Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sanad Yang Bersambung

Sanadnya bersambung artinya setiap rawi dalam menerima hadis benar-benar


menerimanya dari rawi sebelumnya dan begitu selanjutnya sampai pada rawi yang
pertama. Oleh karena itu, menurut M. ‘Ajjaj al-Khatib, hadis munqaṭī’, mu'ḍāl,
mu'allaq, mudallas dan mursal tidak termasuk kategori hadis shahih karena
sanadnya tidak bersambung.

Sementara imam al-Bukhari berpendapat bahwa suatu hadis dapat disebut


sanadnya bersambung apabila murid dan guru atau rawi pertama dengan rawi
kedua benar-benar pernah bertemu walaupun hanya sekali. Sedangkan menurut
imam Muslim, sanad hadis dapat disebut bersambung apabila ada kemungkinan
bertemu bagi kedua rawi diatas. Hal ini bisa terjadi apabila keduanya hidup dalam
satu kurun waktu dan tempat tinggalnya tidak terlalu jauh menurut ukuran saat itu,
meskipun keduanya belum pernah bertemu sama sekali.

Berdasarkan hal diatas, syarat yang dikemukakan Imam Bukhari lebih ketat
dari yang ditetapkan oleh Imam Muslim. Hal ini menjadikan Shahih Bukhari
menempati peringkat pertama kitab hadis yang paling shahih. Untuk mengetahui
bersambung tidaknya sanad suatu hadis, ada dua hal yang dapat dijadikan objek
penelitian, yaitu: sejarah rawi dan lafaz-lafaz periwayatan.

Menurut As-Suyūṭī, hadis ṣaḥiḥ adalah hadis yang sanadnya bersambung,


diriwayatkan oleh perawi/informan yang memiliki kredibilitas dan intelektual
tinggi, tidak syaż (menyelisihi) dan tidak cacat. Sebagaimana pada umumya
dikalangan pakar hadis, Imam Suyūṭī menjelaskan bahwa hadis shahih adalah
hadis yang bersambung sanadnya mencakup hadis marfū’ juga hadis mauqūf, dan
menutup kemungkinan adanya hadis munqaṭi’, hadis mu’ḍāl, hadis mu’allaq,
hadis mudallas dan hadis mursal. Adapun diharuskan perawi yang memiliki
kredibilitas dan intelektualitas yang tinggi membatasi kita untuk menggolongkan
perawi yang kuat dan lemah. Sedangkan diharuskan tidak ada penyelisihan dan
cacat, karena tidak menutup kemungkinan adanya perawi yang lalai(banyak salah)
dan menyelisihi serta mengalami cacat.

Berbeda halnya dengan ulama sebelum abad ke-3 Hijriyyahh, ulama al-
muta’akhirin telah memberikan definisi hadis sahih secara tegas. Seperti halnya
Ibn al-Salâh (w. 634 H/1245 M) salah seorag ulama hadis yang memiliki banyak
pengaruh di kalangan ulama hadis sezamannya dan sesudahnya, telah memberikan
definisi atau pengertian hadis sahih sebagai berikut:
‫اما الحدىث الصحيح فهو الحديث المسند الذي يتصل اسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الي منتهاه‬
‫وال يكون شاذا وال معلال‬

“Hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya sampai kepada Nabi
Muhammad saw, yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabit sampai
akhir sanad dan tidak terdapat kejanggalan (syudzûz) dan (illat)”

B. Muslim

Pada waktu periwayatan suatu hadits seorang erawi harus muslim. Menurut ijma’,
periwanyatan hadits oleh seorang kafir di anggap tidak sah. Karena riwayat orang
muslim yang fasik saja di mauqufkan, apalagi hadits yang diriwayatkan oleh
orang kafir. Waulaupun dalam tahammul hadits seorang kafir diperbolehkan, tapi
dalam meriwayatkan hadits harus sudah masuk islam.

C. Adil

Secara bahasa kata 'adil berasal dari 'adala, ya'dilu, 'adālatan, yang berarti
condong, lurus, lawan dari ḍalim. Kata 'adil ini kemudian digunakan oleh
muḥaddiṡīn sebagai sifat yang mesti ada pada diri seorang rawi agar riwayatnya
bisa diterima. Akan tetapi definisi 'adil di kalangan ulama hadis sangat beragam,
namun itu terjadi berangkat dari kepentingan dan hal-hal yang substantifnya sama.
Menurut al-Rāzi sebagaimana dikutip oleh M. Abdurrahman dan Elan Sumarna,
'adil didefinisikan sebagai kekuatan ruhani (kualitas spiritual), yang mendorong
untuk selalu berbuat takwa, mampu menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi
kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan
mubah yang menodai muru‟ah.

Menurut Muḥammad 'Ajjaj al-Khatib, 'adalat merupakan sifat yang melekat


didalam jiwa yang mampu mengarahkan pemiliknya untuk senantiasa bertakwa,
menjaga muru'ah, menjauhi perbuatan dosa, tidak melakukan dosa-dosa kecil, dan
menjauhi perbuatan yang menjatuhkan muru'ah seperti kencing dijalan, makan
dijalan dan lain sebagainya.

Untuk mengetahui 'adil tidaknya seorang rawi, para ulama hadis telah
menetapkan beberapa cara, yaitu: pertama, melalui popularitas keutamaan seorang
rawi di kalangan ulama hadis. Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya
mislanya Malik bin Anas dan Sufyan al-Thauri, kedua rawi tersebut tidak
diragukan keadilannya. Kedua, penilaian dari kritikus hadis. Penilaian ini berisi
pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadis.
Ketiga, penerapan kaidah al-jarh wa al-ta‘dil. Cara ini ditempuh apabila para
kritikus rawi hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.
D. Baligh

Yang dimaksud baligh adalah perawi yang cukup usia ketika meriwayatkan
hadits. Baik baligh karna berusia berumur 15 tahun atau baligh karena keluar
mani.

Imam Syafii yang mazhabnya diikuti oleh mayoritas muslim di Indonesia


mengatakan bahwa adanya rambut kemaluan adalah tanda baligh yang ditujukan
untuk orang kafir, bukan untuk muslim. Sementara untuk tanda-tanda baligh
sebagaimana dikutip dari kitab Safinatunnajah, beliau memfatwakan tanda baligh
dalam tiga macam.

‫ تمام خمسة عشرة سنة فى الدكر و اْال نثي و االحتالم في اللدكر واْالنثي لتسع سنين‬: ‫عالمات البلوغ ثالث‬
‫والحيض لتسع سنين‬

Artinya:

Tanda-tanda baligh ada tiga : 1) Telah mencapai umur 15 tahun (hijriyah) untuk
laki-laki dan perempuan, 2) Mimpi basah bagi laki-laki dan perempuan, dan 3)
Haid untuk perempuan yang berumur 9 tahun

Melihat kepada syarat yang telah disebutkan diatas maka tidak salahnya
seorang anak boleh menerima hadis asal saja ia sehat akal pikirannya.
Jumhur Ulama telah membolehkan anak-anak menerima riwayat hadis,
akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai berapa batas umur minimal
seseorang anak sehingga dibenarkan menerima riwayat hadis.
Pendapat pertama mengatakan bahwa batas minimal usia anak tersebut
adalah 5 (lima) tahun.
Pendapat kedua mengatakan bahwa anak tersebut sekedar bisa
membedakan antara sapi dan keledai. Ini adalah pendapat Musan bin Harun al-
Hammal.
Pendapat lain mengatakan bahwa syaratnya adalah asal si anak sudah
dapat memahami percakapan dan dapat berkomunikasi meskipun belum sampai 5
(lima) tahun

E. Dhabit
Ḍhabit artinya cermat dan kuat hafalannya. Sedangkan yang dimaksud
dengan rawi dhabit adalah rawi yang kuat hafalannya, tidak pelupa, tidak banyak
ragu, tidak banyak salah, sehingga ia dapat menerima dan menyampaikannya
sesuai dengan apa yang ia terima.

Dilihat dari kuatnya hafalan rawi, ke-ḍhabit-an ini terbagi menjadi dua
macam, yaitu: pertama, dhabit ṣadri atau ḍhabit al-fu'ad, dan kedua ḍabit al-kitab.
Ḍhabit ṣadri artinya kemampuan untuk memelihara hadis dalam hafalan sehingga
apa yang ia sampaikan sama dengan apa yang ia terima dari guruya. Sedangkan
dhabit al-kitab adalah terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-tulisan yang
dimilikinya, sehingga ia tahu apabila ada tulisan periwayatan hadis yang salah.
Sebagaimana rawi yang adil, rawi yang ḍhabit dapat diketahui melalui beberapa
cara. Cara untuk mengetahui ke- ḍhabit -an seorang rawi hadis menurut berbagai
pendapat ulama yaitu: pertama, ke-ḍhabit-an seorang rawi dapat diketahui
berdasarkan kesaksian ulama. Kedua, ke-ḍhabit-an seorang rawi dapat diketahui
juga berdasarkan kesesuaian riwayat seorang rawi dengan riwayat yang
disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-ḍhabit-annya, baik
kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah. Ketiga,
seorang rawi yang tidak sering mengalami kekeliruan tetap dikatakan dhabit
asalkan kesalahan itu tidak terus-menerus, tetapi jika ia sering mangalami
kekeliruan dalam meriwayatkan hadis, maka ia tidak disebut ḍhabit.

F. Muru’ah

Menurut Mausu’ah Fiqh al-Qulub, Muru’ah adalah: “Mengerjakan segenap


akhlak baik dan menjauhi segenap akhlak buruk; menerapkan semua hal yang
akan menghiasi dan memperindah kepribadian, serta meninggalkan semua yang
akan mengotori dan menodainya.”

Definisi ini mengisyaratkan bahwa semua akhlak mulia bisa tertampung di


dalamnya, sehingga cakupan Muru’ah pun menjadi sangat luas. Sebagai ilustrasi,
Imam Abu Bakr al-Khara’ithiy (w. 327 H) telah menyusun karya berjudul
Makarimul Akhlaq (akhlak-akhlak mulia), yang terdiri dari 3 juz dan memuat
1.041 riwayat. Untuk tema sebaliknya, beliau menyusun kitab berjudul Masawi’ul
Akhlaq (akhlak-akhlak buruk) setebal 5 juz kecil dan mengandung 872 riwayat.

Sebenarnya, ada beragam pandangan dalam masalah muru’ah ini. Para pakar
hadits, fikih, bahasa, dan sastrawan memiliki uraian tersendiri menurut sudut
pandang masing-masing. Meskipun demikian, umumnya mereka bersepakat
bahwa inti Muru’ah adalah akhlak mulia.
Hanya saja, karena luasnya cakupan, sebagian ulama’ kemudian meneliti
akhlak mana saja yang menjadi pilar tegaknya muru’ah ini. Ar-Rabi’ bin
Sulaiman berkata: saya mendengar Imam asy-Syafi’i berkata, “muru’ah itu
mempunyai empat pilar, yaitu berakhlak baik, dermawan, rendah hati, dan tekun
beribadah.” (Sunan al-Baihaqi, no. 21333).

Mutawatir

Mutawatir secara bahasa artinya berturut-turut atau lebat. Sedangkan secara


istilah, Nuruddin dalam Manhaj Al-Naqdi fi Ulum al-Hadist (1997)
mendefinisikan hadist Mutawatir sebagai berikut:
“Hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak yang diyakini tidak akan
sepakat berbuat dusta dari perawi yang semisalnya, dari awal sanad hingga
akhirnya. Yang periwayatannya disandarkan kepada pengamatan indrawi”.
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa hadist Mutawatir diriwayatkan
oleh banyak orang. Dengan jumlah sebanyak itu, mustahil mereka sepakat untuk
berdusta, sehingga diyakini kebenarannya.
Mengutip Saifuddin Zuhri (2008) para ulama bersepakat hadist Mutawatir
berisi pengetahuan yang pasti bersumber dari Rasulullah SAW. Oleh sebab itu
hadist tersebut harus diterima secara bulat dan wajib diamalkan dalam seluruh
aspek, termasuk dalam bidang akidah.

Masyur

Secara bahasa, masyhur artinya: terkenal, populer, tidak asing, familier. Kata
masyhur ini sudah terserap ke dalam Bahasa Indonesia dengan sangat baik,
dengan makna yang sama.

Secara istilah, hadits masyhur adalah:


“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada tiap
tingkatannya, namun tidak sampai pada derajat hadits mutawatir.”

Berdasarkan definisi di atas, hadits masyhur itu:


 diriwayatkan oleh minimal tiga orang perawi
 minimal tiga orang artinya: tiga orang atau lebih (empat, lima, enam, dan
seterusnya)
 tiga orang perawi atau lebih itu ada pada setiap tingkatan perawi
(thabaqah)
 tiga orang perawi atau lebih, yang dibawah jumlah perawi hadits
mutawatir
Contoh hadits masyur;
‫ ِإَّن َهَّللا َال َيْقِبُض اْلِع ْلَم‬:‫َع ْن َع ْبِد ِهَّللا ْبِن َع ْم ِر و ْبِن اْلَع اِص َقاَل َسِم ْع ُت َر ُسوَل ِهَّللا صلى هللا عليه وسلم َيُقوُل‬
‫ اَّتَخ َذ الَّناُس ُر ُء وًسا‬، ‫ َح َّتى ِإَذ ا َلْم ُيْبِق َعاِلًم ا‬، ‫ َو َلِكْن َيْقِبُض اْلِع ْلَم ِبَقْبِض اْلُع َلَم اِء‬، ‫ َيْنَتِزُع ُه ِم َن اْلِع َباِد‬، ‫اْنِتَزاًعا‬
‫ َفَض ُّلوا َو َأَض ُّلوا‬، ‫ َفَأْفَتْو ا ِبَغْيِر ِع ْلٍم‬، ‫ُجَّهاًال َفُس ِئُلوا‬

Dari Abdullah bin Amr bin Ash, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw.
bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu itu dari para hamba-hamba-Nya begitu
saja. Namun Allah mencabut ilmu itu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga
tidak ada lagi seorang ulama pun yang masih hidup. Lalu umat manusia akan
menjadikan orang-orang bodoh sebagai panutan. Orang-orang bodoh itu pun
menjadi rujukan. Mareka menjawab pertanyaan tanpa ilmu. Mereka sesat dan
menyesatkan.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

‫ِإَّن َهَّللا اَل َيْقِبُض اْلِع ْلَم اْنِتَز اًعا َيْنَتِز ُع ُه ِم ْن اْلِعَباِد َو َلِكْن َيْقِبُض اْلِع ْلَم ِبَقْبِض اْلُع َلَم اِء َح َّتى ِإَذ ا َلْم ُيْبِق َعاِلًم ا اَّتَخ َذ‬
‫الَّناُس ُر ُء وًسا ُجَّهااًل َفُس ِئُلوا َفَأْفَتْو ا ِبَغْيِر ِع ْلٍم َفَض ُّلوا َو َأَض ُّلوا‬

“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba,


akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila
sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari
kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu,
mereka sesat dan menyesatkan”. (HR. Bukhari, Muslim, At-Thabrani, dan Ahmad
dari empat orang sahabat).

Aziz
Mahmud Thahan menjelaskan dalam Taisir Musthalah Hadis, bahwa hadis aziz
adalah hadis yang diriwayatkan tidak kurang dari dua orang pada tiap tingkatan
perawinya.
Secara bahasa, kata aziz merupakan sifat mubasyabah dari kata kerja azza
ya’izzu yang berarti qalla dan nadzara yaitu sedikit dan jarang, atau azza ya’azzu
berarti qawiya dan isytadda artinya kuat. Dinamakan hadis aziz karena jarangnya
yang meriwayatkan atau kuatnya riwayat dari segi sanadnya.
Misalnya pada tingkatan sahabat hanya terdapat dua perawi, atau pada
tingkatan tabiin-nya, meskipun pada tingkatan perawi setelah tabiin terdapat
banyak yang meriwayatkan hadis tersebut, hadis itu tetap disebut hadis aziz.
Contoh hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim tentang hadis berikut

‫ اليؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين‬:‫أن الرسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬

Sesunguhnya Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah kalian beriman sampai aku


menjadi yang paling ia cintai dari kedua orang tuanya, anaknya dan semua
manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syahid
syahid adalah hadis yang perawinya sama dengan perawi hadis dari sahabat yang
berbeda dengan matan yang serupa baik dari segi lafal dan maknanya ataupun
maknanya saja.
Adapun definisi kata syahid secara terminologi ilmu hadis, berikut ini merupakan
beberapa definisi yang dijelaskan oleh para ulama:

‫المشارك في اللفظ أو المعنى مع عدم االتحاد في الصحابي‬

“Hadis yang menyamai hadis lain dari segi lafalnya atau maknanya saja serta
tidak adanya kesamaan dalam sanad sahabatnya”

Contoh hadis syahid maknawi


‫ قال النبي صلى هللا‬: ‫حدثنا آدم حدثنا شعبة حدثنا محمد بن زياد قال سمعت أبا هريرة رضي هللا عنه يقول‬
‫عليه و سلم أو قال قال أبو القاسم صلى هللا عليه و سلم ( صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم‬
) ‫فأكملوا عدة شعبان ثالثين‬
(‫)رواه البخاري‬.

“Adam bercerita kepada saya, Syu’bah bercerita kepada saya, Muhammad Ibn
Ziyad bercerita kepada saya, berkata Ia, saya mendengar Abu Hurairah Ra.
Berkata, Nabi Muhammad saw. bersabda, atau Ia (Abu Hurairah) berkata, Abu al-
Qasim saw. bersabda: berpuasalah kalian semua karena melihatnya (Hilal) dan
berbukalah kalian semua karena melihatnya, lalu jika (hilal) tertutup kepada
kalian semua, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban itu ke 30. HR. Al-
Bukhari”

Tabi’
Kata Tabi’ dalam kajian ilmu bahasa, juga merupakan bentuk isim fa’il yang
diderivasi dari fi’il madhi taba’a. Kata Tabi’ ini menurut bahasa mempunyai arti
pengikut. Dan dalam istilah lain, kata Tabi’ ini juga dikenal dengan sebutan
Mutabi’ atau Mutaba’ah.
Sedangkan secara terminologi, para ulama juga mendefinisikannya dengan
berbagai redaksi, di antaranya adalah:
‫الحديث الذي يشارك فيه رواته رواة الحديث الفرد لفظا ومعنى أو معنى فقط مع االتحاد في الصحابي‬

“Hadis yang para periwayat atau perawinya sama dengan para periwayat atau
perawi hadis ghorib dari segi lafal dan maknanya atau maknanya saja serta adanya
persamaan dalam sanad sahabatnya”

Contoh hadits;
‫حدثنا ابن نمير حدثنا أبي حدثنا عبيدهللا بهذا اإلسناد وقال فإن غم عليكم فاقدروا ثالثين نحو حديث أبي أسامة‬
)‫(رواه مسلم‬

“Ibn Numar bercerita kepada saya, ayah saya bercerita kepada saya, Ubaidillah
bercerita kepada saya dengan sanad ini dan Dia berkata : maka jika (hilal itu)
samar terhadap kalian semua, maka perkirakanlah 30 (hari) sebagaimana hadis
Abi Usamah. HR. Muslim”

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Ibnu Ash-Shalah berpendapat, bahwa syarat hadis sahih seperti tersebut di


atas, telah disepakati oleh para muhaddisin. Hanya saja, kalaupun mereka
berselisih tentang kesahihan suatu hadis, bukanlah karena syarat-syarat itu sendiri,
melainkan adanya perselisihan dalam menetapkan terwujud atau tidaknya sifat-
sifat tersebut, atau karena adanya perselisihan dalam mensyaratkan sebagaian
sifat-sifat tersebut. Misalnya Abiz Zinad mensyaratkan bagi hadis sahih,
hendaknya rawinya mempunyai ketenaran dan keahlian dalam berusaha dan
menyampaikan hadis.
Ibnu As- Sam’any mengatakan, bahwa hadis sahih itu tidak cukup hanya
diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (‘adil dan dhabith) saja, tetapi juga harus
diriwayatkan oleh orang yang paham benar terhadap apa yang diriwayatkan,
banyak sekali hadis yang telah didengarnya dan kuat ingatannya.
Ibnu Hajar tidak sependapat tentang ketentuan-ketentuan syarat-syarat hadis sahih
sebagaimana yang telah diutarakan oleh ulama-ulama tersebut. Syarat-syarat
sebagaimana yang dikemukakan oleh Abiz Zinad itu sudah tercakup dalam
persyaratan dhabith, sedang syarat-syarat yang dikemukakan oleh Ibnu As-
Sam’any sudah termasuk dalam syarat tidak ber’illat. Karena dengan diketahuinya
bahwa suatu hadis itu tidak ber’illat, membuktikan bahwa rawinya adalah orang
yang sudah paham sekali dan ingat benar tentang apa yang diriwayatkannya.

DAFTAR PUSTAKA
https://123dok.com/article/kriteria-kesahihan-hadis-kaidah-kesahihan-hadis.qmv2x6wq
https://www.bacaanmadani.com/2019/09/syarat-syarat-perawi-dalam-tahammul-wal.html
https://islam.nu.or.id/syariah/tiga-tanda-seorang-anak-dikatakan-baligh-ZOGmU
https://www.referensimakalah.com/2012/08/pengertian-dhabit-dalam-ilmu-hadis.html
https://kumparan.com/berita-hari-ini/hadist-mutawatir-syarat-dan-kedudukannya-1vJxyVJSA5I
https://www.ahdabina.com/hadits-masyhur-pengertian-contoh-dan-penjelasannya/
https://bincangsyariah.com/khazanah/apa-itu-hadis-aziz-ini-pengertian-macam-dan-contohnya/
https://dalamislam.info/pengertian-hadis-syahid-dan-tabi/
Muhammad Ajaj al Khatib, Ushul al-Hadis, Ulumul hadis wa Musthalahahuh, Dar Fikri,
Beirut, 1975, hal. 227-229
https://hidayatullah.com/kajian/gaya-hidup-muslim/read/2013/05/08/4695/kenalilah-muruah-dan-
pilar-pilarnya.html

Anda mungkin juga menyukai