JARH-TA’DIL, TAHAMMUL-ADA’
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi
dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam
bentuknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits
tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat
rumit yang telah ditetapkan oleh ulama, dan yang mereka jelaskan secara lengkap
di dalam buku-buku Ushulul Hadits.
Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadits
Rasulullah SAW kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada di antara mereka
yang mengatakan: Ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai terbakar, karena
banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama.
Untuk memahami ilmu hadits ulama telah memberikan kontribusi yang besar
dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan,
penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits. Yang
disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya sampai masing- masing ilmu
bisa berdiri sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan
dan saling berkaitan.
Adapun terma-terma yang dibuat oleh ulama sebagai hasil penerapan ilmu-
ilmu itu dan kaidah-kaidahnya serta hasil dan pengklasifikasian mereka terhadap
hadits menjadi shahih, hasan, dha’if dan jenis-jenisnya, seperti mursal, mauquf,
maqtu’ dan lain-lain.
Adapun salah satu ilmu yang sangat penting yang memiliki pengaruh besar
terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para
perawi hadits adalah tahammul wa ‘ada’ul hadist yang akan kita bahas dalam
makalah ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam studi periwayatan hadist, persoalan
bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan
masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadist. Dengan
demikian apakah periwayatan suatu hadist harus dengan lafadz (teks) yang persis
disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu
penting dikalangan ulama hadist. Dalam makalah ini Insya Allah, penulis juga
akan mengupas seputaran periwayatan suatu hadits
2
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan jarh dan Ta’dil?
2. Apa yang dimaksud dengan Tahammul dan Ada’?
3. Sebutkan Kriteria kritikus Hadits !
C. Tujuan
1. Memberikan pengertian jarh dan Ta’dil
2. Memberikan penjelasan tentang Tahammul dan Ada’
3. Menjelaskan tentang Kriteria kritikus hadits
4. Menyebutkan norma-norma kritikus hadits
5. Memberikan klasifikasi dan peringkat kode lafadz dalam Jarh-Ta’dil,
Tahammul- Ada’
6. Memberikan teori-teori Jarh dan Ta’dil
3
BAB II
PEMBAHASAN
a. Tahammul al-hadist
b. Ada’ul al-Hadist
1. Berakal
Menurut para ahli hadist berkal berarti identik dengan kemampuan
seseorang untuk membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan
menyampaikan suatu hadist, seseorang harus telah memasuki usia akil balig.
Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang mereka dengar pada
masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-
3
Muhammad Abu Zahra, Ulumul Hadits, Yogyakarta: 1999, hlm. 19.
5
Khudri. Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada waktu
ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.4
2. Cermat
Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadist yang dia riwayatkan ternyata
cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, telilti dan
terpercaya. tetapi itu tidak harus mengena keseluruhan. Perbedaan yang tidak
sedikit tentang hadist yang mereka riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi
jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadist yang mereka
riwayatkan, maka kecermatanya masih diragukan.
Syu’bah al-Hajjaj berkata: “Hadist aneh yang anda terima berasal dari
orang yang aneh pula”. Allah akan menghargai orang orang yang bersikap
cermat dalam periwayatan hadist, merekalah orang yang pandai dan bijaksana,
mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja . hadist shahih diketahui bukan
hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan
banyak mendengar.
3. Adil
Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi
pada urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang
merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai
berikut: yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang
diperintahkanya kepadanya- dapat menjaga diri dari larangan-larangan,
menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam
segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa
merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan
mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi
agamanya dan hadistnya diakui kejujuranya.
4. Muslim
Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini
dan mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadist atau khabar yang
berkaitan dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia
mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang
semuanya kepada manusia. Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika
4
Abdul WahabKhalaf, Ilm Ulumul Hadits, hlm. 25.
6
Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan
yang paling berat jarh nya, sampai kepada yang paling ringan jarh nya.
sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya
dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah karena tingkat
kedaifannya adalah ringan.
F. Teori al-Jarh wa al-Ta’dil
dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlaku subyektif karena
didorong oleh rasa kebencian.
Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing itu,
maka yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian
yang lebih obyektif terhadap periwayat hadis yang dinilai keadaan pribadinya.
dinyatakan demikian karena tujuan penelitian yang sesungguhnya bukanlah
untuk mengikuti teori tertentu, melainkan bahwa penggunaan teori-teori itu
dalam upaya memperoleh hasil yang lebih mendekati kebenaran, bila
kebenaran itu sulit dihasilkan6.
6
Ibid.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1) Secara etimologis, kata al-jarh merupakan mashdar dari kata jaraha-
yajrahu yang berarti melukai. Apabila terjadi pada tubuh, ia
menyebabnya mengalirnya darah, dan apabila digunakan oleh hakim
pengadilan yang ditunjukan oleh saksi, ia berarti menolak atau
menggugurkan kesaksiannya. Sedangkan menurut terminologi ilmu
hadis, kata jarh berarti upaya mengungkapkan sifat-sifat tercela dari
periwayat hadis yang menyebabkan lemah atau tertolaknya riwayat
yang disampaikan. Adapun kata ta’dil adalah bentuk mashdar dari
kata ‘addala-yu’addilu yang berarti yang mengemukakan sifat adil
yang dimiliki seseorang. Dalam terminologi ilmu hadis, kata ta’dil
berarti upaya mengungkapkan sifat-sifat bersih dari seorang periwayat
hadissehingga nampak keadilan (adalah)-nya yang menyebabkan
lemah atau tertolaknya riwayat yang disampaikan. Dengan demikian,
yang dimaksud ilmu jarh dan ta’dil ialah pengetahuan yang membahas
tentang keadaan periwayat hadis, baik mengenai catatannya maupun
kebersihannya dengan menggunakan lafal-lafaal tertentu sehingga
diterima atau sebaliknya, ditolak riwayatnya
2) Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah
mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu
cara tertentu. Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi
perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak
yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau
tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi–seperti
diungkapkan oleh al Karmani pada boleh dan tidaknya hadits tersebut
diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah
sebaliknya. Ada‘ secara etimologis berarti sampai atau melaksanakan.
Secara terminologis Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan
(meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada
muridnya.Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan
hadits kepada murid, atau proses mereportasekan hadits setelah ia
menerimanya dari seorang guru. Karena Tidak semua orang bisa
menyampaikan hadits kepada orang lain, Dalam hal ini mayoritas
12
3) Berakal
Cermat
Adil
muslim
13
DAFTAR PUSTAKA