BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 3
2.1 Pengertian Murji’ah .................................................................................. 3
2.2 Asal-Usul Aliran Murji’ah........................................................................ 4
2.3 Ajaran dalam Murji’ah ............................................................................. 6
2.4 Sekte-sekte dalam Murji’ah ...................................................................... 9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
1. Untuk menguraikan sejarah munculnya aliran Murji’ah.
2. Untuk menguraikan ajaran pokok dalam aliran Murji’ah.
3. Untuk mengulas sekte-sekte dalam aliran Murji’ah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
menamainya. Penamaan tersebut diilhami oleh ayat Al-Qur’an, QS. At-Taubah
(9): 106;
4
Abu Zahirah dalam Nurdin menjelaskan bahwa dalam suasana pertentangan
semacam inilah muncul golongan al-Murji’ah yang ingin bersikap netral dan tidak
mau turut dalam praktik kafir mengkafirkan di antara golongan yang bertentangan
itu. Bagi mereka, sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang
yang dapat dipercaya dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu,
kaum al-Murji’ah tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya
bersalah. Mereka memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan mereka
kepada Tuhan di akhirat kelak.
Dengan sikap tersebut, Murji’ah tidak mengalami tekanan dari Bani
Umayah seperti yang dialami oleh kaum Khawarij dan Sy’iah serta secara tidak
langsung Murji’ah mendukung kekuasaan dinasti Umayah. Sehingga reduplah
nama Murji’ah seiring lenyapnya kekuasaan dinasti Umayah di kemudian hari.
Selain teori yang diungkapkan oleh Nurdin di atas, terdapat beberapa teori
lain tentang asal-usul al-Murji’ah seperti yang tertulis dalam buku Rosihon Anwar
yang berjudul Ilmu Kalam, sebagai berikut:
a. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja’ atau arja’
dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan
dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga
menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai kelompok politik
maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan
Syi’ah dan kaum Khawarij, kelompok ini merupakan musuh berat kaum
Khawarij.
b. Teori kedua mengatakan bahwa, gagasan irja’, yang merupakan basis
doktrin Murji’ah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang
diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad
Al-Hanafiyah sekitar tahun 695 H. Penggagas teori ini menceritakan
bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah , pada tahun 680 H dunia
Islam dikoyak oleh pertikaian sipil. Al-Mukhtar membawa paham Syi’ah
ke Kufah dari tahun 685-687 H; Ibn Zubair mengklaim kekhalifahan di
Mekah hingga yang berada di bawah kekuasaan Islam. Sebagai respon
dari keadaan ini, muncul gagasan irja’ atau penangguhan
(postponenment). Gagasan ini pertama kali dipergunakan oleh cucu Ali
5
dalam surat pendeknya. Dalam surat itu, Al-Hasan menunjukkan sikap
politiknya dengan mengatakan, “Kita mengakui Abu Bakar dan Umar,
tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik
sipil pertama yang melibatkan Utsman, Ali, dan Zubair”. Dengan sikap
politik ini al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia
kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah
revolusioner yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya,
serta menjauhkan diri dari kaum Khawarij yang menolak mengakui
kekhalifahan Muawwiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan si
pendosa Utsman.
c. Teori ketiga menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali
dan Muawwiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin
Ash, seorang kaki tangan Muawwiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi
dua kubu, pro dan kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan
keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim
bertentangan dengan Al-Qur’an, dalam pengertian, tidak bertahkim
berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa
melakukan tahkim itu dosa besar dan pelakunya dihukumi kafir.
Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat bernama Murji’ah, yang
mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, sementara
dosanya diserahkan kepada Allah, apakah Dia akan mengampuni atau
tidak.
Dari seluruh uraian di atas, dapat diketahui bahwa Murji’ah lahir dengan
membawa paham yang sama sekali bertentangan dengan paham Khawarij.
6
Sedangkan dalam bidang teologi, menurut Ahmad Amin dalam Nurdin,
persoalan yang dibicarakan dalam aliran ini berkisar pada pembahasan tentang
iman, kufur, mukmin dan kafir. Persoalan tersebut dibahas dalam aliran ini,
karena melihat golongan Khawarij yang mengkafirkan orang yang melakukan
dosa besar, dan Syi’ah memasukkan ketaatan kepada imam sebagai salah satu
rukun iman.
Kemudian muncullah pendapat Murji’ah mengenai iman, seperti yang
ditulis oleh Nurdin bahwa iman adalah mengetahui Allah dan rasul-rasul-Nya.
Barangsiapa yang mengetahui bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad
utusan Allah, mereka adalah mukmin. Hanya imanlah yang penting dan yang
menentukan mukmin atau tidaknya seseorang, perbuatan tidak berpengaruh dalam
hal ini. Dengan demikian, ucapan dan perbuatan seseorang tidak merusak iman
seseorang.
Oleh karena itu, bagi kaum Murji’ah, seorang yang melakukan dosa besar
dengan iman dalam hatinya tidak dihukumi kafir. Sebaliknya, Khawarij
menghukumi kafir pendosa besar, walaupun masih terdapat iman dalam hatinya.
Dengan demikian, jelas bahwa iman bagi Murji’ah hanya keyakinan dalam hati
yang tidak berkaitan dengan amal atau perbuatan. Dasar teologi yang dibangun
oleh Murji’ah tersebut sangat menguntungkan bagi Bani Umayah.
Secara politis, berarti penguasa Bani Umayah tidak putus kedudukannya
sebagai anggota masyarakat karena melakukan sesuatu yang dianggap dosa oleh
orang Islam. Konsekuensinya pendapat demikian ialah bahwa pemberontakan
terhadap Bani Umayah tidak sah menurut hukum. Dengan demikian maka kaum
Murji’ah merupakan golongan pertama dan utama yang mendukung Bani Umayah
atas dasar agama.
Dengan lindungan dinasti Umayah inilah Murji’ah berkembang, sehingga
timbul perbedaan pendapat antar tokoh didalamnya yang akhirnya memunculkan
sekte-sekte dalam aliran ini. Jumlah sekte dalam aliran ini belum diketahui secara
pasti karena terdapat perbedaan pendapat dari para ahli yang akan dibahas lebih
lanjut pada bagian C.
Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt
merincinya sebagai berikut:
7
a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah
memutuskannya di akhirat kelak.
b. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat
Al-Khalifah Ar- Rasyidun.
c. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang
meakukan dosa besar untuk memperoleh ampunan dari rahmat Allah.
d. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai (madzhab) para skeptis dan
empiris dari kalangan Helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution dalam
Anwar menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:
a. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa
Al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Allah di hari
kiamat kelak.
b. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang
berdosa besar.
c. Meletakkan (pentingnya) iman daripada amal.
d. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara itu, Abu A’la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok
ajaran Murji’ah:
a. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal
dan perbuatan tidak merupakan keharusan. Berdasarkan hal ini,
seseorang tetap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang
difardhukan dan melakukan dosa besar.
b. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di
hati, setiap maksiat tidak mendatangkan mudharat. Untuk
mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan
menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
Selain ajaran-ajaran pokok yang disebutkan oleh para ahli di atas, terdapat
berbagai perbedaan anggapan tentang ajaran dalam aliran ini.
8
2.4 Sekte-sekte dalam Murji’ah
Di bawah kekuasaan Bani Umayah, berkembanglah Murji’ah sehingga
bermunculan tokoh-tokoh yang memiliki corak pemikiran yang berbeda. Dalam
hal ini, terdapat problem yang mendasar ketika pengamat mengklasifikasikan
sekte-sekte Murji’ah. Kesulitannya antara lain adalah ada beberapa tokoh aliran
pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut
Murji’ah, tetapi tidak dikalim penganut lain. Tokoh yang dimaksud adalah Washil
bin Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus Sunnah. Oleh karena itulah,
Ash-Syahrastani, seperti yang dikutip oleh Watt, menyebutkan sekte-sekte
Murji’ah sebagai berikut:
1. Murji’ah Khawarij
2. Murji’ah Qadariyah
3. Murji’ah Jabariyah
4. Murji’ah Murni
5. Murji’ah Sunni
Sementara itu, Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte Murji’ah, yaitu:
1. Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shafwan.
2. Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalahi
3. Al-Yunushiyah, pengikut Yunus As-Samary
4. As-Samriyah, pengikut Abu Samr dan Yunus
5. Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban
6. Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan Al-Ghailan bin Marwan Ad-
Dimsaqy
7. An-Najariyah, pengikut al-Husain bin Muhammad An-Najr
8. Al-Hanafiyah, pengikut Abu Hanifah An-Nu’man
9. Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib
10. Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz Ath-Thaumi
11. Al-Murisiyah, pengikut Basr Al-Murisy
12. Al-Karamiyah, pengikut Muhammad bin Karam As-Sijistany
9
1. Sekte pertama adalah orang-orang yang mengambil sikap irja’ dalam
masalah qadar (takdir) Allah SWT. Dalam sekte ini terdapat beberapa
madzhab, antara lain madzhab Ghilan Ad-Dimsyaqi, madzhab Abu Syamr
dan madzhab Muhammad bin Syabib Al-Bashari. Orang-orang yang
termasuk sekte ini disebut dengan kaum Murji’ah Qadariyyah.
2. Sekte kedua adalah orang yang yang mengambil sikap irja’ dalam masalah
iman. Mereka sefaham dengan kelompok Jahamiyyah yang mengatakan,
manusia sama sekali tidak berkuasa atas perbuatan-perbuatannya karena
yang menciptakan perbuatannya itu adalah Allah SWT. Sekte ini biasa
dikenal dengan nama kelompok Murji’ah Jabariyyah.
3. Sekte ketiga adalah yang terkenal dengan sebutan kelompok Murji’ah
Khalishah. Mereka terbagi menjadi beberapa kelompok kecil, yaitu:
kelompok Yunusiyyah (pengikut Yunus An-Namir), kelompok
Ghassaniyah (pengikut Ghassan bin Abban Al-Kuffi), kelompok
Tsaubaniyyah (pengikut Abu Tsauban Al-Murji’i), kelompok
Taumaniyyah (pengikut Abu Mu’adz At-Taumani), kelompok Murisiyyah
(pengikut Bisyr bin Ghiyats Al-Murisi) dan kelompok Shalihiyyah
(pengikut Shalih bin ‘Amr Ash-Shalihi).
10
menjadi kafir, karena kafir dan imannya seseorang tempatnya bukan dalam bagian
tubuh manusia tetapi dalam hati sanubari. Mereka mengatakan, bahwa orang yang
telah menyatakan iman, meskipun menyembah berhala, melaksanakan ajaran-
ajaran agama Yahudi atau Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya
pada trinitas, kemudian mati, tidaklah menjadi kafir, melainkan tetap mukmin
dalam pandangan Allah. Pandangan serupa ini muncul dari prinsip yang mereka
anut yaitu bahwa iman tempatnya di hati, ia tidak bertambah dan tidak berkurang
karena perbuatan apapun dan amal tidak punya pengaruh apa-apa terhadap iman.
Menurut Nasution dalam Nata, Murji’ah ekstrim ini amat berbahaya jika
diikuti, karena dapat menimbulkan kehancuran dalam bidang akhlak dan budi
pekerti luhur, lebih-lebih pada masyarakat yang dilanda berbagai produk budaya
yang tidak bermoral yang pada gilirannya akan menimbulkan sikap
permissivisme, yakni sikap yang mentolelir penyimpangan-penyimpangan dari
norma akhlak dan moral yang berlaku. Karena dalam pandangan Murji’ah yang
dipentingkan hanyalah iman, maka norma-norma akhlak dapat dianggap kurang
penting dan diabaikan. Inilah sebabnya nama Murji’ah pada akhirnya
mengandung arti tidak baik dan tidak disenangi.
Pandangan kelompok ekstrim tersebut sebagai berikut:
1. Jahamiyah, kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya,
berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian
menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena
iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam
tubuh manusia.
2. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman
adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan.
Salat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah
iman kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat,
puasa, dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan
kepatuhan.
3. Yunusiyah dan Ubudiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan
maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati
dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-peerbuatan jahat yang dikerjakan
11
tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin
Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak
merusak iman seseorang sebagai musyrik (pholitheist).
4. Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan,”saya tahu
Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang
diharamkan itu adaah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin,
bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan, “saya tahu Tuhan
mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah
di India atau tempat lain.”
Pada akhir ulasannya mengenai Murji’ah, Nasution menyimpulkan bahwa
golongan Murji’ah moderat, sebagai golongan yang berdiri sendiri telah hilang
dalam sejarah dan ajaran-ajaran mereka mengenai iman, kufr dan dosa besar
masuk ke dalam aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Adapun golongan Murji’ah
ekstrim juga telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri, tetapi dalam
prakteknya masih terdapat sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajaran
ekstrim itu, mungkin dengan tidak sadar bahwa mereka sebenarnya dalam hal ini
mengikuti ajaran-ajaran golongan Murji’ah ekstrim.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara subtansi, paham irja’ telah ada sejak lama, namun disebut
sebagai suatu golongan tertentu adalah ketika terjadi permasalahan
politik dalam tubuh umat Islam. Golongan ini muncul seiring munculnya
golongan Khawarij, yang keluar dari Ali r.a dan golongan Syi’ah yang
mendukung bahkan memuja Ali r.a . Murji’ah merupakan golongan yang
memilih diam/pasif terhadap aktifitas politik kala itu. Dari ranah politik
ini, golongan Murji’ah masuk ke ranah teologi dan mengalami
perkembangan di bawah kekuasaan Bani Umayah.
Banyak perbedaan terkait doktrin Murji’ah antar tokoh di
dalamnya. Hal yang mendasar dari ajaran Murji’ah ini adalah masalah
iman, kufur dan dosa.
Banyaknya jumlah sekte yang terbentuk, para ahli membagi
Murji’ah menjadi dua kelompok besar, yakni Murji’ah moderat dan
Murji’ah ekstrim.
13
DAFTAR RUJUKAN
.
Abul Hasan Isma’il al-Asy’ari. 1998. Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi
Islam (terj.). Bandung: CV Pustaka Setia.
Al-Hafni, Abdul Mun’im. 2006. Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran,
Mazhab, Partai dan Gerakan Islam (terj.). Jakarta: Soegeng Sarjadi
Syndicate bekerjasama dengan Grafindo Khazanah Ilmu.
Anwar, Rosihon. 2007. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Al-Qur’an Al-Karim. 2016. Al-Qur’an Transliterasi. Solo: PT Tiga
Seragkai Pustaka Mandiri
Nasir, Sahilun A. 2012. Pemikiran Kalam (Teologi Islam)-Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam, Jakarta: UI press
Nata, Abuddin. 1998. Ilmu Kalam, Filsafat danTasawuf. Jakarta:Fajar
Interpratama Offset
Nurdin, M. Amin. 2014. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Rahman, Fazlur. 2001. Gelombang Perubahan dalam Islam-Studi Tentang
Fundamentalisme Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: CV Pustaka Setia.
Wiyani, Novan Ardi. 2015. Ilmu Kalam. Jogjakarta: Teras.
14