Anda di halaman 1dari 15

PENGERTIAN, PEMBAGIAN, DAN FUNGSI HADIST

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-1250). Dalam sejarah,
puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama
besar, yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, filsafat,
tasawuf, sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya. Berdasarkan bukti histories ini
menggambarka bahwa periwayatan dan perkembangan pengetahuan hadits berjalan seiirng
dengan perkembangan pengetahuan lainnya.

Menatap prespektif keilmuan hadis, sungguh pun ajaran hadis telah ikut mendorong
kemajuan umat Islam. Sebab hadits Nabi, sebagaimana halnya Al-Quran telah
memerintahkan orang-orang beriman menuntut pengetahuan. Dengan demikian prespektif
keilmuan hadits, justru menyebabkan kemajuan umat Islam. Bahkan suatu kenyataan yang
tidak boleh luput dari perhatian, adalah sebab-sebab dimana al-Quran diturunkan. Dalam
dunia pengetahuan tentang agama Islam, sebenarnya benih metode sosio-historis telah ada
pengikutsertaan pengetahuan asbab al nuul (sebab-sebab wahyu diturunakan) untuk
memahami al-Quran, dan asbab al-wurud (sebab-sebab hadits diucapkan) untuk memahami
al-Sunnah.

Meskipun asbab al-Nuzul dan asbab al Wurud terbatas pada peristiwa dan
pertanyaan yang mendahului nuzul (turun) Al-Quran dan wurud (disampaikannya) hadits,
tetapi kenyataannya justru tercipta suasana keilmuan pada hadits Nabi SAW. Tak heran jika
pada saat ini muncul berbagai ilmu hadits serta cabang-cabangnya untuk memahami hadits
Nabi, sehingga As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua dapat dipahami serta
diamalkan oleh umat Islam sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah.
B. TUJUAN PEMBAHASAN

Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah:

1. mengetahui definisi Hadits

2. mengetahui macam-macam hadits serta penjelasannya

3. mengetahui kegunaan mempelajari ilmu-ilmu hadits

C. RUMUSAN MASALAH

Adapun batasan-batasan masalah atau batasan pembahasan makalah ini adalah:

1. Apa definisi ilmu hadits?

2. Apa saja pembagian hadits itu?

3. Apa saja kegunaan mempelajari ilmu hadits


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Hadits

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits
dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam
hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya
ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi,
Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
2. Pembagian Hadits Secara Umum
Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk
mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan
sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.
A. DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber
berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits
mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Ta'rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-
turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:

"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi,
yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."

Artinya:
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat
mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad
hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan
dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia,
baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang
banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini
kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW,
maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus
dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi
diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau
mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan
lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya
orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui
bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka
penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
(daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar
merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan
yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar
atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun
rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk
berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak
memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan
jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para
Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan
ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang
dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan firman Allah:

"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)."
(QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak
jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak
mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah
berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat
perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana
dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus
menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-
Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-
Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).

2. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:

Artinya:
"Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis
mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan
seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke
dalam hadis mutawatir: "

Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:


Artinya:
"Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."
b. Faedah hadis ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis
ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga
dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis
tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib
untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan
dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa "Apakah hadis tersebut maqbul atau
mardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat
iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa
apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan
maka hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita
takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin
dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan,
kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil
yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya,
bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau
hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.

B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS

Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah
rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-
rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan
yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari
hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang
rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis
yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis
yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi
yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.

Artinya :
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami)
pada waktu yang telah kami tentukan."
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi
cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai

akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadis :
Artinya :
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."

Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir.
Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir.
Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti

sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat
menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan
masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan
firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan
bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah
akal bukan berita.
Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya
seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari
hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran.
Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya
hadis berasal dari Rasulullah.
Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf
dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya
berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari
Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya
kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan
hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan
keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih,
hasan, dan daif.
1. Hadis Shahih
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari
Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :

Artinya :
"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi
ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."

Keterangan lebih luas mengenai hadis sahih diuraikan pada bab tersendiri.

2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :

Artinya :
"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut
kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi
yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain
pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan."
3. Hadis Daif
Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang
lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadis daif :

Artinya :
"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak
menghimpun sifat-sifat hadis hasan."

Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak
memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan
lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan
dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai
derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu
darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas,
hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam
yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.

a. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan
menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:

Artinya:
"Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk
dalam kategori hadis maqbul adalah:
* Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
* Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun
demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis
yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah
dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yangjugaditetapkan
oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis
nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh.
Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu
dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang
kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua)
yakni hadis maqbulun bihi dan hadis gairu ma'mulin bihi.
1. Hadis maqmulun bihi
Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini
ialah:
a. Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b. Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin
dikompromikan dengan mudah
c. Hadis nasih
d. Hadis rajih.
2. Hadis gairo makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-
hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
a. Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat
ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b. Hadis mansuh
c. Hadis marjuh.
B. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf
Muhaddisin, hadis mardud ialah :

Artinya:
"Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki
keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya
bersamaan."

Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:

Artinya:
"Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun."

Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima
hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak
boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.
D. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA
1. Hadis Muttasil
Hadis muttasil disebutjuga Hadis Mausul.
Artinya:
"Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di
atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu' maupun hadis mauquf."

Kata-kata "hadis yang didengar olehnya" mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan
melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah.
Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan demikian
ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan
dengan hadis Mu 'an 'an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam
menyampaikan hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan
hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.
Contoh Hadis Muttasil Marfu' adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari
Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: "Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana
kepada keluarga dan hartanya"

Contoh hadis mutasil maukuf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahwa ia
mendengar Abdullah bin Umar berkata:

Artinya:
"Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali
keharusan membayarnya."

Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya
mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya bersambung.
Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur
mudaddisin berkata, "Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara
mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis mausul
sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan "Hadis ini bersambung sampai kepada
Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya ". Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis
maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada
kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis
yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadis maqtu' adalah
lawan Hadis mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya
kepada tabi'in.
2. Hadis Munqati'
Kata Al-Inqita' (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti
memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya, yakni terputus.
Kata inqita' adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah
gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam
memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan
berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa
ulama mutaakhirin.
Definisi Munqati' yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu
Abdil Barr, yakni:

Artinya:
"Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang
disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."

Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau
beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun
Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:

Artinya:
Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk
Hadis Munqati' (terputus) persambungannya."

Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata,


"Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr,
dan Muhaddis lainnya". Dengan demikian, hadis munqati' merupakan suatu judul yang umum
yangmencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya.
Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:

Artinya:
"Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu
tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat
tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad."

Definisi ini menjadikan hadis munqati' berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya
yang lain. Dengan ketentuan "Salah seorang rawinya" defnisi ini tidak mencakup hadis
mu'dal; dengan kata-kata, "Sebelum sahabat" definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan
dengan penjelasan kata-kata "Tidak pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadis
muallaq.
3. FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QURAN
Al-Quran menekankan bahwa Rasul SAW. berfungsi menjelaskan maksud firman-
firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak
ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.
Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber yang tidak bisa dipisahkan.
Keterkaitan keduanya tampak antara lain:
1. Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an. Di sini hadits berfungsi memperkuat
dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya, Al- quran menetapkan
hukum puasa, dalam firman-Nya :

Hai orangorang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orangorang sebelum kamu agar kamu bertakwa . (Q.S Al
Baqarah/2:183 )
Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut:
Islam didirikan atas lima perkara : persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah , dan
Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada bulan
ramadhan dan naik haji ke baitullah. (H.R Bukhari dan Muslim)
2. Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global.
Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat :
Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat (Q.S Al Baqarah / 2:110)
shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat yang
wajib dan sunat. sabda Rasulullah SAW:
Dari Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Badui kepada
Rasulullah SAW. dan berkata : Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa yang
difardukan untukku? Rasul berkata : Salat lima waktu, yang lainnya adalah sunnat
(HR.Bukhari dan Muslim)
Al-qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun
gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda Rasulullah
SAW:Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR. Bukhari)
3. Hadits membatasi kemutlakan ayat Al qur`an .Misalnya Al qur`an mensyariatkan
wasiat:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tandatanda maut
dan dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib kerabatnya
secara makruf. Ini adalah kewajiban atas orangorang yang bertakwa, (Q.S Al
Baqarah/2:180)
Hadits memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak
melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan Rasul
dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi Waqash yang
bertanya kepada Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah
melarang memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau menyetujui memberikan sepertiga
dari jumlah harta yang ditinggalkan.
4. Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat
umum. Misalnya Al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih
atas nama selain Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan
binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk
berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai
kefasikan. (Q.S Al Maidah /5:3)
Hadits memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai
tertentu (bangkai ikan dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:
Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : Dihalalkan kepada kita dua bangkai
dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan
limpa.(HR.Ahmad, Syafii`,Ibn Majah ,Baihaqi dan Daruqutni)
5. Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an. Al-qur`an bersifat
global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti .Dalam hal ini, hadits
berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya hadits dibawah
ini:
Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang
bercakar (HR. Muslim dari Ibn Abbas)
Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi
Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah atau Hadits mempunyai fungsi yang
berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara.
Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafii dalam Al-Risalah, Abdul Halim menegaskan
bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak
diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan takid dan
bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang
terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi,
pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.

Hadits
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa ucapan (qauly),
perbuatan (fi'ly), ketetapan (taqriry), atau dengan sifat.

Hadits qauly: Adalah hadits yang berisi tentang ucapan Nabi Saw

Hadits fi'ly: Hadist yang berupa perbuatan Nabi Saw yang dideskripsikan oleh Sahabat.

Hadits taqriry: Adalah hadits yang berisi tentang persetujuan atau ketetapan Nabi Saw
terhadap ucapan atau perbutan yang dilakukan oleh Sahabat, termasuk diamnya Nabi Saw
ketika melihat satu perbuatan sahabat di hadapan beliau.
Sanad
Sanad atau isnad (jamakplural) secara bahasa artinya sandaran, maksudnya:
Mata rantai atau jalan yang bersambung sampai kepada matan (isi hadist) yang terdiri dari
para rawi-rawi yang meriwayatkan matan hadits dan menyampaikannya.
Sanad dimulai dari rawi yang awal (sebelum pencatat hadits) dan berakhir pada orang
sebelum Rasulullah Saw yakni Sahabat.
Misalnya Bukhari meriwayatkan satu hadits, maka Bukhari dikatakan mukharrij atau
mudawwin (yang mengeluarkan hadits atau yang mencatat hadits), rawi yang sebelum
Bukhari disebut sanad pertama sedangkan Sahabat yang meriwayatkan hadits itu dikatakan
sanad terakhir.
Contoh lain: Bukhari meriwayatkan dari A terus B, C, D, E. Dan E dari Nabi Saw.
Si A ini disebut dengan sanad pertama, sedangkan E sanad terakhir. Sedangkan A disebut
rawi, B rawi dan seterusnya. Sedangkan mata rantai yang menghubungkan antara A, B, C,
D,dan E disebut dengan Sanad.

Matan Hadist
Adalah isi, ucapan atau lafazh-lafazh hadits yang yang diriwayatkan atau yang dismpaikan
oleh sanad terakhir.

Kedudukan Hadist Terhadap Al-Quran


Bayan tafsir:
Menjelaskan apa yang terkandung dalam Al Qur'an dan penjelasan ini berupa:
1. Menjelaskan Ayat Mujmal (umum):
misalnya, Al Qur'an mewajibkan wudhu bagi orang yang akan sholat. Hadits menjelaskan
rincian wudhu, bilangan membasuh dan batas-batas membasuh.
2. Membatasi Yang Mutlaq:
Misalnya Al Qur'an menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri. Hadits menjelaskan
tentang batasan nilai barang yang dicuri yang menyebabkan terjadinya hukum potong tangan.
3. Mentakhshish atau mempertegas kalimat 'am (kalimat umum)
Misalnya Al Qur'an menjelaskan tentang waris dan orang-orang yang berhak mendapat
warisan. Hadits memberi pengecualian bagi orang yang membunuh tidak berhak mendapat
waris.

Bayan Taqrir:
Menjelaskan ketetapan hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an. Misalnya, menjelaskan
wajibnya wudhu bagi orang yang akan shslat sebagaimana Al Qur'an telah menjelaskan
demikian.
Bayan Tasyri':
Menetapkan ketetapan hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Quran. Misalnya,
menetapkan hukum bagi pelaku zina muhshon (orang yang telah berkeluarga).

B. Saran dan Kritik


Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wataala,
karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah pengertian
tentang Ilmu hadist. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata
Kuliah Agama.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan
waktunya.
Kami pun dari Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
mohon maaf, sekaligus kami berharap saran dan kritik yang membangu dari para pembaca
semua. Semoga makalah ini nantinya bermanfaat untuk kita semua.
Daftar Pustaka

Abu Bakar, hasnan. 2009. Perkembangan Ilmu Hadist. PTS ISLAMIKA:Selangor

Rahman, fazlur. Cetakan pertama. 2009. Hadist Rosululloh. PT Tiara Wacana Yogya :
Yogyakarta

Muhammad Ajaj Khotib, H.M Qodirun Nur. 1999.Cetakan Pertama. Fungsi hadist. Badan
Cemerlang : Bandung

M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1965. Sedjarah dan pengantar Ilmu hadist. Bulan Bintang :
Universitas Michigan.

Ali Hassan Ahmad Addary (Sjech.). 1980. Ilmu Hadist Praktis. Almaarif : Medan
http://gudangmakalahmu.blogspot.com
http://gudangmakalahmu.blogspot.com
http://seherbal.com

Anda mungkin juga menyukai