Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits adalah pedoman hidup umat Islam setelah Al-Qur’an. Segala sesuatu
yang tidak di sebutkan atau dijelaskan dalam Al-Qur’an baik dari segi ketentuan
hukumnya, cara mengamalkannya,dan petunjuk dalilnya, maka semua itu dijelaskan
dalam hadits Rasulullah SAW. Intinya, hadits adalah penjelas dari Al-Qur;an. Al-
Qur’an dan hadits adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Oleh karena itu, dapat
dipahami betapa pentingnya hadits sebagai petunjuk untuk kehidupan umat Islam.

Dapat diketahui pula bahwa sejarah pencatatan dan penghimpunan hadist Nabi
tidaklah sama dengan sejarah pencatatan damn penghimpunan Al-qur’an,pada zaman
Nabi, tidaklah seluruh hadist Nabi dicatat oleh para sahabat nabi,hal ini dikarenakan
karena Nabi sendiri pernah secara umum melarang para sahabat menulis hadist
beliau,hanya orang-orang tertentu saja dari kalangan sahabat yang diizikan oleh nabi
melakukan pencatatan hadist.

Setelah itu tahap selanjutnya yaitu periwayatan hadist, sejarah menyatakan


bahwa pada zaman Abu Bakar dan Khalifah Umar Bin Khattab periwayatan hadist
Nabi berjalan dengan sangat hati-hati,dikarenakan pada saat itu bagi kalangan sahabat
yang ingin menyampaikan riwayat hadist diminta untuk menghadirkan saksi dan
bahkan sampai melakukan saksi,dengan demikian kegiatan periwayatan hadist menjadi
snagat terbatas pada waktu itu, namun seiring berjalannya waktu di tengah-tengah roda
pemerintahan diresmikanlah penghimpunan hadist secara resmi,dan karena setelah
kejadian ini bermunculanlah banyak periwayat dikalangan sahabat nabi maupun para
sahabat khalifah sendiri.

Seiring berkembangnya zaman, banyak sekali pihak-pihak yang ingin


memalsukan hadits. Dengan cara membuat hadits-hadits palsu, peristiwa awal mula
banyaknya terjadi pemalsuan hadist yaitu pada masa kepemimpinan Khalifah Ali Bin
Abi Thalib.Menimbang betapa pentingnya hadits untuk kehidupan umat islam dan
banyaknya Hadits palsu yang sudah beredar, maka sebagai umat Islam harus
mengetahui keaslian hadits. Untuk mendeteksi keaslian hadits dengan cara mengetahui
transformasi hadits. Transformasi hadits yang dimaksud yakni Periwayatan Hadits atau
jalannya hadits dari perawi sampai pada Rasulullah. Ini adalah cara untuk mengetahui
keaslian hadits dan kedudukan hadits.

1
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian periwayaan hadits ?
2. Apa yang dimaksud dengan periwayatan hadits dengan lafadz dan makna ?
3. Apa syarat-syarat periwayatan hadits ?
4. Bagaimana cara penerimaan periwayatan hadits ?
5. Bagaimana macam macamperiwayatan hadits ?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian periwayatan hadits
2. Mengetahui periwayatan hadits dengan lafadz dan makna
3. Mengetahui syarat-syarat periwayatan hadits
4. Mengetahui cara penerimaan periwayatan hadits
5. Mengetahui macam - macam periwayatan hadits

2
BAB II

PEMBAHASAN
1. Pengertian periwayatan hadits

Periwayatan secara etimologi diambil dari kata Al-Riwayat dalam bahasa Arab
yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja “rawa yarwi riwayatan” yang dapat
berarti al-naql (penukilan), Al-zikr (penyebutan), al-fatl (pintalan) dan al-istiqa
(pemberian minum sampai puas), atau dalam istilah ini terkait dengan kegiatan
menghimpun kitab-kitab hadis yang dikenal riwayat hadis. Dalam bahasa Indonesia
periwayatan yang diserap dari bahasa Arab mempunyai arti cerita atau sejarah. Adapun
orang yang meriwayatkannya disebut dengan rawi, yang diriwayatkan disebut marwiy,
rangkaian para periwayatanya yaitu sanad dan substansi yang setelah sanad dinamai
matan.

Sedangkan periwayatan hadits adalah proses penerimaan (naql dan tahammul)


hadits oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati,
diamalkan (dhabth), ditulis dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid dengan
menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.
Dalam proses ini terjadi dua peristiwa, yaitu tahammul dan ada’. Tahammul
adalah cara penyampaian hadits dari seorang syaikh atau guru kepada muridnya.
Sedangkan ada’ adalah proses penerimaan hadits oleh seorang murid dari syaikh atau
gurunya. Dengan demikian, antara dua peristiwa di atas tidak bisa dipisahkan karena
keduanya saling berkaitan.

Sedangkan pengertian syahadah atau kesaksian, secara etimologi mempunyai


tiga arti, yaitu menghadiri atau mendapati, mengkhabarkan dan mengetahui. Secara
terminologi kesaksian adalah suatu khabar yang khusus, dimaksudkan untuk menjadi
dasar putusan hakim. Demikian kata Al-Mazari dalam syarah Al Burhan. Sedangkan
menurut Ibnu Faris kesaksian adalah mengkhabarkan yang disaksikan.

Ulama umumnya berpendapat, persamaan periwayatan dan kesaksian terletak


pada empat hal, yaitu pelakunya haruslah beragama Islam, berstatus mukalaf (baligh
dan berakal), bersifat adil dan bersifat dlabit. Dan semua itu menjadi syarat yang harus
dipenuhi bagi periwayat hadis dan saksi. Oleh karena itu periwayat hadis pun bisa
dikatakan saksi atas berita yang diriwayatkannya, seperti yang dikenal dalam ilmu
sejarah, selama hal ini tidak disamakan persis dalam kesaksian perkara dikarenakan
terdapat persamaan dan perbedaan dalam hal ini.

3
2. Pengertian Periwayatan Hadis Dengan Lafal dan Makna
a. Periwayatan Lafzhi

Periwayatan hadis lafdhi merupakan periwayatan hadis yang lafalnya atau


matannya sama seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah SAW. Namun hal ini hanya
dapat dilakukan jika mereka (periwayat hadis) benar-benar menghafal hadis yang
disabdakan Rasulullah dan kuwat daya ingatannya.

Mayoritas para sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka
berusaha agar dalam meriwayatkan hadis benar-benar sesuai dengan yang disampaikan
oleh Rasulullah, bukan menurut redaksi mereka. Hal ini dilakukan agar kwalitas
matannya terjaga. Bahkan, menurut Ajjaj Al-Khatib, seluruh sahabat menginginkan
periwayatan hadis harus melalui jalan ini (periwayatan lafzdi).

Begitu pentingnya priwayatan hadis dengan lafal, umar bin khaththab pernah
berkata: “Barang siapa yang mendengar hadis dari rasulullah SAW. Kemudian ia
meriwayatkannya sesuai yang ia dengar, maka ia akan selamat.” Ini menjadi bukti
bahwa periwayatan hadis dengan lafal sangat diutamakan dalam periwayatan hadis.
Ibnu Umar merupakan salah satu sahabat yang sangat menuntut periwayatan hadis
dengan lafal, dia sering sekali menegur sahabat yang membacakan hadis yang berbeda
dengan yang didengarnya dari Rasulullah meskipun secara subtansial makna matannya
sama. Seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid bin Amir, suatu ketika dia
menyebutkan hadis tentang lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa
Ramadhan pada urutan ketiga, Ibnu Umar langsung menegurnya dengan menyuruhnya
agar puasa Ramadhan diletakkan pada urutan keempat sebagaimana yang ia dengar
dari Rasulullah.

b. Periwayatan Maknawi.
Sebagian ulama berpendapat bahwa periwayatan hadis tidak hanya dengan lafal,
ada yang membolehkan periwayatan hadis dengan makna, yang artinya periwayata
hadis yang matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah, tetapi isi
atau maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkaan oleh
Rasulullah. Tidak sama dengan Al Qur’an yang tidak boleh diriwayatkan dengan
makna. Hadis merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau. Sehingga dengan demikian
periwayatan hadis dengan makna diperbolehkan dengan ketentuan apabila tidak
mungkin meriwayatkannya dengan lafaz dan orang yang meriwayatkan itu mengetahui
apa yang ditunjuk oleh lafaz Nabi dan bahasanya.

4
Golongan yang membolehkan ini beralasan dengan hadis yang diriwayatkan oleh
Abdullah bin Sulaiman yang mengatakan ia bertanya kepada Rasul, yang artinya: “Hai
Rasulullah, sesungguhnya saya mendengar hadis darimu tetapi saya tak sanggup
meriwayatkannya menurut apa yang saya dengaryang bisa menambah atau
menguranginya barang sehuruf. Maka nabi bersabda: Apabila engkau tidak sampai
menghalalkan yang haram dan tidak sampai mengharamkan yang halal serta
maknanya tepat, maka hal itu taka pa-apa.”
Meskipun demikian, para sahabat sangat berhati-hati dalam melaksanakannya.
Ibnu Mas’ud misalanya, ketika ia meriwayatkan hadis, ia menggunakan term-term
tertentu untuk mengutkan penukilannya, seperti dengan kata qala rasulullah Shallahu
alaihi wasallam hakadza (rasulullah SAW. Telah bersabda begini) atau qala
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam qariban min hadza.
3. Syarat-syarat priwayatan hadits

Sebagaimana telah disebutkan bahwa al-ada’ adalah menyampaikan atau


meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh karenanya ia mempunyai peranan yang
sangat penting dan sudah barang tentu menurut pertanggung jawaban yang sangat
berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga tergantung padanya. Mengingat hal-
hal seperti ini, jumhur ahli hadits, ahli ushul, dan ahli fiqih menetapkan beberapa syarat
bagi periwayatan hadits seperti yang disebutkan berikut ini:
a. Islam

Pada waktu meriwayatkan hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan
menurut ijma’ periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang yang fasik
saja, kita disuruh bertawaquf,maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan
masalah ini kita bias bandingkan dengan firman Alloh SWT yang artinya: “hai orang-
orang yang beriman, apabila dating kepadamu orang-orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui suatu keadaan sehingga kamu akan menyesal
atas perbuatanmu itu” (QS Al-Hujurat: 6)
b. Baligh

Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia


meriwayatkan hadits, walaupun penerimaannya sebelum baligh hal ii sesuai dengan
hadits Rosululloh SAW yang artinya “ hilang kewajiban menjalankan syari’at islam
dari tiga golongan yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai dia
bangun dan anak-anak sampai ia mimpi” ( HR. Abu Dawud dan Nasa’I ). Dan hadits

5
ini diperkuat juga dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Al
Hakim yang artinya “ diangkat kalam dari tiga orang : dari orang gila yang digagahi
akalnya sehingga dia sembuh, dari orang tidur sehingga dia bangun, dari anak kecil
hingga ia dewasa”.

Para ulama tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena anak kecil belum
menyadari akibat berdusta dan syara’ tidak membenarkan anak kecil menjadi wali
ehadap dirinya dalam urusan keduniaan maka dalam urusan keakheratan tentulah lebih
utama lagi. Sampai umur adalah dasar untuk menetapkan seseorang itu mempunyai
paham dengan pengertian maka dari itu baligh merupakan salah satu dari syarat-syarat
periwayatan hadits
c. ‘Adalah

Yang dimaksud dengan adil (‘adalah) disini adalah suatu sifat yang melekat
pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap
taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri denag kebenarannya,
menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dari dosa kecil, dan menjauhkan diri dari
hal-hal yang mubah yang merusak muru’ahnya seperti makan sambil jalan, berkamih
dijalan-jalan besar, menggauli orang-orang rendah pekerti atau terlal suka bergurau dan
selalu
d. Dhabith

Dhabith ialah teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu
hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu ia menerima hingga menyampaikannya.

Jalannya mengetahui ke Dhabittan perawi dengan jalan I’tibar terhadap berita-


beritanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan.
Ada yang mengatakan bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan diatas,
antara perawi satu dengan perawi yang lain harus bersambung, hadits yang
disampaikan itu tidak syadz tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits
yang lebih kuat dan ayat-ayat Al-Qur’an.
4. Cara-cara penerimaan periwayaan hadits

Para ulama hadits menggolongkan cara menerima suatu periwayatan hadits menjadi
delapan macam:
a) Al-Sama’

6
Suatu cara penerimaan hadits dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan
gurunya dengan cara didekatkan , baik dari hafalannya maupun dari tulisannya,
sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikannya tersebut.
Menurut jumhur ahli hadits, ini yang paling tinggi tingkatannya. Sebagian dari
mereka adayang mengatakan bahwa Al-Sama’ yang dibarengi dengan Al-Kitabah
mempunyai nilai lebih tinggi dan paling kuat karena tejamin kebenarannya dan
terhindar dari kesalahan disbanding dengan cara-cara lainnya, disamping para
sahabat juga menerima hadits Nabi SAW dengan cara seperti ini.
Termasuk kategori sama’ juga seorang yang mendengarkan hadits dari syekh
dari balik satar (semacam kain pembatas/ penghalang), jumhur ulama
membolehkannya dengan berdasarkan para sahabat yang juga pernah melakukan
hal demikian ketika meriwayatkan hadits-hadits rosululloh melalui umahat al-
mu’minin (para istri Nabi ).
b) Al-Qira’ah ‘ala al-syaikh atau ‘aradh al-qira’ah

Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara seseorang membacakan hadits
dihadpan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain,
sedangkan sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru hafal
maupun tidak, tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau
tergolong tsiqqah.

Ajjaj Al-Khatib dengan mengutip pendapat Imam Ahmad, mensyaratkan orang


membaca (qari’) itu mengetahui dan memahami apa yang diaca. Sementara, syarat
bagi syekh dengan mengutip pendapat Imam Haramain hendaknya yang ahli dan
teliti ketika mendengar atau menyimak dari apa yang dibaca oleh qari’, sehingga
tahrif maupun tashrif dapat terhindarkan. Jika tidak demikian, maka proses
tahammul tidak sah.
c) Al-munawalah

Seoarng guru memberi suatu hadits atau beberapa hadits atau sebuah kitab
kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengetengahkan bahwa Al-
Munawalah adalah seorang guru memberi seoarng murid kitab asliyang didengar
dari guru memberi kepada seorang murid , kitab asli yang didengar dari gurunya,
atau sesuatu naskah yang sudah dicocokkan, sambil berkata “ inilah haits-hadits
yang sudah saya dengar dari seseorang maka riwayatkanlah hadits itu dariku dan
saya ijazahkan kepadamu untuk diriwayatkan”. Al-Munawalah mempunyai dua
bentuk yaitu:

7
Al- munawalah yang dibarengi denga ijazah, misalnya setelah sang guru
menyerahkan kitabnya yang telah dia riwayatkan lalu dia katakana kepada
muridnya “ini riwayat saya maka riwayatkanlah dariku”, kemudian
menyerahkannya kemudian sang murid menerima sambil sang guru berkata,” saya
telah ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku”

Al-Munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru


kepada muridnya “ ini hadits saya” dan tidak menyuruh muridnya untuk
meriwayatkan kepada orang lain.
d) Al-Ijazah

Seorang guru memberi izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits atau
kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak
membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya. Seperti :”
saya mengijazahkan kepaamu untuk meriwayatkan dariku”

Al-Qadhi ‘iyad membagi ijazah ini menjadi enam macam sedangkan Ibnu Al-
Shalah enambah satu macam lagi, sehingga menjadi tujuh macam ijazah, yaitu
sebagai berikut: Seorang guru mengijazahkan kepada seseorang sebuah kitab atau
beberapa kitab yang disebutkan kepada mereka.

Ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu.
Seperti “ saya ijazahkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu
riwayatkan dariku”
Berikut ini contoh contoh ijazah :
a. Bentuk ijazah secara umum seperti ungkapan “ saya ijazahkan kepada kaum
muslimin atau kepada orang-orang yang ada”
b. Bentuk ijazah kepada orang-orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan
sesuatu yang tidak tentu. Cara seprti ini dianggap rusak atau fasid
c. Bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti mengijazahkan kepada
bayi yang masih dalam kandungan bentuk ijazah seperti ini tidak sah
d. Bentuk Al-Ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan atau
dibacakan kepada penerima ijazah, seperti ungkapan “saya ijazahkan
kepadamu untuk kamu riwayatkan dari sesuatu yang akan ku dengarnya”
cara seperti ini dianggap batal.
e. Bentuk Al-Ijazah Al-Mujaz seperti perkataan guru “saya ijazahkan
kepadamu Ijazahku” bentuk separti ini termasuk yang diperbolehkan.

8
e) Al-mukatabah

Seorang guru menuliskan atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian
haditsnya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau yang
dipercaya untuk menyampaikannya. Al-Mukatabah ada dua macam yakni:


Al-Mukatabah yang dibarengi dengan Ijazah yaitu sewaktu sang guru
menuliskan beberapa hadits untuk diberikan kepada muridnhya disertai
dengan kata-kata “ini adalah hasil periwayatanku maka riwayatkanlah”
 Al-Mukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah yakni guru menuliskan
hadits untuk diberikan kepada muridnya tanpa menuliskan hadits untuk
meriwayatkan atau mengijazahkan.
f) Al-I’lam

Pemberitahuan seorang guru kepada seorang muridnya bahwa kitab atau hadits
yang diriwayatkannya dia terima dari seorang guru,dengan tanpa memberikan izin
kepada muridnya untuk meriwayatkan atau menyuruhnya. Sebagian ulama hali
ushul dan pendapat ini dipilih oleh ibnu Al-Shalah, menetapkan tidak sah
meriwayatkan hadits dengan cara ini, karene dimugkinkan bahwa sang guru sudah
menetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan kebanyakan ulama ahli
hadits, ahli fiqih dan ahli ushul memperbolehkannya. Contohnya seorang telah
memberi tahu kepadaku “telah memberi tahu kepada kami…”
g) Al-Wasiyah

Seorang guru ketika akan meninggal atau bepergian, meninggalkan pesan


kepada orang lain untuk meriwayatkan haits atau kitabnya, ketika setelah sang guru
meninggal atau bepergian. Periwayatan hadits dengan cara ini oleh jumhur
dianggap lemah, sementara Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadits yang
diriwayatkan oleh hadits atas jalan wasiat ini. Orang yang diberi wasiat ini tidak
boleh meriwayatkan hadits dari sipemberi wasiat dengan redaksi “ seseorang telah
memberitahukan kepadaku begini..” karene si penerima wasiat tidak bertemu
dengannya.
h) Al-Wijadah

Yakni seseorang memperoleh hadits orang lain dengan mempelajari kitab-kitab


hadits dengan tidak melalui cara Al-Sama’,Al-Ijazah, atau Al-Munawalah.para
ulama berselisih pendapat tentang cara ini, Imam syafi’I dan segolongan

9
pengikutnya mengakui cara ini, Ibnu Al-shahalah mengatakan bahwa sebagian
ulama Muhaqiqin mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebnarannya.

5. Jenis-jenis Periwayatan
Proses periwayatan hadits diketahui bahwa para perawi berbeda beda keadaan
pada waktu menerima hadits dari para gurunya, termasuk dari shahih al-hadits (Nabi
SAW) selain dalam keadaan normal dan baik, mungkin dalam keadaan kanak-kanak,
masih kafir, suka maksiat (fasiq) atau sedang dalam keadaan gila dan sebagainya.
Dalam hal ini para ulama berpendapat:

1. Jumhur berpendapat bahwa seseorang yang menerima hadits sewaktu masih


kanak-kanak atau masih dalam keadaan kafir, atau dalam keadaan fasiq dapat
diterima periwayatannya bila disampaikannya setelah masing-masing dewasa,
memeluk agama islam dan taubat.

Periwayatan kanak-kanak alasannya Ijma karena seluruh umat islam tidak ada
yang membantah dan membantah riwayat para sahabat yang diterima sebelum
dan sesudah dewasa, seperti Hasan, Al-Husain, Ibnu Abbas, Nu’man Ibnu
Basyar. Sedangkan periwayatan yang fasiq dasarnya Qiyas; kalau periwayatan
orang kafir dan disampaikan setelah islam dapat diterima, apalagi yang fasiq
yang disampaikan setelah taubat lebih dapat diterima.
2. Periwayatan orang gila yang disampaikan setelah sehat tidak dapat diterima
sebab waktu gila ia hilang kesadaran tak ada kedhabithan.

Periwayatan mungkin saja menampilkan hadits dengan tambahan (ziyadah) atau ada
lafazh yang berkembang. Pendapat terbagi pada dua bagian:

1. Pendapat yang Menerima.


a. diterima secara mutlak, baik tambahan tersebut berasal dari rawi yang
meriwayatkan maupun dari rawi sebelumnya, dan menyangkut berbagai isi
kandungan hadits.
b. Diterima, bila yang memberikan tambahan itu bukan orang yang
meriwayatkan dengan tanpa tambahan, bila rawi tersebut mendengar
hadist-hadits yang memakai tambahan tersebut dan yang tidak pada dua
majelis, selama tambahan tersebut tidak mengubah I’rab-nya yang
menimbulkan ta’arud maknanya, bila rawi yang menambahkan hafizh, dan
bila tambahn itu hanya pada lafazh saja dengan tidak mengubah artinya.

10
2. Pendapat yang tidak menerima ziyadah terbagi pada:
a. Tidak diterima secara mutlak, baik tambahan tersebut berasal dari rawi
yang meriwayatkannya tanpa tambahan maupun dari rawi yang selainnya.
b. Tidak diterima, bila kebanyakan rawi membuang tambahan tersebut; bila
memberi tambahan bukan karena lupa; tambahan terseut tidak membawa
akibat hukum; tambahan tersebut mengubah I’rab.
D. Macam-Macam Periwayatan Hadits.
a. Riwayat Al-Aqran dan Mudabbaj

Apabila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits dari kawan-kawannya yang


sebaya umurnya atau yang sama-sama belajar dari seorang guru, maka
periwayatannya disebut riwayat al-aqran.sedangkan jika masing-masing rawi
yang segenerasi tersebut saling meriwayatkan hadits, periwayatannya disebut
riwayat mudabbaj. Riwayat al-aqran dan mudabbaj biasa terjadi untuk setiap
thabaqhah rawi, sahabat, tabi’in,dan lain-lain.
b. Riwayat Al-Akabir an’ Al-Ashaghir

Maksudnya adalah periwayatan hadis oleh seorang yang lebih tua atau yang
lebih banyak ilmunya kepada orang yang lebih muda atau lebih sedikit
ilmunya. Seperti contoh, riwayat shahabat dari tabi’in (Ibn ‘Abbas dari Ka’ab
al-Akhbar), tabi’in dari tabi’at tabi’in (Az-Zuhri dari Malik), ayah dari anak
(Ibn Abbas dari Fadhal,dll.
c. RiwayatAn’ At-Tabi’in ‘An Ash-Shahabat

Maksudnya periwayatan seorang sahabat yang menerima hadist dari seorang


tabi’in yang telah menerima hadis dari sahabat lain. Seperti contoh ,riwayat
Sahal ibn Sa’ad (sahabat) yang menerima hadist dari Marwan ibn Hakam
(tabi’in) yang menerima hadist dari Zaid ibn Tsabit (Sahabat).

d. Riwayat As-Sabiq Dan Riwayatal-Lahiq

Apabila dua orang rawi pernah bersama-sama menerima hadits dari seorang
guru, kemudian salah seorang darinya meninggal dunia, namun sebelum
meninggal dunia ia pernah meriwayatkan hadits tersebut. Maka riwayat rawi
yang meninggal tersebut disebut riwayat as-sabiq, sedangkan riwayat yang

11
disampaikan oleh rawi yang meninggal lebih akhir tersebut disebut riwayat al-
lahiq.

e. Riwayat Musalsal

Dalam bahasa arab kata musalsal artinya tali-temali. Maksudnya terdapat


satu sifat, keadaan atau perkataan yang selalu sesuai, bias terjadi pada rawi dan
pada periwayatannya. Musalsal fi al-riwayah dapat mengenai:

 Shighat meriwayatkan hadits, yakni bila masing-masing rawi yang


meriwayatkan hadits tersebut selalu menyesuaikan dengan shighat sami’tu,
haddatsaniy, dan lain-lain, rawi yang kemudian pun melakukan hal yang
demikian.
 Masa meriwayatkan, misalnya meriwayatkan suatu hadits selalu pada masa
tertentu.
 Tempat meriwayatkan, yakni hadits selalu diriwayatkan atau dibacakan di
tempat-tempat tertentu.
f. Riwayat Mutafiq Dan Muttariq

Apabila ada penyesuaian riwayat antara rawi yang satu dengan yang lain
mengenai nama asli, nama samaran, keturunan dan sebagainya dalam ucapan
maupun tulisan, tetapi berlainan orangnya yang dimaksud dengan nama
tersebut disebut muttafiq, dan sebagai lawannya disebut muftariq. Misalnya
rawi yang bernama Hammad ada dua, Hammad ibn Zaid dan Hammad ibn
Salamah.
g. Riwayat Mu’talif Dan Mukhtalif

Apabila terjadi kesamaan nama rawi, kuniyah dan laqab itu pada bentuk
tulisan sedangkan pada lafazh atau ucapannya tidak disebut mu’talif dan
sebagai lawannya disebut mukhtalif. Misalnya, rawi Sallam (dengan satu huruf
yang dirangkap) tulisannya sama dengan Salam (tidak ada huruf yang
dirangkap.

12
BAB III

PENUTUP
A.Kesimpulan
periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta
penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk
tertentu.
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat , tetapi dia tidak
menyampaikan hadis itu kepada orang lain , maka dia tidak dapat disebut sebagai orang
yang telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut menyampaikan
hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, Tetapi ketika menyampaikan hadis itu
dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut tidak dapat
dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis”.
Periwayatan hadis yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadiya
perbedaan kandungan atau redaksi matan dari suatu hadis,yang boleh meriwayatkan
hadist adalah mereka yang memiliki kemampuan bhs.arab yang mendalam,dan
periwayatan secara makna boleh dilakukan apabila dalam keadaan terpaksa dan apabila
mengalami keraguan akan susuna matan hadist,serta periwayatan secara makna harus
secara lafadz. Macam macam periwayatan hadits.

13
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995.
Assa’idi, Sa’dullah, Hadis-Hadis Sekte, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,1996.
Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir, Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1999
Hassan, A. Qadir. 2007. Ilmu Mushthalah Hadits. Diponegoro:Bandung

Khumaidi, Irham. 2008. Ilmu Hadits untuk Pemula. Artha Rivera:Jakarta.


Soetari, Endang Ad.2008 Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah, Bandung:Mimbar
Pustaka.

14

Anda mungkin juga menyukai