Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH PENGANTAR STUDY

ALQURAN DAN HADITS

OLEH:

ILHAM SITRA SYURYATMAN

NIM:

2011020019

KELAS:

SEJARAH PERADABAN ISLAM(A)

DOSEN PEMBIMBING:

DR.SUHEFRI M.Ag

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM (UIN)

IMAM BONJO PADANG

2020
KATA PENGANTAR

Dengan kebesaran Allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha penyayang,saya
ucapkan rasa puji syukur atas hidayah-Nya,yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada saya,sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang
“Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas”.

Adapun makalah “Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas” ini telah saya


usahakan dapat disusun dengan sebaik mungkin dengan mendapat bantuan dari
berbagai pihak,sehingga menyusun makalah ini dapat diselesaikan secara tepat waktu.

Dalam penulisan makalah ini, masih terdapat kekurangan.Oleh karena


itu,penulis berharap semoga pembaca dapat memberi kritik dan saran terhadap
makalah ini,agar kedepannya menjadi lebih baik dan sempurna. Kami mengharapkan
semoga dari makalah ini dapat diambil manfaatnya Atas perhatiannya kami
mengucapkan terima kasih.

Padang Pariaman,19-09-2020

( Penulis )
PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI
KUANTITAS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian
keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang
sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu
hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi
kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata
dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja.
Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi
kualitas sanad dan matan.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini hnya akan
membahas pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi kualitas hadits saja.

B. Rumusan Masalah
1. Pembagian Hadits dari segi kuantitas perawi
2. Pembagian hadits dari segi kualitas

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pembagian Hadits dari segi Kuantitas Perawi
Secara garis besar,pembagian hadits dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi kuantitas dan
kualitas.Pembagian hadits dari segi kuantitasnya adalah pembagian hadits ditinjau dari segi
sedikit atau banyaknya jumlah perawi hadits.Sedangkan hadits dari segi kualitasnya yang
akan di jelaskan oleh teman saya.Ditinjau dari sedikit atau banyaknya perawi yang menjadi
sumber berita.Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari
aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga
yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan
pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits
ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash
(305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul
(ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan
merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad.
Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.

1.    Hadits Mutawatir


a.    Pengertian Hadits Mutawatir
Setiap hadits pasti mampunyai perawi yang banyak dari berbagai tingkatan.Jika sejumlah
sahabat yang menjadi perawi pertama sebuah hadits itu banyak sekali,perawi yang
kedua(tabi’in),ketiga(tabi’it-tabi’in)dan seterusnya sampai pada perawi yang membukukan
dalam keadaan yang sama,seimbang atau bahkan lebih banyak jumlahnya,maka termasuk
hadits mutawatir .Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa
jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang
banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk
berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama
sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :
ِ ‫س َأ ْخبَ َر بِ ِه َجمــَا َعةً بَلـ َ ُغوْ ا فِى ْالكـ َ ْث َر ِة َم ْبلَغـًا تُ ِح ْي ُل ْال َعا َدةَ تَ َواطُُؤ هُ ْم عَلـَى ْالكـَـ ِذ‬
‫ب‬ ٍ ْ‫مـَا َكانَ ع َْن َمحْ سُو‬
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh
segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka
sepakat berbohong.

Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat


hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk
dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih
tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam
hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits
mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.

b.Ciri-ciri hadits mutawatir

Ciri-ciri hadits mutawatir tersebut, yaitu:

1)Jumlah perawinya banyak yang tidak mungkin berbohong

Menurut Abu Thayyib,minimal 4 orang,mengkiaskan saksi dalam persidangan.Kelompok


Syafi’iyah berpendapat,minimal 5 orang mengkiaskan jumlah nabi ‘ulul ‘azmi.Sebagia ulama
lain menentukan minimal 20 orang berdasarkan surah Al Anfal ayat 65,yang menjelaskan
tentang 20 orang yang tahan uji sehingga dapat mengalahkan 200 orang kafir.Adapula yang
menentukan minimala perawi 40 orang,berdasar surah Al Anfal ayat 64,yaitu jumlah orang
mukmin saat itu.

2)Jumlah perawinya seimbang dalam semua tingkatan

Dengam demikian,jika misalnya suatu hadits diriwayatkan oleh 10 orang sahabat,kemudian


diterima oleh 5 orang tabi’in dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh 2orang tabi’it-tabi’in
tidak termmasuk hadits mutawatir

3)Berdasarkan tangkapan panca indra

Maksudnya,warta yang disampaikan itu benar-benar hasil pendengaran atau penglihatannya


sendiri,bukan hasil pemikiran atau teori yang mereka temukan

c.     Syarat Hadits Mutawatir


1)    Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini
bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang
jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits
mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar
Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu
merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah
perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
2)    Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya.
Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3)    Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-
benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu
merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil
istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
c.     Macam-macam mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1)    Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang
sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :
‫ْأ‬
ِ َّ‫ي فـ َ ْليَتَبَ َّو َم ْق َع َدهُ ِمنَ الن‬
‫ار‬ َ ‫قـَا َل َرسُوْ ُل هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن َك َذ‬
َّ َ‫ب َعل‬
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang  ini sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.

Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan
bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.Dan sebagian ulama lainnya
menyatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan susunan
redaksi dan makna yang sama.
2)    Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits
yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai
makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu
Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.
‫قال ابو مسى م رفع رسول هللا صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطه فى شئ من دعائه إال فى اإلستسقاء (رواه‬
)‫البخارى ومسلم‬
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat
kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat
melakukan do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)

3)    Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in,
dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang
shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah
yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.

Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi,
maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin
ada. Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir
(termasuk yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-
Asqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan
cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat
diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang
diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
1)    Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi.
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
2)    Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin
Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)

d.Kedudukan hadits mutawatir

keadilan dan kedabitan dari para perawi hadits mutawatir itu sudah tidak diragukan
lagi,sehingga mereka tidak mungkin berbohong dalam membawa berita dari Nabi
Muhammad SAW.Oleh karena itu,para ulama sepakat bahwa hadits mutawatir memberi
dampak pada faidah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerima secara bulat berita dalam
hadits tersebut dengan pasti (qat’ul-wurud).Dengan demikian,hadits mutawatir menduduki
tingkat teratas dibandingkan dengan hadits-hadits yang lainnya.
2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata  wahid berarti “satu” jadi, kara
ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits
ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan
tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya,
hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir .Mayoritas ulama sependapat bahwa hadits ahad bisa diterima sebagai dasar
hukum Islam,tetapi sebatas pada urusan-urusan amal ibadah bukan pada
keyakinan(aqidah).Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan
ghairu masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.
A.    Hadits Masyhur
Hadits masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih,tetapi belum
mencapai derajat mutawatir.Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar
dan popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :
‫َّحابَ ِه َو ِم ْن بَ ْع ِد ِه ْم‬ َ ‫ص َحابَ ِه َع َد ٌد ال يَ ْبلُ ُغ َح َّد ت‬
َ ‫َـواتِر بَ ْع َد الص‬ َّ ‫مـَا َر َواهُ ِمنَ ال‬
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”

Menurut ulama fiqih,hadits masyhur itu disebut juga hadits mustafid.Namun sebagian lain
berpendapat,bahwa hadits masyhur itu lebih umum daripada hadits mustafid.Sebab dalam
hadits mustafid jumlah perawi harus sama dengan setiap tingkatan,sementara pada hadits
masyhur tidak harus sama.

Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus
shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya.
Seperti hadits ibnu Umar.
ْ‫اِ َذا َجا َء ُك ُم ْال ُج ْم َعهُ فَ ْليَ ْغ ِسل‬
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”

Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-
ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang
berbunyi:
‫ار‬َ ‫ض َر َر َوالَ ضـــ ِ َر‬ َ َ‫ال‬
“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits
shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :
َ ‫طَلَبُ ْا ِلع ْل ِم فَ ِر ْي‬
‫ضــهٌ عــَـلَي ُك ِّل ُم ْسلِ ٍم َو ُم ْسلِ َمــــ ٍه‬
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”

Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :
1)    Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah
SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan
Ri’il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2)    Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan
juga dikalangan orang awam, seperti :
َ‫ْال ُم ْسلِ ُم َم ْن َســـــلِ َم ْال ُم ْسلِ ُموْ نَ ِم ْن لِســـَـانِ ِه َوي ِد ِه‬
3)    Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :
‫صلَّي هللاِ َعلَيْــــ ِه َو َسلَّ َم ع َْن بَي ِْع ْالغ ََر ِر‬ َ ِ‫نَهَي َرسُوْ َل هللا‬
“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
4)    Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :
‫اب فَلـَــهُ َأجْ َرا ِن َواِ َذا َح َكــــ َم فَاجْ تَهَ َـد ثُ َّم َأخَ ــــطََأ فَلـَهُ َأجْ ٌر‬
َ ‫ص‬َ ‫اِ َذا َح َك َم ْال َحا ِك ُم ثُ َّم اجْ تَهَ َد فَـــَأ‬
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian
ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran),
dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).

5)    Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :

‫ق فَبِي ع ََرفُوْ نِي‬ ُ ‫ْت َأ ْن ُأ ْع ِرفَ فَ َخلـ َ ْق‬


َ ‫ت ْال َخ ْل‬ ُ ‫ت َك ْن ًزا َم ْخفِيًّا فََأحْ بَب‬
ُ ‫ُك ْن‬
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka
kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku

6)    Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling
fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.

B. Hadits Ghairu Masyhur


Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib. Aziz
menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah
hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan
sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat
perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu
thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang
mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang
perawi.”

Menurut Ibnu Hibban Al-Busti berpendapat bahwa hadits aziz itu hanya istilah bagi hadits
yang diriwayatkan oleh dua orang dari dua orang,sejak dari tingkatan pertama hungga
akhir.Oleh karena itu,sangat sulit menemukannya.
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan
hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang
diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :
َ‫ـاس َأجْ َم ِع ْين‬
ِ َّ ‫الَ يُْؤ ِمنُ َأ َح ُد ُك ْم َحتَّي َأ ُكوْ نَ َأ َحبَّ ِإلَ ْي ِه ِم ْن َوالِـ ِد ِه َو َولــ ِ ِد ِه َوالنـ‬
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya,
orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi
ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya,
yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau
keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan
kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian
seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.Maksud penyndirian itu bisa
jumlah personalnya atau sendiri dalam sifat atau keadaan perawi lainnya yang meriwyatkan
hadits tersebut.Penyendirian yang terjadi pada personalnya disebut garib mutlak, sedangkan
penyendirian mengnai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang perawi,seperti ke-siqah-
annya,tempat tinggal,rawi tertentu,atau lainnya,maka disebut garib nisbi.

Pembagian hadits dari segi kuantitas ini sekadar untuk mengtahui sedikit atau banyaknya
sanad atau jumlah perawi,bukan untuk menentukan diterima atau tidaknya hadits.Karena itu.
Kita perlu juga mengetahui materi berikutnya yang akan mambahas tentang kualitas hadits.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian
yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua
macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi
dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.
B. Saran-saran
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui pembagian
hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya timbul ke ihtiyathan
kita dalam menyampaikan hadits, dan untuk bias membedakan keshahihan suatu hadits harus
mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk golongan orang-
orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.

DAFTAR PUSTAKA

Moh. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Guang Persada Press, 2008
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah (cetakan keempat), 2010.

Margiono,dkk,2007.Pelajaran Al Quran dan Hadits.Jakarta:Intimedia

Matsna,Mohammad.2008.Pendidikan Agama Islam.Semarang:Karya Toha Putra

Sumber lain: https://b3npani.wordpress.com/tugas-kuliah/92-2/

https://www.slideshare.net/reanhasyahresya/hadits-ditinjau-dari-segi-kualitas-dan-
kuantitasnya

Dalam penulisan makalah ini tentu banyak kekurangan disana sini, hal itu tidak lain
dikarenakan keterbatasan pemakalah.Oleh karena itu, kritik dan saran dari bapak dosen dan
teman-teman sangat diharapkan pemakalah untuk menghindari kesalahan dalam memahami
suatu keilmuan dan juga untuk memperbaiki pembuatan makalah selanjutnya

Anda mungkin juga menyukai