju kebaikan atau keburukan, tergantung pilihannya. Bahkan

16
untuk menentukan pilihan dalam beragama, terbuka kesempatan secara
bebas tidak ada paksaan dalam beragama.10

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

10
Abbas Mahmud al-‘Aqqad, Al-Insan fi al-Qur’an, Manusia diungkap al-Qur’an, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993, hlm. 15

17
Islam adalah jalan (shari'ah) universal, yang di dalamnya berbicara
berbagai aspek kehidupan.Tak terkecuali tentang manusia, sebagai satu-
satunya ciptaan Allah yang dalam firman-Nya diciptakan dalam sebaik-
baiknya bentuk (Ahsani Taq'win) Artinya, manusia merupakan satu-
satunya makhluk Allah yang sempurna, ia memiliki akal sebagai alat
berpikir dan memiliki hati sebagai alat merasa. Lalu di dalam dirinya, ada
dimensi fisik (jasadiyah) dan psikis (ruhiyah). Kehidupan manusia
merupakan misteri yang tak terbatas. Seperti pemahaman manusia sendiri
tentang manusia, dari dulu hingga zaman digital ini, pandangan, pencarian,
dan refleksi manusia tentang dirinya sendiri tak pernah selesai. Ada saja
celah-celah pikiran yang menerobos jalan panjang kehidupan manusia
yang belum disentuh sebelumnya. Ada beberapa dimensi tentang hakikat
manusia dalam pandangan Islam, yaitu: Manusia sebagai hamba Allah,
Manusia sebagai an-Nas, Manusia sebagai Khalifah Allah, Manusia
sebagai Bani Adam, Manusia sebagai Al-Insan, Manusia sebagai makhluk
biologis (Al-Basyar). Manusia memiliki fungsi dan peran dalam
kehidupan, yaitu sebagai 'Abdun dan Khalifah di muka bumi. Kedua
fungsi dan peran ini harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Sebagai makhluk
yang diberi akal pikiran manusia harus mampu memberdayakan diri
menjalankan fungsi dan perannya sesuai dengan amanah penciptanya.
Tanggung jawab manusia menurut Islam: Tanggung jawab sebagai hamba
Allah, Tanggung Jawab sebagai Khalifah Allah.

B. Saran
Sekian dari makalah saya, saya sebagai pemakalah menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan.
Untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif dan membangun sangat saya
harapkan demi kesempurnaan makalah berikutnya. Besar harapan saya
agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan untuk saya
sendiri.

18
DAFTAR PUSTAKA

19
Malisi, Muhamad Ali Sibran. (2012). Konsep Manusia Dalam Al-Qur'an. Jurnal
Tasamuh

Bakker, Anton. (2000). Antropologi Metafisik. Yogyakarta: Kanisius

Krisnawati, Lolita (Ed). (2002), Pendidikan Agama Islam. Ghalia. Indonesia:


Jakarta

Jurnal Ilmiah Didaktika. Vol. XIII. No. 2. Februari 2013

Monk, F.J. (1984). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gajah Mada Press,

Langgulung, Hasan. (2008). Azas-Azas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-


Husna

Junus, H. Ismet. (2013). Manusia Menurut Hidayah Al-Qur'an. Pusat Islam UMA.

Nasution, Harun. (1992). Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambaran

al-‘Aqqad, Abbas Mahmud. (1993). Al-Insan fi al-Qur’an, terj. Manusia diungkap


al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus

20

Anda mungkin juga menyukai