Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, persetujuan dan hal yang
berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits diyakini
sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga
memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayt al-Qur’an sebagaimana dijelaskan
dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi
dalam perannya sebagai pembimbing bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi,
pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya
persoalan yang terdapat dalam hadits itu sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan
hadits tidaklah serta merta asal comot suatu hadits sebagai sumber ajaran. Adanya
rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah salah
satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya
penambahan atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang
banyak juga turut memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum
akhirnya digunakan sebagai sumber ajaran agama. Mengingat banyaknya
permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya terhadap
penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang
dilakukan secara selektif. Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu
hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi
yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam
sanad sanadnya sangatlah panjang. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-
syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits di sela-sela mata rantai
sanad tersebut. Makalah ini mencoba mengelompokkan dan menguraikan secara
ringkas pembagian pembagian hadits ditinjau dari berbagai aspek.
Semua umat Islam telah sepakat dengan bulat bahwa Hadits Rasul adalah sumber dan
dasar hukum Islam setelah Al-Qur'an dan umat Islam diwajibkan mengikuti dan
mengamalkan hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti dan mengamalkan Al-Qur'an.
Al-Qur'an dan hadits merupakan dua sumber hukum pokok syariat Islam yang tetap,
dan orang Islam tidak akan mungkin bisa memahami syariat Islam secara mendalam
dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid
dan seorang ulama pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan
mengambil salah satu keduanya.
Banyak kita jumpai ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits-hadits yang memberikan pengertian
bahwa hadits merupakan sumber hukum islam selain Al-Qur'an yang wajib d iikuti dan
diamalkan baik dalam bentuk perintah maupun larangannya.
BAB II PEMBAHASAN
Secara konsepsional bahwa hadits itu dari satu segimdapat dibagi menjadi dua, yaitu
kuantitas dan kualitas. Yang dimaksud segi kuantitasnya adalah penggolongan hadits
ditinjau dari banyaknya rowi yang meriwayatkan hadits. Sedangkan hadits berdasarkan
kualitasnya adalah penggolongan hadits dilihat dari aspek diterimanya atau ditolaknya.
I.Penggolongan Hadits Berdasarkan Banyaknya Rawi
Para sahabat dalam menerima hadits dari Nabi Muhammad SAW. Terkadang
berhadapan langsung dengan sahabat yang jumlahnya sangat banyak karena pada
saat nabi sedang memberikan khutbah di hadapan kaum muslimin, kadang hanya
beberapa sahabat bahkan juga bisa terjadi hanya satu atau dua orang sahabat saja.
Demikian itu terus terjadi dari sahabat ke tabi‟i n sampai pada generasi yang
menghimpun hadits dalam berbagai kitab. Dan sudah barang tentu informasi yang
dibawa oleh banyak rowi lebih meyakinkan apabila dibandingkan dengan informasi
yang dibawa oleh satu atau dua orang rowi saja. Dari sinilah para ahli hadits membagi
hadits menurut jumlah rowinya.
(1)Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-
turut antara satu dengan yang lain. Hadits mutawatir merupakan hadits yang
diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap generasi, sejak generasi shahabat
sampai generasi akhir (penulis kitab), orang banyak tersebut layaknya mustahil untuk
berbohong. Tentang seberapa banyak orang yang dimaksud dalam setiap generasi
belum terdapat sebuah ketentuan yang jelas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits mutawatir adalah laporan dari orang-
orang yang jumlahnya tidak ditentukan (la yusha „adaduhum) yang tidak mungkin
mereka bersepakat untuk berbuat dusta mengingat jumlah mereka yang besar („adalah)
d an tempat tinggal mereka yang beragam.
Sebagian besar ulama sepakat bahwa hadist mutawatir menimbulkan konsekuensi
hukum dan pengetahuan yang positif (yaqin) dan orang yang menyangkalnya dianggap
berbelit akalnya dan tidak bermoral. Ulama telah menyepakti bahwa hadits ini dapat
dijadikan hujjah baik dalam bidang aqidah maupun dalam bidang syari‟ah.
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya
secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyak inan
yang qath‟i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-
benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-
rawi mutawatir. Dapat dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir
tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas rawi-rawinya
mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh
karenanya wajib bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits
mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di
atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama
halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (pelibatan
pancaindera).
Sebuah hadits dapat digolongkan ke dalam hadits mutawatir apabila memenuhi
beberapa syarat. Adapun persyaratan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1)Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi- rawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu
benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-
peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan
pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat
disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang
banyak.
2)Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil untuk
berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk
tidak memungkinkan bersepakat dusta Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4
orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim 9.
Ashabus Syafii menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah
para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Sebagian ulama menetapkan sekurang-
kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah
SWT tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-
orang kafir sejumlah 200 orang.
3)Seimbang jumalah para perawi, sejak dalam tabaqat (lapisan/ tingkatan) pertama
maupun tabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat- syarat seperti ini
tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al Hazimi menyatakan bahwa hadits
mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya.
DR. Syamssuddin Arif menyimpulkan bahwa sebuah khabar dapat disebut mutawatir
apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1.Nara sumbernya harus benar-benar mengetahui apa yang mereka katakannya,
sampaikan dan laporkan. Jadi tidak boleh menduga-duga atau apalagi meraba-raba.
2.Mereka harus mengetahui secara pasti dalam arti pernah melihat,
menyaksikan,mengalami, dan mendengarnya secara langsung tanpa disertai distorsi,
ilusi, dan semacamnya.
3.Jumlah nara sumbernya cukup banyak sehingga tidak mungkin suatu kekeliruan atau
kesalahan dibiarkan atau lolos tanpa koreksi.
Hadits Mutawatir ada 2 yaitu :
1.Mutawatir Lafdzi yaitu mutawatir redaksinya.
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi:
“Rasulullah SAW berkata, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang
sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan
bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2.Mutawatir Ma‟nawi yaitu hadits yang isi serta kandungannyadiriwayatkan secara
mutawatir dengan redaksi yang berbeda-beda.
Contoh hadits mutawatir maknawi adalah:
“Ra sulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain
dalam doa shalat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-
putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim) .
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari
30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan
oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi:
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
(2)Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sedikit orang yang
tidak mencapai derajat masyhur, apalagi mutawatir. Keterikatan manusia terhadap
substansi hadits ini sangat dipengaruhi oleh kualitas periwayatannya dan kualitas
kesinambungan sanadnya.
Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy -Syaukani menyatakan bahwa kabar
wahid atau hadits ahada barau dapat diterima jika sumbernya memenuhi lima syarat
sebagai berikut:
1.Sumbernya harus seorang mukallaf, yaitu orang yang telah kena kewajiban
melaksanakan perintah agama dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu
ucapan anak dibawah umur tidak dapat diterima.
2.Sumbernya harus beragama Islam. Konsekuensinya, tidak dapat diterima khabar atau
cerita dari orang kafir.
3.Nara sumber harus memiliki integritas moral pribadi yang menunjukkan ketakwaan
dan kewibawaan diri (muru'ah) sehingga timbul kepercayaan orang lain kepadanya,
termasuk dalam hal ini meninggalkan dosa-dosa kecil. Atas dasar ini orang fasiq secara
otomatis tidak mempunyai adalah dan ucapan mereka ditolak.
4.Narasumber harus memiliki kecermatan dan ketelitian, tidak sembrono dan asal jadi.
5.Nara sumber diharuskan jujur dan terus terang, tidak menyembunyikan sumber
rujukan dengan cara apa pun, sengaja maupun tidak sengaja. Di kalangan para ulama
ahli hadits terjadi perbedaan pendapat mengenai kedudukan hadits ahad untuk
digunakan sebagai landasan hukum. Sebagian ulama ahli hadits berkeyakinan bahwa
hadits ahad tidak bisa dijadikan landasan hukum untuk masalah aqidah. Sebab,
menurut mereka hadits ahad bukanlah qat'i as -tsubut (pasti ketetapannya). Namun
menurut para ahli hadits yang lain dan mayoritas ulama, bahwa hadits ahad wajib
diamalkan jika telah memenuhi syarat kesahihan hadits yang telah disepakati.
Hadits ahad dibagi menjadi tiga macam, yaitu hadits masyhur, hadits aziz, dan hadits
garib.
1.Hadits Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan).
2.Hadits Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada
salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
3.Hadits Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat
hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur). Hadits Garib
juga biasa disebut hadits fardun yang artinya sendirian. Ibnu Hajar menganggap bahwa
antara garib dan fardun adalah sinonim, baik secara istilah, tetapi kebanyakan para ahli
hadits membedakan antara garib dan fardun, yakni istilah fardun merujuk kepada garib
mutlak,
sedangkan istilah garib dipakai pada garib nisbi. Hal ini sesuai dengan
pengklasifikasian hadits garib yang memang menjadi dua bagian, yaitu: (1). Hadits
Garib Mutlak (fardun) Hadits garib mutlak yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu rowi
secara sendirian. Kesendirian rowi itu terdapat pada generasi tabi'in atau pada generasi
setelah tabi‟in, dan bisa juga terjadi pada setiap tingkatan sanadnya. (2). Hadits Garib
Nisbi Yang termasuk sebagai hadits garib nisbi yaitu rowi hadits tersebut sendirian
dalam hal sifat ataupun keadaan tertentu. Kesendirian dalam hal sifat atau keadaan
rawi mempunyai tiga kemungkinan yaitu, sendirian dalam hal keadilan dan kedabitan,
sendirian dalam hal tempat tinggal, sendirian dalam hal rawi.
DAFTAR PUSTAKA
Kusnanto, Najib (2006). Qur’an Hadits Madrasah Aliyah. Sragen: Akik Pustaka.
Zuhri Muh (2003).Hadits Nabi: Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Aghnides, Nicolas (1968).Pengantar Ilmu Hukum Islam. Surakarta.
Ahmad, Muhammad (1998). Ulumul Hadits. Bandung : Pustaka Setia.
Juanda, Asep (2007). Intisari Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung : Pustaka Setia .