Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad

Dosen Pengampu: Drs. Fathor Rohim, M.Ag.

Disusun oleh:

Zakiyyah Rahma Sari 202110010311012

Nazihah Nurul Afifah 202110010311022

Rofiqi Ichlasul Amal 202110010311042

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas studi
Ulumul Hadits. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai
pengertian hadits mutawir dan hadits ahad, syarat-syarat hadits mutawatir, macam-macam
hadits mutawatir dan hadits ahad, juga contoh hadits mutawatir dan hadits ahad.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Malang, 9 Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................ii
BAB 1...........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................................1
1.3 Tujuan Pembahasan.........................................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................3
2.1 Hadits Mutawatir...............................................................................................................................3
2.2 Hadits Ahad.......................................................................................................................................6
BAB III..........................................................................................................................................................9
PENUTUP.....................................................................................................................................................9
3.1 Kesimpulan........................................................................................................................................9

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap hadits mengandung dua bagian, yaitu teks hadits (matan) itu sendiri dan isnad
atau mata rantai transmisi, yang menyebutkan nama-nama penutur atau periwayatnya (rawi),
yang mendukung teks hadits tersebut. Awalnya hadits muncul tanpa dukungan isnad kurang
lebih pada akhir abad ke-1 H (7 M). Sekitar masa inilah hadits muncul secara besar-besaran di
saat ilmu-ilmu tertulis yang formal mulai dirintis. Meskipun demikian, adanya bukti kuat yang
langsung atau tidak langsung yang menunjukkan bahwa sebelum menjadi sebuah disiplin yang
formal dalam abad ke-2 H (8 M), fenomena hadits telah muncul kurang lebih pada tahun 60-80
H (680-700 M).

Munculnya produk hadits yang sangat melimpah, beberapa ulama mengumpulkan,


menyaring, dan men-sistematisir dengan melakukan perjalanan menjelajah seluruh dunia Islam
pada saat itu disebut “pencarian hadits”. Akhir abad ke-3 (permulaan 10 M) telah mrnghsilkan
beberapa koleksi hadits. Masa itu juga muncul pengkategorian hadits untuk menyaringnya. Di
dalam sejarah memang terjadi ada orang atau golongan tertentu yang mencari hadits untuk
memperkuat pendapat atau kedudukannya, maka diada-adakanlah hadits. Oleh karena itu,
timbul pengertian hadits sahih, yang memang berasal dari Nabi, dan hadits mawdu yang
sebenarnya bukan berasal dari Nabi atau hasil karangan orang saja.

Beberapa orang bingung dalam melihat jumlah pembagian hadits yang banyak juga
beragam. Namun, kebingungan itu kemudian menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits
yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan segi pandangan. Misalnya, seperti pembahasan
kali ini akan membahas pembagian hadits dari tinjauan kuantitas perawi yaitu Hadits Mutawatir
dan Hadits Ahad.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian, syarat-syarat, macam-macam, dan contoh hadits mutawatir?
2. Apa pengertian, macam-macam, dan contoh hadits ahad?

1
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Untuk memahami dan mengetahui pengertian hadits mutawatir dan hadits ahad
2. Untuk mengetahui syarat-syarat dari hadits mutawatir
3. Untuk mengetahui macam-macam hadits mutawatir dan hadits ahad
4. Untuk mengetahui contoh-contoh dari hadits mutawatir dan hadits ahad

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hadits Mutawatir


a. Pengertian Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir menurut bahasa berasal dari kata ‫ متابع‬atau ‫ متتبع‬maksudnya


yang datang beriringan antara satu dengan lainnya dengan tidak ada perselangannya,
atau datang sesuatu secara berturut-turut secara bergantian tanpa adanya yang
mencela. Di sini di maksudkan yaitu mutawatir mengandung pengertian yang bersifat
terus menerus atau kontinu yang berturut-turut tanpa adanya yang mencela dan
menghalangi komunitas itu.
Sedangkan secara istilah mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi
yang jumlahnya banyak, diterima secara pancra indera dan secara adat juga kebiasaan
pada masa itu tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta.
Para ulama berbeda pendapat mengenai pengharusan adanya indikator panca
indera, ada sebagian ulama yang tidak mengharuskan periwayatan melalui panca
indera. Adapun pendefinisian hadits mutawatir dikalangan ulama dengan beragam
presepsi yakni, menurut Mahmud al-Tahan, definisi hadits mutawatir adalah hadits yang
diriwayatkan oleh banyak periwayat yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka
sepakat berdusta. Kemudia menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Hatib, hadis mutawatir adalah
hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang menurut adat kebiasaan mereka
sepakat untuk berdusta dari setiap rawi yang ada dan dari setiap tabaqat tidak kurang
dari standarisasi hadits mutawatir. Menurut Nur al-Din ‘Itr, hadits mutawatir adalah
hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang tidak mungkin mereka sepakat untuk
berdusta sampai akhir sanad dan hadits yang diriwayatkan harus sesuai dengan
pengamatan panca indera.

b. Syarat-syarat Hadits Mutawatir


Berdasarkan pengertian maka syarat dan kriteria hadits mutawatir, yaitu:
a) Adanya jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad
Jumlah banyak pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal
hingga akhir sanad, jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian
sanad saja maka tidak bisa dinamankan mutawatir, melainkan dinamakan
ahad atau wahid. Persamaan jumlah perawi tidak berarti harus sama

3
jumlah angka nominalnya, bisa saja jumlah angka nominalnya berbeda,
namun nilai verbalnya sama, yaitu sama banyak.
b) Mustahil berkata bohong
Misal para perawi dalam sanad itu datang dari berbagai negara
yang berbeda, jenis yang berbeda, juga pendapat yang berbeda pula.
Sejumlah para perawi yang banyak ini secara logika mustahil terjadi
adanya kesepakatan berbohong secara uruf (tradisi). Pada masa awal
pertumbuhan hadits, memang tidak bisa dianalogikan dengan masa
modern sekarang ini. Di antara alasan pengingkar sunnah dalam
penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah banyak tidak menjamin
dihukumi mutawatir karena dimungkinkan adanya kesepakatan
berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan dengan realita dunia
modern dan kejujuran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, apalagi
jika ditunggangi masalah politik dan lain-lain. Demikian halnya belum
dikatakan mutawatir karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak
tetapi masih memungkinkan untuk berkonsensus berbohong.
c) Sandaran berita itu pada panca indera
Maksud dari sandaran panca indera yaitu berita itu didengar
dengan telinga atau dilihat dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak
disandarkan pada logika atau akal seperti tentang sifat barunya alam,
berdasarkan kaedah logika. Setiap yang baru itu beruah (Kullu haditsin
mutaghayyirun). Alam berubag (al-alamu mutaghayyirun). Maka
demikian, Alam adalah baru (al-alamu haditsun). Baru artinya sesuatu
yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Jika berita hadits itu
logis tidak hawassi atau indrawi, maka tidak mutawatir. Sandaran berita
pada panca indera misalny ungkpana periwayatan:
‫سمعنا‬ = kami mendengar (dari Rasulullah bersabda seperti ini)
‫لمسنا او راينا‬ = kami sentuh atau kami melihat (Rasulullah melakukan
begini atau seterusnya)

c. Macam-macam Hadits Mutawatir


a) Mutawatir Lafzhi
Muatawatir lafzhi yaitu hadits Mutawatir yang lafazh dan
maknanya sesuai antara riwayat satu dengan lainnya. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits : Hadits yang sama
bunyi lafazh, hukum dan maknanya. Namun, pengertian tersebut perlu
mendapat penjelas yang lebih rinci, karena mutawatir lafzhi bukan hanya
diartikan mesti lafal dan redaksinya sama persis dari satu perawi dengan

4
perawi yang lainnya, mungkin redaksi dan lafalnya berbeda tetapi satu
makna dalm hukum dan makna yang ditunjukkan jelas dan tegas.
Contoh mutawatir lafzhi:
“Barang siapa yang berbuat dusta terhadapku dengan sengaja maka
berarti ia menyediakan
tempatnya dineraka.” (Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 orang
sahabat dengan lafadz yang sama).
b) Mutawatir Ma’nawi
Mutawatir Ma’nawi ialah hadits yang lafazh dan maknanya
berlainan antara satu riwayat dengan riwayat yang lain, tetapi terdapat
persesuaian makna secara umum. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam
kaidah ilmu hadits: hadits yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi
dapat diambil makna yang umum.
Contoh mutawatir ma’nawi: hadits yang membahas tentang
mengangkat tangan ketika berdo’a, telah diriwayatkan lebih dari seratus
hadits mengenai mengangkat tangan ketika berdo’a namun dengan
lafadz yang berbeda antara yang satu dengan yang lainya. Masing-masing
lafazd hadits tersebut tidak sampai kederajat mutawatir tetapi makna
dari keseluruhan lafadz-lafadz tersebut mengacu atau menuju dalam satu
makna sehingga secara ma’nawi, hadits tersebut adalah mutawatir.

c) Mutawatir ‘Amali
Sebagian ulama mendefinisikan tentang hadits mutawatir amali
yaitu sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa ia dari agama dan
telah muwatir di kalangan umat Islam, bahwa Nabi Muhammad SAW
mengajarkannya, menyuruhnya atau selain itu. Dari tersebut itu dapat
dikatakan soal yang telah disepakati. Misal, berita-berita yang
menjelaskan tentang shalat baik waktu juga rakaatnya, shalat jenazah,
zakat, haji, dan lain-lain, yang telah menjadi ijma para ulama. Semua itu
terbuka dan disaksikan oleh banyak sahabat dan kemudian diriwayatkan
secara terbuka oleh sejumlah besar kaum muslimin dari masa ke masa.

d. Contoh Hadits Mutawatir


‫ ع َْن‬،‫ح‬ ٍ ِ‫صال‬ َ ‫ ع َْن َأبِي‬،‫ني‬ ٍ ‫ص‬ِ ‫ ع َْن َأبِي َح‬،َ‫ َح َّدثَنَا َأبُو َع َوانَة‬، ُّ‫َو َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ب ُْن ُعبَ ْي ٍد ُغبَ ِري‬
َّ َ‫ب َعل‬
‫ي ُمتَ َع ِّمدًا‬ َ ‫ َم ْن َك َذ‬:‫صل ى اهل ُل َعلَ ْي ِه َو َسل َم‬َ ‫اهلل‬ ِ ‫ قَا َل َرسُو ُل‬:‫ قَا َل‬،َ‫َأبِي هُ َري َْرة‬
َ‫فَ ْليَتَبَ َّوْأ َم ْق َع َدهُ ِمن‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid al-Ghubari telah
menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu
5
Hurairah dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa
berdusta atas namaku maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka.”

2.2 Hadits Ahad


a. Pengertian Hadits Ahad
Al-ahad merupakan kata jamak dari ahad dengan makna wahid yang berarti satu,
tunggal, esa. Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang, definisi hadits
ahad oleh para ulama yaitu, khabar yang jumlah perawinya tidak sampai jumlah perawi hadits
mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak
memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi
hadits mutawatir.
Sedangkan menurut istilah hadits ahad merupakan hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits mutawatir. Hadis Ahad adalah selain dari hadis mutawatir. Hadits
ahad inilah yang memerlukan penelitian secara cermat apakah perawinya adil atau
tidak, dhabith atau tidak, sanadnya muttashil (bersambung) atau tidak, dan seterusnya
yang nanti dapat menentukan tingkat kualitas suatu hadits apakah shahih, hasan, dan
dha’if.

b. Macam-macam Hadits Ahad


a) Hadits Masyhur
Dalam bahasa kata masyhur berasal dari kata syaharah yang
artinya ketenaran sesuatu, penampakan sesuatu, kejelasan sesuatu, dan
penyebaran sesuatu.
Menurut istilah hadits mansyur terbagi menjadi dua macam:
1) Masyhur Isthilahi
Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih
pada setiap tingkatan (thabaqah), pada beberapa
tingkatan sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir.
Contoh hadits masyhur:
….. َّ‫ض هَّللا َ الَ ِإن‬
ُ ‫مِنَ َي ْن َت ِز ُع ُه ا ْنت َِزا ًعا ا ْل ِع ْل َم َي ْق ِب‬ ‫ا ْل ِع َبا ِد‬
Hadits itu merupakan salah satu contoh hadits
masyhur. Karena diriwayatkan oleh banyak shahabat. Lalu
masing-masing shahabat itu menyampaikan hadits itu
kepada banyak tabi’in, dan seterusnya.

2) Masyhur Ghayr Ishthilahi

6
Hadits Masyhur ghayr ishtihilahi adalah hadits ang
populer atau terkenal dikalangan golongan atau kelompok
orang tertentu, sekalipun jumlah periwayat dalam sanad
tidak mencapai 3 orang atau lebih. Hadits ini hadits yang
populer pada ungkapan lisan (para ulama) tanpa ada
persyaratan yang definitif. Contoh hadits masyhur di
kalangan ulama hadits:
“Hadits Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW berdoa
qunut satu bulan setelah ruku’ mendoakan pada qabilah
Riil dan Dzakwan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hukum hadits masyhur tidak seluruhnya dinyatakan shahih


atau tidak shahih, akan tetapi tergantung kepada hasil penelitian
atau pemeriksaan para ulama. Namun keshahihan hadits masyhur
isthilahi lebih kuat dari pada hadits aziz dan hadits gharib.

b) Hadits Aziz
Secara bahasa hadits aziz artinya sedikit atau langka (qalla wa
nadara), kuat (‘azza – ya’uzzu). Disebut sedikit atau jarang karena jumlah
hadits aziz ini sangat sedikit dibandingkan hadits ahad maupun
mutawatir. Disebut kuat karena hadits aziz ini secara umum lebih kuat
dari pada hadits gharib.
Secara istilah hadits aziz ialah hadits yang diriwayatkan oleh dua
orang perawi dalam satu tingkatan (thabaqah) sanad atau walaupun
dalam satu tingkatan sanad saja.
Hukum hadits aziz adakalanya shahih, hasan, dan dha’if
tergantung persyaratan yang terpenuhi.
c) Hadis Gharib
Kata gharib dalam bahasa juga sifat musyabbahah (serupa dengan
isim fa’il atau isim maf’ul) yang berarti sendirian (al-munfarid), terisolir
jauh dari kerabat, perantau, asing, dan sulit dipahami.
Hadits Gharib ialah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang
yang menyendiri dalam meriwayatkan, di mana saja penyendirian dalam
sanad itu terjadi. Maksud dari penyendirian perawi adalah mengenai
personnya, yaitu tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain dia
sendiri. Atau mengenai sifat dan keadaan perawi, yakni perawi itu
berbeda dengan sifat dan keadaan perawi-perawi lain yang juga
meriwayatkan hadis itu. Hadits gharib ada dua macam yaitu:

7
 Gharib Mutlak, yaitu hadits yang gharabah-nya (perawi satu
orang) terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung
sanad yaitu seorang sahabat.
 Gharib Nisbi (Relatif), yaitu hadits yang terjdi gharabah
(perawinya satu orang) di tengah sanad.
c. Contoh Hadits Ahad

‫ت اَأْل ْع َما ُل ِإنَّ َما‬ ِ ‫ِإلَى َأوْ ي‬


ْ ‫ُصيبُهَا ُد ْنيَا ِإلَى ِهجْ َرتُهُ َكان‬
ِ ‫َت فَ َم ْن ىنَ َو َما ا ْم ِرٍئ لِ ُكلِّ وَِإنَّ َما النِّيَّا‬

‫لَ ْي ِه ِإ هَا َج َر َما ِإلَى فَ ِهجْ َرتُهُ يَ ْن ِك ُحهَا ا ْم َرَأ ٍة‬

“Sesungguhnya amal itu dengan niat, dan sesungguhnya bagi masing-


masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada
dunia yangakan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi
maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan“. (Muttafaqun ‘alaih).

8
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas demikian beberapa hadits dilihat dari kuantitas jumlah perawi
yang dapat menunjukkan kualitas bagi hadits mutawatir tanpa memeriksa sifat-sifat para
perawi secara individu, atau menunjukkan kualitas hadits ahad jika disertai pemeriksaan
memenuhi persyaratan standar hadits yang makbul. Hadits ahad masih memerlukan berbagai
persyaratan yaitu segi sifat-sifat kepercayaan para perawi atau sifat-sifat yang dapat
mempertanggungjawabkan kebenaran berita secara individu yaitu sifat keadilan dank e-
dhabith-an, ketersambungan sanad dan ketidak ganjilannya. Kebenaran berita hadits mutawatir
secara absolut dan pasti (qath’i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh hadits ahad
bersifat relatif (zhanni) yang wajib diamalkan.

Anda mungkin juga menyukai