Anda di halaman 1dari 16

“PEMBAGIAN HADITS”

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah : ‘Ulumul Hadits


Dosen Pengampuh : Muhammad Nuh Siregar
Disusun oleh :
Ahmad Yudha Ritonga
Dan
Hamka Ghozali

STUDY PROGRAM AQIDAH FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDUIN DAN STUDI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
TP. 2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, dengan rahmat dan karunia Allah SWT. kami dapat


menyelesaikan penyusunan makalah “Pembagian Hadits” sesuai waktu yang telah
ditentukan. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
saw, yang telah membimbing umatnya ke jalan yang benar dan diridhoi-Nya.

Sehubung dengan penyusunan makalah ini, diperuntukkan untuk memenuhi


tugas mata kuliah ‘Ulumul Hadits yang dibimbing oleh bapak Muhammad Nuh
Siregar di UIN Sumatera Utara khususnya Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam.

Dalam pembelajaran tidak menutup kemungkinan makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh
kami. Terima Kasih.

Medan, 21 April 2022

Penulis

i
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR............................................................................ i
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................3
A. Latar Belakang................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah........................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................3
A. Pembagian Hadits Berdasarkan Jumlah Perawinya........................4
B. Pembagian Hadits berdasarkan kualitas sanad dan matan-nya.......10
BAB III PENUTUP................................................................................ 14
KESIMPULAN...................................................................................... 14
REFERENSI.......................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan
penelitian tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak
sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting
dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak
dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat
pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai
segi pandangan, buan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari
segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan
matan.
Maka dari itu, pembahasan akan dipaparkan melaui makalah ini
berdasarkan tinjauan-tinjauannya.

B. Rumusan Masalah
1. Pembagian Hadits berdasarkan jumlah perawinya
2. Pembagian Hadits berdasarkan kualitas sanad dan matan-nya

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembagian Hadits Berdasarkan Jumlah Perawinya
Ditinjau dari segi jumlah perawinya, hadits terbagi kepada dua, yaitu:
1. Hadits Mutawatir, dan
2. Hadits Ahad.
Di antara Ulama Hadits, ada yang membaginya menjadi tiga, yaitu:
1. Hadits Mutawatir,

3
2. Hadits Masyhur, dan
3. Hadits Ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir secara kebahasaan adalah isim fa’il dari kata At-tawatur,
yang berarti at-tatabu’,1 yaitu berturut-turut.
Adapun menurut istilah Ulama Hadits, mutawatir berarti :
“Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil menurut adat
bahwa mereka bersepakat untuk berbuat dosa.”
Kemudian Imam Nawawi mendefinisikan mutawatir, yaitu:
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menghasilkan ilmu
dengan kebenaran mereka secara pasti dari orang yang sama keadaannya
dengan mereka mulai dari awal (sanad)-nya sampai ke akhirnya.”
M. ‘Ajjaj Al-Khathib juga mengemukakan definisi mutawatir, yaitu:
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang mustahil secara
adat mereka akan sepakat untuk melakukan dusta, (yang diterimanya) dari
sejumlah perawi yang sama dengan mereka, dari awal sanad sampai
kepada akhir sanad, dengan syarat tidak rusak (kurang) jumlah perawi
tersebut pada seluruh tingkatan sanad.”
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Hadits
Mutawatir adalah Hadits yang memiliki sanad yang pada setiap
tingkatannya terdiri atas perawi yang banyak dengan jumlah yang menurut
hukum adat atau akal tidak mungkin bersepakat untuk melakukan
kebohongan terhadap hadits yang mereka riwayatkan tersebut.
b. Kriteria Hadits Mutawatir
1) Perawi Hadist tersebut terdiri atas jumlah yang banyak. Sekurang-
kurang jumlahnya, menurut sebagian Ulama Hadits adalah sepuluh
orang. Ada juga yang berpendapat minimal empat orang dalam setiap
tabaqat, yang dikemukakan oleh Abu Ath-Thoyyib, karena di
analogikan kepada saksi dalam qadzaf. Kemudian ada juga yang

1
Ath-Thahhan, Taisir Mushthalah Al-Hadits, hal. 18.

4
mengharuskan 5 orang, dianalogikan kepada jumlah nabi yang
memperoleh gelar Ulul Azmi. Penentuan jumlah tersebut sebenarnya
adalah relatif, karena yang menjadi tujuan utamanya adalah
terpenuhinya syarat, yaitu mustahilnya mereka untuk berdusta atas
berita yang mereka sampaikan.
2) Jumlah tersebut harus terdapat pada setiap tingkatan sanad
3) Mustahil menurut adat dan akal bahwa mereka dapat sepakat untuk
berbuat dusta.
4) Sandaran dan riwayat mereka adalah pancaindra, yaitu sesuatu yang
dapat dijangkau oleh pancaindra (mahsusat), umpamanya melalui
pendengaran atau penglihatan. 2
c. Macam-macam Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir terbagi kepada dua, yaitu:Mutawatir Lafzhi dan
Mutawatir Ma’nawi.
1) Mutawatir Lafzhi
Yang dimaksud dengan hadits Mutawatir Lafzhi adalah:
Yaitu, Hadits yang mutawatir lafaz dan maknanya;Atau
Yaitu Hadits yang Mutawatir riwayatnya pada suatu lafaz.3
‘Ajjaj Al-Khathib memilih definisi berikut:
“Hadits yang diriwayatkan dengan lafazhnya oleh sejumlah perawi dari
sejumlah perawi dari sejumlah perawi yang lain yang tidak disangsikan
bahwa mereka akan bersepakat untuk berbuat dusta, dari awal sampai
ke akhir sanad-nya.”4
Contoh hadits Mutawatir Lafzhi adalah :
“Barangsiapa yang berbuat dusta terhadapku dengan sengaja, maka
berarti ia menyediakan tempatnya di neraka. (Hadits ini diriwayatkan
oleh lebih dari 70 orang sahabat).
2) Mutawatir Ma’nawi
Yang dimaksud dengan Hadits Mutawatir Ma’nawi adalah :
2
Mahmud Ath-Thohhan, Tafsir Mushthalah Hadits , Hal.19.
3
Nur Ad-din ‘Atar dalam ta’liq-nya pada Ibn Al-Shalah, ‘Ulum Al-Hadit, hal. 242.
4
‘Ajjaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits, hal. 301.

5
Yaitu, Hadits yang Mutawatir maknanya saja, tidak pada lafaznya.
Contoh Hadits Mutawatir Ma’nawi adalah:
1. Hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Telah
diriwayatkan lebih dari seratus Hadits mengenai mengangkat
tangan ketika berdo’a, namun dengan lafazh yang berbeda antara
yang satu dengan lainnya. Masing-masing lafazh tidak sampai ke
derajat Mutawatir, tetapi makna dari keseluruhan lafazh-lafazh
tersebut mengacu kepada satu makna, sehingga secara Ma’nawi
Hadits tersebut adalah Mutawatir.
2. Contoh lain adalah Hadits tentang mengusap sepatu (al-mash ‘ala
al-khuffain), yang diriwayatkan secara bervariasi lafazhnya oleh
sekitar 70 orang.5
Berikut beberapa kitab yang menghimpun Hadits-Hadits Mutawatir,
di antaranya:
1) Al-Azhar Al-Mutanatsiroh fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, oleh As-
Suyuthi;
2) Qathfu Al-Azhar oleh As-Suyuthi. Kitab ini adalah ringkasan dari kitab
pertama yang di atas; dan
3) Nazhm Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir, oleh Muhammad
bin Ja’far Al-Kattani.
d. Hukum dan kedudukan Hadits Mutawatir
Status dan hokum Hadits Mutawatir adalah qat’I al-wurud, yaitu
pasti keberadaannya dan menghasilkan ilmu yang dhauri (pasti). Oleh
karenanya, adalah wajib bagi umat islam untuk menerima dan
mengamalkannya. Dan karenanya pula, orang yang menolak Hadits
Mutawatir dihukumkan kafir. Seluruh Hadits Mutawatir adalah Maqbul,
dan karena itu pembahasan mengenai keadaan para perawinya tidak
diperlukan lagi.6

5
Ibn Ash-Shalah, ‘Ulum Al-Hadits, hal. 242; As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi, hal. 354; Ath-Thahhan,
Taisir, hal. 20-21.
6
Ath-Thahhan, Taisir, Hal. 19.

6
2. Hadits Ahad
a. Pengertian Hadits Ahad
Kata ahad berarti “satu”. Khabar Al-Wahid adalah kabar yang
diriwayatkan oleh satu orang.7
Menurut istilah ilmu hadits, Hadits Ahad berarti:
“Hadits yang tidak memenuhi syarat Mutawatir.”
‘Ajjaj Al-Khathib, yang membagi Hadits berdasarkan jumlah
perawinya kepada tiga, yaitu Mutawatir, Mahsyur, dan Ahad,
mengemukakan definisi Hadits Ahad sebagai berikut:
“Hadits Ahad adalah Hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua,
atau lebih, selama tidak memenuhi syarat-syarat hadits Mutawatir dan
hadits Masyhur.”
Dari definisi ‘ajjaj Al-Khathib di atas dapat dipahami bahwa Hadits
Ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang
terdapat terdapat pada hadits Mutawatir ataupun Hadits Masyhur. Di dalam
pembahasan berikut, yang dipedomani adalah definisi yang dikemukakan
oleh jumhur Ulama Hadits, yang mengelompokkan Hadits Masyhur ke
dalam kelompok Hadits Ahad.
b. Macam-macam Hadits Ahad
Hadits Ahad terbagi menjadi tiga macam, yaitu: Masyhur, ‘Aziz, dan
Gharib.
1) Hadits Masyhur
Secara bahasa, kata Masyhur adalah isim maf’ul dari syahara,
yang berarti “Azh-Zhuhur”, yaitu nyata. Sedangkan pengertian Hadits
Masyhur menurut istilah Ilmu Hadits adalah:
“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada
setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat
Mutawatir.”8

7
Ibid, hal. 21.
8
Ath-Thahhan, Taisir, hal. 22.

7
Definisi di atas menjelaskan, nahw Hadits Masyhur adalah
Hadits yang memiliki perawi sekurang-kurangnya tiga orang, dan
jumlah tersebut harus terdapat pada setiap tingkatan sanad.
2) Hadits ‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa adalah shifat musyabbahat dari kata ‘azza-
ya’izzu yang berarti qalla dan nadara, yaitu “sedikit” dan “jarang”; atau
berasal dari kata ‘azza-ya’azzu yang berarti qawiya dan isytadda, yaitu
“kuat” dan “sangat”.9
Menurut istilah Ilmu Hadits, ‘Aziz berarti :
“Bahwa tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkatan
sanad.10
Definisi di atas menjelaskan bahwa Hadits ‘Aziz adalah Hadits
yang perawinya tidak boleh kurang dari dua orang pada setiap
tingkatan sanad-Nya, namun boleh lebih dari dua orang, seperti tiga,
empat, atau lebih dengan syarat bahwa pada salah satu tingkatan sanad
harus ada yang perawinya terdiri atas dua orang. Hal ini adalah untuk
membedakannya dari Hadits Mahsyur.
Contoh Hadits ‘Aziz adalah :
“Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Hadits Abu Hurairah,
bahwa Rasul SAW bersabda, “Tidak beriman salah seorang kamu
sehingga aku lebih dicintainya dari orang tuanya dan anaknya.”
Hadits tersebut diriwayatkan dari Abu Hurairah dan juga dari
Anas, dan dari Anas oleh Qatadah dan ‘Abd Al-‘Aziz ibn Shuhaib, dan
diriwayatkan oleh syu’bah dan sa’id, dan diriwayatkan dari ‘Abd
Al-‘Aziz oleh Isma’il ibn ‘Aliyah dan ‘Abd Al-Waris. Dan
diriwayatkan dari masing-masingnya oleh sekelompok (banyak)
perawi.11
Dari contoh di atas terlihat bahwa jumlah perawi yang terdiri
atas dua orang adalah mulai dari tingkatan Sahabat dan Tabi’in, dan
9
Ibid, hal. 25.
10
Ibid
11
Ath-Thahhan, Taisir, hal. 25-26.

8
pada tingkatan selanjutnya jumlah perawinya mulai melebihi dari dua
dan seterusnya, yang keadaan demikian merupakan ciri dari Hadits
‘Aziz.
3) Hadits Gharib
Menurut bahasa, kata gharib adalah shifat musyabbahat yang
berarti al-munfarid atau al-ba’id ‘an aqaribihi, yaitu “yang menyendiri”
atau “jauh dari kerabatnya”.
Gharib menurut istilah Ilmu Hadits berarti:
“Yaitu Hadits yang menyendiri seorang perawi dalam periwatannya.”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap Hadis yang
diriwayatkan oleh seorang perawi, baik pada setiap tingkatan sanad
atau sebagian tingkatan sanad dan bahkan mungkin hanya pada satu
tingkatan sanad, maka Hadits tersebut dinamakan Hadits Gharib.
Hadits Gharib terbagi dua, yaitu Gharib Muthlaq dan Gharib
Nisbi.
a) Gharib Muthlaq, yaitu :
Hadits yag menyendiri seorang perawi dalam
periwayatannya pada asal sanad.
Contoh Hadits Gharib Muthlaq adalah Hadits mengenai niat:
“Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niat.”(HR.
Bukhari dan Muslim).
Hadits niat tersebut hanya diriwayatkan oleh ‘Umar ibn Al-
Khattab sendiri di tingkat Sahabat.
b) Gharib Nisbi, adalah:
Hadits yang terjadi Ghaib di pertengahan sanad-nya.
Hadits Gharib Nisbi ini adalah hadits yang diriwayatkan
oleh lebih dari seorang perawi pada asal sanad (perawi pada tingkat
sahabat), namun dipertengahan sanad-nya terdapat tingkatan yang
perawinya hanya sendiri (satu orang).
Contoh Hadits Gharib Nisbi, adalah:

9
Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri dari Anas
R.A., bahwasanya Nabi Muhammad SAW memasuki kota mekah
dan di atas kepalanya terdpat Al-Mighfar (alat penutup/penutup
kepala). (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada Hadits di atas, hanya Malik sendiri yang menerima
Hadits tersebut dari Az-Zuhri.
Adapun kitab-kitab yang banyak menghimpun hadits-hadits
Gharib, di antaranya:
1) Ghara’ib Malik, karya Al-Dar Quthni;
2) Al-Afrad, karya Al-Dar Quthni; dan
3) Al-suan allati tafarrada bi kulli Sunnah minha Ahl Baidah,
oleh Abu Dawud Al-Sijistani.

B. Pembagian Hadits berdasarkan kualitas sanad dan matan-nya


Ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan-nya, atau berdasarkan kepada
kuat dan lemahnya, Hadits terdiri atas Hadits Shahih, Hadits Hasan, dan Hadits
Dho’if.
Berikut ini adalah penjelasan tentang masing-masing dari pembagian
Hadits berdasarkan kualitas sanad dan matan-nya.
1. Hadits Shahih
a. Pengertian dan Kriterianya
Shahih secara estimologi adalah lawan dari saqim (sakit).
Sedangkan dalam istilah Ilmu Hadits, Hadits Shahih berarti:
Hadits yang berhubungan (bersambung) sanad-nya yang diriwayatkan
oleh perawi yang adil, dhabith, yang diterimanya dari perawi yang sama
(kualitasnya) dengannya sampai kepada akhir sanad, tidak syadz dan tidak
pula ber-‘illat.
Kemudian Ibn Ash-Shalah mendefinisikan Hadits Shahih sebagai
berikut :
Yaitu Hadits Musnad yang bersambung sanad-nya dengan periwayatan
perawi yang adil dan dhabith, (yang diterimanya) dari perawi (yang lain)

10
yang adil dan dhabith hingga ke akhir (sanad)-nya, serta Hadits tersebut
tidak syadz dan tidak ber-‘illat.12
Adapun krteria yang telah dirumuskan oleh para Ulama tentang
Hadits Shahih adalah sebagai berikut:
1) Sanad hadits tersebut harus bersambung. Maksudnya adalah bahwa
setiap perawi yang berada di atasnya, dari awal sanad sampai akhir
sanad, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW sebagai
sumber Hadits tersebut.
2) Perawinya adalah adil. Setiap perawi Hadits tersebut harus bersifat
adil, yaitu memenuhi kriteria: Muslim, baligh, berakal, taat beragama,
tidak melakukan perbuatan fasik, dan tidak rusak muru’ahnya.
3) Perawinya adalah Dhabith, artinya perawi Hadits tersebut memiliki
ketelitian dalam menerima Hadits, memahami apa yang ia dengar, serta
mampu mengingat dan menghafalnya sejak ia menerima Hadits
tersebut sampai pada masa ketika ia meriwayatkannya. Atau, ia mampu
memelihara Hadits yang ada di dalam catatannya dari kekeliruan, atau
dari terjadinya pertukaran, pengurangan, dan sebagainya, yang dapat
mengubah Hadits tersebut. Ke-dhabit-an seorang perawi, dengan
demikian, data dibagi dua, yaitu dhabith shadran (kekuatan ingatan
atau hafalannya) dan dhabith kitaban (kerapian dan ketelitian tuliasan
atau catatannya).
4) Bahwa Hadits yang diriwayatkan tersebut tidak syadz. Artinya, Hadits
tersebut tidak menyalahi riwayat perawi yang lebih tsiqat dari padanya.
5) Bahwa Hadits yang diriwayatkan tersebut selamat dari ‘illat (cacat)
yang merusak. Yang dimaksud dengan ‘illat dalam suatu Hadits,
adalah sesuatu yang sifatnya samar-samar atau tersembunyi yang dapat
melemahkan hadits tersebut.
b. Macam-macam Hadits Shahih
Para Ulama membagi Hadits kepada dua, yaitu Shahih Lidzatihi dan
Shahih Lighairihi.

12
Ibn Ash-Shalah, ‘Ulum Al-Hadits, Hal. 10.

11
2. Hadits Hasan
a. Pengertian dan Kriterianya
Hasan secara bahasa dari kata al-husnu bermakna al-jamal yang
berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan definisi hadits
hasan secara beragam. Adapun menurut At-Tirmidzi, Hadits Hasan adalah:
Setiap Hadits yang diriwayatkan dan tidak terdapat pada sanad-nya
perawi yang pendusta, dan hadits tersebut tidak syadz, serta diriwayatkan
pula melalui jalan yang lain.13
Definisi yang dianggap baik menurut At-Thahhan adalah definisi
yang dikemukakan oleh Ibn Hjar, yaitu:
Hadits Hasan yaitu yang bersambung sanad-nya dengan periwayatan
perawi yang adil, ringan (kurang) ke-dhabith-annya, dari perawi yang
sama (kualitas) dengannya sampai ke akhir sanad, tidak syadz dan tidak
ber’illat.
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan di atas, para Ulama
Hadits merumuskan baha kriteria Hadits Hasan adalah sama dengan Hadits
Shahih kecuali bahwa pada Hadits Hasan terdapat perawi yang tingkat ke-
dhabith-annya kurang, atau lebih rendah dari yang dimilik oleh perawi
Hadits Shahih. Oleh karenanya, Ibn Hajar menegaskan bahwa Hadits
Hasan adalah Hadits Shahih yang perawinya memiliki sifat dhabith lebih
rendah dari yang dimiliki oleh perawi Hadits Shahih.
Dengan demikian, kriteria Hadits Hasan ada lima, yaitu:
1) Sanad Hadits tersebut harus bersambung.
2) Perawinya adalah adil
3) Perawinya mempunyai sifat dhabith, namun kualitasnya lebih rendah
(kurang) dari yang dimiliki oleh perawi Hadits Hasan.
4) Hadits yang diriwayatkan tersebut tidak syadz. Artinya, Hadits tersebut
tidak menyalahi riwayat perawi yang lebih tsiqat dari padanya.

13
At-Tirmidzi, Jami’ At-Tirmidzi ma’a Syarhihi Tuhfat Al-Ahwadzi (Kairo: Muhammad ‘Abd Al-
Muhsin Al-Kutubi, t.t), juz 10, hal. 519.

12
5) Bahwa Hadits yang diriwayatkan tersebut selamat dari ‘illat yang
merusak.
b. Macam-macam Hadits Hasan
Hadits Hasan terbagi kepada dua macam, yaitu Hadits Hasan
Lidzatihi dan Hadits Hasan Lighairihi.
i. Hasan Lidzatihi
Yang dimaksud Hadits Hasan Lidzatihi adalah Hadits yang
dirinya sendiri telah memenuhi kriteria Hasan sebagaimana yang
telah disebutkan di atas, dan tidak memerlukan bantuan yang lain
untuk mengangkatnya ke derajat Hasan sebagaimana halya pada
Hasan Lighairihi.
ii. Hasan Lighairihi
Yang dimaksud Hadits Hasan Lighairihi adalah:
Yaitu Hadits Dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari
satu), dan sebab ke-dha’if-annya bukan karena perawinya fasik atau
pendusta.
Dha’if apat ditingkatkan derajatnya ke tingkat Hasan dengan dua
ketentuan, yaitu:
1) Hadits tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan
lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama
kualitasnya atau lebih baik.
2) Bahwa sebab ke-dha’if-annya bukan karena perawinya bersifat
fasiq atau pendusta.

3. Hadits Dha’if
a. Kriteria dan macam-macam Hadits Dha’if
Hadits Dha’if adalah Hadits Mardud, yaitu Hadits yang ditolak atau
tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu hokum.
Kata dha’if berasal dari kata Ad-Dha’if yang secara bahasa adalah
lawan dari Al-Qawiy, yang berarti lemah. Pengertiannya menurut istilah
Ulama Hadits adalah:

13
Hadits Dha’if adalah setiap Hadits yang tidak terhimpun padanya
keseluruhan sifat Qabul.
Atau menurut sebagian besar Ulama Hadits adalah:
Hadits Dhaif adalah Hadits yang tidak menghimpun sifat Shahih dan
hasan.14
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa kriteria Hadits Dha’if
tersebut adalah:
1) Terputusnya hubngan antara satu perawi dengan perawi lain di dalam
sanad Hadits tersebut, yang seharusnya bersambung.
2) Terdapatnya cacat pada diri salah satu seorang perawi atau matan dari
Hadits tersebut.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
pembagian Hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi
dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk Hadits Mutawatir terbagi menjadi
2 bagian yaitu: mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad
terbagi menjadi 3 yaitu: masyhur, ‘aziz, dan gharib.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas terdiri dari 3 bagian yaitu:
hadits shahih, hasan dan dha’if.

Referensi

14
Ibid., hal. 337; Ath-Thahhan, Taisir, hal. 62.

14
Dr. Nawir Yuslem, “Ulumul Hadits”, ed. Mohamad Ilyasa (PT.Mutira Sumber
Widya), Tahun 2001.
Abdul Majid Khon, “Ulumul Hadits”, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. Hlm.
131.

15

Anda mungkin juga menyukai