Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HADIST BERDASARKAN JUMLAH PERAWI

Diajukan untuk memenuhi tugas ujian akhir semester Mata Kuliah Ulumul Hadist

Dosen Pengampu : Ahmad Faqih Abdul Wahid

Oleh :

Andini Nur aeni

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI )

BAITUL ARQOM AL-ISLAMI

BANDUNG

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga
makalah dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Solawat serta salam mari kita curah
limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah memperjuangkan ajaran agama islam
ini hingga sampai kepada kita, dan tidak lupa kepada sahabat-sahabat-Nya, keluarga-Nya dan
tabiit tabiin.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan
Islam yang berjudul “HADIST BERDASARKAN JUMLAH PERAWI” sebagai bentuk tugas
dari salah satu komponen yang harus dipenuhi pada perkuliahan semester tiga di STAI Baitul
Arqom dengan Dosen pengampu Bapak Ahmad Faqih Abdul Wahid.

Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Pengampu yang telah memberikan saya
peluang untuk menyelesaikan Makalah ini. Saya menyadari masih terdapat kekurangan
sehingga saya mengharapkan saran serta masukan dari pembaca demi tersusunya makalah
yang lebih baik lagi.

Bandung, 02 Januari 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ..............................................................................................ii

DAFTAR ISI .............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................4

1. Latarbelakang.................................................................................................4
2. Rumusanmasalah............................................................................................4
3. Tujuan............................................................................................................4
4. Manfaat..........................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................

A. Hadits Mutawatir............................................................................................5
1. Pengertian Hadis Mutawatir.....................................................................5
2. Syarat Hadis Mutawatir............................................................................5
3. Pembagian Hadis Mutawatir....................................................................6
4. Hukum Hadis Mutawatir..........................................................................8
B. Hadits Ahad....................................................................................................9
1. Pengertian Hadis Ahad.............................................................................9
2. Pembagian Hadis Ahad............................................................................10

BAB V PENUTUP ....................................................................................................15

1. Kesimpulan....................................................................................................15
2. Saran ..............................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................16

3
BAB I
PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG
Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik itu Hadis qauli,
Hadis fi’li maupun Hadis taqriri. Sebagai sumber hukum Islam yang kedua, Hadis memiliki
kedudukan yang penting di dalam Islam. Oleh sebab itu Hadis tidak hanya menjadi sumber
hukum Islam, tetapi juga menjadi sumber ajaran bagi umat Islam yang menjadi pedoman
ataupun acuan yang diperlukan di dalam menjalankan tata kehidupan manusia pada umumnya
dan khususnya bagi umat Islam.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang


kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits
yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu
hadits.

Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam.
Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang
ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi
pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau
dari segi kualitas sanad dan matan.

Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini kami hanya
akan membahas pembagian hadits dari segi kuantitas saja.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad ?
2. Apa Pembagian Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad ?
3. Apa Syarat Hadits Mutawatir ?
C. TUJUAN
1. Mengetahui Pengertian Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad ?
2. Mengetahui Pembagian Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad ?
3. Mengetahui Syarat Hadits Mutawatir ?
D. MANFAAT
1. Memahami Pengertian Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad ?
2. Memahami Pembagian Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad ?
3. Memahami Syarat Hadits Mutawatir ?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. HADITS MUTAWATIR
1. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa
jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan
oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan
sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung,
semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :

‫مَـا َك اَن َع ْن َم ْح ُسْو ٍس َأْخ َب َر ِب ِه َج مـَـ اَع ًة َبلَـ ُغ ْو ا ِفى ْالكَـ ْثَر ِة َم ْبَلغًـ ا ُتِح ْي ُل‬
‫ْالَع اَد َة َتَو اُطُؤُهْم َع لَـى ْالكَــِذِب‬
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang
diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil
menurut tradisi mereka sepakat berbohong.

2. Syarat Hadits Mutawatir


a. Jumlah perawinya harus banyak. Para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan jumlah minimalnya dan menurut pendapat yang terpilih minimal
sepuluh perawi.
b. Perawi yang banyak ini harus terdapat dalam semua thabaqat (generasi) sanad.
c. Secara rasional dan menurut kebasaan (adat), para perawi-perawi tersebut
mustahil sepakat untuk berdusta.

Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata
yang digunakan dalam meriwayatkan sebuah hadist, seperti kata:‫( سمعنا‬kami telah
mendengar), ‫ا‬DD‫( رأين‬kami telah melihat), ‫( لمسنا‬kami telah menyentuh) dan lain
sebagainya. Adapun jika sandaran beritanya adalah akal semata, seperti: pendapat
tentang alam semesta yang bersifat huduuts (baru), maka hadist tersebut tidak
dinamakan mutawatir.

5
Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits
mutawatir lafzhi, maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits
mutwatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah.
Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi) memang ada,
hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits
mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara
menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga
dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta
terhadap hadits yang diriwayatkannya.

Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai


berikut:
 Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi.
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
 Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh
Muhammad bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)

Adapun criteria yang harus ada dalam hadits mutawatir adalah sebagai berikut:
1. Diriwayatkan oleh sejumlah perawi besar
2. Adanya kesinambungan antara perawi pada thabaqat (generasi) pertama dengan
thabaqat (generasi) berikutnya.

Maksudnya jumlah perawi generasi pertama dan berikutnya harus seimbang,


artinya jika pada generasi pertama berjumlah 20 orang, maka pada generasi
berikutnya juga harus 20 orang atau lebih. akan tetapi jika generasi pertama
berjumlah 20 orang, lalu pada generasi kedua 12 atau 10 orang, kemudian pada
generasi berikutnya 5 atau kurang, maka tidak dapat dikatakan seimbang. Tujuan
utama adanya keseimbangan itu supaya dapat tehindar dari kemungkinan teejadinya
kebohongan dalam menyampaika hadits.

3. Pembagian Hadits Mutawatir


1) Mutawatir Lafzhi

Hadis mutawatir lafdzi adalah hadis mutawatir yang lafadz dan


maknanya sama.Hadis model ini sedikit sekali jumlahnya karena sangat sulit

6
jumlah perawi yang begitu banyak dapat meriwayatkan sebuah hadis dalam
satu keseragaman redaksi.

Jadi jika ditemukan sejumlah besar perawi hadits berkumpul untuk


meriwayatkan dengan berbagai jalan, yang menurut adat kebiasaan mustahil
mereka bersepakat untuk berbuat dusta, maka nilai yang terkandung di
dalamnya termasuk “ilmu yakin” artinya meyakinkan bagi kita bahwa hadits
tersebut telah di sandarkan kepada yang menyabdakannya, yaitu Rasulullah
saw.

‫الَنار َم َن َم ْقَع َد ُه ُء َفْلَيَتَبَّو ُم َتَع ِّم ًد ا َع َلّي َك ّذ َب وسلَم ْن عليه هللا صلى‬
‫هللا رسول قال‬
Rasulullah SAW bersabda ‘‘Siapa saja yang berbuat kebohongan terhadap
diriku, maka tempat duduknya yang layak adalah Neraka’’

Dalam men-sikapi hadits ini, para ahli berbeda-beda dalam memberikan


komentar, diantaranya ialah:

 Abu Bakar al-Sairy menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 40


sahabat secaramarfu’
 Ibnu Shalkah berpendapat bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 62 sahabat,
termasuk didalamnya adalah 10 sahabat yang dijamin masuk Surga.
 Ibrahim al-Haraby dan Abu Bakar al-Bazariy berpendapat bahwa hadit ini
diriwayatkan oleh 450 sahabat.
2) Mutawatir Ma’nawiy

Hadits Mutawatir ma’nawiy ialah hadits yang lafazh dan maknanya


berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya tetapi terdapat persesuaian
makna secaraumum.Maksudnya adalah hadits yang para perwinya berbeda-
beda dalam menyusun redaksi pemberitaan, tetapi pada prinsipnya sama.
Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW
mengangkat tangannya ketika berdo’a.

7
‫ه‬DD‫قال ابو مسى م رفع رسول هللا صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابط‬
)‫فى شئ من دعائه إال فى اإلستسقاء (رواه البخارى ومسلم‬

“Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah
mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua
ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan
Muslim)”

‫ﻤﺎ ﺭﻔﻊ ﺼﻟﻰ ﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭ ﺴﻠﻡ ﻴﺩﻴﻪ ﺤﺘﻰ ﺭؤﻱ ﺒﻴﺎﺽ ﺍﺒﻁﻴﻪ ﻔﻰ‬
‫ﺸﻴﺊ ﻤﻥ ﺩﻋﺎﺌﻪ ﺍﻻ ﻔﻰ ﺍﻹﺴﺘﺴﻘﺎﺀ‬
“Rasulullah saw tidak mengangkat ke duatangan beliau dalam berdo’a selain
dalam do’a shalat istisqa’ dan beliau sawmmengangkat tangannya tampak
putih-putih ke-dua ketiaknya.”

3) mutawatir ‘amali
Mutawatir ‘amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa
ia dari agama dan telah mutawatir dikalangan umat islam bahwa Nabi
mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat
dikatakan soal yang telah disepakati. Contohnya adalah berita-berita yang
menerangkan waktu dan rakaat shalat, shalat jenazah, shalat ied, hijab
perempuan yang bukan mahram, kadar zakat, dan segala amal yang telah
menjadi kesepakatan, jima’.
4) Hukum Hadist Mutawatir
Hadist mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut, memberikan
informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak
dibenarkan seseorang mengingkari hadist mutawatir, bahkan para ulama
menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadist mutawatir.
Mengingkari hadist mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas
dan pasti bersumber dari Rasulullah.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa penerimaan hadist mutawatir


tidak membutuhkan proses seperti hadist ahad. Cukup denga bersandar pada
jumlah, yang dengan jumlah tersebut dapat diyakini kebenaran khabar yang
dibawa. Seperti buku sejarah yang menginformasikan bahwa ada sahabat nabi

8
yang bernama Umar bin Khattab, sekalipun kita belum pernah melihatnya
namun kita tetap yakin bahwa info tersebut benar.

B. HADITS AHAD
1. Pengertian Hadits Ahad

Hadis ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah
mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat
mutawatir. Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis berikut ini.

‫ما ال جيتمع فيه شروط التواتر‬


“Hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir.”
Adapun yang dimaksud hadis ahad menurut istilah banyak ulama, antara
lain sebagai berikut:

‫ما مل تبلغ نقلته ىف الكرثة مبلغ اخلرب املتواتر سواء اكن اخملرب واحدا و اثنني او ثالاث او اربعة او مخسة او‬
‫اىل غري ذكل من الاعداد الىت ال تشعر بأن اخلرب دخل هبا ىف خرب املتواتر‬

“Hadis yang tidak sampai jumlah rawinya kepada jumlahhadis mutawatir, baik
rawinya itu seorang, dua, tiga,empat, lima atau seterusnya dari bilangan-bilangan
yangtidak memberi pengertian bahwa hadis itu denganbilangan tersebut masuk ke
dalam hadis mutawatir.”

Ada juga ulama yang mendefinisikan hadis ahad secara singkat, yakni hadis
yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir, hadis selain hadis mutawatir,
atau hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumber-nya
(Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai
kepada qath’i dan yaqin.

Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa hadis ahad adalah hadis yang
diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang, teapi jumlahnya tidak
sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir.

Sedangkan menurut Hasbi ash-Shiddiqi, hadis ahad didefinisikan sebagai


“khabar yang jumlah perawinya tidak sampai sebanyak jumlah perawi hadis

9
mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang
tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada
jumlah perawi hadis mutawatir.

Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadis ahad yang telah
memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah. Imam Al-Syafi’i
dan Imam Ahmad memakai hadis ahad a syarat-syarat periwayatan yang sahih
terpenuhi. Hanya saja Abu Hanifah menetapkan syarattsiqqah dan adil bagi
perawinya, dan amaliahnya tidak menyalahi hadis yang diriwayatkan. adapun
Imam Malik menetapkan persyaratan bahwa perawi hadis ahad tidak menyalahi
amalan ahli Madinah.

2. Pembagian Hadits Ahad

Jumlah rawi dari masing-masing thabaqah, mungkin satu orang, dua orang,
tiga orang, atau malah lebih banyak, namun tidak sampai pada tingkat mutawatir.
[10]Berdasarkan jumlah dari thabaqah masing-masing rawi tersebut, hadis ahad
ini dapat dibagi dalam tiga macam, yaitu masyhur, ‘aziz, dan gharib.

1. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan
popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :

‫مَـاَر َو اُه ِم َن الَّص َح اَبِه َعَد ٌد ال َيْبُلُغ َح َّد َتـَو اِتر َبْع َد الَّص َح اَبِه َو ِم ْن َبْع ِدِهْم‬
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada
tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang
setelah mereka.”

Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits
masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits
shahih baik sanad maupun matannya. Seperti hadits ibnu Umar.

‫ِاَذ ا َج اَء ُك ُم ْالُج ْمَع ُه َفْلَيْغ ِس ْل‬


“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia
mandi.”

10
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang
memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun
matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:

‫َال َض َر َر َو َال ضــِـَر اَر‬


“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada
matannya, seperti hadits :

‫َطَلُب ْالِع ْلِم َفِر ْيَض ــٌه عـَــَلي ُك ِّل ُم ْس ِلٍم َو ُم ْس ِلَم ــــٍه‬
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”

Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan
kedalam :
1) Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa
Rasulullah SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan
penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim,
dll).
2) Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang
keilmuan lain, dan juga dikalangan orang awam, seperti :

‫ْالُم ْس ِلُم َم ْن َس ـــــِلَم ْالُم ْس ِلُم ْو َن ِم ْن ِلســَــاِنِه َو يِدِه‬


3) Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :

‫َنَهي َر ُس ْو َل ِهللا َص َّلي ِهللا َع َلْيــــِه َو َس َّلَم َع ْن َبْيِع ْالَغ َر ِر‬


“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
4) Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :

‫ِاَذ ا َح َك َم ْالَح اِكُم ُثَّم اْج َتَهَد َفـــَأَص اَب َفلَـــُه َأْج َر اِن َو ِاَذ ا‬
‫َح َك ــــَم َفاْج َتَهَد ُثَّم َأَخ ــــَطَأ َفلَـُه َأْج ٌر‬
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia
berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua
pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu
salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad)”.

11
5) Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :

‫ُكْنُت َك ْنًز ا َم ْخ ِفًّيا َفَأْح َبْبُت َأْن ُأْع ِرَف َفَخ لَـْقُت ْالَخ ْلَق َفِبي‬
‫َع َر ُفْو ِني‬
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin
dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku”

6) Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang


Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan
Quraisy”.1
2. Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu,
Aziz dan Gharib. Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya
“sedikit atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits yang
perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian
Thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal
dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua
orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits ‘azaz
adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat
dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap
tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi,
contoh hadits ‘aziz :

‫َال ُيْؤ ِم ُن َأَح ُد ُك ْم َح َّتي َأُك ْو َن َأَح َّب ِإَلْيِه ِم ْن َو اِلـِدِه َو َو لـِـِدِه َو النَّــاِس َأْج َم ِع ْيَن‬
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari
pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari
dan Muslim)

12
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid”
(menyendiri). Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan
oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang
menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah
“hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan
dengan personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi
tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat
dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-perawi lain,
yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian seorang
perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
Adapun pengertian hadis gharib menurut para ahli sebagai berikut:
1. Ulama ahli hadis dalam hubungan ini mendefinisikan hadis gharib sebagai
berikut:

. ‫هو ما ينفرد بروايته راو واحد‬


“Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang
menyendiridalam meriwayatkannya.”
2. Ibn Hajar meberikan pengertian hadis gharib dalam kitab Nukhbatul Fikr
sebagai berikut:

‫ما ينفرد بروايته شخص واحد فى اّي موضع وقع التفرد به من السند‬
“Yaitu hadis yang sendirian saja seorang perawi dalam meriwayatkan dan
kesendiriannya itu terletak dimana saja dalam sanad.”

3. Menurut H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir mendefinisikangharib


sebagai berikut

‫الحديث الغريب هو الحديث الذى انفرد بروايته شخص واحد فى اّي موضع وقع‬
‫التفرد من السند‬

“Hadis yang pada sanadnyaterdapat seorang yang menyendiridalam


meriwayatkannya di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.”

13
14
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi
dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi
menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits
ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan
ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.
B. SARAN

Demikian makalah yang dapat kami tulis karena dalam mengerjakan sebuah
tugas dan tanggung jawab adalah pekerjaan yang selalu di lakukan oleh semua
mahasiswa, namun dalam mengerjakannya tidak selamanya apa yang telah kita
kerjakan itu adalah benar, kami sadar masih banyak kekurangan dalam makalah ini,
maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca
agar makalah ini bias lebih baik kedepannya.Terimakasih

15
DAFTAR PUSTAKA

 Sulaiman, Moh. Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Gramedia


 Khon. Abdul Majid. 2010. Ulumul Hadits, : (cetakan keempat). Jakarta
 http://saifurrahman99.blogspot.com/2014/11/safa.html
 http://durrahnieducation.blogspot.com/2015/06/makalah-hadis-ahad.html

16

Anda mungkin juga menyukai