Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN
A. Perawi Hadits
1. Definisi / pengertian hadits
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadis.1
Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadis
dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.
Karena hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai kepada kita melalui jalur para perawi,
maka mereka menjadi fokus utama untuk mengetahui ke-shahih-an atau tidaknya suatu hadis.
Karena itu pula, para ulama hadis amat memperhatikan para perawi. Mereka telah membuat
berbagai persyaratan yang rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini menunjukkan
jauhnya pandangan para ulama hadis, lurusnya pemikiran mereka, dan kualitas metode yang
mereka miliki.
Berbagai persyaratan yang ditentukan terhadap para perawi dan syarat-syarat lain bagi
diterimanya suatu hadis atau berita, tidak pernah ada dan tidak pernah dijumpai pada agama
apapun, bahkan hingga masa kini.
2. Syarat Seorang Perawi Hadits
Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang perawi hadis, diantaranya yaitu:
1. Muslim.
Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini dan mengerti akidah
Islam, karena dia meriwayatkan hadis atau khabar yang berkaitan dengan hukum-hukum, urusan
dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi
pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku
ketika seseorang menyampaikan hadis, bukan ketika membawa atau menanggungnya.

Ada sahabat yang mendengar hadis ketika mereka masih belum memeluk Islam. Ketika mereka
sudah masuk Islam, mereka meriwayatkan hadis yang diterima atau didengarnya ketika masih
belum Islam. Contohnya sebagaimana yang telah berlaku kepada Jubair bin Matam. Beliau telah
meriwayatkan hadis yang didengarnya ketika masih belum memeluk Islam. Hadisnya ialah
berkenaan perbuatan Nabi SAW yang membaca surah al-Thur ketika sholat maghrib.2

1
[1]Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hal 120.
2
[2]Asmawi Ehsan, Ilmu Hadith, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka), hlm.84-85.
2. Berakal
Menurut para ahli hadis, berakal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk
membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadis, seseorang harus
telah memasuki usia akil baligh. Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang mereka
dengar pada masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri.
Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada waktu ia membuat kesalahan
dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.3

3. Al-dhabtu (dhabit).
Dimaksudkan di sini adalah teliti dan cermat, baik ketika menerima pelajaran hadis maupun
menyampaikannya. Sudah barang tentu, orang seperti ini mempunyai hafalan yang kuat, pintar,
dan tidak pelupa. Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadis yang dia riwayatkan ternyata cocok
dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, telilti dan terpercaya. tetapi itu tidak
harus mengenai keseluruhan. Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadis yang mereka
riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan
hadis yang mereka riwayatkan, maka kecermatanya masih diragukan.4
Allah akan menghargai orang yang bersikap cermat dalam periwayatan hadis, merekalah orang
yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja. Hadis shahih
diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan
banyak mendengar.5

4. Adil
Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan agama, yang
bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi
memberikan definisi adil sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala
yang diperintahkan kepadanya- dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari
kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya,
serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa
dapat menjaga dan mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi
agamanya dan hadisnya diakui kejujurannya”.[6]6
Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi. Jika masalah
kebersihan, baru dapat diterima dengan penyaksian dua saksi. Saksi ini baik laki laki maupun
saksi perempuan, orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan dapat adil terhadap
dirinya sendiri.

3
[3]Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-kifayah., hlm. 54.
4
[4]Salah Muhammad Uwayd., Taqrib Al-tadrib . (Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah, 1989) hal 110.
5
[5]Al Hakim al Naisaburi, Ma’rifah Ulum al-Hadist. (Bandung: Nuansa Cendekia, 2006), hal 59.
6
[6]Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah .hal 80
Proses Transmisi Hadis
1. Definisi
Metode transmisi hadis atau dikenal dengan istilah “Jalan Menerima Hadis (thuruq at-tahammul)
dan Penyampaiannya” yaitu: cara-cara menerima hadis mengambilnya dari Syaikh/Guru. Kata
transmisi berarti penyampaian atau peralihan atau penyebaran. Jadi transmisi hadis bisa diartikan
dengan proses peralihan atau perpindahan suatu hadis dari sanad ke sanad sampai ke perawi.

2. Cara-cara Rasulullah ketika menyampaikan hadisnya


1) Rasulullah menyampaikan hadis pada dasarnya dengan cara natural saja. Ketika ada
masalah, lalu beliau memberikan penyelesaian.
2) Dengan lisan dan perbuatan, dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu malam dan
subuh.
3) Dalam bentuk tulisan. Banyak riwayat menyatakan bahwa Rasulullah telah berkirim surat
kepada kepala Negara dan pembesar daerah yang non-Islam.
Berbagai hadis Nabi yang temaktub di kitab-kitab hadis sekarang ini, asal mulanya adalah hasil
kesaksian sahabat nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau hal-ihwal Nabi. Cara
periwayat memperoleh dan menyampaikan hadis pada zaman nabi tidaklah sama dengan pada
zaman sahabat nabi. Demikian juga dengan pada zaman sahabat nabi tidaklah sama dengan
zaman sesudahnya.

3. Proses transmisi hadis pada masa Nabi sampai pada zaman sesudah generasi sahabat
1) Periwayatan hadis pada zaman Nabi
Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat, karena para sahabat pada
umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis Nabi kemudian menyampaikannya kepada
orang lain. Mereka (sahabat) secara bergantian menemui Nabi. Seandainya Umar tidak datang
maka berita dari Nabi akan disampaikan oleh sahabat lainnya kepadanya.

Proses transmisi hadis pada masa Nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran ini terjadi karena 2 hal
yaitu:
a. Cara penyampaian hadis oleh Rasulullah secara langsung.
b. Minat yang besar dari para sahabat.
2) Periwayatan Hadis Pada Zaman Sahabat Nabi
a. Pada Zaman Abu Bakar al-Shiddiq
Abu bakar merupakan sahabat nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam
periwayatan hadis. Beliau sangat berhati-hati dengan periwayatan hadis. Ini didasarkan
pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Beliau tidak
melihat petunjuk al-Qur`an dan praktek nabi yang memberikan harta warisan kepada nenek. Lalu
ia bertanya kepada sahabat-sahabat yang lain. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada
Abu Bakar, bahwa nabi memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian.
Namun Abu Bakar tidak langsung percaya terhadap perkataan sahabat tersebut. Dia meminta
sahabat tersebut untuk mendatangkan saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan
kesaksian. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam
bagian.Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, maka dapat dimaklumi
bila jumlah hadis yang diriwayatkannya relative tidak banyak. Data sejarah tentang kegiatan
periwayatan hadis di kalangan umat Islam pada masa khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini
karena pada saat pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada ancaman dan
kekacauan yang membahayakan pemerintahan dan Negara.

b. Pada Zaman Umar bin Khattab


Pada masa Umar penyebaran hadis kurang berjalan. Karena pada masa Umar lebih
memfokuskan pada membaca dan mendalami al-Qur`an. Akan tetapi lebih banyak dari masa
Abu Bakar. Namun pada masa Umar para perawi terkekang karena Umar sangat tegas. Beliau
sangat berhati-hati. Karena Umar ingin ummat lebih konsentrasi dengan al-Qur`an dan lebih
berhati-hati dalam periwayatan hadis.
c. Pada Masa Utsman bin Affan
Secara umum, kebijakan Utsman tentang periwayatan sama seperti khalifah sebelumnya. Namun
langkah yang dijalani Utsman tidaklah setangkas Umar bin Khattab. Utsman meminta kepada
para sahabat agar tidak meriwayatkan hadis yang tak pernah didengar pada masa Abu Bakar dan
Umar. Penyebaran hadis pada masa Utsman lebih banyak dibanding dengan khalifah Umar bin
Khattab. Karena wilayah Islam pada saat itu mulai meluas dan perawipun jumlahnya bertambah
dan meluas.

d. Pada Masa Ali bin Abi Thalib


Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda sikapnya dengan para pendahulunya dalam
periwayatan hadis. Secara umum Ali bersedia menerima riwayat hadis Nabi setelah periwayat
hadis mengucapkan sumpah, bahwa hadis itu benar-benar berasal dari Nabi. Hanya dengan
periwayat yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta untuk bersumpah.
Transmisi hadis pada masa Ali juga sangat hati-hati seperti para pendahulunya. Akan tetapi pada
masa Ali, kondisi politik sudah makin menajam. Hal ini menjadi dampak negatif dalam
penyebaran hadis. Kepentingan politik telah mendorong pihak- pihak tertentu melakukan
pemalsuan hadis. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadis dapat dipercaya riwayatnya.
3) Periwayatan Hadits Pada Zaman Sesudah Generasi Sahabat
Pada zaman sesudah generasi sahabat Nabi, khususnya pada saat hadis Nabi dihimpunkan dalam
kitab-kitab hadis, telah dibakukan tata cara penyampaian dan penerimaan riwayat hadis Nabi.
Pembakuan periwayatan ini sangat erat kaitannya dengan upaya ulama dari hadis-hadis palsu.
Pada masa ini konsentrasi kepada hadis sangat meningkat. Yang mereka kaji bukan hanya matan
saja, namun juga sanad-nya. Periwayatan hadis Nabi pada zaman ini tidak memperoleh hadis
secara langsung dari Nabi, karena mereka memang tidak se zaman dengan Nabi.
Periwayatan hadis pada zaman sesudah sahabat Nabi telah makin meluas, rangkaian periwayat
hadis yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang dibandingkan pada zaman sahabat Nabi.
4. Unsur Yang Harus Dipenuhi Di Dalam Periwayatan Hadis
A. At-tahammul (Syarat dalam penerimaan hadits)
ََ ‫لا يَتَ َح َّملَ ت َ َح َّم‬
Tahammul berasal dari kata (mashdar) : ‫ل‬ َ ‫ ت َ َح ُّم‬yang berarti menanggung,
membawa,atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Ulama sepakat bahwa yang dimaksud
dengan tahamul al-hadis adalah mengambil atau menerima hadis dari seorang guru dengan salah
satu cara tertentu.
Para ulama cenderung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak
kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya.
Sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat sahabat yang masih berusia
anak-anak, seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn az-Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn
Abbas, Abu Sa’id al-Khudriy, Mahmud ibn ar-Rabi’ dan lain-lain tanpa memilah-milah antara
riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah baligh. Dalam perbedaan pendapat para ulama
tersebut, dapat di simpulkan bahwa pokok kecakapan dan keahlian menerima hadis menurut
jumhur adalah tamyiz yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat memahami dan
hafal terhadap apa yang didengarnya.
Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadis yang dilakukan oleh anak
kecil, berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah tamyiz
dari anak kecil itu. Tamyiz ini jelas berbeda-beda antar masing-masing anak kecil. Namun
demikian mereka mem-berikan keterangan bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak di
antara mereka yang telah berusaha keras untuk menjelaskannya. Dan kita bisa me-ringkas
penjelasan itu ke dalam tiga pendapat:
· Pertama, bahwa umur minimalnya adalah lima tahun. Pendapat Ibn Qadli dan Ibnu Assalha.
Hujjah yang digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya dari
hadis Muhammad ibn ar-Rabi’ ra, katanya : “Aku masih ingat siraman Nabi SAW dari timba ke
mukaku, dan aku (ketika itu) berusia lima tahun.
· Kedua, pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar
yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi
dengan keledai. Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan adalah tamyiz. Beliau
menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan di sekitar.
· Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadis didasarkan pada adanya
tamyiz. Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia
sudah mumayyiz dan absah pende-ngarannya, meski usianya di bawah lima tahun. Namun bila ia
tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya
mende-ngar hadis tidak absah, meski usianya di atas lima tahun.
· Keempat, Sudah Mumayyiz ( pandai berkomunikasi ), dibuktikan adanya keterampilan
dalam berkomunikasi dan mampu ketika ditanya walaupun usianya dibawah 5 tahun.

B. Al-ada’ (Syarat dalam penyampaian)

1. Islam
Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan ijima’ ulama, baik diketahui
agamanya tidak memperbolehkan dusta ataupun tidak dan sangat tidak logis bila riwayatnya
diterima. Sebab menerima riwayatnya berarti membiarkan caciannya atas kaum muslimin.
2. Baligh
Ini merupakan pusat taklif, karena itu riwayat anak yang berada di bawah usia taklif tidak
bisa diterima. Ulama mengecualikan penerimaan riwayat dari anak di bawah usia baligh, karena
khawatir akan kedustaannya. Karena kadang-kadang ia berdusta disebabkan tidak mengerti
dampak dan siksaan perbuatan dusta itu. Di samping itu, tidak ada yang membuatnya takut untuk
melakukannya. Sehingga baligh merupakan standarisasi adanya kemampuan berakal dan pusat
taklif yang membuat seseorang jera untuk berbuat dusta dan menghalanginya untuk
melakukannya. Kemudian, syara’ juga tidak memberikan kekuasaan bagi anak kecil dalam
masalah keduniaannya, apalagi dalam masalah agama karena menerima periwayatannya berarti
mengabulkan atau memberikan kekuasaan padanya terhadap segenap kaum muslimin.
3. Sifat Adil
Ia merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk
senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan
kejujurannya. Menjauhi dosa besar, termasuk ke dalamnya menjauhi sebagian dosa kecil, seperti
mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkara-perkara mubah
yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan di jalan, buang air kecil di jalan, berteman
dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan dalam berkelakar.
4. Dhabt
Dhabtu adalah yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan
memahaminya ketika mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sam-pai
menyampaikannya kepada orang lain. Dhabt mencakup hafalan dan tulisan. Maksudnya, seorang
perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya, dan memahami tulisannya
dari adanya perubahan, penggantian, atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya.
C. Sighat dalam proses Tahammul Wa Ada’ al-hadist dan kualitas persambungannya.
Metode penerimaan riwayat dan penyampaiannya kembali ada 8 macam, yaitu
1. As-sima’min lafdzi syaikh
Maksudnya ialah : Seorang perawi dalam penerimaan hadits dengan cara mendengarkan
langsung dari syaikh baik syaikh itu menyampaikan bacaannya berdasarkan hafalan ataupun
catatannya. Begitu pula dengan sang perawi, baik perawi itu mendengarkan bacaan syaikh
sambil mencatat apa yang di dengarnya, atau hanya mendengar saja dan tidak mencatat.
Menurut pendapat jumhur ulama, cara periwayatan as-sima’ ini merupakan cara yang paling
tinggi derajatnya/tingkatannya. Termasuk kategori as-sima’juga, seorang perawi yang
mendengar hadits dari syaikh dari balik hijab, jumhur ulama membolehkannya berdasarkan
sahabat yang juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadits-hadits dari
Rasulullah saw, melalui istri Nabi.
Lafadz yang digunakan oleh rawi dalam ,meriwayatkan hadits atas dasar as-sima’ adalah:
(aku telah mendengar - kami telah mendengar) = ‫ ﺴﻤﻌﻨﺎ‬-‫ﺴﻤﻌﺕ‬
‫ﺤﺩﺜﻨﻰ‬- ‫( = ﺤﺩﺜﻨﺎ‬kami/seseorang telah menyampaikan hadits kepadaku)
‫ﺃﺨﺒﺭﻨﻰ‬- ‫( = ﺃﺨﺒﺭﻨﺎ‬kami/mengabarkan kepadaku seseorang telam)
(seseorang telah menceritakan kepadaku/ kami) = ‫ ﺃﻨﺒﺄﻨﻰ‬- ‫ﺃﻨﺒﺄﻨﺎ‬
‫ ﻠﻰ ﻗﺎﻝ‬- ‫( = ﻠﻨﺎ ﻗﺎﻝ‬kami/seseorang telah berkata kepadaku)
‫ﺫﻜﺭﻠﻰ‬- ‫( = ﺫﻜﺭﻠﻨﺎ‬kami/seseorang telah menuturkan kepadaku)

2. Al-Qira’ah ‘ala syaikh/di sebut juga dengan istilah ‘ardh


Maksudnya ialah seorang perawi membacakan hadits, dan syaikh mendengarkan, baik
yang membaca itu sang perawi ataupun orang lain.
Riwayat hadits yang dibacakannya itu, boleh berasal dari catatannya atau dari
hafalannya.sedangkan syaikh menyimak dan mendengarkan dengan teliti melalui hafalannya
atau melalui catatannya.
Adapun hukum periwayatannya, periwayatan melalui jalan pembacaan kepada syaikhnya
merupakan riwayat yang shahih.Dan dalam menentukan terdapat:
a. Sederajat dengan as-sima’: diriwayatkan dari Malik dan Bukhari dan sebagian besar
ulama Hijjaz dan Kuffah.
b. Lebih rendah dari as-sima’ : diriwayatkan dari jalur penduduk Masyriq dan itu adalah
shahih.
c. Lebih tinggi dari as-sima’: diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Ibnu Abi Dzi’bi dan
riwayatnya dari Malik.
Lafadz-lafadz hadits menurut metode ini ialah:
‫ﻋﻠﻴﻪ ﻗﺭﺃﺕ‬
(aku telah membacakan di hadapannya)
‫ﺍﺴﻤﻊ ﻭﺃﻨﺎ ﻓﻼﻥ ﻋﻠﻰ ﻗﺭﺉ‬
(dibacakan oleh seseorang dihadapannya,sedang aku mendengarkan)
‫ﻋﻠﻴﻪ ﻘﺭﺍﺀﺓ ﺃﺨﺒﺭﻨﺎ ﺍﻭ ﺤﺩﺜﻨﺎ‬
(telah mengabarkan/menceritakan padaku secara pembacaan dihadapannya)

3. Al- Ijazah
Maksudnya ialah: Izin untuk meriwayatkan baik dengan ucapan maupun dengan catatan,
yakni seorang guru memberikan catatannya kepada seseorang untuk meriwayatkan hadits yang
ada padanya, baik melalui lisan maupun tulisan.
Dari segi bentuk ijazah ialah, syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya (aku
izinkan kamu untuk meriwayatkan Sahih Bukhari). Adapun dari segi bentuknya ialah:
a. Syeikh mengizinkan riwayat hadits tertentu kepada orang tertentu, seperti:
‫ﻋﻨﻰ ﺍﻠﻔﻼﻨﻰ ﺍﻠﻜﺘﺎﺏ ﺭﻭﻴﺔ ﻟﻙ ﺃﺠﺯﺕ‬
“Syaikh mengijinkan kepadamu untuk meriwayatkan kitab si fulan dari saya”
b. Syaikh mengijinkan orang tertentu bagi riwayat yang tidak di tentukan, seperti:
‫ﻤﺭﻭﻴﺎﺘﻰ ﺍﻭ ﻤﺴﻤﻭﻋﺎ ﺠﻤﻴﻊ ﻠﻙ ﺃﺠﺯﺕ‬
“Kuijinkan kepadamu : seluruh yang saya dengar/yang saya riwayatkan”
c. Syaikh mengijinkan bukan orang tertentu bagi riwayat yang tidak ditentukan, seperti:
‫ﻤﺴﻤﻭﻋﺎﻨﻰ ﺠﻤﻴﻊ ﻠﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻥ ﺃﺠﺯﺕ‬
“Kuijinkan kepadamu seluruh kaum muslimin apa-apa yang saya dengar semuanya”
Lafadz-lafadz penyampaiannya ialah:
‫ﻓﻼﻥ ﺃﺠﺎﺯﻠﻲ‬-
(seseorang telah memberikan kepadaku untuk meriwayatkan hadits)
‫ﺇﺠﺎﺯﺓ ﺤﺩﺜﻨﺎ‬-
(telah menyampaikan riwayat kepadaku dengan disertai izin, untuk meriwayatkan kembali)
‫ﺇﺠﺎﺯﺓ ﺃﺨﺒﺭﻨﺎ‬-
(“telah mengabarkan kepada kami dengan ijazah”).
Kode ini sering dipakai oleh ulama hadits generasi akhir atau mutaakhirin

4. Munawalah
Maksudnya ialah: seorang syaikh memberikan naskahnya kepada seseorang disertai
ijazah atau memberikan naskah terbatas pada hadits-hadits yang pernah didengarnya sekalipun
tanpa ijazah.
Jadi, hadits yang diperoleh dengan metode munawalah yang disertai ijazah dengan ijazah,
boleh untuk diriwayatkan sedang yang tanpa ijazah tidak diperbolehkan (menurut pendapat yang
shahih).
Adapun lafadz-lafadz yang digunakan adalah:
‫ﻨﺎﻭﻟﻨﻲ‬-
(seseorang guru hadits telah memberikan naskahnya kepadaku)
‫ﻭﺇﺠﺎﺯﻨﻲ ﻨﺎﻭﻟﻨﻲ‬-
(seorang guru hadits telah memberikan naskahnya kepadaku dengan disertai ijazah)
‫ﻤﻨﺎﻭﻟﺔ ﺤﺩﺜﻨﺎ‬-
(telah menyampaikan riwayat kepadaku secara munawalah)
‫ﺇﺠﺎﺯﺓ ﻭﻟﺔﻤﻨﺎ ﺃﺨﺒﺭﻨﺎ‬-
(telah menyampaikan berita kepadaku secara munawalah disertai ijazah)

5. Al-Kitabah Atau Al-Mukatabah


Maksudnya ialah: seorang muhaddits menuliskan hadits yang diriwayatkan untuk
diberitakan kepada orang tertentu, baik ia menulis sendiri atau dituliskan orang lain atas
permintaannya
Karenanya, bagi orang diberi hadits ketika itu, boleh saja ditulis dihadapan guru tersebut
atau berada di tempat lain, sehingga periwayatan dengan metode ini ada 2 macam yaitu:
 Mukatabah (korespondensi) dengan tidak disertai ijazah dan
 Mukatabah yang disertai ijazah dan pada umumnya para ulama, baikmutaqoddimin
maupun mutaakhirin membolehkan kedua macam mukatabahtersebut.

Adapun lafadz-lafadz yang digunakan adalah:


‫ﻓﻼﻥ ﺍﻠﻲ ﻜﺘﺏ‬-
(seorang guru hadits telah menulis sebuah hadits kepadaku).
‫ﻜﺘﺎﺒﺔ ﻓﻼﻥ ﺤﺩﺜﻨﻲ‬-
(telah menyampaikan riwayat kepadaku melalui koresponden)
‫ﻜﺘﺎﺒﺔ ﻓﻼﻥ ﺃﺨﺒﺭﻨﻲ‬-
(telah menyampaikan kabar berita kepadaku melalui koresponden)

6. Al-I’lam as-syaikh
Bentuknya ialah seorang syeikh memberitahukan muridnya bahwa hadits yang diriwayatkan
adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari gurunya, dengan tidak mengatakan (menyuruh)
agar si murid meriwayatkan.
Dalam hal ini, mayoritas ulama mengatakan bahwa metode ini di anggap sah, sekalipun sebagian
kecil menganggapnya tidak sah
Lafadz-lafadz yang dipakai adalah
‫ﺒﻜﺫﺍ ﺸﻴﺨﻲ ﺃﻋﻠﻤﻨﻲ‬-
(guru hadits telah memberitahukan sebuah riwayat hadits)
7. Al-Washiyah
Maksudnya ialah : Seorang syaikh ketika akan meninggal dunia atau bepergian, memberi wasiat
sebuah naskah hadits yang diriwayatkannya kepada seseorang.
Cara ini sebagaimana pendapat yang benar, tidak diperbolehkan, sebab wasiat syaikh kepada
muridnya itu hanyalah berupa naskah bukan pada masalah periwayatannya.
Lafadz-lafadz yang di gunakan adalah:
‫ﺒﻜﺫﺍ ﻓﻼﻥ ﺍﻠﻲﺍﻭﺼﻲ‬-
“seseorang guru hadits telah memberi wasiat kepadaku sebuah naskah haditsnya”
‫ﻭﺼﻴﺔ ﻓﻼﻥ ﺤﺩﺜﻨﻲ‬-
“telah menuturkan kepadaku si fulan secara wasiat”

8. Wijadah
Seorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode/semasa, atau
seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung
hadits tersebut dari penulisnya. Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara
yang memperbolehkan dan tidak.
Dalam hal ini, ulama mengkategorikan hadits-hadits yang diperoleh dengan cara demikian
sebagai hadits munqathi’ (terputus) walaupun tidak tertutup kemungkinan ada indikasi
bersambung

Lafadz-lafadz yang digunakan adalah:


‫ﻓﻼﻥ ﺒﺨﻁ ﻭﺠﺩﺕ‬-
(aku telah menemukan tulisan seorang guru hadits)
‫ﻓﻼﻥﻜﺫ ﺒﺨﻁ ﻗﺭﺃﺕ‬
(aku telah membaca hadits tulisan seorang guru).
· Lafadz-lafadz untuk Meriwayatkan Hadits
Lafadz-lafadz untuk menyampaikan hadits itu dapat dikelompokan menjadi 2 kelompok, yaitu :
1. Lafadz meriwayatkan hadits dari bagi para rawi yang mendengar langsung dari gurunya.
Lafadz-lafadz itu tersusun sebagai berikut:
2. ‫ ﺴﻤﻌﻨﺎ‬- ‫ﺴﻤﻌﺕ‬
3. (aku telah mendengar - kami telah mendengar )
4. ‫ﺤﺩﺜﻨﻰ‬- ‫ﺤﺩﺜﻨﺎ‬
5. (kami/seseorang telah menyampaikan hadits kepadaku)
6. ‫ﺃﺨﺒﺭﻨﻰ‬- ‫ﺃﺨﺒﺭﻨﺎ‬
7. (kami/mengabarkan kepadaku seseorang telah)
8. - ‫ﺃﻨﺒﺄﻨﺎ‬
9. (seseorang telah menceritakan kepadaku/ kami)
10. ‫ﻠﻰ ﻗﺎﻝ‬- ‫ﻠﻨﺎ ﻗﺎﻝ‬
11. (imak adseorang telah berkata kepaes)
12. ‫ﺫﻜﺭﻠﻰ‬- ‫ﺫﻜﺭﻠﻨﺎ‬
13. (kami/ menuturkan kepadaku seseorang telah)
14. 2. Lafadz riwayat bagi rawi yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar
sendiri, yaitu :
15. o ‫ﺭﻭﻯ‬ = ( diriwayatkan oleh )
16. o ‫= ﺤﻜﻰ‬ ( dihikayatkan oleh )
17. o ‫ﻋﻥ‬ = ( dari )
18. o ‫ﺃﻥ‬ = ( bahwasanya )
19. o ‫ﻘﺭﺉ‬ = ( di bacakan )

Anda mungkin juga menyukai