Anda di halaman 1dari 9

MURJI’AH : LATAR BELAKANG KEMUNCULAN DAN PEMIKIRAN KALAM

Muhammad Rasyid Ridlo


18105010062
Aqidah dan Filsafat Islam

Abstrak
Murjiah sebagai suatu aliran muncul sebagai reaksi atas perpecahan
yang terjadi pada masyarakat Muslim waktu itu. Aliran Murji’ah
muncul sebagai aliran politik yang berkembang menjadi sebuah aliran
teologi. Murjiah sebagai suatu aliran dianggap netral karena dianggap
memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar. Selain memberi
pengharapan pada pelaku dosa besar, Murji’ah juga menomor duakan
amal perbuatan dari pada iman. Murjiah juga berarti menunda
penjelasan kedudukan (khalifah) seorang yang bersengketa yaitu ‘Ali
dan Mu’awiyah, serta pasukannya pada hari kiamat.

A. PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Kemunculan Murji’ah
Sebagai mana halnya dengan Khawarij, Murjiah muncul atas reaksi persoalan
politik. Persoalan yang terjadi antara ‘Ali dan Mu’awiyah yang memperebutkan
kedudukan khalifah membuat perpecahan pada umat Islam waktu itu. Persoalan ini
muncul setelah khalifah Utsman bin Affan terbunuh. Karena keadaan umat Islam yang
terpecah belah mengakibatkan munculnya aliran-aliran baru dalam islam, salah
satunya Murji’ah.
Kematian Khalifah Utsman sangat berpengaruh dalam segi politik dan teologi.
Karena setelah kematian khalifah Utsman umat Islam mulai bertikai dengan sesame
muslim. Persoalan ini mengundang berbagai macam masalah baik yang berkaitan
dengan perpecahan umat Islam ataupun perebutan kekuasaan..1 Pasca kematian
Khalifah Utsman munculah sekelompok orang yang tidak ingin ikut bertikai atau
melibatkan diri dalam pertikaian yang terjadi. Diantaranya adalah Abu Bkrah,

1
Sariah, Murji’ah Dalam Perspektif Teologis, hlm. 2
Abdullah ibn Waqash dan Imran Ibn Husain. 2 Selain itu ada juga sekelompok orang
yang baru saja pulang dari medan perang yang tidak ingin melibatkan diri dalam
pertikaian yang terjadi. Menurut Ahmad Amin ini menggambarkan telah adanya sikap
tidak ingin ikut campur dalam pertikaian dan perselisihan diantara umat Islam. Sikap
ini merupakan benih dan dasar tidak langsung bagi kemunculan Aliran Murji’ah.3
Adapun penyebab langsung munculnya aliran Murji’ah ini bermula ketika Sahabat
‘Ali naik menjadi Khalifah menggantikan Utsman. Kenaikan ‘Ali menjadi seorang
Khalifah tidak meredakan kekacauan politik yang sedang terjadi. Malahan menjadikan
kekacauan semakin memanas. Mu’awiyah yang seorang Gubernur Damaskus waktu
itu dekat dengan keluarga Utsman yang menuntut ‘Ali supaya menghukum Pembunuh
Utsman, sebab ‘Ali dianggap tidak tegas sebagai Khalifah dalam mengusut kasus
kematian Utsman. Dan Mu’awiyah balik menuduh ‘Ali dalam pembunuhan tersebut.
Pertikaian ‘Ali dan Mu’awiyah berakhir dengan peristiwa perang Siffin dan peristiwa
tahkim (arbitrase)4.
Namun ada sebagian pengikut ‘Ali yang tidak setuju dengan dilakukannya tahkim
ini. Mereka yang tidak setuju dengan sikap ‘Ali dalam menerima tahkim akhirnya
keluar dari barisan dan mereka disebut sebagai aliran Khawarij, dan mereka yang tetap
mendukung ‘Ali hingga menjadi fanatik terhadap’Ali disebut sebagai Syi’ah.
Selanjutnya kaum Khawarij ini menentang ‘Ali bahkan sampai perang melawan
‘Ali. Khawarij berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan ‘Ali, Mu’awiyah, Abu
Musa Al-Asy’ari, Amru bin Ash dan mereka yang menerima tahkim, dianggap
melakukan dosa besar bahkan dihukumi telah Kafir. Baik Khawarij maupun Syi’ah
mereka kafir mengkafirkan yang menyebabkan suasana politik kala itu semakin
memanas.
Dalam suasana bergejolak inilah muncul suatu golongan baru yang ingin bersikap
netral yang tidak ingin ikut pada praaktek kafir-mengkafirkan. Bagi mereka sahabat-
sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercaya. Dengan

2
ibid
3
Sariah, Murji’ah Dalam Perspektif Teologis, hlm 3, mengutip dari Ahmad Amin
4
Dalam KBBI “ bentuk peradilan yang dilaksanakan atas dasar kesepakatan antara pihak yang berselisih dan
dimediasi oleh hakim yang telah mereka pilih sendiri”
begitu mereka tidak ikut menilai siapa yang salah dan siapa yang benar. Mereka
berpendapat lebih baik menunda (arja’a) penyelesaian persoalan ini ke hari kiamat.5

Maka dari itu, kaum Murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak ingin
ikut campur dalam persoalan yang terjadi ketika itu dan mengambil sikap
menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya seseorang yang bertentangan
kepada Tuhan.6 Perilaku kafir mengkafirkan tidak selesai pada urusan politik saja,
mereka menghukumi orang yang berdosa besar sebagai kafir bahkan mereka
menghukumi kafir bagi seseorang yang yang tidak sependapat dengan mereka.
Berbeda dengan Khawarij yang mempertanyakan siapa yang kafir, pada Murji’ah
sebaliknya, mereka mempertanyakan siapa yang masih Mu’min.

2. Terminologi Murji’ah
Kata Murji’ah diambil dari kata “arja’a” yang berarti menunda, pendapat ini
dikemukakan oleh Ahmad Amin.7 Menurut Harun Nasution kata arja’a mengandung
arti membuat sesuatu mengambil tempat dibelakang dalam makna memandang kurang
penting. Dengan demikian dapat dilihat bahwa amal baik dinomor duakan setelah
iman.
Selin itu arja’a juga mengandung arti memberi pengharapan. Bagi mereka orang
yang melakukan dosa besar bukanlah kafir dan tidak akan kekal di Neraka. Dengan ini
mereka memberi pengharapan bagi seoseorang yang melakukan dosa besar untuk
mendapatkan rahmat Allah. Karena inilah ada yang mengatakan bahwa asal kata
Murji’ah berasal dari pengharapan mereka kepada Allah.

3. Pemikiran Kalam
Pemikiran kalam murji’ah dapat dibagi menjadi dua yang pertama pada urusan
politik yang kedua pada urursan teologi. Pada urusan politik sebagaimana sumber
gagasan aliran ini yaitu arja’a atau menunda, mereka memilih untuk tidak memihak

5
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2016, hlm.24
6
Ibid
7
Ris’an Rusli, Teologi Islam, Jakarta: Kencana, 2019, hlm. 20, dikutip dari Ahmad Amin, Fajrul al-Islam,
dan netral yang di ekspresikan dengan sikap diam. Sikap diam ini berimplikasi pada
perkembangan aliran ini sehingga mereka selalu diam dalam masalah politik.8
Sedangkan dalam ranah teologi, seperti halnya politik mereka menggunakan
gagasan mereka arja’a sebagai sumber dari doktin.9 Harun Nasution menyebutkan
empat ajaran pokoknya yaitu:
1. Menunda hukum atas ‘Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa Al-As’ari
yang terlibat dalam Tahkim hingga kepada Allah pada hari perhitungan kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada Allah terkait orang Muslim yang melakukan
berdosa besar.
3. Mendahulukan iman ketimbang amal
4. Memberikan pengharapan pada Muslim yang melakukan dosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

Pemikiran kalam Murjiah lebih jelasnya lagi dapat di ketahui melalui sekte-sekte
yang ada, Al-baghdadi menyebutkan ada tujuh sekte yang berkembang sebagai
berikut:

1. Al-Yunusiah (golongan Yunus bin ‘Aun al-Namiri)


Iman menurut golongan ini adalah percaya kepada Allah, patuh kepada-
Nya, tidak sombong dan cinta kepada-Nya. Taat menjalankan perintah bukan
termasuk iman, seperti yang sudah dituliskan oleh Harun Nasution bahwa iman
lebih dulu ketimbang amal, maka bila ditinggalkan tidak merusak iman. Mereka
berpendapat bahwa jika seseorang sudah memiliki sifat-sifat yang diatas dapat
dikatakan bahwa mereka adalah seorang mukmin.10
2. Al-Ghassaniyah (golongan Ghasaan Al-Kufi)

Iman menurut mereka adalah Ikrar atau cinta kepada Allah,


mengagunggkan-Nya dan tidak sombon kepada-Nya. Iman menuru golongan ini
bisa bertambah namun tidak bisa berkurang.

3. Al-Tumaniyah (golongan Abu Mu’ad Al-Tumaniyah)


8
Prof. Dr. H. Abdul Rozak M.Ag. dan Prof. Dr. H. Rosihan Anwar M.Ag., Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia,
2019, hlm. 72
9
Ibid
10
Hasan Al-Asy’ari, Maqolaat Al-Islamiyyin waiktilaf Almushallin, Bandung: CV.Pustaka Setia, 1998, hlm.197, terj.
Iman merupakan keyakinan yang bersih daripada kekufuran dan
merupakan suatu nama atau unsur ( ma’rifat, tasdieq, mahabbah, ikhlas dan
iqrar terhadap apa yang dibawa Nabi Muhammad). Apabila ada orang yang
meninggalkan salah satu unsur itu maka mereka dianggap kafir karena unsur-
unsur itulah yang dinamakan iman.
4. At-Tsaubaniyah (golongan Abi Tsauban)
Iman menurut mereka adalah pengakuan dan pengetahuan terhadap Allah
dan para Rasulnya. Mereka berpendapat bahwa semua perbuatan yang boleh
atau tidak dilakukan bagi akal untuk dikerjakan tidak termasuk iman.
5. Al-Marisiyah (golongan Bisyri Al-Marisi)
iman menurut mereka adalah suaru keyakinan yang diyakini oleh hati dan
diucapkan melalui lisan. Adapun yang disebut sebagai kufur adalah membantah
dan mengingkari Allah. Merela berpendapat bahwa sujud kepada berhala bukan
kufur namun menunjukan atas kekufuran.
6. Al-Ubaidah (golongan Abid Al-Muktaib)
Mereka berpendapat bahwa apa saja perbuatan selain syirik akan
diampuni, maka kalau hamba meninggal dalam kondisi beriman niscaya
dosanya dan kejahatannya tidak akan membahayakannya. Mereka juga
berpendapat bahwa firman Allah, Ilmu Allah dan agama Allah masih ada yang
lain. Mereka menyatakan bentuk Allah itu seperti manusia, pendapat ini didasari
atas hadist Nabi “sesungguhnya Allah itu menciptakan adam atas gambar Yang
Maha Pengasih.
7. Al- Salihiyah
Iman menurut mereka adalah pengakuan terhadap Allah secara mutlak,
yang dimaksud dari pengakuan terhadap Allah adalah cinta dan tunduk kepada-
Nya. Menurut golongan ini Shalat bukanlah mengabdi kepada-Nya. Sebab tidak
ada pengabdian selain iman kepada-Nya. Iman merupakan unsur tunggal yang
tidak bisa bertambah dan tidak bisa berkurang.

Harun Nasution berpendapat bahwa kaum Murji’ah dapat dibagi menjadi


dua golongan besar yaitu golongan Moderat dan golongan Ekstrim. Golongan
moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kekal di Neraka akan
tetapi akan dihukum di Neraka sesuai besarnya dosa orang itu dan ada
kemungkinan bahwa dosanya akan di ampuni oleh Tuhan dan dia tidak akan
masuk Neraka sama sekali.11

Golongan moderat ini termasuk Hasan Ibn Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Abi
Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli Hadist. Abu Hanifah
berpendapat mengenai iman bahwa, Iman merupakan pengetahuan dan pengakuan
tentang Tuhan, tentang Rasul-Rasul-Nya dan tentang segala apa yang dating dari
Tuhan dalam keseluruhan dan tidak perinci, iman tidak mempunyai sifat
bertambah maupun berkurang. Tidak ada perbedaan dalam iman antara sesame
manusia.

Pendapat yang diberikan Abu Hanifah dapat diartikan bahwa tidak ada
perbedaana antara imannya orang yang Salih dan orang yang berbuat dosa besar.
Pendapat ini juga dapat dipahami bahwa iman lebih dahulu daripada amal, akan
tetapi pendapat ini tidak dapat dibenarkan karena Abu Hanifah merupakan
seorang Imam mazhab. Sebagai seorang Imam yang membentuk mazhab besar
dalam Islam, Abu Hanifah tidak mungkin berpendapat bahwa perbuatan tidak
penting bagi orang Islam. Seperti kata Al-Syahrastani “ Bagaimana mungkin
seorang yang dididik beramal sampai besarnya dapat menganjurkan untuk
meninggalkan amal?”.12

Bagaimanapun juga Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang berdosa


besar bukanlah kafir tetapi tetap mukmin. Pendapat ini pertama kali di ungkapkan
oleh kaum Murji’ah.

Adapun golongan ekstrim itua adalah al-Jahmiah, pengikut Jahm Ibn


Safwn. Menurut golongan ini orang islam yang percaya pada Tuhan dan
kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir. karena kafir
letaknya di dalam hati bukan di bagian lain dari tubuh. Lebih lanjutnya lagi
pengikut Jahm Ibn Safwan berpendapat bahwa sekalipun orang itu menyembah
berhala, memercayai trinity, menjalankan ajaran-ajaran Yahudi atau agama

11
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2016, hlm.26
12
Ibid hlm.27
Kristen dengan menyembah salib kemudian mati. Orang tersebut tidaklah menjadi
kafir namun tetaplah seorang mukmin yang sempurna imannya.

Berikutnya al-Salihiah termasuk dalam golongan ekstrim seperti yang


sudah dituliskan diatas. Iman bagi mereka adalah yang nomor satu ketimbang
amal, menurut al-Baghdadi bahwa dalam pendapat al-Salihiah, sembahyang,
zakat, puasa dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan
ibadah terhadap Allah. Yang disebut ibadat adalah iman. Selain al-Salhiah al-
Yunusiah juga termasuk kedalam golongan ekstrim karena pandangannya
mengenai melakukan kemaksiatan atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidaklah
merusak iman seseorang. Al-Ubaidiah juga termasuk golongan ekstrim ini karena
pendapat yang diungkapkan mengenai seseorang yang mati dalam keadaan iman
maka dosa dan perbuatan jahatnya selama hidup tidak akan merugikan yang
bersangkutan.13

Pendapat-pendapat ekstrim di atas timbul dari pengertian Iman lebih


penting daripada amal yang kemudia berimplikasi pada pengertian bahwa hanya
imanlah yang penting dan yang menentukan status mukmin atau tidak
mukminnya seseorang. Dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan tidaklah
memiliki pengaruh terhadap keimanan seseorang. Karena iman letaknya di hati,
jadi orang lain tidak tahu keimanan seseorang, selanjutnya perbuatan-perbuatan
manusia tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh
karena itu ucapan dan perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia
tidak mempunyai iman. Yang terpenting adalah iman yang ada dalam hatinya.
Perilaku seseorang juga tidak merusak keimanan seseorang.

Harun Nasution berpendapat bahwa ajaran serupa itu dapat merusak


moral latitude, sikap memperlemah ikatan-ikatan moral atau masyarakat yang
dapat mentolerir penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku. Karena
yang dipandang penting adalah iman, norma-norma akhlak bisa dipandang kurang
penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut paham demikian. Dengan
begitu aliran Murji’ah dipandang kurang baik dan tidak disenangi. Namun

13
Ibid hlm. 28
berbeda dengan Murji’ah moderat yang dapat diterima di masyarakat Ahlusunnah
dan Jamaah.

Daftar Pustaka
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2016

Prof. Dr. H. Abdul Rozak M.Ag. dan Prof. Dr. H. Rosihan Anwar M.Ag.,
Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2019

Hasan Al-Asy’ari, Maqolaat Al-Islamiyyin waiktilaf Almushallin,


Bandung: CV.Pustaka Setia, 1998

Ris’an Rusli, Teologi Islam, Jakarta: Kencana, 2019

Sariah, Murji’ah Dalam Perspektif Teologis,

Anda mungkin juga menyukai