STUDI HADIST
Ditunjukkan untuk memenuhi salah satu Mata Kuliah
Studi Keislaman
Dosen Pengampu oleh: Dwi Noviani, M.Pd.I
Oleh: Kelompok 5
Yelna Septiana (2110202035)
Msy. Siti Nurhaliza Candra Putri (2110202057)
Riza Muhammad Luthfi Addurunnafis (2120202060)
KELAS PAI B
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN FATAH
PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW, pemimpin para Nabi dan panutan bagi umat Islam di dunia yang beriman
dan bertaqwa, begitu juga dengan para keluarga dan sahabat yang telah membawa kita dari
zaman kegelapan menuju zaman terang-benderang “Ila Dzulumati Ilannur”serta kepada
pengemban risalah mulia yang selalu mengikuti metode serta langkah beliau yang
menjadikan “Al-Qur‟an” sebagai pedoman sekaligus sumber hukum.
Penyusun sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat penyusun harapkan, demi kesempurnaan karya ilmiah ini.
Semoga amal kebaikan dan aktivitas yang kita lakukan selalu ada dalam rahmat dan
ampunannya, Aamiin
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah diketahui bahwasannya dalam menyebut nama-nama hadits sesuai dengan
fungsinya dalam ketettapan syariat Islam ada hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dloif.
Masing-masing memiliki syarat dan ketentuan masing-masing, persyaratan itu berkaitan
dengan persambungan sanad, kuwalitas perawi yang dilalui hadits dan berkaitan juga dengan
kandungan hadits itu sendiri, maka di dalam ilmu hadits terdapat dua persoalan. Pertama
berkaitan dengan sanad. Kedua berkaitan dengan matan.
Sanad adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui apakah hadits tersebut bersambung
sanadnya atau tidak, dan apakah para perawi hadits yang tercantum dalam sanad adalah orang
terpercaya atau tidak. Ilmu matan bertujuan membantu kita mengetahui apakah kandungan
dalam hadits berasal dari nabi atau tidak, secara garis besar ilmu hadits di bagi menjadi dua
yaitu: hadits riwayah dan hadits dirayah. Hadits riwayah membahas materi hadits yang
menjadi kandungan makna, sedangkan ilmu hadits diarayah mengambil pembahasan tentang
kaidah-kaidahnya beik berhubungan dengan sanad atau matan hadits, kedua ilmu hadits itu
sama pentingnya, sebab dengan ilmu pertama orang muslim yang menguasai ilmu tersebut
dapat mengikuti keteladana rasulullah. Dan ilmu yang kedua membantu kita untuk
mendapatkan informasi yang akurat tentang hadits nabi, di bawah ini akan ditangkan
pengertian ilmu hadits sejarah yang di lalui serta cabang-cabang ilmu hadits.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang dapat dibuat perumusan masalah sebagai berikut:
BAB II
PEMBAHASAN
Sedangkan Ilmu hadist secara istilah adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan
atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan.
Ilmu hadist di bagi menjadi dua macam, yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits
dirayah.[1]
Menurut pendapat Dr. Shubhi Ash-Shahih ialah: Ilmu yang mempelajari tentang
periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan maupun sifat serta
segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.
Pendiri ilmu hadits riwayah adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (W. 124 H.)
Adapun kegunaan dan manfaat mempelajari ilmu hadits riwayah, di antaranya adalah
sebagai berikut.
a. Memelihara hadits secara berhati-hati dari segala kesalahan dan kekurangan dalam
periwayatan.
b. Memelihara kemurnian syari’ah Islamiyah karena sunnah atau hadits adalah sumber hokum
Islam setelah Al-Qur’an.
c. Menyebarluaskan sunnah kepada seluruh umat islam sehingga sunnah dapat diterima oleh
seluruh umat manusia.
d. Mengikuti dan meneladani akhlak Nabi SAW. karena tingkah laku dan akhlak beliau secara
terperinci dimuat dalam hadist.
Peneletian sanad dan matan, periwayatan, yang meriwayatkan dan yang diriwayatkan,
bagaimana kondisi dan sifat-sifatnya, diterima atau ditolak, shahih dari Rasul atau dha’if.
Ilmu Hadits Dirayah, fokusnya pada pengetahuan (dirayah) hadist, baik dari segi keadaan
sanad dan matan, apakah telah memenuhi persyaratan sebagai hadits yang diterima atau
tertolak,
Adapun pendiri Ilmu Hadits Dirayah adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin
Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (W. 360 H.).[3]
a. Ittishal as-sanad (persambungan sanad). dalam hal ini tidak dibenarkan adanya rangkaian
sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya (wahm), atau samar.
b. Tsiqat as-sanad, yakni sifat ‘adl (adil), dhabit (cermat dan kuat), dan tsiqah (terpercaya)
yang harus dimiliki seorang periwayat.
c. Syadz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya, hadist yang
diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, tetapi menyendiri dan bertentangan dengan hadist
yang diriwayatkan oleh periwayat-periwayat tsiqah lainnya.
d. ‘Illat, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadist yang keihatannya baik atau
sempurna. syadz dan ‘illat ada kalanya terdapat juga pada matan dan untuk menelitinya
diperukan penguasaan ilmu hadist yang mendalam.
b. Fasad al-ma'na, yakni terdapat cacat atau kejanggalan pada ma'na hadits karena
bertentangan dengan indra dan akal.
c. Kata-kata gharib (asing), yakni kata-kata yang tidak bias dipahami berdasarkan makna
yang umum dikenal.
a. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa
sejak masa Rasulullah SAW. Sampai masa sekarang.
Imu rijal al-hadits adalah ilmu yang membahas hal dan sejarah para rawi dari kalangan
sahabat, tabiin, dan atba’at-tabiin.
Bagian dari ‘ilmu rijal al-hadits ini adalah ‘ilmu tarikh rijal al-hadits. Ilmu ini secara
khusus membahas perihal para rawi hadits dengan penekanan pada aspek-aspek tanggal
keahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber hadits, jumlah hadits yang diriwayatkan,
dan muris-muridnya.
Ilmu fannil mubahat adalah: ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak
disebutkan dalam matan atau dalam sanad.[5]
Ilmu gharb al-haditsmembahas lafal yang musykil dan susunan kalimat yang sukar
dipahami sehingga orang tidak akan menduga-duga dalam memahami redaksi hadits.
Menurut sejarah, orang yang mula-mula berusaha untuk mengumpulkan lafal yang
gharib adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsana, kemudian dikembangkan oleh Abul
Hasan Al-Mazini.
Cara engupulkan dalam talfiq al-hadits ini adalah dengan men-takhsiskan makna hadits
yang umum, men-taqyidkan hadits yang mutlaq.
Ilmu tashif wat tahrif adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang
tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadits.
Ilmu ini sangat penting untuk memahami dan menafsirkan hadits serta mengetahui
hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurud hadits tersebut.[7]
Untuk mengetahui secara kronoogis perkembangan hadist, mulai dari masa Nabi SAW.
sampai pertengahan abad VII H. para ahli membaginya kedalam tujuh periode, yaitu:
Pertaman, dikenal sebagai sebutan “’ashrul wahyi wuttaqwim”, yaitu turun wahyu dari
pembentukan masyarakat islam.
Kedua, yaitu masa khulafa’ur rosyidin atau masa sahabat besar, yang dikenal dengan
sebutan “zamanut tasatabbuti wal iqlali minarriwayah”, yaitu masa pengokohan dan
penyederhanaan riwayat.
Ketiga,masa sahabat kecil dan masa tabi’in besar, dikenal dengan sebutan “zaman
intisyari riwayati ila am-shar”, yaitu masa tersebarnya riwayat-riwayat hadits ke kota-kota.
Abad II H. termasuk periode ke empat, yaitu masa pemerintahan kholifah Umar bin
Abdul Aziz, kemudian dikenal dengan sebutan “’ashrul kitabati wattadwin”, yakni masa
penulisan, dan masa mengkodifikasi hadits-hadits. Pada masa ini masih bercampur perkataan
nabi dengan perkataan shahabat.
Abad IV H. yang pada umumnya disebut dengan istilah “’asrut tahdzibi wal istidraki
wal jami’I” yaitu masa pembersihan, penyusunan, penambahan dan pengumpulan. Dalam
abad ini telah masuk juga periode keenam.[8]
“Jangan sekali-kali kamu menulis padaku sealain Al-Qur’an, barang siapa yang
menulisnya, hendaklah dia menghapusnya.”
Hadits riwayat Abu Hurairah, Abu Hurairah, mengatakan bahwa seorang sahabat anshar yang
sedang duduk bersama dalam suatu majlis Nabi untuk mendengarkan hadits, lantaran dia
tidak dapat menghafalkannya, lalu dia menanyakan kepada beliau bahwa aku mendengarkan
engkau yang menyebabkan aku tertarik, tetapi aku tidak dapat menghafalkannya, lalu beliau
mengatakan kepadanya: “mintalah pertolongan tanganmu untuk menghafalkannya”.[9]
Periode ini terjadi pada masakhulafa’urrasyidin atau masa sahabat besar dan dikenal
dengan sebutan “zamanut tasatabbuti wal iqlali minarriwayah”, yaitu masa pengkokohan
dan penyederhanaan riwayat, sehingga masalah penulisan hadits belum dianggap suatu hal
yang mendesak untuk dilaksanakan, hadits tetap dihafal dan upaya-upaya penulisan masih
dianggap menghawatirkan akan mengganggu perhatian mereka terhadap penulisan Al-Qur’an
lantasan keterbatasan tenaga dan sarana.
Dan faktor sebab itulah, Abu Bakar sebagai khalifah pertama mengeluarkan kebijakan
tidak mengizinkan para sahabat menulis hadits, bahkan beliau memerintahkan untuk
membakar 500 buah hadits yang telah dicatatnya, sebagaimana riwayat Al-Hakim dari
‘Aisyah:
Ayahku telah mengumpulkan hadits dari Rasulullah saw. Sejumlah 500 (lima ratus)
buah. Lalu pada suatu malam beliau banyak membolak-balik hadits tersebut…. Kemudian
dipagi hari beliau berkata: wahai anakku, bawalah hadits-hadits yang ada padamu, maka
akupun membawanya kepada beliau dan seketika itu beliau menyalakan api lalu
membakarnya.
Melihat adanya faktor kehawatiran perhatian para sahabat terhadap progam penulisan
Al-Qur’an terganggu, lalu niat ‘Umar bin Khathab untuk membuat progam penulisan hadits
dibatakan, apalagi mayoritas sahabat tidak sepakat dengan usaha tersebut. Hal ini dapata
dibuktikan adanya hadits riwayat Anas bin Malik:
Dari adanya hadits tersebut, bahwa Abu Bakar dan ‘Umar bin Khathab merasakan
adanya kekhawatiran terhadap buku catatan hadits yang ada di tangan para sahabat terhadap
Al-Qur’an.
Sekalipun demikian, penulisan hadits tetap saja dilakukan oleh para sahabat,
diantaranya ialah Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Tholib, ‘Aisyah, dan lainya.hal ini dapat
dibuktikan dari hadits berikut:
a. Ibnu Mas’ud
Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud telah memperihatkan kepadaku sebuah buku catatan
seraya bersumpah dihadapanku bahwa catatan ini adalah tulisan tangan ayahnya, yaitu
Abdullah bin Mas’ud.
قَا َل َأبُوْ َح ْيثُ َمةَ يَقُوْ ُل يَ ْشت َِرى.ب ْال ِع ْل ِم َو ِكتَابَتِ ِه فَقَ ْد قَا َل َم ْن يَ ْشت َِرى ِمنِّى ِع ْل ًما بِ ِدرْ ه ٍَم ؟ َ ي ع َْن َعلِ ٍي أنَّهُ َكانَ يَ ُخضُّ َعلَى
ِ َطل َ ر ُِو
ص ِح ْيفَةً بِ ِدرْ ه ٍَم يَ ْكتُبُ فِ ْيهَا ْال ِع ْل َم
َ
Ali bin Abi Thalib pernah menganjurkan untuk menuntut ilmu dan menulisnya, beliau
berkata “siapa yang mau membeli ilmu dariku dengan satu dirham?
Lalu Abu Khaitsumah yang saat itu berada disisi beliau, membeli lembaran tersebut dengan
harga satu dirham.
c. Aisyah
Wahai anakku, aku mendengarkan bahwa kamu telah menulis hadits-hadits dariku, lalu
apakah kamu mengulangi lagi untuk menulisnya.? Lalu Urwah menjawab “sesuatu hadits
yang telah saya dengar darimu, saya mengulangi lagi untuk mendengarkan kepada orang
lain”, kemudian bertanya lagi: apakah yang kamu dengar (dariku) ada yang berlainan
dengan orang lain? Lalu ia menjawab. “tidak” kalau begitu, silahkan kamu lanjutkan.[10]
Pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya, metode periwayatan hadits
yang dilakukan oleh para tabi’in tidak berbeda dengan yang sudah dilakukan oleh para
sahabat, hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda, sebab pada masa ini Al-
Qur’an sudah terkumpul dalam satu mushaf. Pemerintahan Umar bin Abdul Aziz membentuk
lembaga kodifikasi hadits secara resmi, dengan melalui instruksinya kepada para pejabat
pemerintahan yang ada di daerah-daerah, kepada: Abu Bakar bin Hazm dan Muhammad bin
Syihab Az-Zuhri (w. 124 H.).
Latar belakang Kholifah Umar bin Abdul Aziz untuk mengumpulkan dan
mengkodifikasikan hadits ialah:
a. Banyak penghafal hadits yang meninggal dunia, baik ataupun sebagai pahlawan perang.
b. Al-Qur’an sudah berkembang begitu luas dalam masyarakat dan telah dikumpulkan menjadi
mushaf, karenanya tidak perlu dikhawatirkan lagi hadits bercampur dengan Al-Qur’an.
c. Islam telah mulai melebarkan syi’arnya melampaui jazirah Arab, maka hadits sangat
diperlukan sebagai penjelasan Al-Qur’an.
Maka masa ini dikenal dengan sebutan “masa pembukuan”, pada abad II H. ini
tersusunlah kitab-kitab hadits dari para ulama’-ulama’, diantaranya adalah:
Masa ini dikenal dengan sebutan masa ‘ashruttajridi wat tashrih wat tanqih yaitu masa
penyaringan dan penyarahan hadits, masa pemerintahan dipegang oleh dinasti Abbasiyyah,
dari khalifah Al-Ma’mun sampai Al-Muqtadir (201-300 H.). pada masa ini belum berhasil
melakukan pemisahan beberapa hadits mauquf dan maqthuk dari hadits marfu’,
hadits dla’if dari haditsshahih, bahkan hadits maudlu’bercampur dengan hadits shahih.
Masa ini dianggap sebagai masa paling sukses dalam menjalankan progam pembukuan
hadits, sebab mereka telah berhasil dalam beberapa hal,
a. Memisahkan hadits-hadits Nabi dari yang bukan hadits (fatwa shahabat atau tabi’in).
b. Mengadakan penyaringan secara ketat terhadap apa saja yang dikatan hadits Nabi.
Ulama’ pertama kali melakukan penyaringan hadits-hadits shahih ialah Ishak bin
Rahawaih, kemudian di lanjutkan oleh Imam Bukhari dengan kitab shahihnya, lalu di
lanjutkan muridnya bernama Imam Muslim.
Kitab-kitab koleksi hadits dari para kolektornya yang muncul pada masa ini ialah:
c. Sunan Abu Dawud, karya Abu Dawud Sulaiman bin Asy’asyi Al-Sajastami.
Pada periode ini, ditemukan perbedaan yang menyolok, menjadi awal terjadinya
pemisahan antara kelompok mutaqaddimin danmutaakhirin,
a. Mutaqaddimin ialah ulama’ yang hidup sebelum tahun 300 H. sistem penulisan hadits-
hadits, dengan mendengar hadits langsung dari guru mereka.
b. Mutaakhirin ialah ulama’ yang hidup setelah tahun 300 H. system penulisan hadits-hadits,
menggunakan penghimpunan hadits.[13]
BAB III
Kesimpulan
Dengan hadits riwayah kita dapat mengetahui tata cara periwayatan, pemiliharaan,
pencatatan, dan pembukuan hadits Nabi Muhammad SAW. Dengan hadits dirayah kita dapat
mengetahui masalah-masalah untuk mengetahui layak atau tidaknya seorang perawi dalam
meriwayatkan sebuah hadits.
Dengan dua ilmu tersebut kita dapat mengetahui sejarah tentang turun temurunnya
sebuah hadits.
DAFTAR PUSTAKA