Anda di halaman 1dari 5

Resume Ilmu Kalam

Pemikiran Kalam Aliran Murji'ah


Dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah: Ilmu Kalam
Dosen Pengampu: Raudatul Jannah, M.Hum
Nama: Masayu Siti Nurhaliza Candra Putri
Kelas : PAI B
NIM. : 2110202057
Ahad, 26 September 2021/ 19 Safar 1443 Hijriyah

PEMIKIRAN KALAM ALIRAN MURJI’AH


A. Latar Belakang Kemunculan Murji’ah.
Nama Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan,
dan pengharapan. Kata arja’amengandung arti member pengharapan, yaitu kepada pelaku
dosa besar untuk memperoleh pengampunan dari rahmat Allah SWT. Selain
itu, arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang
mengemudikan amal dari iman.
Menurut Ahlus Sunnah bahwa iman itu terdiri dari tiga unsur, yaitu membenarkan dengan
hati, mengikrarkan dengan lisan, dan menyertainya dengan amal perbuatan seperti shalat,
zakat, haji, dan lain-lain. Masing-masingnya adalah termasuk bagian dari iman.
Amin menerangkan:
“kebanyakan golongan murji’ah berpendapat bahwa iman ialah hanya membenarkan dengan
hati saja. Atau dengan kata lain iman ialah makrifat kepada Allah Swt. dengan hati, bukan
pengertian lahir. Apabila seseorang beriman dengan hatinya, maka dia adalah mukmin dan
muslim, sekalipun lahirnya dia menyerupai orang Yahudi atau Nasrani dan meskipun
lisannya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Mengikrarkan dengan lisan dan amal
perbuatan seperti shalat, puasa dan sebagainya, itu bukan bagian daripada iman.”
Selanjutnya diterangkan:
“Sebagian dari golongan Murji’ah berpendapat bahwa iman itu terdiri dari dua unsure, yaitu
membenarkan dengan hati, dan mengikrarkan dengan lisan. Membenarkan dengan hati saja
tidaklah cukup, dan mengikrarkan dengan lisan saja pun tidak cukup, tetapi harus dengan
bersama kedua-duanya, supaya seseorang menjadi Mukmin. Karena orang yang
membenarkan dengan hati dan menyatakan kebohongannya dengan lisan, tidak dinamakan
mukin.”
Iman adalah pengakuan tentang ke-Maha Esaan Allah, dan kerasulan Muhammad Saw., yaitu
pengakuan dengan hati. Barangsiapa mengakui hal itu berdasarkan kepercayaan, maka dia
adalah Mukmin, apakah dia menunaikan kewajiban-kewajibannya atau tidak, dan apakah dia
menjauhi dosa-dosa besar atau dia justru melakukannya. Salah seorang penyair mereka
berkata:
“aku tidak berpendapat bahwa sesuatu dosa dapat mengantarkan seseorang kepada syirik,
selama dia tetap bertauhid kepada tuhan.”
Adapun mengenai orang yang lalai dalam menunaikan kewajiban-kewajiban, atau dia
melakukan dosa-dosa besar, maka sebagian dari tokoh-tokoh murji’ah berpendapat: tiadalah
mungkin menentukan hukum bagi orang itu di dunia ini: hal itu haruslah ditangguhkan
(diserahkan saja) kedapa Tuhan untuk menentukannya di hari kiamat. Dari sini timbulnya
istilah “Muji’ah”, yaitu berasal dari kata “irja” yang berarti “menangguhkan”.[2] Oleh karena
itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa
yaitu ‘Ali dan Mu’awiyah, serta setiap pasukannya pada hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori
pertama mengatakan bahwa gagasan ira’ atauarja’a  dikembangkan oleh sebagian sahabat
dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik
dan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun
teologis, diperkirakan lahir bersama dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Murji’ah,
pada saat itu merupakan musuh berat Khawarij.
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja’ yang merupakan basis doktrin Murji’ah muncul
pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-
Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Watt, penggagas teori ini
menceritakan bahwa 20 tahun setelah meninggalnya Mua’wiyah tahun 680, dunia Islam
dikoyak oleh pertikaian sipil, yaitu Al-Mukhtar membawa paham Syi’ah ke Kufah dari tahun
685-687; Ibu Zubair mengklain kekhalifahan di Mekah hingga kekuasaan Islam. Sebagai
respons dari keadaan ini muncul gagasan Irji’atau penangguhan (postponenment). Gagasan
ini tampaknya pertama kali dipergunakan sekitar tahun 695 oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-
Hasan bin Muhammad Al-Hanafiya, dalam sebuah surat pendeknya yang tampak autentik.
Dalam surat itu, Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan, “kita
mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi
pada konflik sipil pertama yang melibatkan utsman, Ali, dan Zubair (seorang tokoh pembelot
ke Mekah).” Dengan sikap ini, Al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia
kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah revolusioner yang terlampau
mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak
mengakui kekhalifahan Mu’awiyah dengan alsan bahwa ia adalah keturunan si pendosa
Ustman.
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Mu’awiyah,
dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin ‘Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah.
Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kintra
akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yaitu kubu Khawarij, memandang bahwatahkim itu
bertentangan dengan Al-Qur’an, dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah
SWT. oleh karena itu, Khawarij berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar dan
dihukum kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba’, membunuh tanpa
alas an yang benar, durhaka kepada orang tua, serta memfitnah wanita baik-baik. Pendapat
Khawarij tersebut ditentang sekelompok sahabat yang kemudia disebut Murji’ah dengan
mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya
diserahkan kepada Allah SWT., apakah mengampuninya atau tidak.[3]
A. Doktrin-doktrin Pokok Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau
doktrin irja’  atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan yang dihadapinya, baik
persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik, doktrin irja’diimplementasikan dengan
sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah
sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queietists (kelompok bungkam). Sikap
ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam
persoalan politik.
Adapun dibidang teologi, doktrin irja’ dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-
persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan
yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks, mencakup iman, kufur, dosa besar dan
ringan (mortal and venial sins), tauhid, tafsir Al-Qur’an, eskatologi, pengampunan atau dosa
besar, kemaksuman nabi (the impeccability of the prophet), hukuman atas dosa (punishment
og sins), pertanyaan tentang ada yang kafir (infidel) di kalangan generasi awal Islam, taubat
(redress of wrongs), hakikat Al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan
(predestination).
Berkaitan dengan doktrin-doktrin teologi Murji’ah, W. Montogomery Watt memerincinya
sebagi berikut.[4]
1)      Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskannya di
akhirat kelak.
2)      Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-
Rasyidun.
3)      Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah SWT.
4)      Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mahzab) para skeptis dan empiris
dari kalangan Helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin-doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan
empat ajaran pokoknya, yaitu:
1)      Menunda hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amr bin ‘Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari
yang terlibat dalam tahkim hingga kepada Allah padda hari kiamat kelak;
2)      Menyerahkan keputusan kepada Allah SWT. atas orang muslim yang berdosa besar;
3)      Meletakkan (pentingnya) iman lebih utama daripada amal;
4)      Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat dari Allah SWT.
C. Sekte-Sekte Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampakya dipicu oleh perbedaan
pendapat dikalangan para pendukung Murji;ah. Masalah yang cukup mendasar  ketika para
pengamat mengklasifikasi sekte-sekte Murji’ah. Kesulitannya adalah ada beberapa tokoh
aliran pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murji’ah,
tetapi pengamat lain tidak mengklaimnya. Tokoh yang dimaksud adalah Washil bin Atha’
dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus sunnah. Oleh karena itu, Asy-Syahraystany
seperti di kutip oleh watt, menyabutkan sekte-sekte Murji’ah sebagai berikut ;
a.                   Murji’ah Khawarij
b.                   Murji’ah Qadariah
c.                   Murji’ah  jabariah
d.                  Murji’ah Murni
e.                   Murji’ah sunni (tokohnya Abu Hanifah)

Harun  Nasution secara garis besar  mengklasifikasikan  Murji’ah menjadi dua sekte, yaitu


golongan muderat dan golongan ekstrim. Murji’ah
moderat  berpendirian bahwa  pendosa  besar  tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal
dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya dan diampuni oleh Allah SWT. praktis tidak
masuk neraka. Iman adalah pengetahuan tentang tuhan dan Rasul-rasulnya serta yang datang
dari-Nya secara keseluruhan, namun dalam garis besar iman tidak bertambah dan tidak pula
berkurang. Tidak ada perbedaan dalam hal ini. Penggagas pendirian ini adalah Al-Hasan bin
Muhammad bin ‘Ali bin Thalib, Abu Hanifah, Abu yusuf, dan beberapa  ahli hadits.
Adapun yang temasuk kelompok ekstrim adalah Al-jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiah,
Al-Ubaidiyah, dan Al-hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan seperti
berikut.
a.                   Jahmiyah, kelompok jahm bin Shafwan dan para pengikutnya, berpandangan
bahwa orang yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufurannya secara
lisan tidak menjadi kafir karena iman dan kufur tempatnya di dalam hati, bukan bagian lain
dalam tubuhnya.
b.                   Shalihiyah, kelompok Abu hasan Ash-Shalihy, berpendapat bahwa iman adalah
mengetahui Tuhan dan  kufur adalah tidak tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan Ibadah
kepada Allah SWT karena yang disebut ibadah adalah iman kpada-Nya, dalam arti
mengetahui tuhan. Begitu pula zakat, puasa, dan haji, bukanlah ibadah, melainkan sekedar
menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah
adalah iman.
c.                   Yunusiyah dan ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat
atau perkjaan-pekerjaan jahat tidak merusak iman seseorang. Mati dalam iman dosa-dosa dan
perbuatan jahat yang dikerjakan tidak merugikan bagi yang bersangkutan. Dalam hal ini,
Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit tidak merusak
iman seseorang sebagai musyrik atau polities.
d.                  Hasaniyah, menyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan, “saya tahu tuhan
melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah
kambing ini.” Orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan,
“saya tahu tuhan wajibkan naik haji ke kakbah, tetapi saya tidak tahu apakah kakbah di India
atau tempat lain”.[5]
Referensi: http://pamungkas97.blogspot.com/2015/11/pemikiran-kalam-khawarij-dan-
murjiah.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai