Disusun oleh:
1. Adrian Dwi Saputra ( 234110402001 )
2. Jusuf Atsari’Ainul Muttaqin ( 234110402027 )
3. Laeli Dina Mafazah ( 234110402029 )
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga kita dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang mana
penulisan makalah ini merupakan tugas dari mata kuliah Ulumul Hadis. Dalam
penyusunan makalah ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu, terutama kepada dosen yang telah memberi kami petunjuk, sehingga
kami bisa menyelesaikan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits yang eksistensinya sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an
tidak dapat diragukan lagi. Proses transmisi hadits berbeda dengan Al-Qur’an,
dalam proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan serius yang
membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi kepada umat Islam
dengan cara mutawatir. Selain itu, sisi kodifikasi masa pengkodifikasian hadist
jauh lebih lama setelah Nabi wafat dibandingkan dengan Al-Qur’an. Sebelum
Nabi wafat, posisi dan sistematika Al-Qur’an telah tersusun dengan baik. Kondisi
ini sangat berbeda dengan apa yang dialami hadist.
Untuk kepentingan netralisasi hadist, dalam proses dan perkembangan
selanjutnya para ulama hadist melakukan upaya serius berupa penyeleksian
terhadap hadist dengan menilai para perawi hadist dari berbagai thabaqat
(tingkatan) secara ketat.1 Setelah proses ini, hadist tidak secara otomatis selamat
dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum Islam.
Hadist terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat
kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu hadist.
Kiprah ulama demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadist. Setelah
ditinjau dari sisi bilangan penukilannya menghasilkan hadist Mutawatir dan hadits
Ahad dengan berbagai pencabangannya. Oleh karena itu, penulis tertarik ingin
membahas tentang hadist Ahad untuk melanjutkan disiplin keilmuan.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Klasifikasi Hadis Ahad ( Masyhur, Aziz dan Gharib )
2. Perbedaan dari Hadis ( Masyhur, Aziz dan Gharib )
3. Hukum Hadis ( Masyhur, Aziz dan Gharib )
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian klasifikasi Hadis Ahad ( Masyhur, Aziz
dan Gharib )
2. Untuk mengetahui perbedaan ( Masyhur, Aziz dan Gharib )
3. Untuk mengetahui Hukum Hadis ( Masyhur, Aziz dan Gharib )
1
Nuruddin ‘Itr, Manahij al-Muhadditsin al-‘Ammah fi al-Riwayah wa al-Tashnif, (Mesir:
Darussalam, 2014), hlm. 24.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Klasifikasi Hadis Ahad dari segi kuantitas (Masyhur, Aziz dan Gharib)
A. Hadis Ahad
Secara etimologi, kata Ahad merupakan bentuk jama' dari wahid yang berarti
satu. Maka hadits Ahad atau hadits Wahid adalah suatu yang disampaikan oleh
satu orang. Sedangkan secara terminologi hadits Ahad adalah hadits yang para
perawinya tidak mencapai jumlah perawi hadits Mutawatir, baik perawinya itu
satu, dua, tiga, empat, atau seterusnya. Tetapi jumlahnya tidak memberi
pengertian bahwa hadits dengan jumlah perawi tersebut masuk dalam kelompok
hadits Mutawatir. 2
2
Muhammad Mahmud Ahmad Bakkar, Bulugh al-Amaal.. hlm. 87.
3
Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawiy, Cet. III, (Kairo: Dar al-Turats, 2005), hlm. 397
2
para periwayat tidak berarti harus sama jumlah angka nominalnya, tetapi yang
penting nilai verbalnya sama, yakni sama banyak. Misalnya, pada awal Sanad 2
orang, sanad kedua 3 orang, sanad berikutnya 10 orang, 20 orang dan seterusnya
tidak dinamakan Mutawatir. Jika sanad pertama 10 orang, sanad kedua 15 orang,
sanad berikutnya 20 orang, 25 orang, dan seterusnya, jumlah yang seperti ini tetap
dinamakan sama banyak dan tergolong Mutawatir.4
3. Menurut kebiasaaan, mustahil mereka sepakat untuk berdusta.
Misalnya jika para perawi dalam sanad itu datang dari berbagai negara yang
berbeda, jenis yang berbeda, dan pendapat yang berbeda pula. Sejumlah para
periwayat yang banyak ini secara logika mustahil terjadi adanya kesepakatan
bohong secara uruf (tradisi). Tetapi jika jumlah banyak itu masih memungkinkan
adanya kesepakatan bohong tidaklah digolongkan Mutawatir.5
4. Beritanya bersifat indrawi
Maksudnya berita yang diriwayatkan itu dapat didengar dengan telinga atau
dilihat dengan mata kepala, tidak disandarkan pada logika akal seperti sifatnya
alam yang baru. Sandaran berita secara indrawi maksudnya dapat diindra dengan
indra manusia, misalnya seperti ungkapan periwayatan:
Kami mendengar Rasulullah bersabda begini = َسِم ْعَنا
Perawi hadis âhâd tidak mencapai jumlah banyak yang meyakinkan bahwa mereka
tidak mungkin bersepakat bohong sebagaimana dalam hadis mutawâtir, ia hanya
diriwayatkan satu, dua, tiga, empat, dan atau lima yang tidak mencapai mutawâtir.
Hadis ahad memberi faedah ilmu nazhari, artinya ilmu yang diperlukan penelitian
dan pemeriksaan terlebih dahulu, apakah jumlah perawi yang sedikit itu memiliki
sifat-sifat kredibelitas yang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Hadis ahad
inilah yang memerlukan penelitian secara cermat apakah para perawinya adil atau
tidak, dhâbith atau tidak, sanadnya muttashil (bersambung) atau tidak, dan
seterusnya yang nanti dapat menentukan tingkat kualitas suatu hadis apakah ia
shahih, hasan, dan dha'if.6
4
Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrib… hlm. 398.
5
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Riyadh: Al-Ma’arif, 2011), cet. 11, hlm. 17.
6
Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag. Ulumul Hadist. hlm. 138-146.
3
Menurut jumhur ulama hadis ahad wajib diamalkan jika memenuhi seprangkat
persyaratan makbul. Imam Ahmad, Dawud Azh-Zhahiri, Ibnu Hazm, dan sebagaian
muhadditsîn berpendapat Hadis âhâd memberi faedah ilmu dan wajib diamalkan.
Sedang Hanafiyah, Asy-Syafi'iyah, dan mayoritas Malikiyah berpendapat bahwa
hadis ahad memberi faedah zhann (dugaan kuat, relatif kebenarannya) dan wajib
diamalkan. Jadi, semua ulama menerima hadis ahad dan mengamalkannya, tidak ada
yang menolak di antara mereka, kecuali jika pada hadis tersebut terdapat kecacatan. 7
B. Hadis Masyhur
Masyhur merupakan Isim Maf’ul dari kata syahrah yang secara etimologi berarti
sesuatu yang jelas, diterangkan. Sedangkan menurut terminology merupakan hadits
yang diriwayatkan tiga orang pewawi atau lebih di setiap tingkatan (thabaqat) tapi
tidak sampai tingkat hadits Mutawatir.8
C. Hadis Aziz
Secara etimologi Aziz artinya yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. secara istilah
ilmu hadits adalah hadits yang perawinya berjumlah tidak kurang dari dua orang di
7
Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag. Ulumul Hadist. hlm. 138-146.
8
Muhammad Mahmud Ahmad Bakkar, Bulugh al-Amaal.. hlm. 88.
4
seluruh tingkatan (thabaqah). Mahmud Al-Thahhan menjelaskan masing-masing
tingkatan (thabaqah) tidak boleh kurang dari dua orang perawi. Jika sebagian thabaqat-
nya dijumpai tiga orang atau lebih perawi, hal itu tidak merusak (statusnya sebagai)
hadits Aziz, asalkan di dalam thabaqah lainnya –meskipun Cuma satu thabaqah-
terdapat dua orang perawi. Sebab yang dijadikan patokan adalah jumlah minimal
perawai di dalam ¬ thabaqah sanad. 9
Dalam hadits Aziz terdapat hadits Aziz yang Shahih, ada yang Hasan dan ada pula yang
Dha'if tergantung pada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan Hadits Shahih, Hasan dan Dha'if.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukahri dan Muslim dari Anas bin Malik. Dan
diriwayatkan juga oleh bukhari dari jalan Abu Hurairah.
Susunan sanad dari dua jalan (sanad) itu adalah: yang meriwayatkan dari Anas: Qatadah
dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Yang meriwayatkan dari Qatadah: Syu’bah dan Said.
yang meriwayatkan dari Abdul Aziz : Ismail bin ‘Illiyyah dan Abdul Warits. 10
D. Hadis Gharib
Kata Gharib berasal dari kata غَر َب يغُرُب غْر با فهو َغ ِرْيٌب yang secara etimologi berarti
sendirian (al-munfarid), terisolir jauh dari kerabat, perantau, asing, aneh dan sulit
dipahami. Ulama lain memberi nama lain yang searti dengan Gharib adalah Hadits
Fard. Kata Fard ( )َفردdiartikan tunggal dan satu. Sedangkan secara terminologi hadits
gharib atau hadits fard ialah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang
menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi. 11
Ulama hadits membagikan hadits Gharib ini ke dalam dua macam, yaitu:
1. Gharib Mutlak
9
Mahmud Al-Thahhan, Taisir… hlm. 26.
10
Manna’Al-Qaththan, Studi Ilmu...hlm.115
11
Manna’Al-Qaththan, Studi Ilmu...hlm.115
5
Hadits yang hanya seorang diri perawi dalam periwayatan sekalipun dalam satu
tingkatan sanad. Contoh :
)الَو الُء َلْح مٌة كَلحمِة الَّنَسِب ال ُيباُع وال ُيْو َهُب (أخرجه أحمد
“Hamba Wala’ (pewaris budak adalah yang memerdekakannya) adalah daging
bagaikan daging nasab tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan.” (H.R
Ahmad)
Hadits di atas Gharib Muthlak, karena hanya Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar
sendirian yang meriwayatkannya
2. Gharib Nisbi
Menurut Manna Al-Qaththan, Gharib Nisbi atau disebut juga Al-Fardu An-Nisbi,
yaitu apabila ke-gharib-an terjadi pada pertengahan sanadnya bukan pada asal
sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang
perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan
oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut.
Misalnya:
Hadits Imam Malik, dari Zuhri, dari Anas – radliyallahu ‘anhu-, “Bahwa Nabi SAW
masuk ke kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas kepalanya.” (HR.
Bukhari dan Muslim). Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Zuhri.
Dinamakan dengan Gharib Nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada
perawi tertentu.12
Hadis Masyhur:
12
Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi… hlm. 116
6
- Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh beberapa perawi pada setiap
tingkatannya, tetapi tidak mencapai tingkat hadis mutawatir.
- Meskipun tidak ada definisi yang pasti tentang jumlah minimal perawi untuk
mengkategorikan hadis sebagai masyhur, biasanya minimal dua atau tiga perawi.
- Hadis masyhur dianggap memiliki tingkat kekuatan yang lebih tinggi daripada
hadis ahad karena kesesuaian antara para perawi dalam meriwayatkan hadis
tersebut.
Hadis Aziz:
- Hadis aziz adalah hadis yang memiliki sedikit perawi pada setiap tingkatannya,
tetapi telah diterima oleh para ulama hadis karena kepercayaan mereka terhadap
kejujuran dan integritas perawinya.
- Meskipun jumlah perawinya sedikit, hadis aziz dianggap memiliki tingkat
kekuatan yang cukup untuk dijadikan dasar hukum dalam syariah Islam.
- Kepercayaan terhadap perawi dalam hadis aziz menjadi faktor penentu utama
kekuatan hadis tersebut.
Hadis Gharib:
- Hadis gharib adalah hadis yang memiliki satu atau lebih perawi pada salah satu
tingkatannya yang tidak memiliki rekan-rekan lain dalam sanad tersebut.
- Ini berarti bahwa perawi tersebut tidak meriwayatkan hadis tersebut bersama
dengan perawi lainnya pada setiap tingkatannya.
- Hadis gharib sering kali dianggap lemah karena kelemahan dalam sanadnya, kecuali jika
dapat dikuatkan oleh faktor-faktor lain seperti kepercayaan terhadap perawi atau
kesesuaian dengan prinsip-prinsip agama.
Mathba`at al-Misriyyah, 1924 M), h. 20; Salim `Aliy al- Bahnasawiy, op. cit., h. 100, 108.
14
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh ( T.tp: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1958), h. 109.
15
Muhammad Ajjaj al-Khatib, “usul”, op.cit., h. 302
16
Muhammad Jamal al-Din al-Qasimiy, Qawa`id al-Tahdis min Funun Mustalah al-Hadis (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiya, 1399 H/1979 M), h. 147-148.
17
ibid., h. 148; pula Abu Lubab Husayn, Mauqif al-Mu`tazilah min al-Sunnah al-Nabawiyah ( Riyad: Dar al-
Liwa`, 1399 H/1979 M), h. 92-93.
8
menetapkan bahwa hadis ahad wajib diamalkan dalam urusan amaliyah (furu`)
ibadat, kaffarat, dan hudud, tetapi tidak boleh dipakai dalam menetapkan
urusan akidah18.
Oleh karena itu, untuk yang berkenaan dengan akidah, ulama berbeda pendapat
tentang kehujjahan hadis ahad. Sebagian ulama menyatakan bahwa hadis ahad tidak
dapat dijadikan hujjah karena hadis ahad berstatus zhanniy al-wurud. Alasannya,
yang zhanniy tidak dapat dijadikan dalil untuk yang berkaitan dengan keyakinan.
Soal keyakinan harus berdasarkan dalil yang qath`iy,19 baik wurud maupun
dalalahnya.
Jadi, menurut mereka, hal-hal yang berkenaan dengan masalah akidah haruslah
berdasarkan petunjuk al-Qur`an dan atau hadis mutawatir. Sebagian pendapat lagi
yang menyatakan bahwa hadis ahad yang sahih dapat dijadikan hujjah untuk masalah
akidah. mereka menyatakan bahwa hadis ahad yang sahih berstatus qath`iy al-
wurud. Alasannya antara lain:
1. Sesuatu yang berstatus zhanniy mempunyai kemungkinan mengandung
kesalahan. Hadis yang diteliti dengan cermat dan ternyata berkualitas sahih
terhindar dari kesalahan. Karenanya, hadis yang berkualitas sahih, walaupun
berkategori ahad, memiliki status qath`iy al-wurud.20
2. Nabi Muhammad saw., telah pernah mengutus sejumlah muballigh ke
berbagai daerah. Jumlah mereka tidak mencapai kategori mutawatir. Sekiranya
penjelasan tentang agama harus berasal dari berita yang berkategori mutawatir,
niscaya masyarakat tidak membenarkan menerima dakwah dari muballig yang diutus
oleh Rasulullah saw.21
3. Umar bin al-Khattab pernah membatalkan hasil ijtihadnya ketika dia mendengar
hadis Nabi yang disampaikan al-Dhahhak bin Sufyan secara ahad22.
Walaupun ulama berbeda pendapat dalam menetapkan status wurud untuk
hadis ahad yang sahih, namun mereka sependapat bahwa hukum mengamalkan
hadis ahad adalah wajib dimalkan, kecuali untuk hal-hal yang berhubungan dengan
akidah.
18
T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pokok-Pokok”, loc.cit
19
Muhammad Abu Zahrah, loc.cit.; Mahmud Syaltut, al-Islam `Aqidah wa Syari`ah (kairo: Dar al-Qalam,
1966), h. 513.
20
Ibn al-Salah, op.cit., h. 24; Subhi al-Saleh, op.cit., h. 146; Taqi al-Din Ahmad ibn Taimiyah, jilid XVIII,
op.cit., h. 40-41.
21
Salim `Aliy al-Bahnasawiy, Al-Sunnah al-Muftara `Alayha ( T.tp: Dar al- Buhus al-`Ilmiyah, 1979 M), h.
103
22
Muhammad Adib Shalih, Lamahat fi Ushul al-Hadis ( Beirut: al-Maktab al- Islamiy,1399 H),h. 99-100
9
Dalam masalah akidah ulama berbeda pendapat. Selanjutnya, tentang al-sunnah
dilihat dari segi dalalahnya ulama berpendapat bahwa dalam sunnah yang
berkategorikan mutawatir, ada yang berstatus qath`iy al-dalalah dan ada yang
berstatus zhanni al-dalalah23.Dalam hal ini, kemungkinan status dalalah untuk
sunnah mutawatirah sama dengan kemungkinan yang berlaku untuk al-Qur`an.
Adapun tentang status hadis ahad dilihat dari dalalahnya, ulama berbeda pendapat.
Sebagian dari mereka menyatakan bahwa dalalah untuk hadis ahad ada yang
berstatus qath`iy, dan ada yang berstatus zhanniy 24.Pendapat tersebut melihat hadis
ahad dari segi tingkat validitas pengertiannya, tanpa menghubungkan dengan tingkat
validitas wurudnya.
Oleh karena itu, menurut M. Syuhudi Ismail, untuk upaya kompromi dan ihtiyath,
tampaknya masalah akidah harus dibagi dalam dua kategori, yakni pokok dan
cabang. Yang pokok harus berdasarkan yang qath`iy, baik wurud maupun
dalalahnya, sedang untuk yang cabang dapat juga hadis ahad yang sahih dijadikan
hujjah25
Hadis Masyhur
Hadis Masyhur, yang merupakan salah satu kategori hadis ahad, memiliki posisi
yang menarik dalam ilmu hadis. Jurnal Institut Agama Islam Negeri atau IAIN
Kudus menyatakan bahwa al Sarakhsi memandang hadis Masyhur sebagai hadis
yang pada awalnya bersifat ahad, kemudian mendapatkan ketenaran dan diterima
secara luas pada abad kedua dan ketiga.
Pada periode ini, banyak orang menerima dan mengamalkan hadis tersebut dalam
jumlah yang mendekati mutawatir, sehingga hadis itu menjadi diterima secara
meluas dan menggambarkan sifat seperti mutawatir. Maka, hukum beramal dengan
hadis Masyhur boleh dilakukan oleh sebagian ulama.
Definisi yang diberikan oleh Ibnu Hajar, sebagaimana dikutip dalam buku berjudul
Ilmu Hadits Dasar karya Atho'illah Umar, juga menggambarkan Hadis Masyhur
sebagai hadis yang memiliki jalur sanad (rantai perawi) lebih dari dua. Hal ini
menunjukkan keunikan hadis ini dalam struktur perawianya yang lebih banyak
daripada hadis ahad pada umumnya.
23
Mustafa al-Siba`iy, al-Sunnah wa Makanatuha fiy al-Tasyri` al-Islamiy (T.tp: Dar al-Qaumiyyah, 1966
M), h. 344
24
ibid.; Salah al-Din bin Ahmad al-Adlabiy, op.cit., h. 239-240.
25
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi menurut Pembela Pengingkar Dan Pemalsunya ( Cet. I; Jakarta:
Gema InsaniPress, 1995 M), h. 88
10
Hadis Masyhur adalah kategori hadis ahad yang kedudukan dan sifatnya seperti
mutawatir. Hadis ini pada awalnya ahad, tetapi kemudian menjadi terkenal dan
tersebar luas pada abad kedua dan ketiga Hijriah. Hadis Masyhur menjadi seperti
mutawatir ketika banyak manusia pada masa itu menerima dan mengamalkan hadis
tersebut dengan jumlah mutawatir.
Hadis Masyhur adalah hadis yang memiliki jalur sanad (rantai perawi) lebih dari
dua. Jumlah perawi hadis ini lebih banyak daripada hadis ahad pada umumnya. Hal
inilah yang menjadikannya cukup terkenal pada masa itu dan boleh diamalkan
sampai sekarang oleh sebagaian ulama.
Dalam jurnal penelitian berjudul Kehujjahan Hadis Ahad dalam Masalah Aqidah
oleh Tasmin Tangngareng, sebagian ulama memandang bahwa hadis ahad wajib
diaplikasikan dalam urusan praktis seperti ibadah, kaffarat, dan hukum pidana
(hudud), namun tidak dapat dijadikan landasan utama dalam kepercayaan agama
(aqidah). Ini memperkuat posisinya atau kehujjahannya yang mendekati mutawatir.
Dalam buku berjudul Pengantar Studi Ilmu Hadits oleh Syaikh Manna Al-Qaththan
juga membahas klasifikasi Hadis Masyhur. Dalam uraiannya, Hadis Masyhur adalah
diikuti tiga perawi atau lebih pada setiap tingkatannya, yang dikenal juga dengan
sebutan Al Mustafidh. Klasifikasi hadis ini menunjukkan adanya variasi dalam
jumlah perawi, termasuk yang memiliki satu sanad, beberapa sanad, bahkan yang
tidak memiliki sanad sama sekali.
Penelitian tentang hadis Masyhur, mulai dari generasi sahabat Nabi hingga para
imam yang menyusun kitab-kitab terkenal seperti Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi,
menunjukkan bahwa setiap tahapnya melibatkan paling tidak tiga orang yang
meneruskan hadis tersebut.
Ini berarti, dalam setiap perantaraan atau generasi, hadis ini diteruskan oleh tiga
orang atau lebih. Penemuan ini menggarisbawahi bahwa hadis ini memiliki jumlah
perantara atau perawi yang cukup banyak dalam setiap rentetan penyampaian. Hal
ini menunjukkan kekuatan hadis tersebut yang mendekati tingkat mutawatir, karena
melibatkan lebih dari tiga perawi dalam setiap generasinya. Meskipun Hadis
Masyhur seperti hadis mutawatir dan boleh diamalkan, tetapi tidak asal-asalan.
Hadis Aziz
Diantara contoh yang selalu dijadikan contoh hadis Aziz adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim melalui dua orang sahabat. Imam
11
al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, sedangkan Imam Muslim
meriwayatkan dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi SAW:
اَل ُيْؤ ِم ُن اَح ُد ُك ْم َح َّتْى َأُك ْو َن َأَح َّب ِإَلْيِه ِم ْن َوَو اِلِد ه َو َلِدِه َو الَّناِسَ ْج َم ِع ْيَن
Artinya : “Tidak ada keimanan (iman yang sempurna) seseorang hingga aku
dicintainya lebih dari bapaknya, anaknya dan seluruh umat manusia”.
[Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. Hadits 14 dan Muslim, no. Hadits 63 (dalam
riwayat Muslim, pengucapan anak laki-laki didahulukan sebelum pengucapan ayah)]
Hadits ini diriwayatkan dari Anas bin Malik RA oleh Qatadah dan Abdul Aziz.
Diriwayatkan pula dari Qatadah karya Syu'bah dan Sa'id. Sedangkan Ibnu Ulayyah
dan Abd Waith meriwayatkan dari Abdul Aziz. Setelah itu, hadits ini diriwayatkan
oleh perawi lain (Jemaah) seperti dalam sanad yang dikemukakan oleh Shaikhan (
)شيخانdalam kitab mereka.
Hukum Hadits Aziz : Hadits Aziz bisa shahih, hasan dan juga lemah berdasarkan
perawi yang terdapat pada rantai tersebut.26
Kedudukan hadis gharib sebagai dasar hujah sama seperti hadis ahad lainnya.
Yakni dari segi kualitas ia terbagi ke dalam hadis sahih, hasan dan daif. Dengan
demikian, maka ditemukan adanya hadis garib yang sahih, hasan, dan daif.
Berkata al-Hafiz Abu „Amar Ibn Salah : “Para ahli hadis selalu menyebut hadis-
hadis Al-Bukhari dan Muslim dengan (sahih muttafaq „alaih). Maksudnya adalah
yang disepakati oleh keduanya saja, bukan disepakati oleh umat secara keseluruhan.
Akan tetapi, kesepakatan kaum muslimin sejalan dengan kesepakatan Al-
Bukhari dan Muslim karena mereka sepakat menerima hadis- hadis yang
disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim. Semua hadis yang disepakati oleh Al-
Bukhari dan Muslim adalah qat‟i kesahihannya dan mengandung ilmu yaqin
nazary. Hal ini berbeda dengan orang yang menafikannya dimana mereka berhujjah
bahwa hadis-hadis tersebut tidak menghasilkan sesuatu kecuali zann27
Sementara itu, Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-„Asqalani menjelaskan sebagai berikut :
26
https://muftiwp.gov.my/ms/artikel/irsyad-al-hadith/1166-irsyad-al-hadith-siri-ke-49-hadith-aziz
27
. Al-Imam Ab u „Amr „Usman bin Abdirrahman asy-Syahrazuriy, „Ulum al-Hadis li Ibn as-
Salah, tahqiq, Nur ad-Din „Itr, Dimasy: Dar al-Fikr, 1986, h.28.
12
“Hadis yang mengandung ilmu yaqin karena qarinah ada beberapa macam. Salah
satunya apabila diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Sahih-nya yang
tidak mencapai derajat mutawatir. Hadis ini mengandung ilmu yaqin karena :
a) Kemuliaan keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) dalam hadis; b) Keduanya
adalah orang yang terdahulu yang memisahkan hadis sahih; dan c) restu para
ulama untuk menerima kedua kitabnya. Restu ini saja lebih kuat untuk menjadikan
hadisnya mengandung ilmu yaqin daripada banyaknya jalan yang
tidak mencapai mutawatir”28
Selanjutnya salah seorang ulama hadis, yakni Ahmad Syakir (1309-1377H)
menjelaskan : “…..bahwa hadis yang sahih dapat dijadikan ilmu qat‟i, baik yang
ada pada dua kitab sahih atau yang lainnya. Ilmu yaqin ini adalah ilmu nazary
burhany. Ilmu ini tidak diketahui kecuali oleh para ulama yang
menyelidiki atau meneliti dengan sangat mendalam tentang ilmu hadis, yang
mempunyai pengetahuan yang banyak tentang kondisi para perawi dan
kelemahan-kelemahannya29
Inilah yang disebut dengan ilmu darury dan ilmu nazary sebagaimana
dijelaskan para ulama. Intinya, ilmu darury dan ilmu nazary tidaklah berbeda dalam
konsekuensi hukumnya. Dua-duanya wajib diyakini, diimani serta diamalkan; baik
masalah aqidah ataupun hukum. Itulah madzhab salaf Ashabul- Hadis dari Ahlus-
Sunnah wal-Jama‟ah.
28
Ibn Hajar al-Asqalaniy, Nuzhat an-Nazar fi Taudihi Nukhbat al-Fikar,Dimasyq : Matba‟ah
as-Sabah, 1413 H, h. 74
29
Ahmad Syakir, Al-Ba‟is al-Hassis syarah Ikhtisar „Ulum al-Hadis lil Hafiz Ibn Kasir,
Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1980. 33-34.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
14