Anda di halaman 1dari 16

TUGAS AKIDAH AKHLAK

Nama: Annisa Aulia Putri (kelas D)

Nim: 60200122025

 MURJI’AH

 Arti Kata Murji’ah


Murji’ah diambil dari kata arja`a. Ada beberapa
pendapat tentang arti arja`a, di antaranya ialah :
a. Menurut Ibn ‘Asakir, dalam uraiannya tentang asal usul kaum
Murji’ah mengatakan bahwa arja`a berarti menunda.
Dinamakan demikian karena mereka itu berpendapat bahwa
masalah dosa besar itu ditunda penyelesaiannya sampai hari
perhitungan nanti, kita tidak dapat menghukumnya sebagai
orang kafir.
b. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajr al-Islam mengatakan bahwa
arja`a juga mengandung arti membuat sesuatu mengambil
tempat di belakang, dalam arti memandang sesuatu kurang
penting. Dinamakan sesuatu kurang penting, sebab yang
penting adalah imannya. Amal adalah nomor dua setelah
iman.
c. Selanjutnya Ahmad Amin juga mengatakan bahwa arja`a juga
mengandung arti memberi pengharapan. Dinamakan demikian,
karena di antara kaum Murji’ah ada yang berpendapat
bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar itu tidak
berubah menjadi kafir, ia tetap sebagai orang mukmin, dan
kalau ia dimasukkan dalam neraka, maka ia tidak kekal di
dalamnya. Dengan demikian orang yang berbuat dosa besar
masih mempunyai pengharapan akan dapat masuk surga.

 Sejarah Timbulnya Aliran Murji’ah


Menurut Harun Nasution, bahwa timbulnya kaum Murji’ah itu
sebagaimana halnya dengan kaum Khawarij, pada mulanya juga
ditimbulkan karena persoalan politik, tegasnya persoalan
khilafah, yang kemudian membawa perpecahan di kalangan umat
Islam setelah terbunuhnya Utsman bin Affan.
Kaum Khawarij yang pada mulanya adalah penyokong Ali,
tetapi kemudian hari berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya
perlawanan dari golongan Khawarij ini, maka penyokongpenyokong
yang tetap setia kepada Ali bertambah keras dan
fanatik dalam membela Ali, sehingga akhirnya muncullah
golongan pendukung Ali yang dikenal dengan nama golongan
Syi’ah. Kefanatikan golongan ini terhadap Ali bertambah keras,
terutama setelah Ali dibunuh oleh Ibn Muljam dari golongan
Khawarij.
Kaum Khawarij dan Syi'ah, walaupun merupakan dua golongan
yang bermusuhan, namun mereka sama-sama menen-tang
kekuasaan Bani Umayah, walaupun motifnya berlainan. Kalau
golongan Khawarij menentang kekuasaan Bani Umayyah, karena
mereka menganggap bahwa Bani Umayah telah menyeleweng dari
ajaran Islam, maka golongan Syi'ah menentang Bani Umayah
karena mereka menganggap Bani Umayah telah merampas
kekuasaan dari tangan Ali dan keturunannya.
Dalam suasana pertentangan inilah maka timbul suatu
golongan baru yang ingin bersikap netral, tidak mau turut dalam
praktik kafir mengafirkan, seperti yang dilakukan oleh kaum
Khawarij dan Syi'ah. Golongan inilah yang kemudian dikenal
dengan nama golongan Murji’ah. Bagi mereka sahabat-sahabat
yang terlibat dalam pertentangan karena peristiwa tahkim itu
tetap mereka anggap sebagai sahabat-sahabat Nabi yang dapat
dipercaya keimanannya. Oleh karena itu mereka tidak menyatakan siapa
yang sebenarnya salah, tetapi mereka lebih
baik menunda persoalan tersebut, dan menyerahkannya kepada
Tuhan pada hari perhitungan di hari kiamat nanti, apakah mereka
menjadi kafir atau tidak.

 Dalil Al-qur’an Tentang Aliran Murji’ah


Pengikut Murji’ah berusaha mencari dalil-dalil yang yang dapat membantu dalam membenarkan
pemikiran mereka dengan menggunakan nash-nash yang syubhat dan telah keluar dari tujuan
nash sebenarnya, mereka menggunakan Al qur’an dan As sunnah An nabawiyah serta berdalih
bahwa dari sekian banyak dalil-dalil yang di gunakan, semuanya berkaitan serta membenarkan
pemikiran-pemikiran mereka, yang hakekatnya penuh dengan kesesatan. Di antaranya mereka
berdalil melalui perkataan Allah Swt:
Qs. An Nisa’: 48

Artinya:” Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala
dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”

Qs. Az Zumar: 53
Artinya:” Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-
dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 Kesimpulan
1.Nama Murji’ah diambil dari kata arja`a yang mempunyai beberapa
arti, yaitu: menunda, memberi pengharapan dan memandang
sesuatu kurang penting. Timbulnya kaum Murji’ah pada mulanya
Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran
disebabkan oleh masalah khilafah yang kemudian membawa
perpecahan di kalangan umat Islam setelah terbunuhnya Utsman bin
Affan.
2. Kaum Khawarij dan Syi’ah, walaupun mereka selalu bermusuhan,
namun mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah,
tetapi dengan motif yang berbeda-beda.
3. Golongan Murji’ah timbul karena ingin bersikap netral, tidak mau
turut dalam praktek kafir mengafirkan, seperti yang dilakukan oleh
kaum Khawarij dan Syi’ah. Kaum Murji’ah berpendapat bahwa orang
Islam yang berbuat dosa besar, ia tetap mukmin, sebab ia masih
mengakui tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah
utusan Allah.
4. Perbedaan pemikiran antara golongan Khawarij dan Murji’ah ialah
kaum Khawarij menekankan pemikiran mereka pada masalah orang
Islam yang menjadi kafir. Sedangkan Murji’ah menekankan
pemikiran mereka pada masalah orang Islam yang karena
perbuatannya, ia masih tetap dianggap sebagai orang yang mukmin.
5. Golongan Murji’ah yang moderat berpendapat bahwa orang Islam
yang melakukan dosa besar itu, tidak menjadi kafir dan tidak kekal
dalam neraka. Bahkan kalau Tuhan mengampuni dosanya, maka ada
kemungkinan orang tersebut tidak akan masuk dalam neraka.
6. Golongan Murji’ah yang moderat pada umumnya dapat diterima oleh
kebanyakan orang dari golongan Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
7. Asy’ariah dari golongan Ahlu Sunnah wal Jama’ah memberikan
definisi tentang iman sebagai berikut: “Iman adalah pengakuan hati
tentang ke-Esaan Tuhan, tentang kebenaran Rasul-rasul-Nya dan
segala apa yang mereka bawa, disempurnakan dengan ucapan lidah
dan disempurnakan dengan amal perbuatan”. Definisi tersebut
sangat identik dengan ajaran Murji’ah yang moderat.
8. Paham Murji’ah yang ekstrim sangat berbahaya apabila diikuti oleh
umat Islam, karena ajarannya dapat merusakkan akhlak dan moral
serta mendatangkan bencana dan malapetaka bagi masyarakat.

 JABARIYAH
 Arti Kata Jabariyah
Nama Jabariyah diambil dari
kata jabara, yang mengandung arti memaksa. Dinamakan
demikian, karena kaum Jabariyah mempunyai paham bahwa
manusia melakukan perbuatan-perbuatannya itu dalam keadaan
terpaksa. Perbuatan yang dilakukannya bukan kehendaknya
sendiri, tetapi kehendak Tuhan. Dalam teologi modern, paham
Jabariyah ini dikenal dengan nama fatalisme atau predestination,
yaitu bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu telah ditentukan
dari sejak azali oleh qadha dan qadar Tuhan.

 Sejarah Timbulnya Aliran Jabariyah


Aliran ini muncul dari sikap yang skeptis terhadap situasi politik pada masa
pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān. Perasaan tidak berdaya itu kemudian
dirumuskan dalam pemikiran teologi, bahwa semua perbuatan manusia merupakan
wujud kehendak Allah. Doktrin teologi yang demikian itu sangat menguntungkan
Mu’awiyah yang saat itu sedang memegang kekuaaan, sehingga pemikiran
keagamaan ini dipolitisasi oleh Mu’awiyah untuk melegitimasi aksi politiknya.
Paham Jabariyah ini, pertama kali dilontarkan oleh Ja’ad bin Dirham, yang
selanjutnya dikembangkan oleh Jaham bin Shafwan (w. 131 H). Oleh sebab itu,
aliran ini sering juga disebut aliran Jahamiyah.

 Dalil Al-qur’an Tentang Aliran Jabariyah


Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang bisa membawa kepada
paham Jabariyah, di antaranya:
Qs. Al-An’am: 112

Artinya: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya,


maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”

 Kesimpulan
1. Persoalan yang dihadapi oleh ahli-ahli teologi Islam sejak dulu antara
lain, apakah perbuatan manusia itu sepenuhnya terikat pada
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, ataukah manusia diberi
kebebasan untuk berbuat sesuatu.
2. Paham Jabariyah timbul karena lingkungan alam padang pasir yang
panas, tandus dan gersang, serta gunung-gunungnya yang gundul,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka hanya menggantungkan
nasibnya pada kehendak dan takdir Tuhan. Karena mereka tidak
kuasa untuk mengubah alam yang ganas itu.
 QADARIYAH

 Arti Kata Qadariyah


Nama Qadariyah sendiri diambil dari
paham yang mereka anut, yaitu bahwa manusia mempunyai
qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya. Dalam
telogi modern, paham Qadariyah ini dikenal dengan nama free
will, freedom of willingness atau freedom of action, yaitu
kebebasan untuk berkehendak atau kebebasan untuk berbuat.

 Sejarah Timbulnya Aliran Qadariyah


Persoalan politik adalah latar belakang utama yang memicu munculnya Aliran
Qadariyah. Sebagaimana diketahui, bahwa Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān sangat gencar
mendelegitimasi pemerintahan Ali bin Abi Ṭālib. Bahkan setelah Ali bin Abi Ṭālib
meninggal, Mu’awiyah menggunakan berbagai cara untuk melemahkan pengaruh
keluarga Ali bin Abi Ṭālib. Mendiang Ali bin Abi Ṭālib dicaci-maki dalam setiap
kesempatan berpidato termasuk saat khutbah Jum’at.
Para ulama yang saleh banyak yang tidak setuju dengan gaya politik
Mu’awiyah, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Untuk menutupi kesalahan
itu, mereka mengembangkan doktrin bahwa semua yang terjadi adalah atas kehendak
Allah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan nasipnya sendiri.
Paham teologi ini dimanfaatkan oleh Mu’awiyah untuk melanggengkan
kekuasannnya. Dalam suasana ini muncul Ma’bad al-Jauhani (w. 80 H) dan Ghailan
ad-Dimasyqy dan melontarkan kritik kepada Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān dengan
pendekatan teologis, yang kemudian dikenal dengan paham Qadariyah.

 Dalil Al-qur’an Tentang Aliran Qadariyah


Banyak ayat Al-Qur’an yang bisa membawa kepada paham
Qadariyah, di antaranya:
Qs. Al-Kahfi: 29

Artinya: “Dan katakanlah, kebenraran itu datagnya dari Tuhanmu; maka


barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.”

 Kesimpulan
1. Persoalan yang dihadapi oleh ahli-ahli teologi Islam sejak dulu antara
lain, apakah perbuatan manusia itu sepenuhnya terikat pada
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, ataukah manusia diberi
kebebasan untuk berbuat sesuatu.
2. Menurut paham Qodariyah, manusia mempunyai kebebasan untuk
berbuat dan menentukan cara hidupnya, sesuai dengan yang
dikehendakinya. Menurut paham Jabariyah, manusia tidak
mempunyai kebebasan untuk berkehendak dan menentukan
perbuatannya sendiri. Semua kehendak dan perbuatan manusia sudah
ditentukan oleh Tuhan sejak azali.
 MU’TAZILAH

 Arti Kata Mu’tazilah


Mengenai arti dan asal-usul kata Mu'tazilah terdapat
beberapa versi yang dikemukakan oleh para ahli ilmu
kalam. Di antaranya sebagai berikut:
a. Menurut Al-Syahrastani, kata Mu'tazilah muncul dari peristiwa
yang terjadi antara Wasil bin Atha’ bersama temannya Amr
Ibn Ubaid dan Hasan Basri di Basrah. Wasil selalu aktif
mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Hasan Basri
di Masjid Basrah. Pada suatu hari salah seorang yang
mengikuti pengajian bertanya kepada Hasan Basri tentang
kedudukan orang yang berbuat dosa besar. Mengenai orang
yang berbuat dosa besar, kaum Khawarij memandang mereka
itu kafir, sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka tetap
mukmin. Sementara Hasan Basri sedang berfikir, Wasil
mengemukakan pendapatnya bahwa orang yang melakukan
dosa besar bukanlah kafir dan bukan pula mukmin. Setelah itu
ia berdiri menjauhkan diri dari Hasan Basri lantaran mereka
tak sependapat dengannya, lalu pergi ke tempat lain di masjid
itu juga. Di sana ia membentuk pengajian sendiri dan
mengulangi pendapatnya. Atas peristiwa ini, Hasan Basri
berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazala’anna).
Kemudian mereka disebut Mu'tazilah, artinya orang yang
menjauhkan diri.”
b. Menurut Ahmad Amin, sebutan Mu'tazilah sudah ada kurang
lebih 100 tahun sebelum terjadinya perselisihan pendapat
Wasil bin Atha dengan Hasan Basri di masjid Basrah. Golongan
yang disebut Mu'tazilah pada waktu itu adalah mereka yang
tidak ikut melibatkan diri dalam pertikaian sepeninggal
khalifah Utsman bin Affan wafat. Kelompok yang bertikai
yaitu Thalhah dan Zubair di satu pihak dengan khalifah Ali bin
Abi Thalib di lain pihak, juga antara Ali dengan Mua’wiyah.
Perselisihan itu muncul karena pembunuhan atas diri khalifah
Utsman bin Affan, dan karena pro dan kontra terhadap
pengangkatan Ali sebagai khalifah. Meskipun persoalan itu
bersifat politik, namun mempunyai corak agama, sebab dalam
Islam persoalan hidup sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya
bercorak agama.
Golongan yang tidak ikut pertikaian itu mengatakan,
“Kebenaran tidak mesti ada pada salah satu pihak yang
bertikai, melainkan kedua-duanya bisa salah, sekurangkurangnya tidak jelas siapa yang benar.
Sedangkan agama
hanya memerintahkan memerangi orang-orang yang
menyeleweng. Kalau keduanya golongan menyeleweng, maka
kami harus menjauhkan diri (i’tazalna).
Golongan yang menjauhkan diri ini memang dijumpai
dalam buku-buku sejarah. Al-Tabari umpamanya menyebut-kan
bahwa sewaktu Qais Ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai
Gubernur pada zaman khalifah Ali bi Abi Thalib, ia menjumpai
pertikaian di sana, satu golongan turut padanya, dan satu
golongan lagi melarikan diri ke Kharbita (i’tazalat ila
Kharbita). Dalam suratnya yang ia kirimkan kepada khalifah,
Qais menamai mereka Mu’tazilin. Kalau al-Tabari menyebut
nama Mu’tazilin, Abu al-Fida menyebutnya Mu'tazilah.
Dalam bukunya Al-Munawar wal Amal Ahmad bin al-Murthada
menulis bahwa aliran Mu'tazilah itu sendiri yang memberikan
nama tersebut untuk dirinya, dan mereka tidak menyalahi ijma,
bahkan memakai apa yang telah diijma`kan pada masa pertama
Islam. Kalau mereka menjauhi sesuatu, maka pendapat-pendapat
baru dan bid’ah-bid’ah itulah yang mereka jauhi (i’tazalu-ha).
Kemudian sebutan Mu'tazilah itu disandarkan pada ayat Al-Qur’an
dan Hadits Nabi saw, antara lain Surat al-Muzammil ayat 10.
Sebutan yang lebih disenangi oleh kaum Mu'tazilah sebenarnya
adalah Ahlu al-adli wa al-Tauhid (golongan keadilan dan Tauhid).
Golongan Ahlusunnah menyebut aliran Mu'tazilah dengan
sebutan Al-Mu’atthilah. Mula-mula sebutan ini diberikan kepada
aliran Jahamiah, karena aliran ini mengosongkan Tuhan dari sifatsifat-Nya (‘atthala =
mengosongkan). Karena sifat-sifat Tuhan
dipersoalkan keberadaannya oleh aliran Mu'tazilah, maka mereka
juga disebut Mu’atthilah.

 Sejarah Timbulnya Aliran Mu’tazilah


Lahirnya aliran Mu’tazilah tidak terlepas dari perkembangan pemikiranpemikiran ilmu kalam
yang sudah muncul sebelumnya. Aliran ini lahir berawal dari
tanggapan Waṣil bin Aṭo’ (salah seorang murid Hasan al-Baṣri) di Bashrah, atas
pemikiran yang dilontarkan Khawārij tentang pelaku dosa besar. Ketika Hasan alBaṣri bertanya
tentang tanggapan Waṣil terhadap pemikiran Khawārij tersebut, dia
menjawab bahwa para pelaku dosa besar bukan mukmin dan juga bukan kafir.
Mereka berada dalam posisi antara mukmin dan kafir, yaitu orang fasik. Kemudian
Waṣil memisahkan diri dari jamaah Hasan al-Baṣri, dan gurunya itu secara spontan
berkata “i’tazala ‘anna” (Waṣil memisahkan diri dari kita semua). Karena itulah
kemudian pemikiran yang dikembangkan Waṣil menjadi sebuah aliran yang oleh
anggota jamaah Hasan al-Baṣri dinamai dengan “Mu’tazilah”. Corak pemikiran kalam
Mu’tazilah lebih cenderung menggunakan pendekatan berpikir filsafat, sehingga
aliran ini terkenal dengan aliran kalam rasional.
Mereka menamakan dirinya sebagai ahlu at-tauhid (menjaga keesaan Allah)
dan ahlu al-‘adl (mempercayai dan menyakini penuh akan keadilan Tuhan), karena
rumusan-rumusan pemikiran kalamnya itu benar-benar menjaga kemurnian tauhid dan
prinsip keadilan Tuhan.
Aliran Mu’tazilah sempat dijadikan sebagai aliran resmi pada masa
pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah yaitu pada masa pemerintahan al-Makmun
(198-218 H), al-Mu’tashim (218-227 H) dan al-Watsiq (227-232 H) dan berakhir
pada masa al-Mutawakil (234 H), sehingga pengaruh aliran Mu’tazilah menjadi lemah
dan diganti dengan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang dikenal dengan Ahlus
Sunah wal Jama’ah.

 Landasan Tentang Aliran Mu’tazilah


1) Tauhid. Pengertian Tauhid bagi Mu‘tazilah bersifat tanzih
muthlaq, sebagaimana dituturkan oleh Abu al-Hasan alAsy‘ari adalah sebagai berikut:

“Allah itu Esa, tidak ada yang menyamai-Nya, bukan


jisim (benda) bukan pribadi (syahs), bukan jauhar
(substansi), bukan aradl (non essential property), tidak
berlaku padanya masa.Tiada tempat baginya, tiada bisa
disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk yang
menunjukkan ketidak azaliannya, tiada batas bagi-Nya,
tiada melahirkan dan tiada dilahirkan, tidak dapat dilihat
dengan mata kepala dan tidak bisa digambarkan dengan
akal pikiran. Ia Maha mengetahui, Yang Berkuasa dan
Yang Hidup. Hanya Ia sendiri Yang Qodim, tiada yang
Qodim selain- Nya, tiada pembantu bagi-Nya dalam
Menciptakan.”

Berpijak pada definisi tersebut, Tauhid bagi


Mu‘tazilah harus difahami dalam konsepsi berikut:
a) Menafikan shifat antropomorfismebagi Allah (nafy
shifat al-ma‟ani „an Allah), yaitu sifat mendengar,
melihat, kuasa, berkehendak, berbicara dan hidup.
Ini karena bagi mereka jika meletakkan sifat-sifat
tersebut pada Allah maka berdampak pada banyak
yang qadim selain Allah.
b) Menafikan melihat Allah (ru‟yatullah) pada hari
kiamat. Alasannya, jika Allah dapat dilihat, maka
eksistensiNya bersifat jismiyah, dan ini tidak
mungkin.
c) Anggapan bahwa al-Qur‘an adalah makhluk.

2) Al-‘Adl (Keadilan). Konsepsi keadilan Mu‘tazilah berpijak


pada hal-hal berikut:
a) Tuhan berbuat baik dan terbaik (ash-shalah wal
ashlah), maksudnya Tuhan tidak mungkin jahat dan
aniaya karena akan menimbulkan kesan bahwa
Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak
layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat kepada
seseorang dan berbuat baik kepada yang lain berarti
Ia tidak adil. Dengan sendirinya, Tuhan juga tidak
MahaSempurna.
b) Kebebasan kehendak manusia, yaitu manusia
memiliki kebebasan untuk berbuat. Apabila
dikatakan bahwa perbuatan manusia itu diciptakan
oleh Tuhan, maka tidak mungkin nanti ada
perhitungan di hari akhir. Oleh karena itu bagi
Mu‘tazilah manusialah yang menciptakan
perbuatannya: baik maupun buruk.
c) Kejelekan dan kebaikan dapat diketahui cukup
melalui akal.

3) Al-wa’d wa al-Wa’id(Janji dan Ancaman), yaitu bahwa


Tuhan pasti menepati janjiNya memberi pahala surga
kepada yang berbuat baik, menerima taubat orang yang
berbuat dosa, serta mengancam mereka yang durhaka
(pelaku dosa besar) dengan siksa neraka, dan kekal di
dalamnya Lebih jauh, bagi mereka syafa‘at berupa doa ampunan dari
keluarga dan orang-orang Mu‘min tidak memberi manfaat
kepada orang yang sudah meninggal.

4) Al-Manzilah bayn al-Manzilatain, bahwa pelaku dosa bagi


Mu‘tazilah disebut fasiq, dalam artian tidak kafir dan tidak
mu‘min, dan nanti di akhirat jika ia mati dalam keadaan
tidak bertaubat kekal di Neraka sebagaimana orang-orang
kafir.

5) Al-amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar, bahwa


menyuruh kebaikan dan mencegah kemunkaran adalah
wajib bagi setiap orang yang beriman, bahkan jika
diperlukan maka kekerasan bisa ditempuh untuk
mewujudkannya.

 Kesimpulan
1. Aliran Mu'tazilah muncul kira-kira pada permulaan abad pertama
Hijriah di kota Basrah (Irak).
2. Kata Mu'tazilah muncul dari peristiwa Wasil dengan Hasan Basri
mengenai kedudukan orang yang berbuat dosa besar, yang berakhir
Wasil menjauhkan diri dari tempat Hasan Basri. Menurut Pendapat
Al-Mas’udi bahwa ke-mu’tazilahan itu mula-mula muncul merupakan
sifat dari orang yang berbuat dosa besar (jauh dari golongan mukmin
dan kafir), yang kemudian sifat atau nama itu diberikan kepada
golongan yang berpendapat demikian. Sedangkan menurut Ahmad
Amin, sebutan Mu'tazilah muncul di sekitar pertikaian antara Ali bin
Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Golongan yang tidak ikut bertikai
mengatakan bahwa orang-orang yang bertikai telah menyeleweng
dan harus dijauhi (i’tazalna).
3. Tokoh-tokoh aliran Mu'tazilah antara lain: Wasil bin Atha, Abu Huzail
bin Huzail Al-Allaf, Bisyir bin Al-Mu’tamar, Ibrahim bin Sayyar bin
Hani An-Nazzham, Abu Ali Muhammad bin Ali Jubba’i, Abu Husein AlKhayyat, Al-Qadhi Abd al-
Jabbar, dan Jarullah Abdul Qasim
Muhammad bin Umar Az-Zamakhsyari.
4. Ajaran-ajaran pokok aliran Mu'tazilah adalah: At-Tauhid (KeMahaesaan Tuhan), Al-Adl
(Keadilan), Al-Wa’d wal Wa’id (Janji dan
Ancaman), Al-Manzilah bain al-Manzilatain (Posisi diantara dua
posisi), dan Amar ma’ruf Nahi Munkar (Menyuruh Berbuat Baik dan
Melarang Berbuat Jahat).

 SYIAH

 Arti Kata Syiah


Kata “Syiah”dalam kebahasaan sudah dikenal sejak awal kepemimpinan Islam, sebagai
identifikasi terhadap kelompokkelompok yang mengidolakan seseorang yang dianggap sebagai
tokoh. Adapun Syiah dalam arti terminologi terdapat banyak pengertian yang sangat sulit dapat
mewakili seluruh pengertian Syiah.
Dalam Ensiklopedi Islam, Syiah yaitu kelompok aliran atau paham yang mengidolakan bahwa Ali
bin Abi Thalib ra. dan keturunannya adalah Imam-Imam atau para pemimpin agama dan umat
setelah Nabi Muhammad SAW (Ensiklopedi Islam, 1997).
Muhammad Husain Attabi’i dalam bukunya “Syiah Islam” memberikan pengertian bahwa Syiah
adalah kaum muslimin yang menganggap penggantian Nabi Muhammad Saw adalah merupakan
hak istimewa yang dimiliki oleh keluarga nabi dan mereka yang dalam bidang pengetahuan dan
kebudayaan Islam mengikuti ahlul bait (Husayn Attabi’i, 1989: 32).

Sedangkan Qurais Shihab dengan mengutip pendapat Ali Muhammad al-Jurjani mendefinisikan
bahwa Syiah, yaitu mereka yang mengikuti Sayyidina Ali ra dan percaya bahwa beliau adalah
Imam sesudah Rasul saw. Dan percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan keturunannya.

Pendapat Shihab ini lebih mencerminkan sebagian dari golongan dalam Syiah-untuk sementara
ini dapat diterima karena telah mencerminkan definisi untuk kelompok Syiah terbesar yaitu Syiah
Itsna Asyariyah. (Shihab 2007). Syiah adalah kenyataan sejarah umat Islam yang terus
bergulir.Lebih dari 1.000 tahun, Syiah mengalami perjalanan sejarah, tidak serta merta hadir
dipanggung perdebatan dan konflik sosial seperti saat ini.

 Sejarah Timbulnya Aliran Syiah


Secara fisik, sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Akan tetapi jika diteliti lebih
dalam terutama dari sisi akidah, perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga
tidak mungkin disatukan..

Syiah menurut etimologi bahasa arab bermakna pembela dan pengikut seseorang, selain itu juga
bermakna setiap kaum yang berkumpul diatas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61 karya
Azhari dan Taajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi)

Adapun menurut terminologi syariat, syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin
Abu Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum
muslimin, begitu pula sepeninggal beliau (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal karya Ibnu
Hazm)

Syiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan. Pada masa kekhalifahan
Abu Bakar, Umar, masa-masa awal kekhalifahan Utsman yaitu pada masa tahun-tahun awal
jabatannya, Umat islam bersatu, tidak ada perselisihan. Kemudian pada akhir kekhalifahan
Utsman terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan timbulnya perpecahana, muncullah
kelompok pembuat fitnah dan kezhaliman, mereka membunuh Utsman, sehingga setelah itu
umat islam pun berpecah-belah.

Pada masa kekhalifahan Ali juga muncul golongan syiah akan tetapi mereka menyembunyikan
pemahaman mereka, mereka tidak menampakkannya kepada Ali dan para pengikutnya.

Saat itu mereka terbagi menjadi tiga golongan.

Golongan yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Ketika mengetahui sekte ini Ali membakar
mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah untuk membakar mereka.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Suatu
ketika Ali memerangi dan membakar orang-orang zindiq (Syiah yang menuhankan Ali). Andaikan
aku yang melakukannya aku tidak akan membakar mereka karena Nabi pernah melarang
penyiksaan sebagaimana siksaan Allah (dibakar), akan tetapi aku pasti akan memenggal batang
leher mereka, karena Nabi bersabda:
‫من بدل دينه فاقتلوه‬
“Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah ia“
Golongan Sabbah (pencela). Ali mendengar tentang Abu Sauda (Abdullah bin Saba’) bahwa ia
pernah mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya. Ada yang mengatakan bahwa Ali
mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diri
Golongan Mufadhdhilah, yaitu mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar.
Padahal telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi Muhammad bahwa beliau bersabda,
‫خير هذه األمة بعد نبيها أبو بكر ثم عمر‬

“Sebaik-baik umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakar dan Umar”.
Riwayat semacam ini dibawakan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Muhammad bin
Hanafiyyah bahwa ia bertanya kepada ayahnya, siapakah manusa terbaik setelah Rasulullah, ia
menjawab Abu Bakar, kemudian siapa? dijawabnya, Umar.
Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima sekte yang utama yaitu Kaisaniyyah,
Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut lahir sekian
banyak cabang-cabang sekte lainnya.

Dari lima sekte tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah sekte imamiyyah atau
rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini senantiasa berjuang keras untuk menghancurkan islam
dan kaum muslimin, dengan berbagai cara kelompok ini terus berusaha menyebarkan berbagai
macam kesesatannya, terlebih setelah berdirinya negara syiah, Iran yang menggulingkan rezim
Syah Reza Pahlevi.

Rafidhah menurut bahasa arab bermakna meninggalkan, sedangkah dalam terminologi syariat
bermakna mereka yang menolak kepemimpinan abu bakar dan umar, berlepas diri dari
keduanya, mencela lagi menghina para sahabat nabi.

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah
itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar.”
(ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hlm. 567, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)

Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan
para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121
H. (Badzlul Majhud, 1/86)

Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di Kufah, di tengah-tengah
para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr
dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya)
meninggalkannya. Maka beliaupun mengatakan kepada mereka:

‫رَ َفضْ ُتم ُْونِي؟‬

“Kalian tinggalkan aku?”

Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid
kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36).

Pencetus paham syiah ini adalah seorang yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama
Abdullah bin saba’ al-himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan Utsman bin
Affan.

Abdullah bin Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan, ia kemudian menggalang


massa, mengumumkan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad seharusnya
jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (menurut
persangkaan mereka).

Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih
kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Shaba menampakkan sikap
ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam
(khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).

Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali
bin Abi Thalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian memerangi bahkan
membakar mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka melarikan diri.

Abdullah bin Saba’, sang pendiri agama Syi’ah ini, adalah seorang agen Yahudi yang penuh makar
lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah umat Islam oleh orang-orang Yahudi untuk merusak
tatanan agama dan masyarakat muslim. Awal kemunculannya adalah akhir masa kepemimpinan
Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali bin Abi
Thalib. Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan
tanassuk (giat beribadah), ia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya aqidah sesat (bahkan
kufur) yang ia tebarkan di tengah-tengah umat, gerakan provokasi massa pun dilakukannya untuk
menggulingkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Akibatnya, sang Khalifah terbunuh dalam keadaan
terzalimi. Akibatnya pula, silang pendapat diantara para sahabat pun terjadi. (Lihat Minhajus
Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 8/479, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah Ibnu Abil
‘Izz hlm. 490, dan Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hlm. 123)

Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah
membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah, sekte syiah yang paling
ringan kesalahannya.

 Dalil Al-qur’an Tentang Aliran Syiah


Qs. Ash-Shaaffaat: 83

Artinya: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar sebagai pendukungnya (Nuh).”

 AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

 Arti Kata Ahlussunnah Wal Jama’ah


1. Ahlun = artinya keluarga, golongan atau pengikut,
komunitas.
2. Sunnah = artinya segala sesuatu yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW, maksudnya semua yang datang dari Nabi SAW
berupa perbuatan, ucapan dan pengakuan Nabi SAW.
3. Al-Jama’ah = artinya apa yang telah disepakati oleh para
sahabat Rasulullah SAW pada masa Khulafaur Rasyidin

Terminologi jama’ah mengandung beberapa pengertian, yaitu:


kaum ulama atau kelompok intelektual; golongan yang terkumpul
dalam suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang âmir;
golongan yang di dalamnya terkumpul orang-orang yang memiliki
integritas moral atau akhlak , ketaatan dan keimanan yang kuat;
golongan mayoritas kaum muslimin; dan sekelompok sahabat Nabi
Muhammad SAW.
Adapun kata ijma’ artinya kesepakatan di zaman
pemerintahan sahabat Khulafaur Rasyidin ialah ijma’ sahabat, seperti
dalam adzan awal jum’at, shalat tarawih 20 rakaat disertai 3 rakaat
witir, penulisan Al-Qur’an jadi mushaf, membentuk dewan ulil amri,
membentuk perbendaharaan Negara yang disebut baitul mal,
membentuk dewan pertahanan Negara, mengadakan pemilihan
presiden yang waktu itu disebut khilafah, mencetak uang dan lain
sebagainya.

 Sejarah Timbulnya Aliran Ahluaaunnah Wal Jama’ah

Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai sebuah nama, tidaklah muncul pada masa Rasulullah saw
sebab pada saat itu umat Islam masih bersatu. Pada masa Rasulullah saw seseorang yang
memeluk Islam, cukup disebut muslim atau mukmin.
Setelah Nabi saw wafat dan setelah lahir beragam aliran sempalan dalam sejarah umat Islam
seperti khawarij, syi’ah, Qadariyah dan lain-lain, pasca terbunuhnya khalifah Usman bin Affan
dan terjadinya konflik internal dikalangan umat Islam, maka generasi yunior sahabat Nabi saw
seperti Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar dan Abu Said al-Khudri, memberikan nama
kelompok mayoritas kaum muslimin yang masih konsisten dengan ajaran dan pemikiran awal
Islam yang dibawa oleh Nabi saw dan dipraktekkan para sahabat assabiqunal awwalun minal
muahjrin wal anshor dengan nama Ahlussunnah wal Jam’ah.
Tidak semua aliran keislaman menyandang nama Ahlussunnah wal Jama’ah, Misalnya:
- Aliran Muktazilah menyebut dirinya Ahlul Adli wa al-Tauhid (pengusung keadilan dan tauhid).
- Aliran Khawarij menyebut dirinya al-Syurat (aliran yang menjual dirinya kepada Allah swt) dll.
Pasca abad ketiga Hijriyah, nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah diklaim 2 aliran yang mengikuti pola
keagamaan bermadhab:
1. Kelompok mayoritas umat Islam pengikut madhab al- Asy’ari dan al-Maturidi. Termasuk
Fudhala’ al-Hanabilah (arus utama penganut madhab Hanbali yang tergabung dalam madhab al-
Asy’ari dan al-Maturidi).
2. Kelompok Minoritas yang mengikuti paradigma pemikiran Ibnu Taimiyyah al-Hanbali, Ghulat
al-hanabilah (ektrimitas penganut madhab Hanbali) belakangan dikenal aliran Wahabi dan salafi
yang mengikuti paradigma pemikiran tekstualis, statis dan verbalis.
3. Secara historis term Aswaja baru dianggap resmi dalam bentuk madhab pada periode zaman
al-Asy’ari dan al-Maturidi).
4. Dari segi paham telah berkembang sejak zaman Ali bin Abi Thalib.

 Empat Sumber Hukum Dalam Aswaja


Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) bersumber
kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Secara singkat, paparannya
sebagai berikut;
1. Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena
Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia
dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat al-
Baqarah ayat 2; Al-Maidah Ayat 44-45, 47 :

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka adalah golongan orang-orang kafir”. Tentu dalam hal ini yang
bersangkutan dengan aqidah, lalu;

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah
maka mereka adalah orang-orang yang dhalim”. Dalam hal ini urusan yang berkenaan
dengan hak-hak sesama manusia

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah
maka mereka adalah golongan orang-orang fasik”. Dalam hal ini yang berkenaan
dengan ibadat dan larangan-larangan Allah.

2. Al-Hadist/Sunnah, Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah


ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-
Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an.
3. Al-Ijma’ Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW
seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum
dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid. Kemudian ijma’ ada 2
macam : 1. Ijma’ Bayani (‫ ) االجماع البياني‬ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan
pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan
kesepakatannya.
2. Ijma’ Sukuti (‫ )االجماع السكوتي‬ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan
pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan
karena takut atau malu.
Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan
sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum,
wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati.
4. Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata
Qasa (‫) قا س‬. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain
dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam:
al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum,
seperti disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-
nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau
hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan
pokok. Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan
hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam
hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-
duanya sebagai makanan pokok.

Anda mungkin juga menyukai