Anda di halaman 1dari 16

MODEL PERIWAYATAN HADITS

(MAKALAH)

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pengampu: DR. H. Encep Hidayat, M.A.

Disusun Oleh:

Kelas 1A Pendidikan Agama Islam


Kelompok 8
Iva Irwanto 22.1. 2365
Lia Syukriyah Sa'roni 22.1.2360
Mochamad Rustandi 22.1.2366
Sucipto 22.1.2363

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL KARIMIYAH
SAWANGAN – DEPOK
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi kita yang hidup jauh dari masa Nabi Muhammad SAW, dalam
menggunakan hadits sebagai pedoman hidup haruslah dengan pemahaman
mendalam dan pengetahuan yang pasti agar tidak terjebak dalam hadits maudhu’
(palsu). Maka penting bagi kita untuk mengetahui sejarah hidup perawi, bahkan
tahun lahir dan kematiannya. Sebagai cara menentukan sanad hadits yang ittishal
(tersambung), sehingga dapat memastikan bahwa hadits tersebut shahih. Untuk itu
makalah ini akan membahas tentang, “Model Periwayatan Hadits”.

B. Rumusan Masalah

1. Apa syarat menjadi seorang perawi?


2. Apa yang dimaksud Tahammul wal Ada'?
3. Bagaimana cara periwayatan hadits?
4. Apa saja istilah yang digunakan dalam periwayatan hadits?
5. Apa gelar yang diberikan kepada para Ulama Hadits?

C. Tujuan

1. Mengetahui syarat-syarat seorang perawi.


2. Mengetahui makna Tahammul wa Ada’.
3. Mengetahui cara periwayatan hadits.
4. Mengetahui istilah dalam periwayatan hadits.
5. Mengetahui gelar untuk Ulama Hadits.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Syarat-syarat Perawi

Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan
hadits.1 Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau
menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.

Syarat-syarat mutlak untuk menjadi seorang perawi agar riwayatnya dapat


diterima adalah berakal, cakap/cermat, adil, dan Islam. Apabila seorang perawi
tidak memenuhi seluruh predikat itu maka hadistnya akan ditolak dan tidak akan
dipakai. Oleh para kritikus hadist, baik angkatan lama maupun angkatan baru,
keempat syarat tersebut membutuhkan penjabaran lebih lanjut.

Syu’bah bin al-Hajjaj (160 H) pernah ditanya: “Siapakah yang hadistnya


terpakai?”. Syu’bah menjawab: “Orang yang meriwayatkan hadits dari orang
terkenal yang justru tidak mereka kenal, hadistnya tidak terpakai. Atau apabila
dia salah memahami suatu hadist. Atau bila dia sering melakukan kesalahan-
kesalahan. Atau meriwayatkan hadist yang disepakati banyak orang bahwa
hadist tersebut salah. Maka hadist-hadist yang diriwayatkan oleh orang seperti
itu tidak dipakai. Adapun selainya, boleh diriwayatkan.”2

Tampaknya Syu’bah ingin menegaskan bahwa dua syarat yang harus


dipenuhi oleh seorang perawi bila hadistnya ingin diterima yakni adil dan cermat.
Sering melakulan kesalahan berarti tidak cermat, dan menyalahgunakan
pemahaman hadist berarti tidak adil. Mengenai persyaratan harus Islam dan
berakal, keduanya sudah menjadi syarat penting dan mutlak, sehingga Syu’bah
tidak perlu menyebutkanya lagi . sebab tidak bisa kita gambarkan lagi seorang
yang adil tapi bukan Islam atau orang yang cermat tapi tak berakal.

a. Berakal
1
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia. hal 120
2
Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa Cendekia. hal
62

2
Menurut para ahli hadits berakal berarti identik dengan kemampuan
seseorang untuk membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan
menyampaikan suatu hadits, seseorang harus telah memasuki usia aqil
baligh.3

b. Cermat
Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadits yang dia riwayatkan ternyata
cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, teliti dan
terpercaya. Tetapi itu tidak harus mengena keseluruhan. Perbedaan yang
tidak sedikit tentang hadits yang mereka riwayatkan masih dapat diterima.
Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadist yang
mereka riwayatkan, maka kecermatannya masih diragukan.4

Syu’bah al-Hajjaj berkata: “Hadits aneh yang anda terima berasal dari
orang yang aneh pula.”5 Allah akan menghargai orang orang yang
bersikap cermat dalam periwayatan hadits, merekalah orang yang pandai
dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja. Hadist
shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui
pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar.6

c. Adil

Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi
pada urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang
merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil
sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang
diperintahkan kepadanya, dapat menjaga diri dari larangan-larangan,
menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam
segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa
merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga
dan mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap
adil bagi agamanya dan haditsnya diakui kejujurannya.”

3
Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah. hal 54
4
Salah Muhammad Muhammad Uwayd. Taqrib Al-tadrib . (Beirut : Dar al-Kutub al-
Imliyyah, 1989) hal 110
5
Al-Khatib Al-Baghdadi .Al-Kifayah .hal 141
6
Al Hakim al Naisaburi. Ma’rifah Ulum al-Hadist. hal 59

3
Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang
saksi. Jika masalah bersihnya seorang saksi baru dapat diterima dengan
penyaksian dua saksi. Baik saksi laki laki maupun saksi perempuan, orang
merdeka ataupun berstatus budak, dengan syarat dapat adil terhadap
dirinya sendiri.7 Sementara kepribadian yang baik harus dipenuhi oleh
seorang rawi yang adil lebih banyak dikaitkannya dengan ukuran nilai
moral seorang rawi.

d. Muslim
Seorang rawi harus meyakini dan mengerti akidah Islam, karena dia
meriwayatkan hadits atau khabar yang berkaitan dengan hukum-hukum,
urusan dan syari’at agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung jawab
untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia.
Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika seseorang
menyampaikan hadist, bukan ketika membawa atau menanggungnya.8

B. Tahammul wa Ada’
Kegiatan periwayatan hadis melalui dua tahap, yaitu:
1. Penerimaan hadis (Tahammul hadis)
Menurut bahasa tahaamul merupakan masdar dari fi’il (kata kerja)
tahaamala yang berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan
menerima. Tahammul hadis menurut bahasa adalah menerima hadis atau
menanggung hadis. Sedangkan tahaamul hadis menurut istilah ulama ahli hadis,
sebagaimana tertulis dalam kitab Taisir Mushtholah Hadis adalah:9

‫التحامل معناه تلقى احلديث واخذه عن الةيوخ‬


Artinya:“Tahammul artinya menerima hadis dan mengambilnya dari para syekh
atau guru.”

Syarat tahammul hadis ada dua, yaitu:


a. Tamyiz

7
Muhammad Al Shan’ani. Taudhid al-Afkar 2/121.
8
Al-Khatib Al-Baghdadi . Al-Kifayah hal 76
9
Mahmud Thohan, 1985, Mushtholah Hadits, Singgapura, haramain, hlm. 156

4
Menurut al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hamal seorang anak bisa disebut
tamyiz, jika sudah mampu untuk membedakan antara sapi dan keledai.
Seorang yang belum baligh boleh menerima hadis asalkan ia sudah
tamyiz. Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli
ilmu setelahnya yang menerima hadis walaupun mereka belum baligh
seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain.
Sedangkan beragama Islam tidak disyaratkan dalam Tahammul hadis.

b. Berakal sehat
Berakal sehat disyaratkan dalam tahammul hadis. Oleh karena itu tidak
sah riwayat orang yang menerima hadis tersebut ketika dalam keadaan
tidak sehat akalnya.

2. Penyampaian Hadis (Ada’ al-hadis)


Pengertian ada’ al-hadis menurut bahasa adalah:

‫إيصال الةيئ إىل املرسل إليه‬


Artinya : “Menyampaikan sesuatu pada orang yang dikirim kepadanya”.
Sedangkan ada’ al-hadis menurut istilah adalah:

‫رواية احلديث وإعطاؤه للطالب‬


Artinya: “Meriwayatkan hadis dan memberikannya pada para murid”.10

Syarat-syarat ada’ al-hadis adalah:


a. Islam
Pada waktu periwayatan suatu hadis seorang perawi harus muslim. Menurut
ijma’, periwayatan hadis oleh orang kafir dianggap tidak sah, karena riwayat
orang muslim yang fasik saja ditolak, apalagi hadis yang diriwayatkan oleh
orang kafir.
b. Baligh

10
Ibnu sholah, Ulumul Hadits al-Ma’ruf bi Muqoddimah ibn ash-Sholah,Tsaqofiyah, hlm.
156

5
Baligh adalah perawi cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis, baik baligh
karena sudah berusia lima belas tahun atau baligh karena sudah keluar mani
bagi anak laki-laki, atau sudah mengalami haid bagi perempuan.
c. ‘Adalah (adil)
Adil merupakan suatu sifat yang melekat pada seseorang berupa ketaqwaan
dan muru’ah (menjaga harga diri). Seseorang dinyatakan adil berarti dia
adalah seorang muslim yang sudah mukallaf yang terhindar dari perbuatan-
perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga diri. Jadi syarat
yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu
Islam dan baligh. Oleh karena itu, orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang
yang tak dikenal ( ‫ول‬GG‫ ) مجه‬tidak digolongkan sebagai orang adil dan
riwayatnya ditolak.
d. Dhabit
Dhabit ialah ingatan yang kuat, maksudnya seorang yang meriwayatkan
hadis harus ingat dengan kuat hadis yang ia sampaikan. Ia mendengar hadis
dan memahami apa yang didengarnya, serta hafal dengan benar sejak
menerima hadis hingga ia meriwayatkannya kepada orang lain. Dhabit ada
dua macam, yaitu:
1) Dhabit ash-shodri, yaitu kemampuan menghafal apa yang ia dengar di
dalam dadanya, sehingga ia mampu menyampaikan hafalan tersebut
kapanpun ia kehendaki.
2) Dhabit al-kitab, yaitu kemampuan mencatat dengan baik, akurat dan
benar hadis yang ia dengar, dan mampu menyampaikan hadis tersebut
sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut.11

C. Cara Periwayatan Hadits


1. Al - Sama'
Yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik dengan cara
didiktekan maupun bukan, dan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya.
Dengan cara demikian maka orang lain yang hadir turut mendengar apa
yang disampaikan tersebut. Menurut jumhur ulama hadis, cara ini
merupakan metode periwayatan hadis yang paling tinggi tingkatannya.

11
Ibid:137

6
Termasuk kategori sama’ juga seorang yang mendengar hadis dari Syeikh
dari balik dinding /pembatas (hijab). Jumhur ulama membolehkannya
dengan berdasar pada para sahabat yang juga pernah melakukan hal
demikian ketika meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah melalui para istri
Nabi. Lafaz-lafaz yang digunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadis atas
dasar sama’, ialah:

‫ أخربنا‬،‫( أخربىن‬seseorang telah mengabarkan kepadaku/kami)

‫ حدثنا‬،‫( حدثىن‬seseorang telah bercerita kepadaku/kami)

‫ مسعنا‬،‫( مسعت‬saya telah mendengar, kami telah mendengar)

2. Al-Qira'ah 'ala Al-Syaikh atau 'Aradh Al-Qira'ah


Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan
hadis di hadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang
lain, sedangkan sang guru mendengarkan atau menyimak, baik guru itu
hafal maupun tidak, tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui
tulisannya. Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan hadis-hadis
yang berdasarkan qiraah:

‫قرآت عليه‬
(aku telah membacakan dihadapannya)

‫قرئ على فالن و أنا أمسع‬


(dibacakan kepada seseorang sedang aku mendengarkannya)

‫حدثنا أو أخربنا قراءة عليه‬


(telah mengabarkan/menceritakan padaku dengan cara dibaca
dihadapannya)

3. Ijazah
Yakni seorang guru mengijinkan muridnya meriwayatkan hadis darinya,
baik dengan ucapan atau tulisan. Di antara macam-macam ijazah adalah:
a. Syaikh mengijazahkan hadis tertentu kepada orang tertentu.
7
b. Syaikh mengijazahkan orang tertentu dengan tanpa menentukan hadis
yang diijazahkannya.
c. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja dan tidak menentukan hadis
apa yang diijazahkan.
d. Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul.
Lafaz-lafaz yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima
dengan jalur ijazah adalah sbb:

‫أجاز لفالن‬, ‫حدثنا إجازة‬, ‫ أخربنا إجازة‬, dan ‫أنبأنا إجازة‬


4. Al-Munawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau sebuah kitab hadis kepada
muridnya untu diriwayatkan. Al-Munawalah ada dua macam:
a. Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling
tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq.
b. Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah.

5. Al-Kitabah
Yaitu seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis
riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir
disitu. Kitabah ada 2 macam :
1) Kitabah yang disertai dengan ijazah.
2) Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah.

6. Al- I’lam (memberitahu)


Yaitu seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadis ini atau
kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan jin untuk
meriwayatkannya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi

berkata : ‫شيخي‬ ‫( أعلمين‬guruku telah memberitahu kepadaku).


7. Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu seorang syaikh mewasiatkan, di saat mendekati ajalnya atau dalam
perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Redaksi

periwayatan dengan wasiat misalnya ‫اب‬II I‫ى إيل فالن بكت‬II I‫( أوص‬si fulan telah

8
mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau ‫ية‬II‫دثين فالن وص‬II‫( ح‬si fulan telah

bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).

8. Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu seorang perawi mendapat hadis atau kitab hadis dengan tulisan
seorang syaikh, baik ia mengenal syaikh itu atau tidak. Ungkapannya seperti

“Saya menemukan tulisan si fulan” ‫فالن‬ ‫وجدت خبط‬


D. Aturan Meriwayatkan Hadits Secara Makna
Dalam periwayatannya, hadits Rasulullah SAW. diajarkan secara sambung
menyambung sejak generasi sahabat hingga generasi selanjutnya. Ulama sepakat
bahwa hadits yang diriwayatkan dengan rangkaian lafaz yang dituturkan persis
sebagaimana yang diucapkan langsung oleh Rasulullah SAW. adalah yang
terbaik. Tidak ada lafaz dari Nabi yang diganti, apalagi dikurangi dan ditambahi.
Abu Ishaq as-Syairazi berkata: “Pendapat yang dipilih di dalam periwayatan
adalah meriwayatkan hadits beserta lafaznya, karena Rasulullah SAW bersabda,
‘Allah merahmati seseorang yang mendengarkan ucapan-ucapanku kemudian ia
menjaganya,kemudian ia menyampaikannya sebagaimana yang ia dengarkan’.
Terkadang seorang yang hafal hadits bukanlah yang mampu memahami,
terkadang seorang yang hafal hadits mengabarkan (hadits tersebut) kepada
sseorang yang lebih paham darinya.”12
Akan tetapi, mayoritas ulama memberikan toleransi meriwayatkan hadits
secara makna (meriwayatkan hadits dengan lafaz yang berbeda akan tetapi dengan
makna yang sama) khususnya kepada para perawi hadits sebelum masa
pembukuan hadits dimasa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal ini disebabkan
sulitnya menjaga hafalan lafaz hadits secara terperinci serta kepahaman mendalam
para perawi saat itu sehingga mereka dapat mengubah lafaz hadits dengan lafaz
yang bermakna sama secara akurat. Akan tetapi, setelah zaman pembukuan hadits
di abad kedua dan ketiga Hijriyah para ulama tidak membolehkan meriwayatkan
hadits secara makna dari hadits-hadits yang tertulis dalam kitab-kitab para ulama.

12
Abu Ishaq as-Syairazi,Syarh al-Luma’ fi ushul al-fiqh.Beirut:Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah,2011 vol.2 hal.375

9
Hal ini dikarenakan kitab-kitab hadits yang dibukukan telah menjadi
patokan dalam meriwayatkan hadits sebagaimana pendapat an-Nawawi,”Ketika
seseorang ingin meriwayatkan hadits secara makna, apabila dia tidak memahami
lafaz-lafaznya serta maksudnya serta ia tidak mengetahui cara menguraikan
maknanya maka ia tidak boleh meriwayatkan secara makna dan ia harus
meriwayatkan persis sebagaimana lafaz yang ia terima, menurut kesepakatan para
ulama. Bahkan walaupun ia seorang yang mengetahui seluk-beluk hadits, menurut
sebagian ulama ahli hadits, ahli fiqh, serta ahli ushul fiqh tetap tidak
diperbolehkan (meriwayatkan hadits secara makna) secara mutlak. Sebagian yang
lain berpendapat ia diperbolehkan (meriwayatkan hadits secara makna) pada
selain hadits Rasulullah. Sedangkan menurut mayoritas ulama salaf (ulama
periode terdahulu) dan khalaf (periode ulama setelah zaman ulama salaf)
memperbolehkan meriwayatkan hadits secara makna ketika ia meyakini bahwa ia
menyampaikan sesuai dengan makna hadits. Dan inilah pendapat shawab
(pendapat yang mendekati kebenaran) sebagaimana kondisi para sahabat dan
generasi setelahnya yang mana mereka meriwayatkan hadits dengan lafaz yang
berbeda-beda. Akan tetapi hukum ini adalah bagi hadits yang bukan diriwayatkan
dari kitab-kitab karya ulama. Adapun hadits yang diambilkan dari kitab-kitab
ulama maka tidak boleh diriwayatkan secara makna”.13
Adapun syara-syarat meriwayatkan hadits secara makna sebagaimana yang
diutarakan oleh Muhammad bin Ahmad as-Sarkhasi (wafat.490 H) dalam kitab
Ushul al-Sarkhasi , oleh Fakhruddin Muhammad ar-Razi (W.606 H) dalam kitab
Al-Mahshul fi Ilm Ushul al-Fiqh,oleh Muhammad bin Ali as-Syaukani (W.1255
H) dalam kitab Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ilm al-Ushul adalah
sebagaimana berikut :
1. Perawi harus memberikan ganti lafaz yang semakna dengan lafaz hadits yang
ia terima tanpa menambahkan atau mengurangi makna yang dituju seperti
contoh mengganti lafaz al-qudrah dengan lafaz al-istitha’ah yang sama-sama
bermakna mampu.
2. Perawi memberikan ganti lafaz yang sepadan menurut susunan bahasa Arab.
Oleh karena itu, perawi tidak boleh menempatkan lafaz yang bermakna

13
an-Nawawi , Syarh an-Nawawi ala Shahih Muslim [Beirut:Darul Kutub al-
Ilmiyyah],2012 vol.1 hal.40

10
muthlaq pada tempatnya lafaz yang bermakna muqayyad (terbatasi) dan
sejenisnya.
3. Perawi tidak mengubah lafaz-lafaz yang bermakna mutasyabbihat (samar
maknanya). Menurut Asy-Syarkhasi, “ Kita diperintahkan untuk tidak
meneliti makna lafaz mutasyabbihat, bagaimana mungkin kita boleh
meriwayatkannya secara makna?”
4. Perawi tidak mengubah lafaz-lafaz hadits yang dihitung ibadah dengan
melafazkannya seperti contoh lafaz dalam azan, dzikir, tasyahhud, dan
sejenisnya.
5. Perawi tidak mengubah lafaz-lafaz hadits yang terhitung jawami’ al-kalim
(lafaz-lafaz yang fashih dan yang diucapkan oleh Rasulullah). Hal ini
dikarenakan mengubah lafaz hadits yang bernilai jawami’ al-kalim akan
menghilangkan segi keindahan lafaznya seperti contoh hadits Rasulullah yang
artinya Rasulullah SAW bersabda,”Inilah saat panasnya tungku api”.
Menurut Ibnu Atsir , ini adalah ungkapan Rasulullah SAW yang sangat indah
dalam menggambarkan bergejolaknya perang Hunain. Dan ungkapan ini
belum pernah diucapkan seorang pun sebelum Rasulullah SAW bahkan
belum dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya.
6. Perawi hanya boleh meriwayatkan hadits secara makna dalam hadits-hadits
yang panjang sebagai sebuah kemurahan. Akan tetapi, perawi tidak boleh
meriwayatkan hadits secara makna dalam hadits-hadits yang pendek. Dalam
hal ini asy-Syaukani menyatakan,”Tidak ada toleransi sedikit pun dalam
hadits-hadits yang pendek”. Dalam hal ini, ada golongan ulama yang menolak
seluruh periwayatan hadits secara makna. Di antara mereka adalah mazhab
Abu Dawud adz-Dzahiri, Ahmad bin Yasar asy-Syaibani, Abu Bakar al-
Jasshash, Ibrahim an-Nakha’I, dan masih banyak lagi.14

E. Istilah-istilah Dalam Periwayatan


1. Ar-Rāwī atau seseorang yang menyampaikan atau menerima suatu
periwayatan hadis.

14
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi[Beirut: Darul Kutub al-
Islamiyyah],2011,vol.2 hal.98

11
2. Al-Marwī atau suatu materi yang diriwayatkan oleh sang rawi, biasa
disebut dengan Matan.
3. Ṭarīqah ar-Riwāyah atau Ṣigat tahammul wa al-adā’ al-ḥadīṡ atau sarana
yang digunakan berkenaan dengan proses penyampaian dan penerimaan
hadis. Seseorang baru bisa disebut dengan seorang periwayat hadis apabila
dia telah melakukan tahammul wa al-adā‟ alḥadīṡ.15

F. Gelar Ulama Hadits


Para ulama memberikan gelar tersendiri bagi para Imam Ahli Hadis. Hal
ini disesuaikan dengan kelebihan dan keahliannya dalam bidang hadis dan
ulūm al-ḥadīṡ. Diantaranya adalah:16
1. Amīr Al-Mukminīn fī Al-Ḥadīṡ
Gelar Amīr Al-Mukminīn fī Al-Ḥadīṡ merupakan gelar tertinggi untuk
seorang Ahli Hadis. Gelar ini hanya dinisbahkan kepada para Khalifah
setelah Abū Bakar Aṣ-Ṣidddīq. Adanya gelar ini didasarkan pada pernyatan
Rasulullah Saw ketika menjawab pertanyaan salah seorang sahabat tentang,
Siapakah yang dikatakan Khalifah? Rasulullah menjawab, “Ialah orang-
orang sepeninggalku yang meriwayatkan hadis-hadis ku”. Ulama hadis yang
mendapat gelar ini seperti: Syu’bah Ibnu Al-Ḥajjaj, Sufyan Aṡauri, Bukhārī,
Muslim, dan lain-lain.

2. Al-Ḥākim
Al-Ḥākim adalah sebuah gelar untuk ulama hadis yang mampu menguasai
hadis-hadis yang telah diriwayatkannya. Baik dari segi matan, sifat-sifat
rawi yang diterima atau ditolaknya, tarjih maupun ta’dil nya, sejarah hidup
sang rawi, guru-gurunya dan segala hal yang mendetail tentang rawi.
Disamping itu, dia juga mampu menghafal lebih dari 300.000 hadis lengkap
dengan urut-urutannya. Diantara Ahli Hadis yang mendapat gelar ini adalah:
Imām Syāfi‟i (wafat 204 H), Imām Mālik bin Anas (Wafat 179 H), dan lain-
lain.

15
M Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995) h. 24
16
Ibid, h. 36

12
3. Al-Ḥujjah
Al-Ḥujjah adalah sebuah gelar untuk Ahli hadis yang mampu menghafal
300.000 hadis lengkap dengan matan, sanad, maupun seluk beluk
perawinya. Termasuk dengan keadilan dan kecacatannya. Diantara Ulama
Hadis yang mendapat gelar ini adalah: Hisyām bin Urwah (wafat 146 H),
Abu Ḥudzail Muḥammad Ibn Al-Wāhid (wafat 149 H), dan Muḥammad
Abdullāh bin Amr (wafat 242 H).

4. Al-Ḥāfiẓ
Al-Ḥāfiẓ adalah sebuah gelar untuk ulama hadis yang mampu menghafal
100.000 buah hadis. Baik dari segi sanad, matan, maupun seluk beluk
tentang perawinya. Ada juga Ulama hadis yang berpendapat bahwa yang
disebut Al-Ḥāfiẓ adalah seseorang yang berpengetahuan luas tentang hadis
beserta ilmu-ilmunya, sehingga hadis yang diketahuinya lebih banyak
daripada yang tidak diketahuinya. Diantara ulama yang mendapat gelar Al-
Ḥāfiẓ adalah: Ibnu Ḥajar Al Asyqalanī, Syarīfuddin Ad-Dimyatī, dan Ibnu
Daqiqil.

5. Al-Muḥaddiṡ
Al-Muḥaddiṡ adalah sebuah gelar yang dimiliki oleh ulama hadis yang
mampu menghafal 1000 buah hadis. Baik dari segi sanad, matan, maupun
seluk beluk tentang perawi. Serta mampu memahami hadis-hadis yang
termaktub dalam kutub as-sittah. Diantara ulama yang memperoleh gelar ini
adalah: Az-Zabidi, dan Aṭā‟ bin Abī rabbah.

6. Al-Musnid
Al-Musnid atau Aṭ-Ṭhālib, atau Al Mubtadi’, atau Ar-Rāwī. Gelar ini
disematkan untuk seseorang yang meriwayatkan hadis beserta sanadnya.
Baik menguasai ilmunya maupun tidak. Dengan demikian, maka ukuran
pemberian gelar tersebut bukan hanya didasarkan pada jumlah hadis yang
telah dihafalnya, tetapi juga diukur dalam hal penguasaannya dibidang ulūm
al-ḥadīṡ.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Syarat-syarat seorang perawi diantaranya berakal, cermat, adil dan muslim.
2. Tahammul berarti menerima hadis dan mengambilnya dari para syekh atau
guru. Sedangkan ada’ al-hadis artinya meriwayatkan hadis dan
memberikannya pada para murid.
3. Cara periwayatan hadits adalah sebagai berikut Al Sama’, Al-Qira'ah 'ala
Al-Syaikh atau 'Aradh Al-Qira'ah, Ijazah, Al-Munaawalah, Al-Kitabah, Al-
I’lam (memberitahu), Al-Washiyyah (mewasiati) dan Al-Wijaadah
(mendapat).
4. Istilah dalam periwayatan hadits diantara lain adalah Ar-Rāwī, Al-Marwī
dan Ṭarīqah ar-Riwāyah atau Ṣigat tahammul wa al-adā’ al-ḥadīṡ.
5. Gelar untuk Ulama Hadits diantara lain adalah Amīr Al-Mukminīn fī Al-
Ḥadīṡ, Al-Ḥākim, Al-Ḥujjah, Al-Ḥāfiẓ, Al-Muḥaddiṡ dan Al-Musnid.

B. Saran
Dengan memahami model periwayatan hadits, kita dapat lebih memahami
asal usul hadits yang akan kita gunakan sehingga semakin yakin bahwa hadits
yang kita gunakan benar-benar berasal dari Rasulullah SAW. Untuk itu,
pemakalah menyarankan penting pendalaman periwayatan hadits sebelum
menggunakan hadits.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishaq as-Syairazi, Syarh al-Luma’ fi ushul al-fiqh. Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 2011. vol.2
Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa
Cendekia.
Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah di ‘Ilm al Riwayah. Dar al Kitab Al Ilmiyah.
An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ala Shahih Muslim. Beirut:Darul Kutub al-
Ilmiyyah, 2012. vol.1
Ibnu sholah, Ulumul Hadits al-Ma’ruf bi Muqoddimah ibn ash-Sholah,Tsaqofiyah
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi. Beirut: Darul
Kutub al-Islamiyyah, 2011. vol.2
M Syuhudi Ismail. 1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Mahmud Thohan. 1985. Mushtholah Hadits. Singapura: haramain.
Muhammad Al Shan’ani. 1985. Taudhid al-Afkar. Beirut: Dar al Fikr.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
Salah Muhammad, Muhammad Uwayd. 1989. Taqrib Al-tadrib. Beirut: Dar al-
Kutub al-Imliyyah.

15

Anda mungkin juga menyukai