ULUMUL HADITS
DISUSUN OLEH :
Kelompok 5
Halaman Judul
.......................................................................................................................................................
i
Daftar Isi
................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan
.......................................................................................................................................................
1
A. Latar Belakang
.......................................................................................................................................................
1
Bab II Pembahasan
.......................................................................................................................................................
2
Bab III
Penutup
.......................................................................................................................................................
14
A. Kesimpulan
.......................................................................................................................................................
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seperti yang telah diketahui, hadits diyakini sebagai sumber ajaran Islam setelah kitab suci
Al-Quran. Hadits merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. baik
berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum dan ketentuan
Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu, hadits juga dibutuhkan manusia untuk
mengetahui inti-inti ajaran dalam Al-Quran. Jika ayat-ayat dalam Al-Quran mutlak kebenarannya,
berbeda dengan hadits yang bisa saja belum jelas periwayatannya, hadits tersebut benar berasal
dari Nabi Muhammad SAW. atau bukan.
Ditinjau dari segi kuantitasnya, hadits dibagi menjadi mutawatir dan ahad. Sedangkan
ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits yang dapat
diterima sebagai dalil) dan hadits Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul
terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam hadits
Mardud salah satunya adalah hadits Dha’if. Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.
Oleh karena itu, tujuan penulisan makalah ini diperlukan untuk mengetahui lebih lanjut
tentang masing-masing hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dho’if.
BAB II
PEMBAHASAN
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dariaspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada
juga yang membaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama
golongan pertama, menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam
hadits ahad, ini dilandasi oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-
Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar
ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits
masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan bagian
hadits ahad. Mereka membagi haditske dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak).
Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan hadits yangdiriwayatkan oleh orang
banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat
untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak
thabaqat yang pertama sampai thabaqat
terakhir. Seperti redaksi berikut:
علَى ال َكذِب
َ ط ُؤ ُه ْم َ ِعةٌ بَلَغُ ْوا فِى الكَثْ َرةِ َملَغًا تُحِ ْي ُل ْالعَادَة
ُ توا َ س ْو ٍس أ َ ْخبَ َر بِ ِه َج َما
ُ ْع ْن َمح
َ َما َكان
Artinya: “Hadits yang didasarkan pada panca indra (dilihat atau didengar) yang
diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil
menurut tradisi mereka sepakat bohong.”
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang
syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits
mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al- hadits, karena ilmu ini
membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar,diamalkan atau tidak, adil atau
tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak
dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib
diyakini dan diamalkan.
2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi,
karena ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut
istilah hadits ahad berarti hadits yang diriwayatkan oleh
orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk
dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang
jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Pembagian hadits ahad ada 3 macam, yaitu hadits, masyhur, ‘aziz, dan gharib.
a. Hadits Masyhur
Secara bahasa, masyhur diartikan tenar, terkenal, dan menampakkan.
Dalam istilah hadits masyhur terbagi dua macam, yaitu:
1. Masyhur Ishthilahi, hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih pada
setiap tingkatan (thabaqah) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak
mencapai kriteria mutawatir.
2. Masyhur Ghayr Ishthilahi, hadits yang populer pada ungkapan lisan(para
ulama) tanpa ada persyaratan yang definitif. Artinya hadits yang populer
atau terkenal dikalangan golongan atau kelompok orang tertentu,
sekalipun jumlah periwayat dalam sanad tidak mencapai 3 orang atau
lebih.
Contoh hadits yang populer (masyhur) dikalangan ulama fikih saja:
b. Hadits ‘Aziz
Secara bahasa, ‘aziz diartikan langka, sedikit, dan kuat. Karena sedikitatau
langkanya atau terkadang posisinya menjadi kuat ketika di datangkan sanad lain.
Hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada
seluruh tingkatan (thabaqat) sanad atau walaupun dalam satu tingkatansanad saja.
Misalnya dikalangan shahabat hanya terdapat dua orang yang meriwayatkannya,
atau hanya dikalangan tabi’in saja yang terdapat dua orang perawi sementara
dikalangan shahabat hanya terdapat satu orang saja.
Jadi, pada salah satu tingkatan sanad hadits tersebut didapatkan tidak kurangdari dua
orang perawi atau satu tingkatan sanad yang terdiri dari dua orang.
c. Hadits Gharib
Secara bahasa, berarti sendirian, terisolir, jauh dari kerabat, perantau asing,
dan sulit dipahami. Dari segi istilah yaitu: “hadits yang bersendiri seorang perawi
dimana saja tingkatan (thabaqah) daripada beberapa tingkatan sanad.”
Kata nisbi memberikan makna bahwa gharabah terjadi secara relatif atau
dinisbatkan pada sesuatu tertentu tidak secara mutlak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian
yaitu: mutawatir lafzhi, mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad
dibagi menjadi 3 macam, yaitu hadits masyhur (terbagi dua, yaitu: masyhur ishthilahi, masyhur
ghayr ishthilahi), hadits ‘aziz, dan hadits gharib [terbagi : gharib mutlak, gharib nisbi (terbagi
lagi menjadidua, yaitu: muqayyad bi ats-tsiqah dan muqayyad bi ats-tsiqah)].