Abstrak
Murjiah sebagai suatu aliran muncul sebagai reaksi atas perpecahan
yang terjadi pada masyarakat Muslim waktu itu. Aliran Murji’ah
muncul sebagai aliran politik yang berkembang menjadi sebuah aliran
teologi. Murjiah sebagai suatu aliran dianggap netral karena dianggap
memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar. Selain memberi
pengharapan pada pelaku dosa besar, Murji’ah juga menomor duakan
amal perbuatan dari pada iman. Murjiah juga berarti menunda
penjelasan kedudukan (khalifah) seorang yang bersengketa yaitu ‘Ali
dan Mu’awiyah, serta pasukannya pada hari kiamat.
A. PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Kemunculan Murji’ah
Sebagai mana halnya dengan Khawarij, Murjiah muncul atas reaksi persoalan
politik. Persoalan yang terjadi antara ‘Ali dan Mu’awiyah yang memperebutkan
kedudukan khalifah membuat perpecahan pada umat Islam waktu itu. Persoalan ini
muncul setelah khalifah Utsman bin Affan terbunuh. Karena keadaan umat Islam yang
terpecah belah mengakibatkan munculnya aliran-aliran baru dalam islam, salah
satunya Murji’ah.
Kematian Khalifah Utsman sangat berpengaruh dalam segi politik dan teologi.
Karena setelah kematian khalifah Utsman umat Islam mulai bertikai dengan sesame
muslim. Persoalan ini mengundang berbagai macam masalah baik yang berkaitan
dengan perpecahan umat Islam ataupun perebutan kekuasaan..1 Pasca kematian
Khalifah Utsman munculah sekelompok orang yang tidak ingin ikut bertikai atau
melibatkan diri dalam pertikaian yang terjadi. Diantaranya adalah Abu Bkrah,
1
Sariah, Murji’ah Dalam Perspektif Teologis, hlm. 2
Abdullah ibn Waqash dan Imran Ibn Husain. 2 Selain itu ada juga sekelompok orang
yang baru saja pulang dari medan perang yang tidak ingin melibatkan diri dalam
pertikaian yang terjadi. Menurut Ahmad Amin ini menggambarkan telah adanya sikap
tidak ingin ikut campur dalam pertikaian dan perselisihan diantara umat Islam. Sikap
ini merupakan benih dan dasar tidak langsung bagi kemunculan Aliran Murji’ah.3
Adapun penyebab langsung munculnya aliran Murji’ah ini bermula ketika Sahabat
‘Ali naik menjadi Khalifah menggantikan Utsman. Kenaikan ‘Ali menjadi seorang
Khalifah tidak meredakan kekacauan politik yang sedang terjadi. Malahan menjadikan
kekacauan semakin memanas. Mu’awiyah yang seorang Gubernur Damaskus waktu
itu dekat dengan keluarga Utsman yang menuntut ‘Ali supaya menghukum Pembunuh
Utsman, sebab ‘Ali dianggap tidak tegas sebagai Khalifah dalam mengusut kasus
kematian Utsman. Dan Mu’awiyah balik menuduh ‘Ali dalam pembunuhan tersebut.
Pertikaian ‘Ali dan Mu’awiyah berakhir dengan peristiwa perang Siffin dan peristiwa
tahkim (arbitrase)4.
Namun ada sebagian pengikut ‘Ali yang tidak setuju dengan dilakukannya tahkim
ini. Mereka yang tidak setuju dengan sikap ‘Ali dalam menerima tahkim akhirnya
keluar dari barisan dan mereka disebut sebagai aliran Khawarij, dan mereka yang tetap
mendukung ‘Ali hingga menjadi fanatik terhadap’Ali disebut sebagai Syi’ah.
Selanjutnya kaum Khawarij ini menentang ‘Ali bahkan sampai perang melawan
‘Ali. Khawarij berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan ‘Ali, Mu’awiyah, Abu
Musa Al-Asy’ari, Amru bin Ash dan mereka yang menerima tahkim, dianggap
melakukan dosa besar bahkan dihukumi telah Kafir. Baik Khawarij maupun Syi’ah
mereka kafir mengkafirkan yang menyebabkan suasana politik kala itu semakin
memanas.
Dalam suasana bergejolak inilah muncul suatu golongan baru yang ingin bersikap
netral yang tidak ingin ikut pada praaktek kafir-mengkafirkan. Bagi mereka sahabat-
sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercaya. Dengan
2
ibid
3
Sariah, Murji’ah Dalam Perspektif Teologis, hlm 3, mengutip dari Ahmad Amin
4
Dalam KBBI “ bentuk peradilan yang dilaksanakan atas dasar kesepakatan antara pihak yang berselisih dan
dimediasi oleh hakim yang telah mereka pilih sendiri”
begitu mereka tidak ikut menilai siapa yang salah dan siapa yang benar. Mereka
berpendapat lebih baik menunda (arja’a) penyelesaian persoalan ini ke hari kiamat.5
Maka dari itu, kaum Murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak ingin
ikut campur dalam persoalan yang terjadi ketika itu dan mengambil sikap
menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya seseorang yang bertentangan
kepada Tuhan.6 Perilaku kafir mengkafirkan tidak selesai pada urusan politik saja,
mereka menghukumi orang yang berdosa besar sebagai kafir bahkan mereka
menghukumi kafir bagi seseorang yang yang tidak sependapat dengan mereka.
Berbeda dengan Khawarij yang mempertanyakan siapa yang kafir, pada Murji’ah
sebaliknya, mereka mempertanyakan siapa yang masih Mu’min.
2. Terminologi Murji’ah
Kata Murji’ah diambil dari kata “arja’a” yang berarti menunda, pendapat ini
dikemukakan oleh Ahmad Amin.7 Menurut Harun Nasution kata arja’a mengandung
arti membuat sesuatu mengambil tempat dibelakang dalam makna memandang kurang
penting. Dengan demikian dapat dilihat bahwa amal baik dinomor duakan setelah
iman.
Selin itu arja’a juga mengandung arti memberi pengharapan. Bagi mereka orang
yang melakukan dosa besar bukanlah kafir dan tidak akan kekal di Neraka. Dengan ini
mereka memberi pengharapan bagi seoseorang yang melakukan dosa besar untuk
mendapatkan rahmat Allah. Karena inilah ada yang mengatakan bahwa asal kata
Murji’ah berasal dari pengharapan mereka kepada Allah.
3. Pemikiran Kalam
Pemikiran kalam murji’ah dapat dibagi menjadi dua yang pertama pada urusan
politik yang kedua pada urursan teologi. Pada urusan politik sebagaimana sumber
gagasan aliran ini yaitu arja’a atau menunda, mereka memilih untuk tidak memihak
5
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2016, hlm.24
6
Ibid
7
Ris’an Rusli, Teologi Islam, Jakarta: Kencana, 2019, hlm. 20, dikutip dari Ahmad Amin, Fajrul al-Islam,
dan netral yang di ekspresikan dengan sikap diam. Sikap diam ini berimplikasi pada
perkembangan aliran ini sehingga mereka selalu diam dalam masalah politik.8
Sedangkan dalam ranah teologi, seperti halnya politik mereka menggunakan
gagasan mereka arja’a sebagai sumber dari doktin.9 Harun Nasution menyebutkan
empat ajaran pokoknya yaitu:
1. Menunda hukum atas ‘Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa Al-As’ari
yang terlibat dalam Tahkim hingga kepada Allah pada hari perhitungan kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada Allah terkait orang Muslim yang melakukan
berdosa besar.
3. Mendahulukan iman ketimbang amal
4. Memberikan pengharapan pada Muslim yang melakukan dosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Pemikiran kalam Murjiah lebih jelasnya lagi dapat di ketahui melalui sekte-sekte
yang ada, Al-baghdadi menyebutkan ada tujuh sekte yang berkembang sebagai
berikut:
Golongan moderat ini termasuk Hasan Ibn Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Abi
Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadist. Abu Hanifah
berpendapat mengenai iman bahwa, Iman merupakan pengetahuan dan pengakuan
tentang Tuhan, tentang Rasul-Rasul-Nya dan tentang segala apa yang dating dari
Tuhan dalam keseluruhan dan tidak perinci, iman tidak mempunyai sifat
bertambah maupun berkurang. Tidak ada perbedaan dalam iman antara sesame
manusia.
Pendapat yang diberikan Abu Hanifah dapat diartikan bahwa tidak ada
perbedaana antara imannya orang yang Salih dan orang yang berbuat dosa besar.
Pendapat ini juga dapat dipahami bahwa iman lebih dahulu daripada amal, akan
tetapi pendapat ini tidak dapat dibenarkan karena Abu Hanifah merupakan
seorang Imam mazhab. Sebagai seorang Imam yang membentuk mazhab besar
dalam Islam, Abu Hanifah tidak mungkin berpendapat bahwa perbuatan tidak
penting bagi orang Islam. Seperti kata Al-Syahrastani “ Bagaimana mungkin
seorang yang dididik beramal sampai besarnya dapat menganjurkan untuk
meninggalkan amal?”.12
11
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2016, hlm.26
12
Ibid hlm.27
Kristen dengan menyembah salib kemudian mati. Orang tersebut tidaklah menjadi
kafir namun tetaplah seorang mukmin yang sempurna imannya.
13
Ibid hlm. 28
berbeda dengan Murji’ah moderat yang dapat diterima di masyarakat Ahlusunnah
dan Jamaah.
Daftar Pustaka
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2016
Prof. Dr. H. Abdul Rozak M.Ag. dan Prof. Dr. H. Rosihan Anwar M.Ag.,
Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2019