Anda di halaman 1dari 4

Pengertian Sanad Hadis

Menurut bahasa, kata ‫سند‬ (sanad)mengandung kesamaan arti kata ‫طريق‬ (thariq) yaitu jalan


atau sandaran. Sedangkan menurut istilah hadis, sanad ialah jalan yang menyampaikan
kita kepada matan hadis.[1]
Dalam bidang ilmu hadits sanad itu merupakan neraca untuk menimbang shahih atau
dhaifnya. Andai kata salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta
atau jika setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung
(muttashil), maka hadits tersebut dhaif sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Demikian
sebaliknya jika para pembawa hadits tersebut orang-orang yang cakap dan cukup
persyaratan, yakni adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri (muru’ah), dan
memilikimdaya ingat yang kredibel, sanadnya bersambung dari satu periwayat ke
periwayat lain sampai pada sumber berita pertama, maka haditsnya dinilai shahih.
Tidak layak naik ke loteng atau atap rumah kecuali dengan tangga. Maksud tangga
adalah sanad, jadi seseorang tidak akan mungkin sampai kepada Rasulullah dalam
periwayatan hadits melainkan harus melalui sanad. Pernyataan di atas memberikan
petunjuk, bahwa apabila sanad suatu hadits benar-benar dapat di pertanggung jawabkan
keshahihannya, maka hadits itu pada umumnya berkualitas shahih dan tidak ada alasan
untuk menolaknya. Studi sanad khusus hanya dimiliki umat Muhammad, umat-umat
terdahulu sekalipun dalam penghimpunan kitab suci mereka dan juga tidak ditulis pada
masa Nabi nya tidak disertai sanad. Padahal ditulis setelah ratusan tahun dari masa Nabi
nya. Kitab suci mereka ditulis berdasarkan ingatan beberapa generasi yang dinisbatkan
pada Nabi Isa yang tidak di sertai dengan sanad.
Contoh Sanad
 : ‫قال‬ ‫أبيه‬ ‫عن‬ ‫مطعم‬ ‫بن‬ ‫جبير‬ ‫بن‬ ‫محمد‬ ‫عن‬ ‫شهاب‬ ‫ابن‬ ‫عن‬ ‫مالك‬ ‫أخبرنا‬ ‫ل‬ ‫قا‬ =‫يوسف‬ ‫بن‬ ‫هللا‬ ‫عبد‬ ‫حدثنا‬
)‫البخاري‬ ‫ (رواه‬.‫الطور‬ ‫المغرب‬ ‫فى‬ ‫قرأ‬ ‫عليه‬ ‫هللا‬ ‫صلى‬ ‫هللا‬ ‫رسول‬ ‫سمعت‬
Artinya:
“memberitakan kepada kami Abdullah bin Yusuf ia berkata; memberitakan kepada kami
Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya berkata:
“aku mendengar Rasulallah SAW membaca surah Ath-Thur pada salat maghrib.” (HR.
Al-Bukhori)
Dari contoh hadis di atas jika diteliti, maka yang dimaksud dengan sanad adalah dimulai
dari haddatsana Abdullah bin Yusuf hingga pada lafadz ‘An biihi qaala, yang
menyambungkan kepada Rasulullah SAW. Agar lebih jelas berikut ini diterangkan
dalam bentuk denah periwayatan hadits di atas.
........................

Tolak Ukur Kesahihan Sanad Hadits


Setelah menyusun keseluruhan sanad yang telah ditakhrij dalam sebuah skema sanad
(guna memudahkan pembacaan jaringan sanad hadits yang sedang diteliti), maka untuk
selanjutnya dilakukan telaah kritis terhadap sanad hadits tersebut, namun sebelum
menetapkan suatu hadits itu sahih atau tidak, diperlukan tolak ukur yang baku (setidak-
tidaknya telah dibakukan oleh ulama’ hadits), yaitu yaitu sebagaimana dikemukakan al-
nawawi bahwa yang disebut hadits sahih adalah :
“Yaitu hadits yang bersambung oleh rawi-rawi yang adil dan dhabit serta terhindar dari
syudhut dan illat”.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kaedah kesahihan hadits adalah
1)      Sanadnya bersambung
2)      Seluruh rawi dalam sanad tersebut adil. Yang dimaksud dengan adil yaitu :
a. Beragama islam dan menjalankan agamanya dengan baik
b.Berakhlak mulia
c. Terhindar dari kefasikan
3)      Seluruh rawi dalam sanad tersebut dhabit. Yang dimaksud dengan dhabit yaitu :
a. Rawi memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya .
b.Rawi tersebut hafal dengan baik riwayat yang telah diterimanya. Rawi tersebut mampu
menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya dengan baik, kapan saja dia kehendaki dan
sampai saat dia menyampaikan kembali riwayat tersebut kepada orang lain.
4)      Haditsnya terhindar dari syudhud.
5)      Haditsnya terhindar dari illat.
Pengertian illat adalah sebab tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Jadi kaedah
hadits yang berillat adalah :
a. Tampak secara lahiriah sahih.
b.Sebenarnya dalam hadits itu ada kecacatan.
E. Tolak Ukur Kesahihan Matan Hadits
Kritik matan telah dilakukan sejak masa sahabat, dan cara-cara mereka ini pulalah  yang
tetap dipertahankan hingga kini, namun sebelum menguraikan tolak ukur matan hadits
ini terdapat langkah sistematis yang perlu dilalui yaitu:
a)Pada langkah pertama ini menunjukkan bahwa telaah matan hadits ini tidak terlepas
dari telaah sanad hadits yang sebagai satu kesatuan hadits, sehingga matan yang sahih
tetari tidak didukung sanad yang sahih tiak serta merta dapat dinyatakan sebagai hadits
yang shahih atau benar-benar bersumber dari nabi saw. demikian pula sebaliknya.
b)      Sedangkan langkah kedua dilakukan telaah lafal, karena hadits yang sampai kepada
beberapa mukharrij memiliki keragaman, sehingga perlu dilakukan telaah terhadap
berbagai lafal yang ada pada beberapa hadits semakna tersebut, hal ini juga dipengaruhi
oleh adanya hadits nabi yang yang sampai kepada mukharrij lebih banyak bersifat
riwayat bil ma’na dari pada riwayat bil lafdhi.
c)Adapun langkah ketiga sebagai tindak lanjut dari langkah sebelumnya yaitu setelah
peneliti mampu mengembara dengan bekal beberapa hasil rekaman berita yang semakna
tersebut dilanjutkan dengan rekonstruksi makna bahwa hadits ini diyakini berasal dari
nabi saw.
Untuk membantu kearah yang benar dalam menyimpulkan bahwa hadits-hadits tersebut
benar-benar datangnya dari nabi saw., maka untuk mengukur hadits tersebut shahih
dilakukan langkah teknis lain yaitu :
a)Memperhadapkan hadits tersebut dengan al-qur’an, sebab alqur’anlah yang menjadi
dasar hidup nabi saw., sementara hadits adalah rekaman terhadap aktualisasi nabi saw.
atas nilai-nilai alqur’an tersebut.
b)      Memperhadapkan hadits tersebut dengan hadits-hadits yang lain atau sunnah nabi
saw.
c)Memperhadapkan hadits itu dengan realitas sejarah, sebab aktualisasi nabi saw. terikat
oleh ruang dan waktu, oleh karenanya untuk menguji suatu suatu rekaman yang
disandarkan kepada nabi saw. Salah satunya tidak bertentangan dengan sosio historis
yang ada pada saat berita itu direkam.
F. Syarat-syarat yang diperlukan pada perawi hadits
Diisyaratkan untuk menerima riwayat para perawi hadits atau khbar yang tidak
mutawatir supaya sah kita berhujjah dengannya, ada dua syarat :
1.perawi itu seorang yang adil.
2.perawi itu seorang perawi yang dhabit bagi riwayatmya.
Diperlukan dua syarat ini adalah supaya kita bias mempercayainya terhadap agamanya
dan supaya yang diriwayatkan itu dapat dipercayai karena kuat hafalannya, sedikit
salahnya dan kelupaannya.
Jika perawi itu banyak salah dan lupa, ditolaklah riwayatnya, terkecuali riwayatnya yang
dapat diketahui bahwa dia tidak khilaf dan lupa padanya. Dan jika dia seorang yang tidak
banyak, diterimalah riwayatnya, terkecuali riwayat diketahui bahwa perawi itu salah
padanya.
Pendapat lain mengatakan bahwa syarat-syarat rawi yaitu :
a)       Bulugh artinya ia sudah baligh menurut ketentuan agama.Artinya bahwa ia  sudah
baligh ketika meriwayatkan hadits yang bersangkutan,sekalipun waktu menerimanya
masih kecil atau belum mencapai baligh.
b)      Islam.artinya saat ia menyampaikan hadits ia dalam keadaan islam,walaupun waktu
menerimanya masih beragama lain.
c)      ‘Adalah.Yakni orang islam,  aqil baligh (berakal) dan tidak terjangkit penyakit gila,
juga tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak membiasakan melakukan dosa kecil.
d)     Dhobath.yaitu dapat menangkap apa yang diterima dan didengar,kuat hafalannya
dan bukan pelupa,sehingga dimana dan kapan saatnyapun jika diperlukan maka ia dapat
mengulang kembali dan menyebutkan hadits yang diterima olehnya itu dengan baik.
e)      Ittishol.yakni bersambung.artinya rowi yang menerima hadits itu bertemu langsung
dengan rowi yang diatasnya,jadi seperti rawi G bertemu dengan F,rowi F bertemu
dengan rowi E,E bertemu D demikian seterusnya hingga rowi A bertemu sendiri dengan
rosulullah saw.
f)       Ghoiru syadz.yakni tidak ganjil.Maksudnya hadits yang diriwayatkan tidak
berlawanan dengan hadits lain yang lebih kuat dan juga tidak berlawanan dengan Al
qur’an.
Jalan atau cara untuk mengetahui keadilan dan kedhabitan perawi.
Diketahui bahwa seseorang perawi itu adil, dengan cara berikut ini :
Dengan karena telah terkenal dalam masyarakat bahwa perawi tersebut seorang yang
adil, yaitu seperti imam malik, syu’bah, al-auza’i, sufyan ats-tsauri, dan lain-lain.
Dengan disaksikan oleh seorang ahli yang diterima perkataannya, bahwa perawi tersebut
seorang yang ahli. Ibnush shalah menetapkan, bahwa perlu dua orang ulama’ untuk
untuk mentazkiyahkan seseorang perawi, yakni untuk menerangkan bahwa perawi itu
oeang yag adil.
Para ulama’ sependapat bahwa tazkiyah (mengaku keadilan seorang perawi) dari dua
orang mengukupi. Mereka berselisih tentang menerima tazkiyah dari seseorang saja.
Kebanyakan fuqaha’ ahli madinah, menurut hikayat alqadli abu baker, bahwa adil dan
tidaknya (‘adalah dan jarah) tidak dapat ditetapkan dengan tazkiyah (ta’dil) atau tajrih
seorang saja. Mereka mengkiaskan dengan syahadah (persaksian).
Diketahui seseorang perawi itu dhabit adalah dengan  mengi’tibarkan riwayat-riwayatnya
dengan riwayat – riwayat orang kepercayan yang terkenal kuat ingatan dan bagus
hafalan. Jika kita dapati riwayatnya sesuai dalam kebanyakannya, sedang  kesalahannya
sedikit, walaupun dari jurusan makna, yakinlah kita bahwa perawi hadits  itu seorang
yang dhabit.

DAFTAR PUSTAKA
Bustamin dan M.Isa H. A. Salam, Metode Kritik Hadis, JJakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2004.
http://ruruls4y.wordpress.com/2012/03/27/unsur-unsur-pokok-dalam-hadis/

Anda mungkin juga menyukai