Anda di halaman 1dari 13

1

JARH-TA’DIL, TAHAMMUL-ADA’

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi
dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam
bentuknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits
tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat
rumit yang telah ditetapkan oleh ulama, dan yang mereka jelaskan secara lengkap
di dalam buku-buku Ushulul Hadits.
Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadits
Rasulullah SAW kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada di antara mereka
yang mengatakan: Ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai terbakar, karena
banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama.
Untuk memahami ilmu hadits ulama telah memberikan kontribusi yang besar
dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan,
penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits. Yang
disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya sampai masing- masing ilmu
bisa berdiri sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan
dan saling berkaitan.
Adapun terma-terma yang dibuat oleh ulama sebagai hasil penerapan ilmu-
ilmu itu dan kaidah-kaidahnya serta hasil dan pengklasifikasian mereka terhadap
hadits menjadi shahih, hasan, dha’if dan jenis-jenisnya, seperti mursal, mauquf,
maqtu’ dan lain-lain.
Adapun salah satu ilmu yang sangat penting yang memiliki pengaruh besar
terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para
perawi hadits adalah tahammul wa ‘ada’ul hadist yang akan kita bahas dalam
makalah ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam studi periwayatan hadist, persoalan
bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan
masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadist. Dengan
demikian apakah periwayatan suatu hadist harus dengan lafadz (teks) yang persis
disampaikan Nabi SAW ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu
penting dikalangan ulama hadist. Dalam makalah ini Insya Allah, penulis juga
akan mengupas seputaran periwayatan suatu hadits
2

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan jarh dan Ta’dil?
2. Apa yang dimaksud dengan Tahammul dan Ada’?
3. Sebutkan Kriteria kritikus Hadits !

C. Tujuan
1. Memberikan pengertian jarh dan Ta’dil
2. Memberikan penjelasan tentang Tahammul dan Ada’
3. Menjelaskan tentang Kriteria kritikus hadits
4. Menyebutkan norma-norma kritikus hadits
5. Memberikan klasifikasi dan peringkat kode lafadz dalam Jarh-Ta’dil,
Tahammul- Ada’
6. Memberikan teori-teori Jarh dan Ta’dil
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Jarh, Ta’dil


Secara etimologis, kata al-jarh merupakan mashdar dari kata jaraha-yajrahu
yang berarti melukai. Apabila terjadi pada tubuh, ia menyebabnya mengalirnya
darah, dan apabila digunakan oleh hakim pengadilan yang ditunjukan oleh saksi,
ia berarti menolak atau menggugurkan kesaksiannya. Sedangkan menurut
terminologi ilmu hadis, kata jarh berarti upaya mengungkapkan sifat-sifat tercela
dari periwayat hadis yang menyebabkan lemah atau tertolaknya riwayat yang
disampaikan.1
Adapun kata ta’dil adalah bentuk mashdar dari kata ‘addala-yu’addilu yang
berarti yang mengemukakan sifat adil yang dimiliki seseorang. Dalam terminologi
ilmu hadis, kata ta’dil berarti upaya mengungkapkan sifat-sifat bersih dari seorang
periwayat hadissehingga nampak keadilan (adalah)-nya yang menyebabkan lemah
atau tertolaknya riwayat yang disampaikan.
Dengan demikian, yang dimaksud ilmu jarh dan ta’dil ialah pengetahuan
yang membahas tentang keadaan periwayat hadis, baik mengenai catatannya
maupun kebersihannya dengan menggunakan lafal-lafaal tertentu sehingga
diterima atau sebaliknya, ditolak riwayatnya.2
Sebagian orang, tidak memahami tujuan dan maksud dilakukannya jarh dan
ta’dil oleh ulama ahli kritik hadis dianggap sebagai suatu tercela. Padahal bagi
ahli kritik hadis, penelitian tentang keadaan periwayat-periwayat hadis dengan
membersihkan orang-orang yang ‘adil dan mencatat orang-orang yang cacat
merupakan sikap hati-hati dalam urusan agama untuk menjaga undang-
undangnya, membedakan letak kekeliruan yang terjadi pada sumber asal yang
menjadi bangunan Islam dan asas syariah.
B. Pengertian Tahammul dan Ada’
1
‘itr Nuruudin, Ulumul hadis, Jakarta: Rosda, 2012, hlm 73.
2
Alfatih Suryadilaga,Ulumul Hadits, Yogyakarta: Kalimedia, 2015, hlm. 156
4

a. Tahammul al-hadist

Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah “mengambil atau


menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu. Dalam
masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para
kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh),
apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi–
seperti diungkapkan oleh al Karmani pada boleh dan tidaknya hadits tersebut
diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya.3

b. Ada’ul al-Hadist

Ada‘ secara etimologis berarti sampai atau Secara


melaksanakan.
terminologis Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari
seorang guru kepada muridnya.

Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid,


atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Karena Tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, Dalam
hal ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan
dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:

 Ketahanan ingatan informator (Dlabitur Rawi)


 integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan
tingkat kredibilitas (Tsiqatu1r Rawi).
 Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan
mengetahui arti hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya
saja (bil ma’na).

Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits


maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang
yang selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang
selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap
agamanya.

C. Kriteria Kritikus Hadits

1. Berakal
Menurut para ahli hadist berkal berarti identik dengan kemampuan
seseorang untuk  membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan
menyampaikan suatu hadist, seseorang harus telah memasuki usia akil balig.
Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang  mereka dengar pada
masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-

3
Muhammad Abu Zahra, Ulumul Hadits, Yogyakarta: 1999, hlm. 19.
5

Khudri. Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada waktu
ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.4

2. Cermat
Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadist yang dia riwayatkan ternyata
cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, telilti dan
terpercaya. tetapi itu tidak harus mengena keseluruhan. Perbedaan yang tidak
sedikit tentang hadist yang mereka riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi
jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadist yang mereka
riwayatkan, maka kecermatanya masih diragukan.

Syu’bah al-Hajjaj berkata: “Hadist aneh yang anda terima berasal dari
orang yang aneh pula”. Allah akan menghargai orang orang yang bersikap
cermat dalam periwayatan hadist, merekalah orang yang pandai dan bijaksana,
mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja . hadist shahih diketahui bukan
hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan
banyak mendengar.

3. Adil

Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi
pada urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang
merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai
berikut: yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang
diperintahkanya kepadanya- dapat menjaga diri dari larangan-larangan,
menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam
segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa
merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan
mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi
agamanya dan hadistnya diakui kejujuranya.

Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang


saksi. Jika masalah kebersihan dapat baru diterima dengan penyaksian dua
saksi. Saksi ini baik laki laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau
berstatus budak, dengan persyaratan dapat adil terhadap dirinya sendiri. Itulah
menurut Imam fakhrudin dan Saif-Ahmad. Kepribadian yang baik harus
dipenuhi oleh seorang rawi yang adil lebih banyak dikaitkanya dengan ukuran
ukuran moral seorang rawi.

4. Muslim
Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini
dan mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadist atau khabar yang
berkaitan dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia
mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang
semuanya kepada manusia. Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika
4
Abdul WahabKhalaf, Ilm Ulumul Hadits, hlm. 25.
6

seseorang menyampaikan hadist, bukan ketika membawa atau


menanggungnya.

D. Norma Kritikus Hadits

Disamping itu juga, syarat subjektif,  terdapat norma kritik yang harus


dipegang oleh kritikus periwayat. Norma-norma itu ditetapkan oleh para ulama
dengan tujuan memelihara objektivitass penilaian periwayat dan pemeliharaan
akhlak mulia dalam melakukan kritik. Tegasnya, kritikus periwayat yang
memenuhi persyaratan subjektif diharuskan pula memenuhi norma-norma
objektif agar penilaianya akurat dan valid. Norma-norma tersebut adalah:

 Pertama, dalam melakukan kritik, kritikus periwayat tidak hanya


mengemukakan sifat-sifat negatif dan tercela yang memiliki periwayat
hadits, tetapi juga sifat-sifat positif dan utama. Ini dimaksudkans agar
terjadi keseimbangan penilaian dan dapat dijadikan pertimbangan
apakah riwayatnya dapat diterima ataukah tidak.

 Kedua, penjelasan tentang sifat-sifat positif dan ulama yang


dikemukakan oleh kritikus hadis tidak harus terperinci satu persatu,
tetapis dapat berupa penjelasan global. Konsiderasi seorang kritikus
dapat diterima dengan ungkapan yang bersifat umum seperti
ungkapan isiqah (terpercaya) untuk mewakili karakter peristiwa yang
adil (terjaga kapasitas pribadinya) dan dhabith (terpelihara kualitas
intelektualnya). Kata istiqah dapat mewakili karakter-karakter yang
bersifat khusus, yaitu beragama Islam, takwa,
memelihara muru’ah, teguh dalam beragama, tidak berbuat dosa kecil
terus-menerus, dosa besar, maksiat, tidak fasik, baik ahlaknya, dapat
dipercaya beritanya, biasanya benar, kuat hafalan, cermat, dan teliti.

 Ketiga, dalam mengemukakan sifat-sifat negatif tidak dilakukan secara


berlebihans. Ungkapan yang digunakan juga harus jelas aspek yang
dikritik apakah tentang kapasitas pribadi, kualitas intelektual, atau
keduanya. Penjelasan harus pula dikemukakan secara etis sehingga
nama baik periwayt tidak dirusakan oleh hal-hal yang tidak ada
hubungannya dengan periwayatan hadits.5
Kode etik kritik tidak hanya terlihat pada tiga aspek diatas,  redaksi kritik
yang dikemukakan oleh ulama juga mencerminkan norma-norma etis.
Meskipun para ulama mengemukakan redaksi beragama, sebagian bersifat
keras dan sebagian lain lunak, redaksi kritik yang digunakan tidak melampaui
batas

E. Tingkatan lafadz al-Jarh-Ta’dil


5
Hasbi Ash Shidqi, Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: CV. Mulia, 1967), hlm. 121.
7

Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan
yang paling berat jarh nya, sampai kepada yang paling ringan jarh nya.

 Pertama, Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi


yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata:  ‫ ركن‬ ،‫اس‬BB‫ذب الن‬BB‫أك‬
‫الكذب‬
(Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang
dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang
bersangatan.

 Kedua, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi


memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama.
Lafadz yang digunakan misalnya: ‫ وضاع‬,‫كذاب‬
(pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan
menunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari
peringkat yang pertama.

 Ketiga, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa


perawi dituduh berdusta lafadz yang digunakan misalnya:
ٌ ْ‫ ُم ْترُو‬,‫ك‬
َ ‫ لَي‬,‫ق‬
‫ْس بِثِقَ ٍة‬ َ ‫ق ْال َح ِدي‬
ٌ ِ‫ هَال‬,‫ْث‬ ِ ‫ يَس‬,‫ ُمتَّهَ ٌم بِ ْال َوضْ ِع‬,‫ب‬
ُ ‫ْر‬ ِ ‫ُمتَّهَ ٌم بِ ْال َك ِذ‬
(tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis,celaka,
ditinggalkan, tidak tsiqat)

 Keempat, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits


diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan:
ُ‫ الَ يُ ْكتَبُ َح ِد ْيثُه‬,‫ْس بِ َش ْي ٍء‬
َ ‫ لَي‬,‫ْف ِج ًّدا‬ َ ,ُ‫ طُ ِر َح َح ِد ْيثُه‬,ُ‫ُر َّد َح ِد ْيثُه‬
ٌ ‫ض ِعي‬
(ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-
apanya, tidak dituliskan Hadisnya).

 Kelima, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu


lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang
mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
ُ‫ ُمضْ طَّ ِرب‬  ‫ْف‬ َ ،ُ‫ض َّعفُوْ ه‬
ٌ ‫ض ِعي‬ ِ ‫ْال َح ِد ْي‬
َ ،‫ الَيُحْ تَ ُج بِ ِه‬،‫ث‬
(goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis
melemahkannya, dia lemah)

 Keenam, Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan


kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz
yang digunakan misalnya:
‫ غير أو‬,‫ فيه ضعيف‬،‫ ليس بحجة‬,‫ فيه مقا ل‬,‫ليس بذلك القوي‬  ‫ثق منه‬
(tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak
termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih
tsiqat dari padanya).

Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya


memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki
8

sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya
dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah karena tingkat
kedaifannya adalah ringan.

F. Teori al-Jarh wa al-Ta’dil

Dalam menilai pribadi seseorang periwayat hadis tertentu, terkadang para


kritikus sependapat dan adakalanya berbeda pendapat. Selain itu tak jarang
seorang kritikus menilai seorang periwayat yang sama dengan dua kualitas
yang berbeda. Dalam satu kesempatan tertentu, seorang kritikus menilai
dengan Laisa bihi ba’s, sedangkan pada kesempatan lain menilai periwayat
tersebut dengan kata dha’if.  Padahal kedua lafaz itu memiliki pengertian dan
peringkat yang berbeda.

Melihat betapa urgensinya ilmu ini para pakar ‘Ulu>mul Hadis menyusun


kaedah-kaedah Jarh} dan Ta’dil. Dengan adanya kaedah ini diharapkan hasil
penelitian terhadap riwayat hadis dapat lebih obyektif. Berikut ini adalah teori-
teori yang telah dikemukakan oleh ulama ahli al-Jarh} wa al-Ta’dil dan perlu
dijadikan bahan oleh para peneliti hadis tatkala melakukan kegiatan penelitian,
khususnya berkenaan dengan penelitian para periwayat hadis.

1. Al-Ta’dil Muqaddam ‘ala Jarh ( Ta’dil didahulukan atas Jarh})


Maksudnya bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan
dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah sifat
baiknya. karena sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji, sedangkan sifat
tercela merupakan sifat yang datang kemudian  maka sifat dominan adalah sifat
terpuji.
Pada umumnya ulama hadis menolak kaedah tersebut dengan alasan
bahwa kritikus yang memuji tidak mengetahui sifat yang tercela yang dimiliki
oleh periwayat yang dinilainya.Sementara kritikus yang mengemukakan celaan
adalah kritikus yang mengetahui ketercelaan periwayat yang dinilainya.
meskipun demikian kaedah ini sepenuhnya didukung oleh Imam al-Nasa>i.

2. Al-Jarh} Muqaddam ‘ala al-Ta’dil ( al-Jarh} didahulakan atas al-


Ta’dil )
Maksudnya bila seseorang dinilai tercela oleh seorang kritikus dan
dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah sifat yang
dinilai celaan. Alasannya karena kritikus yang menyatakan celaan lebih paham
pribadi periwayat yang dicelanya. Kemudian yang menjadi dasar untuk memuji
seorang periwayat adalah persangkaan yang baik dari seorang kritikus hadis
dan persangkaan baik itu harus dikalahakan bila ternyata ada bukti tentang
ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat bersangkutan. Kalangan ulama hadis,
ulama fiqhi, dan ulama ushul fiqhi banyak menganut teori tersebut. Dalam
pada itu, banyak juga ulama kritikus hadis yang menuntut pembuktian atau
penjelasan yang menjadi latar belakang atas ketercelaan yang dikemukakan
terhadap periwayat tersebut.
9

3. Iza Ta’arada al-Jarh} wa al-Muaddilu fa al-Hukmu lil Muaddil illa


iza  subita al-Jarh al-Mufassar
Maksudnya apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan
yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritkan yang memuji,
kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-
sebabnya
Dalam hal ini apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus
tertentu  dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus
dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali bila kriikan yang mencela
menyertai penjelasan tentang bukti-bukti  ketercelaan periwayat yang
bersangkutan
Kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat
yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada
kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama.
Jumhur Ulama mengatakan bahwa penjelasan ketercelaan yang dikemukakan
itu haruslah relevan dengan upaya penelitian. Kemudian bila kritikus yang
memuji telah mengetahui sebab-sebab ketercelan periwayat yang dinilainya itu
memang tidak relevan ataupun tidak ada lagi, maka kritikan yang memuji
tersebut yang harus dipilih.

4. Iza Kana al-Jarih da’ifan fala yuqbalu jarhuhu li al-Siqqah


Maksudnya apabila kritikus yang mengungkapkan ketercelaan adalah
orang-orang yang tegolong Dha’if maka kritikannya terhadap orang yang Siqah
tidak diterima. Alasannya  orang yang bersifat Siqah dikenal lebih berhati-hati
dan lebih cermat daripada orang yang tidak Siqah.

5. La yuqbalu al-Jarh illa Ba’da al-Tasabbuti Khasyah al-Asybah fi al-


Majru hina
al-Jarh> tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat)
dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang
dicelanya. Maksudnya apabila nama periwayat mempunyai kesamaan atau
kemiripan dangan nama periwayat lain, lalu salah satu periwayat itu dikritik
dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat
dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat dari kesamaan
atau kemiripan dari nama tersebut. Suatu kritikan harus jelas sasarannya.
Dalam mengkritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik haruslah jelas
dan terhindar dari keraguan-keraguan atau kekacauan.
6. Al-Jarh al-Nasyi’u ‘an ‘ada wati dunyawiyyah la yu’taddu bihi (al-
Jarh yang dikemukakan oleh orang-orang yang mengalami
permusuhan dalam masalah keduniaan tidak perlu diperhatikan).
Maksudanya apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki
yang permusuhan dalam masalah keduniaan dengan pribadi periwayat yang
dikritik dengan kecelaan itu, maka kritikan itu harus ditolak. Alasannya adalah
pertentangan masalh pribadi tentang urusan dunia dapat menyebabkan lahirnya
penilaian yang tidak obyektif. Kritikus yang bermusuhan dalam urusan dunia
10

dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlaku subyektif karena
didorong oleh rasa kebencian.
Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing itu,
maka yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian
yang lebih obyektif terhadap periwayat hadis yang dinilai keadaan pribadinya.
dinyatakan demikian karena tujuan penelitian yang sesungguhnya bukanlah
untuk mengikuti teori tertentu, melainkan bahwa penggunaan teori-teori itu
dalam upaya memperoleh hasil yang lebih mendekati kebenaran, bila
kebenaran itu sulit dihasilkan6.

6
Ibid.
11

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1) Secara etimologis, kata al-jarh merupakan mashdar dari kata jaraha-
yajrahu yang berarti melukai. Apabila terjadi pada tubuh, ia
menyebabnya mengalirnya darah, dan apabila digunakan oleh hakim
pengadilan yang ditunjukan oleh saksi, ia berarti menolak atau
menggugurkan kesaksiannya. Sedangkan menurut terminologi ilmu
hadis, kata jarh berarti upaya mengungkapkan sifat-sifat tercela dari
periwayat hadis yang menyebabkan lemah atau tertolaknya riwayat
yang disampaikan. Adapun kata ta’dil adalah bentuk mashdar dari
kata ‘addala-yu’addilu yang berarti yang mengemukakan sifat adil
yang dimiliki seseorang. Dalam terminologi ilmu hadis, kata ta’dil
berarti upaya mengungkapkan sifat-sifat bersih dari seorang periwayat
hadissehingga nampak keadilan (adalah)-nya yang menyebabkan
lemah atau tertolaknya riwayat yang disampaikan. Dengan demikian,
yang dimaksud ilmu jarh dan ta’dil ialah pengetahuan yang membahas
tentang keadaan periwayat hadis, baik mengenai catatannya maupun
kebersihannya dengan menggunakan lafal-lafaal tertentu sehingga
diterima atau sebaliknya, ditolak riwayatnya
2) Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah
mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu
cara tertentu. Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi
perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak
yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau
tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi–seperti
diungkapkan oleh al Karmani pada boleh dan tidaknya hadits tersebut
diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah
sebaliknya. Ada‘ secara etimologis berarti sampai atau melaksanakan.
Secara terminologis Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan
(meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada
muridnya.Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan
hadits kepada murid, atau proses mereportasekan hadits setelah ia
menerimanya dari seorang guru. Karena Tidak semua orang bisa
menyampaikan hadits kepada orang lain, Dalam hal ini mayoritas
12

ulama hadits, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan dalam


memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:

 Ketahanan ingatan informator (Dlabitur Rawi)


 integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat
kredibilitas (Tsiqatu1r Rawi).
 Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan
mengetahui arti hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya
saja (bil ma’na).

3) Berakal
Cermat
Adil
muslim
13

DAFTAR PUSTAKA

‘itr Nuruudin, Ulumul hadis, Jakarta: Rosda, 2012, hlm 73.


Alfatih Suryadilaga,Ulumul Hadits, Yogyakarta: Kalimedia, 2015, hlm. 156
Muhammad Abu Zahra, Ulumul Hadits, Yogyakarta: 1999, hlm. 19.
Abdul WahabKhalaf, Ilm Ulumul Hadits, hlm. 25.

Anda mungkin juga menyukai