Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ULUMUL HADITS

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah


Ulumul hadist
Dosen pengampu:
Saidin Mansyur,S. S,M.Hum

DISUSUN OLEH :
Kelompok 5

Ketua: M. Nur falah


Anggota: Nuralisa bahar
Andi Nurul Rizkiyah
Ulfah Dwi Yanti
Yusril Nurdin
Ahmad Siddiq

UNIVERSTAS MUHAMADIYAH MAKASSAR


JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)
TAHUN AJARAN 2021/2022
DAFTAR ISI

Halaman Judul
.......................................................................................................................................................
i

Daftar Isi
................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................. ii

Bab I Pendahuluan
.......................................................................................................................................................
1

A. Latar Belakang
.......................................................................................................................................................
1

Bab II Pembahasan
.......................................................................................................................................................
2

A. Pembagian hadits dari segi kuantitas (perawinya)

Bab III
Penutup
.......................................................................................................................................................
14

A. Kesimpulan
.......................................................................................................................................................
14
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seperti yang telah diketahui, hadits diyakini sebagai sumber ajaran Islam setelah kitab suci
Al-Quran. Hadits merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. baik
berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum dan ketentuan
Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu, hadits juga dibutuhkan manusia untuk
mengetahui inti-inti ajaran dalam Al-Quran. Jika ayat-ayat dalam Al-Quran mutlak kebenarannya,
berbeda dengan hadits yang bisa saja belum jelas periwayatannya, hadits tersebut benar berasal
dari Nabi Muhammad SAW. atau bukan.

Ditinjau dari segi kuantitasnya, hadits dibagi menjadi mutawatir dan ahad. Sedangkan
ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits yang dapat
diterima sebagai dalil) dan hadits Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul
terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam hadits
Mardud salah satunya adalah hadits Dha’if. Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.

Oleh karena itu, tujuan penulisan makalah ini diperlukan untuk mengetahui lebih lanjut
tentang masing-masing hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dho’if.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembagian Hadits dari segi Kuantitas (Perawinya)

Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dariaspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada
juga yang membaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama
golongan pertama, menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam
hadits ahad, ini dilandasi oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-
Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar
ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits
masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan bagian
hadits ahad. Mereka membagi haditske dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.

1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak).
Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan hadits yangdiriwayatkan oleh orang
banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat
untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak
thabaqat yang pertama sampai thabaqat
terakhir. Seperti redaksi berikut:

‫علَى ال َكذِب‬
َ ‫ط ُؤ ُه ْم‬ َ ِ‫عةٌ بَلَغُ ْوا فِى الكَثْ َرةِ َملَغًا تُحِ ْي ُل ْالعَادَة‬
ُ ‫توا‬ َ ‫س ْو ٍس أ َ ْخبَ َر بِ ِه َج َما‬
ُ ْ‫ع ْن َمح‬
َ َ‫ما َكان‬

Artinya: “Hadits yang didasarkan pada panca indra (dilihat atau didengar) yang
diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil
menurut tradisi mereka sepakat bohong.”
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang
syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits
mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al- hadits, karena ilmu ini
membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar,diamalkan atau tidak, adil atau
tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak
dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib
diyakini dan diamalkan.

b. Syarat Hadits Mutawatir


1. Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi dan
dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta.
Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-
Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-
kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar
Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikharimenetapkan minimal 10 orang,
karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya
sampai ada yang menetapkanjumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70
orang.
2. Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat
berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan
salah satu persyaratan.
3. Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan panca indera.
Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan
sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan,
pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain,atau hasil istinbath dari
dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
c. Macam-Macam Hadits Mutawatir
1. Hadits Mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan denganlafaz
dan makna yang sama, serta kandungan hukum yang sama. Contoh
Mutawatir Lafzhi:
‫ُمت َ َع ِمدًا َم ْن‬ ِ ‫َمقعدَهُ مِ نَ ال َّن‬
‫ار‬
‫ب‬ َ َّ‫تبوأْ َكذ‬
َّ َ‫ْفلي‬
‫ي‬َّ ‫عل‬ َ

Artinya: “Barang siapa yang mendustakan atas namaku, makahendaklah bersiap-siap


bertempat tinggal di neraka.” (HR. Al- Bukhari, Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi, An-
Nasa’i, dan Abu Dawud)

Menurut Ibnu Ash-Shalah hadits di atas diriwayatkan lebih 70 orang


shahabat, 10 diantaranya para shahabat yang digembirakan Nabi masuk
surga, bahkan An-Nawawi dalam Syarah Muslim memberitakan, bahwa
jumlah perawi mencapai 200 orang shahabat,tetapi hal tersebut dibantah
oleh Al-Iraqi karena jumlah itu termasuk hadits kemutlakan bohong.
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama.

2. Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari


berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda,tetapi
jika disimpulkan mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya tidak.
Misalnya hadits tentang mengangkat kedua tangan dalam berdoa. Dalam
penelitian As-Suyuthi terdapat 100 periwayatan yang menjelaskan bahwa
Nabi mengangkat kedua tangannya ketika berdoa dalam beberapa kondisi
yang berbeda, seperti dalam shalat istisqo’, pada saat ada hujan angin ribut,
dalam suatu pertempuran, dan lain-lain. Maka disimpulkan bahwa
mengangkat kedua tangan dalam berdoa mutawatir melihat keseluruhan
periwayatan dalam kondisi yang berbeda tersebut.
3. Mutawatir ‘Amali, yaitu amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh
Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para shahabat, kemudian
diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai
sekarang. Misalnya, berita-berita yang menjelaskan tentang shalat baik
waktu dan raka’atnya, shalat jenazah, zakat, haji,dan lain-lain yang telah
menjadi ijma’ para ulama.

Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits


mutawatir lafzhi, maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits
mutawatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat mereka dibantah olehIbn Shalah. Dia
menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi) memang ada, hanya
jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al- Asqolani, Hadits mutawatir
jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara menyelidiki
riwayat-riwayat hadits sertakelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui
dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang
diriwayatkannya.

d. Kitab-Kitab Hadits Mutawatir, antara lain sebagai berikut:


1. Al-Azhaar Al-Mutanaatsirah fi Al-Akhbaar Al-Mutawaatirah, karya As-
Suyuthi.
2. Qathf Al-Azhaar, karya As-Suyuthi.
3. Nazhm Al-Mutanaatsir min Al-Hadiits Al-Mutawaatir, karyaMuhammad
bin Ja’far Al-Kattani.
4. Al-La’aalii Al-Mutanaatsirah fi Al-Ahaadiits Al-Mutawaatirah,
karya Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.

2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi,
karena ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut
istilah hadits ahad berarti hadits yang diriwayatkan oleh
orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk
dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang
jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Pembagian hadits ahad ada 3 macam, yaitu hadits, masyhur, ‘aziz, dan gharib.

a. Hadits Masyhur
Secara bahasa, masyhur diartikan tenar, terkenal, dan menampakkan.
Dalam istilah hadits masyhur terbagi dua macam, yaitu:
1. Masyhur Ishthilahi, hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih pada
setiap tingkatan (thabaqah) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak
mencapai kriteria mutawatir.
2. Masyhur Ghayr Ishthilahi, hadits yang populer pada ungkapan lisan(para
ulama) tanpa ada persyaratan yang definitif. Artinya hadits yang populer
atau terkenal dikalangan golongan atau kelompok orang tertentu,
sekalipun jumlah periwayat dalam sanad tidak mencapai 3 orang atau
lebih.
Contoh hadits yang populer (masyhur) dikalangan ulama fikih saja:

ُ‫لى ْال َحالَلُ أ َ ْبغَض‬ َ


َُ ُ‫الطالَق‬
َُ ‫ّللا أ‬

Artinya: “Halal yang dimurka Allah adalah talak.” (HR. Al-Hakim)

b. Hadits ‘Aziz
Secara bahasa, ‘aziz diartikan langka, sedikit, dan kuat. Karena sedikitatau
langkanya atau terkadang posisinya menjadi kuat ketika di datangkan sanad lain.
Hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada
seluruh tingkatan (thabaqat) sanad atau walaupun dalam satu tingkatansanad saja.
Misalnya dikalangan shahabat hanya terdapat dua orang yang meriwayatkannya,
atau hanya dikalangan tabi’in saja yang terdapat dua orang perawi sementara
dikalangan shahabat hanya terdapat satu orang saja.
Jadi, pada salah satu tingkatan sanad hadits tersebut didapatkan tidak kurangdari dua
orang perawi atau satu tingkatan sanad yang terdiri dari dua orang.

c. Hadits Gharib
Secara bahasa, berarti sendirian, terisolir, jauh dari kerabat, perantau asing,
dan sulit dipahami. Dari segi istilah yaitu: “hadits yang bersendiri seorang perawi
dimana saja tingkatan (thabaqah) daripada beberapa tingkatan sanad.”

Hadits gharib terbagi dua, yaitu:


1. Gharib Mutlak, yaitu:

ُ‫ت ْالغ ََرابَة‬ ِ َ‫ه َُو َماكَان‬


‫سنَ ِد ِه‬
َ ِ ‫فِي أ‬
‫ل‬ ‫ص‬
ْ َ
‫سنَ ِد ه َُو‬ َّ ‫ص ِل ال‬ ْ ‫َوأ‬
‫ط َرفُه الَّذِي فِ ْي ِه‬ َ
‫ص َحا ِبي‬ َّ ‫ال‬

Hadits yang gharabah-nya (perawi satu orang) terletak pada pokoksanad.


Pokok sanad adalah ujung sanad yaitu seorang shahabat.

2. Gharib Nisbi (Relatif), yaitu: ُ‫ت ْالغ ََرا َبة‬ِ َ‫َماكاَن‬


َ ِ‫فِي أَثْنَاء‬
‫سنَ ِد ِه‬
Hadits yang terjadi gharabah (perawinya satu orang) di tengah sanad.

Kata nisbi memberikan makna bahwa gharabah terjadi secara relatif atau
dinisbatkan pada sesuatu tertentu tidak secara mutlak.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian
yaitu: mutawatir lafzhi, mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad
dibagi menjadi 3 macam, yaitu hadits masyhur (terbagi dua, yaitu: masyhur ishthilahi, masyhur
ghayr ishthilahi), hadits ‘aziz, dan hadits gharib [terbagi : gharib mutlak, gharib nisbi (terbagi
lagi menjadidua, yaitu: muqayyad bi ats-tsiqah dan muqayyad bi ats-tsiqah)].

Anda mungkin juga menyukai