Nim: 60200122025
MURJI’AH
Artinya:” Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala
dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”
Qs. Az Zumar: 53
Artinya:” Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-
dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kesimpulan
1.Nama Murji’ah diambil dari kata arja`a yang mempunyai beberapa
arti, yaitu: menunda, memberi pengharapan dan memandang
sesuatu kurang penting. Timbulnya kaum Murji’ah pada mulanya
Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran
disebabkan oleh masalah khilafah yang kemudian membawa
perpecahan di kalangan umat Islam setelah terbunuhnya Utsman bin
Affan.
2. Kaum Khawarij dan Syi’ah, walaupun mereka selalu bermusuhan,
namun mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah,
tetapi dengan motif yang berbeda-beda.
3. Golongan Murji’ah timbul karena ingin bersikap netral, tidak mau
turut dalam praktek kafir mengafirkan, seperti yang dilakukan oleh
kaum Khawarij dan Syi’ah. Kaum Murji’ah berpendapat bahwa orang
Islam yang berbuat dosa besar, ia tetap mukmin, sebab ia masih
mengakui tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah
utusan Allah.
4. Perbedaan pemikiran antara golongan Khawarij dan Murji’ah ialah
kaum Khawarij menekankan pemikiran mereka pada masalah orang
Islam yang menjadi kafir. Sedangkan Murji’ah menekankan
pemikiran mereka pada masalah orang Islam yang karena
perbuatannya, ia masih tetap dianggap sebagai orang yang mukmin.
5. Golongan Murji’ah yang moderat berpendapat bahwa orang Islam
yang melakukan dosa besar itu, tidak menjadi kafir dan tidak kekal
dalam neraka. Bahkan kalau Tuhan mengampuni dosanya, maka ada
kemungkinan orang tersebut tidak akan masuk dalam neraka.
6. Golongan Murji’ah yang moderat pada umumnya dapat diterima oleh
kebanyakan orang dari golongan Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
7. Asy’ariah dari golongan Ahlu Sunnah wal Jama’ah memberikan
definisi tentang iman sebagai berikut: “Iman adalah pengakuan hati
tentang ke-Esaan Tuhan, tentang kebenaran Rasul-rasul-Nya dan
segala apa yang mereka bawa, disempurnakan dengan ucapan lidah
dan disempurnakan dengan amal perbuatan”. Definisi tersebut
sangat identik dengan ajaran Murji’ah yang moderat.
8. Paham Murji’ah yang ekstrim sangat berbahaya apabila diikuti oleh
umat Islam, karena ajarannya dapat merusakkan akhlak dan moral
serta mendatangkan bencana dan malapetaka bagi masyarakat.
JABARIYAH
Arti Kata Jabariyah
Nama Jabariyah diambil dari
kata jabara, yang mengandung arti memaksa. Dinamakan
demikian, karena kaum Jabariyah mempunyai paham bahwa
manusia melakukan perbuatan-perbuatannya itu dalam keadaan
terpaksa. Perbuatan yang dilakukannya bukan kehendaknya
sendiri, tetapi kehendak Tuhan. Dalam teologi modern, paham
Jabariyah ini dikenal dengan nama fatalisme atau predestination,
yaitu bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu telah ditentukan
dari sejak azali oleh qadha dan qadar Tuhan.
Kesimpulan
1. Persoalan yang dihadapi oleh ahli-ahli teologi Islam sejak dulu antara
lain, apakah perbuatan manusia itu sepenuhnya terikat pada
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, ataukah manusia diberi
kebebasan untuk berbuat sesuatu.
2. Paham Jabariyah timbul karena lingkungan alam padang pasir yang
panas, tandus dan gersang, serta gunung-gunungnya yang gundul,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka hanya menggantungkan
nasibnya pada kehendak dan takdir Tuhan. Karena mereka tidak
kuasa untuk mengubah alam yang ganas itu.
QADARIYAH
Kesimpulan
1. Persoalan yang dihadapi oleh ahli-ahli teologi Islam sejak dulu antara
lain, apakah perbuatan manusia itu sepenuhnya terikat pada
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, ataukah manusia diberi
kebebasan untuk berbuat sesuatu.
2. Menurut paham Qodariyah, manusia mempunyai kebebasan untuk
berbuat dan menentukan cara hidupnya, sesuai dengan yang
dikehendakinya. Menurut paham Jabariyah, manusia tidak
mempunyai kebebasan untuk berkehendak dan menentukan
perbuatannya sendiri. Semua kehendak dan perbuatan manusia sudah
ditentukan oleh Tuhan sejak azali.
MU’TAZILAH
Kesimpulan
1. Aliran Mu'tazilah muncul kira-kira pada permulaan abad pertama
Hijriah di kota Basrah (Irak).
2. Kata Mu'tazilah muncul dari peristiwa Wasil dengan Hasan Basri
mengenai kedudukan orang yang berbuat dosa besar, yang berakhir
Wasil menjauhkan diri dari tempat Hasan Basri. Menurut Pendapat
Al-Mas’udi bahwa ke-mu’tazilahan itu mula-mula muncul merupakan
sifat dari orang yang berbuat dosa besar (jauh dari golongan mukmin
dan kafir), yang kemudian sifat atau nama itu diberikan kepada
golongan yang berpendapat demikian. Sedangkan menurut Ahmad
Amin, sebutan Mu'tazilah muncul di sekitar pertikaian antara Ali bin
Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Golongan yang tidak ikut bertikai
mengatakan bahwa orang-orang yang bertikai telah menyeleweng
dan harus dijauhi (i’tazalna).
3. Tokoh-tokoh aliran Mu'tazilah antara lain: Wasil bin Atha, Abu Huzail
bin Huzail Al-Allaf, Bisyir bin Al-Mu’tamar, Ibrahim bin Sayyar bin
Hani An-Nazzham, Abu Ali Muhammad bin Ali Jubba’i, Abu Husein AlKhayyat, Al-Qadhi Abd al-
Jabbar, dan Jarullah Abdul Qasim
Muhammad bin Umar Az-Zamakhsyari.
4. Ajaran-ajaran pokok aliran Mu'tazilah adalah: At-Tauhid (KeMahaesaan Tuhan), Al-Adl
(Keadilan), Al-Wa’d wal Wa’id (Janji dan
Ancaman), Al-Manzilah bain al-Manzilatain (Posisi diantara dua
posisi), dan Amar ma’ruf Nahi Munkar (Menyuruh Berbuat Baik dan
Melarang Berbuat Jahat).
SYIAH
Sedangkan Qurais Shihab dengan mengutip pendapat Ali Muhammad al-Jurjani mendefinisikan
bahwa Syiah, yaitu mereka yang mengikuti Sayyidina Ali ra dan percaya bahwa beliau adalah
Imam sesudah Rasul saw. Dan percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan keturunannya.
Pendapat Shihab ini lebih mencerminkan sebagian dari golongan dalam Syiah-untuk sementara
ini dapat diterima karena telah mencerminkan definisi untuk kelompok Syiah terbesar yaitu Syiah
Itsna Asyariyah. (Shihab 2007). Syiah adalah kenyataan sejarah umat Islam yang terus
bergulir.Lebih dari 1.000 tahun, Syiah mengalami perjalanan sejarah, tidak serta merta hadir
dipanggung perdebatan dan konflik sosial seperti saat ini.
Syiah menurut etimologi bahasa arab bermakna pembela dan pengikut seseorang, selain itu juga
bermakna setiap kaum yang berkumpul diatas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61 karya
Azhari dan Taajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi)
Adapun menurut terminologi syariat, syiah bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin
Abu Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum
muslimin, begitu pula sepeninggal beliau (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal karya Ibnu
Hazm)
Syiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan. Pada masa kekhalifahan
Abu Bakar, Umar, masa-masa awal kekhalifahan Utsman yaitu pada masa tahun-tahun awal
jabatannya, Umat islam bersatu, tidak ada perselisihan. Kemudian pada akhir kekhalifahan
Utsman terjadilah berbagai peristiwa yang mengakibatkan timbulnya perpecahana, muncullah
kelompok pembuat fitnah dan kezhaliman, mereka membunuh Utsman, sehingga setelah itu
umat islam pun berpecah-belah.
Pada masa kekhalifahan Ali juga muncul golongan syiah akan tetapi mereka menyembunyikan
pemahaman mereka, mereka tidak menampakkannya kepada Ali dan para pengikutnya.
Golongan yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Ketika mengetahui sekte ini Ali membakar
mereka dan membuat parit-parit di depan pintu masjid Bani Kandah untuk membakar mereka.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Suatu
ketika Ali memerangi dan membakar orang-orang zindiq (Syiah yang menuhankan Ali). Andaikan
aku yang melakukannya aku tidak akan membakar mereka karena Nabi pernah melarang
penyiksaan sebagaimana siksaan Allah (dibakar), akan tetapi aku pasti akan memenggal batang
leher mereka, karena Nabi bersabda:
من بدل دينه فاقتلوه
“Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah ia“
Golongan Sabbah (pencela). Ali mendengar tentang Abu Sauda (Abdullah bin Saba’) bahwa ia
pernah mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya. Ada yang mengatakan bahwa Ali
mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diri
Golongan Mufadhdhilah, yaitu mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar.
Padahal telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi Muhammad bahwa beliau bersabda,
خير هذه األمة بعد نبيها أبو بكر ثم عمر
“Sebaik-baik umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakar dan Umar”.
Riwayat semacam ini dibawakan oleh imam Bukhari dalam kitab shahihnya, dari Muhammad bin
Hanafiyyah bahwa ia bertanya kepada ayahnya, siapakah manusa terbaik setelah Rasulullah, ia
menjawab Abu Bakar, kemudian siapa? dijawabnya, Umar.
Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima sekte yang utama yaitu Kaisaniyyah,
Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut lahir sekian
banyak cabang-cabang sekte lainnya.
Dari lima sekte tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah sekte imamiyyah atau
rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini senantiasa berjuang keras untuk menghancurkan islam
dan kaum muslimin, dengan berbagai cara kelompok ini terus berusaha menyebarkan berbagai
macam kesesatannya, terlebih setelah berdirinya negara syiah, Iran yang menggulingkan rezim
Syah Reza Pahlevi.
Rafidhah menurut bahasa arab bermakna meninggalkan, sedangkah dalam terminologi syariat
bermakna mereka yang menolak kepemimpinan abu bakar dan umar, berlepas diri dari
keduanya, mencela lagi menghina para sahabat nabi.
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah
itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar.”
(ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hlm. 567, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan
para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121
H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari berkata, “Tatkala Zaid bin ‘Ali muncul di Kufah, di tengah-tengah
para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr
dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya)
meninggalkannya. Maka beliaupun mengatakan kepada mereka:
Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid
kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36).
Pencetus paham syiah ini adalah seorang yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama
Abdullah bin saba’ al-himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan Utsman bin
Affan.
Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih
kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bin Shaba menampakkan sikap
ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam
(khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).
Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali
bin Abi Thalib. Ali yang mengetahui sikap berlebihan tersebut kemudian memerangi bahkan
membakar mereka yang tidak mau bertaubat, sebagian dari mereka melarikan diri.
Abdullah bin Saba’, sang pendiri agama Syi’ah ini, adalah seorang agen Yahudi yang penuh makar
lagi buruk. Ia disusupkan di tengah-tengah umat Islam oleh orang-orang Yahudi untuk merusak
tatanan agama dan masyarakat muslim. Awal kemunculannya adalah akhir masa kepemimpinan
Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Kemudian berlanjut di masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali bin Abi
Thalib. Dengan kedok keislaman, semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan bertopengkan
tanassuk (giat beribadah), ia kemas berbagai misi jahatnya. Tak hanya aqidah sesat (bahkan
kufur) yang ia tebarkan di tengah-tengah umat, gerakan provokasi massa pun dilakukannya untuk
menggulingkan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Akibatnya, sang Khalifah terbunuh dalam keadaan
terzalimi. Akibatnya pula, silang pendapat diantara para sahabat pun terjadi. (Lihat Minhajus
Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 8/479, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah Ibnu Abil
‘Izz hlm. 490, dan Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hlm. 123)
Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah
membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah, sekte syiah yang paling
ringan kesalahannya.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai sebuah nama, tidaklah muncul pada masa Rasulullah saw
sebab pada saat itu umat Islam masih bersatu. Pada masa Rasulullah saw seseorang yang
memeluk Islam, cukup disebut muslim atau mukmin.
Setelah Nabi saw wafat dan setelah lahir beragam aliran sempalan dalam sejarah umat Islam
seperti khawarij, syi’ah, Qadariyah dan lain-lain, pasca terbunuhnya khalifah Usman bin Affan
dan terjadinya konflik internal dikalangan umat Islam, maka generasi yunior sahabat Nabi saw
seperti Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar dan Abu Said al-Khudri, memberikan nama
kelompok mayoritas kaum muslimin yang masih konsisten dengan ajaran dan pemikiran awal
Islam yang dibawa oleh Nabi saw dan dipraktekkan para sahabat assabiqunal awwalun minal
muahjrin wal anshor dengan nama Ahlussunnah wal Jam’ah.
Tidak semua aliran keislaman menyandang nama Ahlussunnah wal Jama’ah, Misalnya:
- Aliran Muktazilah menyebut dirinya Ahlul Adli wa al-Tauhid (pengusung keadilan dan tauhid).
- Aliran Khawarij menyebut dirinya al-Syurat (aliran yang menjual dirinya kepada Allah swt) dll.
Pasca abad ketiga Hijriyah, nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah diklaim 2 aliran yang mengikuti pola
keagamaan bermadhab:
1. Kelompok mayoritas umat Islam pengikut madhab al- Asy’ari dan al-Maturidi. Termasuk
Fudhala’ al-Hanabilah (arus utama penganut madhab Hanbali yang tergabung dalam madhab al-
Asy’ari dan al-Maturidi).
2. Kelompok Minoritas yang mengikuti paradigma pemikiran Ibnu Taimiyyah al-Hanbali, Ghulat
al-hanabilah (ektrimitas penganut madhab Hanbali) belakangan dikenal aliran Wahabi dan salafi
yang mengikuti paradigma pemikiran tekstualis, statis dan verbalis.
3. Secara historis term Aswaja baru dianggap resmi dalam bentuk madhab pada periode zaman
al-Asy’ari dan al-Maturidi).
4. Dari segi paham telah berkembang sejak zaman Ali bin Abi Thalib.
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka adalah golongan orang-orang kafir”. Tentu dalam hal ini yang
bersangkutan dengan aqidah, lalu;
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah
maka mereka adalah orang-orang yang dhalim”. Dalam hal ini urusan yang berkenaan
dengan hak-hak sesama manusia
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah
maka mereka adalah golongan orang-orang fasik”. Dalam hal ini yang berkenaan
dengan ibadat dan larangan-larangan Allah.