Anda di halaman 1dari 10

ALIRAN MURJI’ AH

MAKALAH INI DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS KULIAH


“ ILMU KALAM”
Dosen Pengampu : Ibu. Kun Fuaidah L. Msi

Disusun Oleh :

1. Miftakul Ulum
2. M. Syafrizal Akhyar
3. Aris Syakbana

FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM WALI SEMBILAN
SEMARANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aliran Murji’ah merupakan salah satu aliran yang dipelajari dalam Teologi Islam. Munculnya
aliran ini dilatarbelakangi oleh persoalan politik, yaitu soal khalifah (kekhalifahan).Setelah
terbunuhnya khalifah Usman ibn Affan, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu
kelompok Ali dan Mu’awiyah.Kelompok Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan yaitu
golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali
(disebut Khawarij).Ketika berhasil mengungguli dua kelompok lainnya, yaitu Syiah dan
Khawarij dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah lalu membentuk dinasti
Umaiyah.Syiah dan Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya.Syiah menentang
Mu’awiyah karena menuduh Mu’awiyah merebut kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan
keturunannya. Sementara itu Khawarij tidak mendukung Mu’awiyah karena ia dinilai
menyimpang dari ajaran Islam. Dalam pertikaian antara ketiga golongan tersebut, terjadi
ditengah-tengah suasana pertikaian ini, muncul sekelompok orang yang menyatakan diri tidak
ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi.Kelompok inilah yang kemudian
berkembang menjadi golongan “Murji’ah”.

Dari paparan diatas kita dapat mengetahui latar belakang Murji’ah secara umum dan lebih
mendalami lagi tentang “Murji’ah” akan kami bahas pada bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah asal-usul munculnya Aliran Murji’ah?

Doktrin-doktrin apa saja yang terdapat pada Aliran Murji’ah?

Bagaimana sekte-sekte pada Aliran Murji’ah?

Apa Kelebihan dan kekurangan Aliran Murji’ah?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Asal-Usul Kemunculan Aliran Murji’ah

Asal-usul kemunculan kelompok Murji’ah dapat dibagi menjadi 2 sebab yaitu :

1. Permasalahan Politik

Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan
Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah.Kelompok Ali terpecah menjadi 2 kubu, yang pro
dan kontra.Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dengan
pengertian, tidak ber-tahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa
melakukan tahkim adalah dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti
perbuatan dosa besar yang lain. Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum khawarij, pada
mulanya adalah penyokong Ali bin Abi thalib tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya.
Karena ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada Ali bin Abi Thalib
bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan golongan lain dalam
islam yang dikenal dengan nama Syi’ah.

Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak
mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan
ini.Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan ini merupakan orang-orang yang dapat
dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan
pendapat siapa sebenarnya yang salah, dan lebih baik menunda (arja’a) yang berarti penyelesaian
persoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan.

Gagasan irja’ atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin
persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan
menghindari sekatrianisme.

2. Permasalahan Ke-Tuhanan

Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah pindah kepada permasalahan ketuhanan
(teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi
perhatian dan pembahasan pula bagi mereka.Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir
bagi orang yang membuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.Pendapat
penjatuhan hukum kafir pada orang yang melakukan dosa besar oleh kaum Khawarij
ditentangsekelompok sahabat yang kemudian disebut Mur’jiah yang mengatakan bahwa pembuat
dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia
akan mengampuninya atau tidak. Aliran Murji’ah menangguhkan penilaian terhadap orang-orang
yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang
mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar
masih di anggap mukmindi hadapan mereka.Orang mukmin yang melakukan dosar besar itu
dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-
Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih
tetapmengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu,
orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.Pandangan golongan ini dapat dilihat terlihat
dari kataMurji’ah itu sendiri yang berasal dari kata arja’a yang berarti orang yang menangguhkan,
mengakhirkan dan memberikan pengaharapan. Menangguhkan berarti bahwa mereka menunda
soal siksaan seseorang di tangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan ia akan langsung
masuk surga, sedangkan jika tidak, maka ia akan disiksa sesuai dengan dosanya, setelah ia akan
dimasukkan ke dalam surga. Dan mengakhirkan dimaksudkan karena mereka memandang bahan
perbuatan atau amal sebagai hal yang nomor dua bukan yang pertama.Selanjutnya kata
menangguhkan, dimaksudkan karena mereka menangguhkan keputusan hukum bagi orang-orang
yang melakukan dosa di hadapan Tuhan.[1]

Disamping itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji’ah yang diberikan pada
golongan ini, bukan karena mereka menundakan penentuan hukum terhadap orang islam yang
berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula karena mereka memandang
perbuatan mengambil tempat kedua dari iman, tetapi karena mereka memberi pengharapan bagi
orang yang berdosa besar untuk masuk surga. Golongan Murji’ah berpendapat bahwa yang
terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang
masih beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir, kendatipun ia melakukan dosa besar.
Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan ia ampuni atau tidak.
Pendapat ini menjadi doktrin ajaran Murji’ah.

Nama murji’ah di ambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan
pengharapan.Yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan
dan rahmat Allah.Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu
orang yang mengemudikan amal dari iman.Oleh karena itu murji’ah, artinya orang yang
menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta
pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.

Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan murji’ah. Teori pertama
mengatakan bahwa gagasan irja atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan
menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan
untuk menghindari sektarianisme. Diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan syiah dan
khawarij, kelompok ini merupakan musuh berat khawarij.

Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis doktrin murji’ah. Muncul
pertama kali sebagai gerakan politik yang di perlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib. Al-Hasan
bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Penggagas teori ini menceritakan bahwa 20
tahun setelah kematian Muawiyah, pada tahun 680, dunia islam dikoyak oleh pertikaian sipil.
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan
tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah.Kelompok Ali
terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra.Kelompok kontra yang akhirnya
menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu khawarij.Mereka memandang bahwa tahkim
bertentangan dengan Al-Qur’an, dalam pengertian, tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah.
Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya
dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba, membunuh tanpa
alasan yang benar durhaka kepada orang tua, serta memfitnah wanita baik-baik. Pendapat ini
ditentang sekelompok sahabat yang kemudian di sebut murji’ah. Yang mengatakan bahwa
pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah.[2]

B. Doktrin-Doktrin Murji’ah

Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang
hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok murji’ah dikenal pula
sebagai the queietists( kelompok bungkam). sehingga membuat murji’ah selalu diam dalam
persoalan politik.Adapun di bidang teologi, doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika
menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul pada saat itu. Pada perkembangan
berikutnya, persoalan-persoalan yang di tanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga
mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al-Qur’an, eskatologi, pengampunan
atas dosa besar, kemaksuman nabi, hukuman atas dosa(punishment of sins), ada yang kafir
(infidel) dikalangan generasi awal islam, tobat (redress of wrongs).

Berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah, W. Montgomery watt merincinya sebagai berikut ;

a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat
kelak.

b. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-khalifah Ar-
Rasyidun.

c. Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan
dan rahmat dari Allah.

d. Doktrin-doktrin murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptic dan empiris dari
kalangan Helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran
pokoknya, yaitu ;

1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat
tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.

2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.

3. Meletakkan ( pentingnya) iman dari pada amal.

4. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan
dan rahmat dari Allah.

Sementara itu, Abu ‘A’ la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu ;

1. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak
merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap di anggap
mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang di fardhukan dan melakukan dosa besar.

2. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak
dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan
pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan
akidah tauhid.[3]

C. Sekte-Sekte Murji’ah

Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan murji’ah menjadi dua sekte, yaitu
golongan moderat dan golongan ekstrim.Murji’ah moderat berpendirian bahwa pendosa besar
tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka di siksa sebesar dosanya,
dan bila di ampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali.

Harun nasution menyebutkan bahwa subsekte murji’ah yang ekstrim adalah yang berpandangan
bahwa keimanan terletak didalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya
menggambarkan apa yang ada didalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan
seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak
keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.

Adapun yang bergolongan ekstrim adalah Al-jahmiyah, Ash- Shalihiyah, Al- Yunusiyah, Al-
Ubaidiyah, dan Hasaniyah. Pandangan kelompok ini dapat di jelaskan seperti berikut ;

1. Jahmiyah, kelompok jahm bin shafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang
yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi
kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh
manusia.

2. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui
Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah.
Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat,
puasa, dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.

3. Yunusiyah dan ubaidiyah melontarkan pertanyaan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan
jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan
jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, muqatil bin
sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang
sebagai musyrik (polytheist)

4. Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan, “ saya tahu Tuhan melarang makan
babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini, “ maka orang
tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan “ saya tahu Tuhan
mewajibkan naik haji ke ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah ka’bah di india atau di tempat lain.

D. Kelebihan dan Kekurangan Aliran Murji’ah

Kelebihan dari aliran ini adalah golongan ini tidak akan memudaratkan perbuatan maksiat itu
terhadap keimanan. Demikian juga sebaliknya, “tidaklah akan memberi manfaat dan memberi
faedah ketaatan seseorang terhadap kekafirannya”. Artinya, tidaklah akan berguna dan tidaklah
akan diberi pahala perbuatan baik yang dilakukan oleh orang kafir. Maka dari itu, mereka tidak
mau mengkafirkan seseorang yang telah masuk Islam, sebab golongan ini sagat mementingakan
kewajiban sesama manusia.

Kekurangan aliran ini adalah lebih mementingkan urusan dunia dari pada akhirat.Karena
menurut mereka, iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib
dikerjakan.Berarti, kelompok ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui
akal sebelum datangnya syariat.

Firman Allah SWT dalam surat Ar Ra’du ayat 28 :

‫انلذين امنوا وتطمئنن قلوبهم بذكر ا قلى ال بذكر ا تطمئنن القلوب‬

Artinya :

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram”.
Apabila seseorang sudah mempercayai Allah SWT dan rasul-rasul-Nya dan segala sesuatu yang
datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal-hal
yang bertentangan dengan imannya. Seperti berbuat dosa, menyembah berhala, dan minum-
minuman keras.Golongan ini juga meyakini bahwa surga dan neraka itu tidak abadi, karena
keabadian hanya bagi Allah SWT semata.

Firman Allah SWT dalam surat Al Anfal ayat 2 disebutkan :

‫واذا تليت عليهم اياته زادتهم ايمانا‬

Artinya :

“Dan apabila dibacakan terhadap ayat-ayat-Nya, maka ayat-ayat itu menambah iman mereka”.[4]
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Dari beberapa pendapat yang telah disampaikan diatas bahwa aliran Murji’ah yang terpenting
dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih
beriman, berarti dia tetap mukmin, bukan kafir walaupun ia melakukan dosa besar. Adapun
hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan diampuni atau tidak. Dan dikatakan
Murji’ah karena ada sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam
pertentangan politik yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah.

B. Saran

Pada hakikatnya semua aliran tersebut tidaklah keluar dari Islam, tetapi tetap Islam.Dengan
demikian tiap umat Islam bebas memilih salah satu aliran dari aliran-aliran teologi tersebut, yaitu
mana yang sesuai dengan jiwa dan pendapatnya.Hal ini tidak ubahnya pula dengan kebebasan
tiap orang Islam memilih madzab fikih mana yang sesuai dengan jiwa dan kecenderungannya.
Disinilah hikmah sabda Nabi Muhammad SAW: “perbedaan paham dikalangan umatku
membawa rahmat”. Memang rahmat besarlah kalau kaum terpelajar menjumpai dalamIslam
aliran-aliran yang sesuai dengan jiwa dan pembawaannya, dan kalau pula kaum awam
memperoleh dalamnya aliran-aliran yang dapat mengisi kebutuhan rohaninya.
Daftar Pustaka

· Rozak, Abdul,2006.Ilmu Kalam,Bandung : CV.Pustaka Setia.hal:56-61

· http://muhsansyaif.wordpress.com/2011/03/25/aqidah-akhlak/

· Nasution, Harun. 2010. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press

· http.//muhsansyaif.wordpress.com/2011/03/25/aqidah akhlak/

[1]http.//muhsansyaif.wordpress.com/2011/03/25/aqidah akhlak/

[2]Nasution, Harun. 2010. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press.hlm.22-30

[3]Rozak, Abdul,2006.Ilmu Kalam,Bandung : CV.Pustaka Setia.hal:56-61

[4]http://muhsansyaif.wordpress.com/2011/03/25/aqidah-akhlak/

Anda mungkin juga menyukai