Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KUALITAS DAN KUANTITAS HADIS


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah: Hadist
Dosen Pengampu: MUHAMMAD ISMAILSYAH SEMBIRING M.E

Disusun Oleh

Kelompok 3

RIZKY ARI WARDANA (0502233186)


SALSABILA AUFA HASIBUAN (0502231039)
SAYYIDA NAVISA (0502232139)

Akuntansi Syariah 1-B


Program Studi Akuntansi Syariah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Medan 2023/2024
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada
Allah SWT yang telah memberi saya rahmat dan petunjuk untuk menyelesaikan
tugas makalah Kualitas dan Kuantitas Hadis ini tepat waktu. Salah satu tujuan
dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen MUHAMMAD
ISMAILSYAH SEMBIRING M.E pada mata kuliah Studi Hadits.
Selain itu, makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman para
pembaca dan penulis tentang apa itu Kualitas dan Kuantitas Hadis. Saya ingin
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Ismailsyah Sembiring M.E
dosen pengampu mata kuliah Studi Hadits, yang telah memberikan tugas ini, yang
telah menambah wawasan dan pengetahuan saya.
Selain itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang
telah menyumbangkan sebagian dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran sangat dinantikan agar makalah ini dapat diperbaiki. Salam sejahtera kepada
semua.

Kelompok 3, Oktober 2023

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan...........................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................3
A. Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas................................................3
B. Pembagian Haditst Berdasakan Kualitas.................................................10
BAB III..................................................................................................................17
PENUTUP.............................................................................................................17
A. Kesimpulan............................................................................................17
B. Saran.......................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, persetujuan dan hal yang
berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits diyakini sebagai
sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi
sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl
ayat 44. Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai
pembimbing bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar
bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadits itu
sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot suatu hadits
sebagai sumber ajaran.
Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah
salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan
atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut
memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya digunakan
sebagai sumber ajaran agama. Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits
semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah
dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif.
Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan
diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini
disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang.
Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran
perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut. Makalah ini mencoba
mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian-pembagian hadits ditinjau dari
berbagai aspek.

B. Rumusan Masalah
1. Seperti apa pembagian hadits?
2. Apa pengertian hadits
3. Apa saja macam-macam hadits?

4
4. Apa saja syarat-syarat hadits?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui lebih rinci lagi tentang pembagian hadits.
2. Untuk lebih memahami pengertian hadits
3. Untuk mengetahui macam-macamnya
4. Untuk mengetahui syarat-syaratnya.

5
BAB II

PEMBAHASAN
A.Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas
Hadits berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau orang yang
meriwayatkan suatu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits
ahad.
1. Hadits mutawatir
a. Ta’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau
berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:
“Suatu hasil hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk
dusta.”
Artinya:
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut
adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan
sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang
diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang
sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang
diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat
mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah
diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits itu langsung dari Nabi
Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang
menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits
tersebut.

6
Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan
menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak
melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya.
Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan
hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat
diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta,
maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.

b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir


Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu
benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-
peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil
tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka
tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai
jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka
untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah
untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan
dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan
jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut
berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin
yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat
surat Al-Anfal ayat 65).

7
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal
tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi
penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama
maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti
ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa
hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya.
Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi
jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu
Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan
dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak
jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada
beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu
al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H),
Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin
Jafar Al-Khattani (1345 H).

c. Faedah Hadits Mutawatir


Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk
menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa
keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad
SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan
oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi
hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena
kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak
bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan
mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits
mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu
daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang
berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).

8
Macam–macam hadits mutawatir
· Mutawatir lafzhi, yaitu yang sesuai lafal para perawinnya, baik dengan menggunakan
satu lafal atau lafal lain yang satu makna dan menunjukkan kepada makna yang
dimaksud secara tegas.
· Mutawatir ma’nawi, yaitu sesuatu yang mutawatir maksud makna hadits secara
konklusif, bukan makna dari lafalnya, makna lafal boleh berbeda antara beberapa
periwaytaan perawi, tetapi maksud kesimpulannya sama.
· Mutawatir ‘amali, yaitu perbuatan dan pengalaman syari’ah silamiyah yang
dilakukan nabi secara praktis dan terbuka kemudian disaksikan dan diikuti oleh para
sahabat.
2. Hadits ahad
a. Pengertian hadits ahad
Menurut Istilah ahli hadits, tarif hadits ahad antara lain adalah:
Artinya:
“Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita
hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima
orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits
tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir: ”
‫ما لم يجمع شروط المتواتر‬.
“Hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir”.
’Ajjaj al-Khathib, yang membagi hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada
tiga, bahwa ia mengatakan defenisi Hadis Ahad sebagai berikut:
‫هو ما رواه الواحد أ و اﻹ ثنان فاكثر مما لم تتوفو فيه شروط المشهور أو المتواتر‬.
“Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau lebih,
selama tidak memenuhi syarat-syarat Hadis Masyhur atau Hadis Mutawatir”.
Dari definisi ‘Ajjaj al-Khathib di atas dapat dipahami bahwa Hadis Ahad adalah hadis
yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada Hadis Mutawatir .
Di dalam pembahasan berikut, yang menjadi pedoman penulis adalah defenisi yang
dikemukakan oleh Jumhur Ulama Hadis, yang mengelompokkan Hadis Masyhur ke
dalam kelompok Hadis Ahad.

9
b. Macam – macam hadits ahad
1. Hadis Masyhur.
Secara bahasa, kata masyhur adalah isim maf’ul dari Syahara, yang berarti “al-
zhuhur”, yaitu nyata. Sedangkan pengertian Hadis Masyhur menurur istilah Ilmu
Hadis adalah:
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada setiap tingkatan
sanad, selama tidak sampai kepada tingkat Mutawatir”.
Hadis Masyhur dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu:
(1). Hadis Masyhur di kalangan ahli hadis, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga
orang perawi atau lebih. Contohnya hadis yang berasal dari Anas r.a., dia berkata:
‫عليه وسلم قنت بعد الركوع يدعو على رعٍل وذكواٍناّن رسول ا‬
(‫) رواه البخا رى و مسلم‬
Bahwasanya Rasulullah SAW berkunut selama satu buan setelah ruku’ mendo’akan
hukuman atas (tindakan kejahatan) penduduk Ri’lin dan Dzakwan. (HR Bukhari dan
Muslim).
(2). Hadis Masyhur di kalangan Fugaha, seperti hadis:
‫} رواه ابو داود وابن ما جه‬.‫{أبغض الحال ل الى اﷲ الطال ق‬
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak. (HR Abu Daud dan Ibn
Majjah”.
(3). Hadis Masyhur di kalangan Ulama Fiqih, contohnya:
‫} رواه ابن ما جه‬.‫{ رفع عن أمتي الخطاء والنسيان وما استكرهوا عليه‬
“ Diangkatkan (dosa/hukuman) dari umatku karena tersalah(tidak disengaja), lupa, dan
perbuatan yang dilakukan kerena terpaksa.(HR Ibn Majjah).
(4). Hadis Masyhur di kalangan Ulama Hadis, Fugaha, Ulama Ushul Figh dan
kalangan awam, seperti:
‫هجر ما حّرم اﷲ‬ ‫ والمها جر من‬,‫ المسلم من سلم المسلمون من لسا نه ويد ه‬.
}‫{ رواه البخا رى و مسلم‬
“ Muslim yang sebenarnya itu adalah orang yang selamat menyelamatkan muslim-
muslim lainnya dari akibat lidah dan tangannya, dan orang yang berjihad itu adalh
orang yang pindah(meninggalkan segala perbuatan yang diharamkan Allah”. (HR
Bukhari dan Muslim).

10
(5). Hadis Masyhur di kalangan ahli Nahwu, seperti:
‫نعم العبد صهيب‬.
“Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib”
(6). Hadis Masyhur di kalangan awam, seperti:
‫ } رواه الترمذي‬.‫{ العجلة من ا لشيطا ن‬
“Tergesa-gesa itu adalah dari (perbuatan) setan. (HR Tirmidzi).

2. Hadis ‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa adalah shifah musyabbahat dari kata ‘azza – ya ’izzu yang
berarti qalla dan nadara, yaitu “sedikit” dan “jarang”; atau berasal dari kata ’azza – ya
’azzu yang berarti qawiya dan isytadda, yaitu “kuat” dan “sangat”.
Menurut istilah Ilmu Hadis, ’Aziz berarti:
‫ أن ال يقبل رواته عن اثنين في جميع طبقا ت السند‬.
“Bahwa tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkatan sanad”.
Definisi di atas menjelaskan bahwa Hadis ’Aziz adalah Hadis yang perawinya tidak
boleh kurang dari dua orang pada setiap tingkatan sanad-nya, namun boleh lebih dari
dua orang, seperti tiga, empat atau lebih, dengan syarat bahwa salah satu tingkatan
sanad harus ada yang perawinya terdiri atas dua orang. Hal ini adalah untuk
membedakan dari Hadis Masyhur.
3. Hadis Gharib
Menurut bahasa, kata gharib adalah shifah musyabbahat yang berarti al- munfarid atau
al- ba’id ‘an aqaribihi,6 yaitu “yang menyendiri” atau jauh dari kerabatnya”.
Gharib menurut istilah Ilmu Hadis:
‫هو ما ينفرد بروايته راو واحد‬.
“Yaitu: Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap hadis yang diriwayatkan oleh
seorang perawi, baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagian tingkatan sanad
dan bahkan mungin hanya pada satu tingkatan sanad, maka hadis tersebut dinamakan
Hadis Gharib.

11
Menurut Ulama Hadis, Hadis Gharib terbagi dua, yaitu: Gharib Muthlaq dan
Gharib Nisbi.
a. Gharib Muthlaq, yaitu:
‫ ما ينفرد بروايته شخص واحد في أصل سنده‬.
“Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya pada ashal sanad.”
Contoh Hadis Gharib Muthlaq, mengenai niat:
)‫إنما اﻷعمال بالّنيا ت( أخرجه الشيخا ن‬
“Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niat”.
Hadis niat tersebut hanya diriwayatkan oleh ’Umar ibn al- Khattab sendiri di tingkat
sahabat.

b. Gharib Nisbi, adalah:


‫هو ما كا نت الغرابه في أثنا ء سنده‬.
“Hadis yang terjadi Gharib di pertengahan sanad-nya”.
Hadis Gharib Nisbi ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi
pada asal sanad (perawi pada tingkat sahabat), namun dipertengahan sanadnya
terdapat tingkat yang perawinya hanya sendiri (satu orang ).
Contoh Hadis Gharib Nisbi, yaitu:
( ‫ما رواه ما لك عن الزهري عن أنس رضى هللا عنه أّن النبي صلى هللا عليه و سّلم دخل مكة وعلى رأسه المغفر‬
) ‫أخرجه الشيخان‬
“Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari al- Zuhri dari anas r.a., bahwasanya Nabi
SAW memasuki kota Mekkah dan di atas kepalanya terdapat al-mighfar (alat penutup
kepala). (HR Bukhari dan Muslim)

c. Faedah hadits ahad


Para ulama sependapat bahwa hadits ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadits
mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu
diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau
temyata telah diketahui bahwa, hadits tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka
mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits
mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu
hadits, ialah memeriksa “Apakah hadits tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul,
boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak

12
dapat pula kita mengamalkannya. Kemudian apabila telah nyata bahwa hadits itu
(sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan
dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadits itu kita sebut muhkam.
Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya
tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui
mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh,
yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh. Jika kita tidak mengetahui
sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita
tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita
dahulu.

B. Pembagian Haditst Berdasakan Kualitas


• Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Hadits Sahih
a. Syarat hadits Sahih adalah:
a. Diriwayatkan oleh perawi yang adil Maksudnya adalah tiap-tiap perawi itu
seorang Muslim, bersetatus Mukallaf (baligh), bukan fasiq dan tidak pula jelek
prilakunya.
b. Kedhabitan perawinya sempurna maksudnya Periwayat itu harus memahami
dengan baik makna dan pengertian riwayat yang telah didengarnya
(diterimanya),Periwayat itu memiliki hafalan dengan baik terhadap riwayat yang telah
didengarnya itu dengan tanpa terdapat kesalahan atau kekeliruan pengutipan redaksi
kata-katanya, Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah didengarnya
dan dihafalnya dengan baik kapan saja dia menghendakinya.
c. Sanadnya bersambung Maksudnya adalah tiap-tiap perawi dari perawi lainnya
benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal
hingga akhir sanadnya.
d. Tidak ada cacat atau illat Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam
arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-
an hadis, sementara dhahirnya selamat dari cacat.
‘Illat hadis dapat terjadi pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara
bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad,
seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yangmunqati’ atau mursal.

13
e. Matannya tidak syaz atau janggal Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak
syadz, dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya.

b. Pengertian hadits shahih


Hadits sahih menurut bahasa berarti hadits yng bersih dari cacat, hadits yng benar
berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadits sahih, yang diberikan oleh ulama, antara
lain :
Artinya :
“Hadits sahih adalah hadits yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak
menyalahi ayat (al-Quran), hadis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan
dabit.”

c. Pembagian hadits shahih


a. Hadis Shahih li dzati
Maksudnya ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti adanya,bukan
dia itu terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan
khilaf bagi orang kepercayaan.
b. Hadis Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut
baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya
berlaku bagi orang yang banyak salah.
Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan melamui
jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.
2. Hadits Hasan
a. Syarat hadits hasan adalah:
a. Para perawinya adil.
b. Kedhabitan perawinya dibawah perawi hadits sahih.
c. Sanadnya bersambung.
d. Tidak mengandung kejanggalan pada matannya.
e. Tidak ada cacat atau illat.

14
b. Pengertian hadits hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hadits
hasan adalah :
Artinya :
“yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yng sannadnya baik
menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak
terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan
melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut hadits
hasan.”

c. Pembagian hadits hasan


a. Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan yang
telah ditentukan. pengertian hadis hasan li-dzatih sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan kata lain,
hadis tersebut pada dasarnya adalah hadis dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau
matan lain yang menguatkannya (syahidatau muttabi’), maka kedudukan hadis dha’if
tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairih.
3. Hadits Daif
a. Pengertian hadits daif
Hadits daif menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni para ulama memiliki
dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari
Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadits daif :
Artinya :
“Hadits daif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits sahih, dan juga
tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”
Jadi hadits daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih,
melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits daif itu
terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits
tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.

15
b. Pembagian hadits dhoif
Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena
gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau
matan.
a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi,
yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada
pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan
karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :
1) Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan
batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang
dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang
merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW.
(penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat
dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang
terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya
tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung
dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal :
Artinya :
Rasulullah bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu
menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.
2) Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi
batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi
tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat
Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’
bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in.
Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu
dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
contoh hadits munqathi’ :

16
Artinya :Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama
Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah
bagiku segala pintu rahmatMu”.
3) Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan
yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang
rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya “Al-
Muwatha” yang berbunyi : Imam Malik berkata : Telah sampai kepadaku, dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.
4) Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama
tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa
juga bila semua rawinya digugurkan ( tidak disebutkan ).
Contoh : Bukhari berkata : Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu
Huraira, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain.

b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi


Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta,
fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan
sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai
dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat
menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan
terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi
pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi :
1) Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para
ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal dari
Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan
pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad

17
permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik,
zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau
kebangsaannya .
Hadits maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW
terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW
sebagai sandarannya.
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki
tempat duduknya dalam neraka”.
2) Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh
orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits ataupun
mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu
Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad yang
terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad,
‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab.
Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah
tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.
3) Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan
yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat, contoh :
Artinya: “Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji,
dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan
matan-matan hadits yang lebih kuat.
4.) Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena illat . Para ulama memberi
batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi ,
dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya.

18
Contoh :Rasulullah bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka
belum berpisah”.
5) Hadits mudraj
Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan
bagian dari hadits itu. Contoh :
Rasulullah bersabda : “Saya adalah za’im ( dan za’im itu adah penanggung jawab )
bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman
surga”.
Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan ( dengan tempat tinggal di taman
surga ), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.
6) Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa
terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau
penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh : Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan
sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah
ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
7) Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti hadits yang ganjil. Batasan yang diberikan para
ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi
hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang
juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits
lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh : “Rasulullah bersabda : “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari
makan dan minum.”

19
BAB III

PENUTUP
A.Kesimpulan
Penting untuk menyadari bahwa kualitas dan kuantitas hadis memiliki peran
masing-masing dalam pemahaman Islam. Kualitas hadis, terutama yang didasarkan
pada sanad (rantai perawi) dan matan (teks), memastikan keandalan ajaran Islam.
Kuantitas hadis mencerminkan warisan literatur hadis yang kaya dan pelbagai, tetapi
perlu diingat bahwa jumlah bukanlah satu-satunya penentu kebenaran.
Kesadaran akan kritikalitas dalam menilai hadis, merinci sumber-sumber
otentik seperti koleksi hadis Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, serta memahami
konteks sekitar hadis, merupakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memahami
Islam dengan benar. Oleh karena itu, pendekatan yang seimbang antara kualitas dan
kuantitas hadis diperlukan untuk membentuk pemahaman agama yang kokoh dan
relevan dalam konteks kehidupan sehari-hari umat Islam.
B.Saran
Apabila dalam penyusunan makalah ini ada yang kurang berkenan bagi para pembaca,
kami selaku pemakalah meminta maaf, kami menyadari kami hanyalah manusia biasa
yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bermanfaat dan membangun dari rekan-rekan sekalian yang sangat kami harapkan.

20
DAFTAR PUSTAKA
http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2245635-pembagian-hadits-
berdasarkan-banyaknya-perawi/#ixzz2NHwsAixK
Endang Soetari AD, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press 1997
Mahmud Tohan dalam Taisir Mustalah Hadits
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushulul Hadits: Pokok-
Pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama 1998
Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmu li al-Malayin 1977
Al-Sunnah Qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr 1981
Nuruddin Itr ter: Mujiyo, Ulum Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya 1997 Hadits-Ilmu
Hadits. Departemen Agama RI. Jakarta, Oktober 1992.
www. eramuslim.com
Min Muqawwimât an-Nafsiyyah al-Islâmiyyah : Syekh Taqiuddin An-Nabhani,HT I Press
http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadits-dhaif.html

21

Anda mungkin juga menyukai