Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
2022
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al- Asy’ari menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Prinsip-prinsip Dasar Aliran
Theologi Islam, bahwa perpecahan dalam masyarakat muslim secara implisit muncul
sejak pemberontakan terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan. Kemudian terjadi
perlawanan Mu’awiyah, Talha dan Zubair terhadap Ali karena perebutan kekuasaan
politik.
Untuk mengenal dan memahami pemikiran aliran ini, maka pemakalah memaparkan
sejarah, pokok ajaran dan sekte-sekte yang muncul dalam aliran Murji’ah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya aliran Murji’ah?
2. Apa ajaran pokok dalam aliran Murji’ah?
3. Apa dan berapa sekte dalam aliran Murji’ah?
C. Tujuan
1. Untuk menguraikan sejarah munculnya aliran Murji’ah.
2. Untuk menguraikan ajaran pokok dalam aliran Murji’ah.
3. Untuk mengulas sekte-sekte dalam aliran Murji’ah.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Murji’ah
1. Pengertian Murji’ah
Kata al-Murji’ah adalah bentuk isim fa’il yang mendapat ta’ marbutah (murji’un-
murji’atun). Fi’il madhinya (arja’a)-yurji’u-irja’a, artinya bisa bermacam-macam yaitu
menunda (menangguhkan), memberi harapan dan mengesampingkan. Nurdin menguraikan
ketiga makna tersebut sebagai berikut: 1
a. Menunda (menangguhkan) maksudnya ialah dalam menghadapi sahabat-sahabat
yang bertentangan, mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa yang bersalah.
Sikap mereka adalah menunda dan menangguhkan penyelesaian persoalan
tersebut di hari akhirat kelak di hadapan Allah.
b. Memberi harapan maksudnya ialah orang-orang Islam yang berbuat dosa besar
tidak mrnyeabkan mereka menjadi kafir. Mereka tetap mukmin dan tetap
mendapatkan rahmat Allah meskipun mereka harus masuk lebih dahulu dalam
neraka karena perbuatan dosanya. Nama al-Murji’ah diberikan untuk golongan ini
karena mereka memberi pengharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk
surga.
c. Mengesampingkan maksudnya ialah golongan ini menganggap yang penting dan
diutamakan adalah iman, sedang amal perbuatan hanya merupakan soal kedua,
yang menentukan mukmin atau kafirnya seseorang adalah imannya bukan
perbuatannya. Dengan kata lain perbuatan itu berada di belakang setelah iman
dalam pengertian kurang penting atau dikesampingkan.
Sedangkan Dr. Abdul Mun’im Al-Hafni menjelaskan bahwa irja’ memiliki dua makna;
yang pertama adalah ta’khir (mengakhirkan, maksudnya; kelompok ini sepakat untuk
mengakhirkan amal setelah iman). Sedangkan makna kedua adalah i’tha’u ar-raja’a
(memberikan harapan; pengikut kelompok ini sepakat memberi harapan bagi pelaku dosa
besar, tetap mendapatkan pahala atas keimanannya).2
1
M. Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2014), h. 24
2
Abdul Mun’im Al-Hafni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam
(terj.), (Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate bekerjasama dengan Grafindo Khazanah Ilmu, 2006), h. 808
Belum ada bukti yang pasti mengenai siapa yang menamai golongan ini, Nurdin
menyatakan bahwa terdapat kecenderungan golongan mereka sendiri yang menamainya. 3
Penamaan tersebut diilhami oleh ayat Al-Qur’an, QS. At-Taubah (9): 106;
ِ ِ
)106( يم ٌ وب َعلَْي ِه ْم واهلل َعل
ٌ يم َحك ُ ُألم ِر اهلل َّإما َيت
ْ َوآ َخ ُرو َن ُم ْر َج ْو َن
“Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah;
adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima taubat
mereka. Dan Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(QS. At-Taubah (9): 106 ).
3
M. Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Islam......, h. 25
4
M. Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Islam......, h. 22, lihat Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: CV Pustaka Setia, 2008), h.. 111
5
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam-Studi Tentang Fundamentalisme Islam, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2001), h. 94
6
Ibid., h. 23
Pemimpin Murji’ah ini adalah Hasan bin Bilal Al-Muzni, Abu Salat as-Saman,
Tsauban Dliror bin Umar. Penyair Murji’ah yang terkenal pada pemerintahan Bani Umayah
ialah Tsabit bin Quthanah, mengarang syair kepercayaan-kepercayaan kaum Murji’ah.7
Abu Zahirah dalam Nurdin menjelaskan bahwa dalam suasanan pertentangan semacam
inilah muncul golongan al-Murji’ah yang ingin bersikap netral dan tidak mau turut dalam
praktik kafir mengkafirkan di antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka, sahabat-
sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercaya dan tidak keluar
dari jalan yang benar. Oleh karena itu, kaum al-Murji’ah tidak mengeluarkan pendapat
tentang siapa yang sebenarnya bersalah. Mereka memandang lebih baik menunda
penyelesaian persoalan mereka kepada Tuhan di akhirat kelak.8
Dengan sikap tersebut, Murji’ah tidak mengalami tekanan dari Bani Umayah seperti
yang dialami oleh Khawarij dan Syiah serta secara tidak langsung Murji’ah mendukung
kekuasaan dinasti Umayah. Sehingga reduplah nama Murji’ah seiring lenyapnya kekuasaan
dinasti Umayah dikemudian hari.
Selain teori yang diungkapkan oleh Nurdin di atas, terdapat beberapa teori lain tentang
asal-usul al-Murji’ah seperti yang tertulis dalam buku Rosihon Anwar yang berjudul Ilmu
Kalam, sebagai berikut:9
a. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja’ atau arja dikembangkan oleh
sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika
terjadi pertikaian politik dan juga menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik sebagai
kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan
kemunculan Syi’ah dan Khawarij, kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.
7
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam)-Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2012), h. 152
8
Ibid. Lihat juga Muhammad Abu Zahirah, Tarikh al-Mazahib al-Islami, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi), h.
221
9
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), h. 56
b. Teori kedua10 mengatakan bahwa, gagasan irja’, yang merupakan basis doktrin
Murji’ah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu
Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah sekitar tahun 695 H.
Penggagas teori ini menceritakan bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah , pada
tahun 680 H dunia Islam dikoyak oleh pertikaian sipil. Al-Mukhtar membawa
paham Syi’ah ke Kufah dari tahun 685-687 H; Ibn Zubayr mengklaim kekhalifahan
di Mekah hingga yang berada di bawah kekuasaan Islam. Sebagai respon dari
keadaan ini, muncul gagasan irja’ atau penangguhan (postponenment). Gagasan ini
pertama kali dipergunakan oleh cucu Ali dalam surat pendeknya. Dalam surat itu,
Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan, “Kita mengakui Abu
Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada
konflik sipil pertama yang melibatkan Utsman, Ali dan Zubayr”. Dengan sikap
politik ini al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia kemudian
mengelak berdampingan dengan kelompok Syiah revolusioner yang terlampau
mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang
menolak mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan alasan bahwa ia adalah
keturunan si pendosa Utsman.
c. Teori ketiga menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan
Muawiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki
tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, pro dan kontra.
Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij.
Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dalam
10
Dalam Al-Hafni dijelaskan dengan uraian yang berbeda, bahwa sebagian orang berpendapat, yang
pertama kali mengenalkan paham irja’ adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib atau yang dikenal
sebagai Abu Hanafiyyah. Ia telah menulis sejumlah kitab yang disebarluaskan ke berbagai penjuru. Menurutnya,
orang yang berbuat dosa besar tidak dihukumi sebagai orang kafir, sebab ketaatan seseorang melakukan untuk
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya bukan merupakan dasar iman. Oleh karena itu,
hilangnya ketaatan seseorang tidak akan menyebabkan hilangnya keimanannya. Diriwayatkan pula dari Bukhari,
Muslim dan Ibnu Hibban, dari Al-A’masy, Zubaid bin Harits dan Sulaiman bin Harb ia berkata “Aku pernah
menanyakan kepada Abu Wa’il tentang paham Murji’ah, ia menjawab, Abdullah telah menceritakan kepadaku
bahwa Nabi Saw bersabda: “Mencaci orang Muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya adalah
perbuatan kufur”. Dan diriwayatkan dari Abu Daud Ath-Thayalisi dari Syu’bah dari Zubaid ia berkata “Ketika
faham Murji’ah muncul, aku mendatangi Abu Wa’il dan aku menyebutkan kepadanya tentang hal itu”. Dari
riwayat yang kedua ini, dapat dipahami bahwa pertanyaan Zubaid tersebut mengenai akidah kaum Murji’ah dan
pertanyaan tersebut ditujukan kepada Abu Wa’il pada saat munculnya kelompok Murji’ah. Dalam sejarah, Abu
Wa’il wafat pada tahun 99 H atau menurut sebagian yang lain, pada tahun 82 H. Dari sini, dapat disimpulkan
bahwa paham Murji’ah bukanlah merupakan paham yang baru tetapi ia telah ada sejak lama. Bahkan Al-Hafni
menulis dalam bukunya bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Kaum Murji’ah dilaknat oleh Allah SWT melalui
mulut 70 Nabi”. Seorang sahabat bertanya, “Siapa yang dimaksud dengan kaum Murji’ah? ” Rasulullah
menjawab, “Yaitu orang-orang yang mengatakan bahwa iman adalah ucapan saja”. Dari uraian ini, dapat
disimpulkan bahwa substansi paham irja’ telah lama ada. Lihat Abdul Mun’im Al-Hafni, Ensiklopedia
Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam (terj.), (Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate
bekerjasama dengan Grafindo Khazanah Ilmu, 2006), h. 809
pengertian, tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka
berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar dan pelakunya dihukumi kafir.
Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat bernama Murji’ah, yang mengatakan
bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, sementara dosanya diserahkan kepada
Allah, apakah Dia akan mengampuni atau tidak.
Dari seluruh uraian di atas, dapat diketahui bahwa Murji’ah lahir dengan membawa
paham yang sama sekali bertentangan dengan paham Khawarij.
11
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam....., h. 58
12
M. Amin Nurdin, Sejarah Pemikiran Islam....., h. 25
13
Ibid., h. 26
14
Novan Ardi Wiyani, Ilmu Kalam, (Jogjakarta: teeras, 2015), h. 67
Dasar teologi yang dibangun oleh Murji’ah tersebut sangat menguntungkan bagi Bani
Umayah.
Secara politis, berarti penguasa Bani Umayah tidak putus kedudukannya sebagai
anggota masyarakat karena melakukan sesuatu yang dianggap dosa oleh orang Islam.
Konsekuensinya pendapat demikian ialah bahwa pemberontakan terhadap Bani Umayah
tidak sah menurut hukum. Dengan demikian maka kaum Murji’ah merupakan golongan
pertama dan utama yang mendukung Bani Umayah atas dasar agama.15
Dengan lindungan dinasti Umayah inilah Murji’ah berkembang, sehingga timbul
perbedaan pendapat antar tokoh didalamnya yang akhirnya memunculkan sekte-sekte dalam
aliran ini. Jumlah sekte dalam aliran ini belum diketahui secara pasti karena terdapat
perbedaan pendapat dari para ahli yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian C.
Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai
berikut:16
a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah
memutuskannya di akhirat kelak.
b. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah
Ar- Rasyidun.
c. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang meakukan dosa
besar untuk memperoleh ampunan dari rahmat Allah.
d. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai (madzhab) para skeptis dan empiris dari
kalangan Helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution dalam Anwar
menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:17
a. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari
yang terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Allah di hari kiamat kelak.
b. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c. Meletakkan (pentingnya) iman daripada amal.
d. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat dari Allah.
15
Ibid., h. 27, lihat juga W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam (terj.), Basalim
dari PPP dan M, (T. tp: Jakarta, 1987), h. 43
16
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam....., h. 58
17
Ibid., h. 58-59
Sementara itu, Abu A’la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran
Murji’ah:18
a. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal dan
perbuatan tidak merupakan keharusan. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap
mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardhukan dan melakukan
dosa besar.
b. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap
maksiat tidak mendatangkan mudharat. Untuk mendapatkan pengampunan,
manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan
akidah tauhid.
Selain ajaran-ajaran pokok yang disebutkan oleh para ahli di atas, terdapat berbagai
perbedaan anggapan tentang ajaran dalam aliran ini.
a. Iman
Tentang iman terdapat duabelas kelompok anggapan. 1) Kelompok pertama
ialah Jahamiyyah, para pengikut Jaham ibn Shafwan, mereka beranggapan bahwa
iman meliputi pengenalan terhadap-Nya, Rasul-Nya dan apapun yang
didatangkan-Nya sedangkan amal baik tidak termasuk iman. Lebih jauh
kelompok ini beranggapan bahwa seseorang yang mengenali Allah kemudian
mengingkari Allah secara lisan tidak dianggap kufur (karena perbuatan bukan
termasuk iman), 2) Kelompok kedua ialah pengikut Abu al-Husein al-Shali
dimana mereka beranggapan bahwa iman hanya pengenalan terhadap Allah
semata dan kufur pun hanya kejahilan atas-Nya sehingga tiadalah keimanan tanpa
mengenal-Nya dan tiada pula kekufuran kalau tidak jahil atas-Nya. Oleh karena
itu seseorang yang mengatakan Allah itu ada tiga tidak dianggap kafir kecuali
secara dhahir sebagai orang kafir. Sebab kaum muslimin pun bersepakat
18
Ibid., h. 59
19
Abul Hasan Isma’il al-Asy’ari, Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (terj.), (Bandung: CV
Pustaka Setia, 1998), h. 196-219
(menurut anggapan mereka) tidak mengkufurkan perkataan seseorang kalau dia
bukan orang kafir, 3) Kelompok ketiga ialah pengikut Yunus al-Samiri, dimana
mereka beranggapan bahwa iman itu pengenalan terhadap-Nya, patuh atas-Nya,
tidak bersikap sombong kepada-Nya dan mencintai-Nya. Mereka beranggapan
seseorang tidak disebut mukmin kecuali pada dirinya terhimpun hal-hal tersebut.
Kadang-kadang mereka menyebut kafir jika seseorang itu meninggalkan salah
satu dari hal itu, sekalipun Yunus al-Samiri konon tidak beranggapan begitu.
Sedangkan kelompok keempat 4) ialah para pengikut Syamriyyah (pengikut
Abu Syamr dan Yunus), mereka beranggapan bahwa iman itu pengenalan
terhadap Allah, patuh atas-Nya, mencintai-Nya sepenuh hati dan menyatakan
ikrar bahwa Dia itu Esa tanpa sesuatu apapun yang menyerupai-Nya. Maka
mereka menganggap iman itu ialah menyatakan dan membenarkan semua hal ini,
sementara pengenalan terhadap sesuatu yang didatangkan Allah termasuk iman,
5) Kelompok kelima ialah pengikut Tsaubaniyyah, para pengikut Abu Tsauban.
Mereka menganggap iman itu menyatakan ikrar kepada Allah, rasul-Nya,
terhadap apa pun yang boleh secara akal untuk tidak diperbuat. Karena itu iman,
menurut anggapan mereka, bukanlah sekedar mengenal Allah semata, 6)
Kelompok keenam, Najariyyah, ialah para pengikut Muhammad al-Najar. Mereka
beranggapan bahwa iman itu pengenalan terhadap Allah, rasul-Nya, segenap
kewajiban dari-Nya, patuh atas semua yang diwajibkan-Nya dan menyatakan
ikrar secara lisan. Karena itu kalau seseorang tidak mengenal semua hal ini
ataupun hanya mengenalnya tanpa menyatakan ikrar niscaya dia pun disebut
sebagai orang kafir. 7) Kelompok ketujuh ini, Ghailaniyyah ialah para pengikut
Ghailani. Mereka beranggapan bahwa, iman itu pengenalan terhadap Allah
berdasarkan akal dan dalil-dalil-Nya, mencintai-Nya, mematuhi-Nya, menyatakan
ikrar kepada rasul-Nya dan atas segenap yang didatangkan-Nya.
Kemudian 8) Kelompok kedelapan ini ialah para pengikut Muhammad ibn
Syabib, beraggapan bahwa Dia adalah Esa tanpa sesuatu yang menyerupai-Nya,
iman itu menyatakan ikrar kepada Allah dan mengakui segala yang didatangkan
oleh Allah kepada orang muslim melalui Rasulullah SAW seperti halnya salat,
puasa dan lainnya, 9) Kelompok kesembilan ialah para pengikut Hanifah yang
dikenal sebagai Hanafiyyah, iman itu mengenal dan menyatakan ikrar kepada
Allah, rasul-Nya dan apapun yang didatangkan Allah secara total, 10) Kelompok
kesepuluh, Tumaniyyah ialah para pengikut Abu Mu’adz al-Tumani. Mereka
beranggapan bahwa iman itu merupakan hal yang menghindarkan seseorang dari
kekufuran, yang penamaan tersebut diberikan untuk beberapa hal dan kalau
seseorang meninggalkan hal ini ataupun sebagainya, niscaya dia pun disebut
orang kafir, 11) Kelompok kesebelas, Marisiyyah ialah pengikut Bisyr al-Marisi.
Mereka beranggapan bahwa iman merupakan pembenaran (tashdiq) secara lisan
dan hati, (12 Kelompok keduabelas, Karamiyyah ialah pengikut Muhammad ibn
Karam. Mereka beranggapan bahwa iman itu menyatakan ikrar dan pembenaran
secara lisan, bukan dengan sepenuh hati. Bahkan orang munafik di zaman
Rasulullah pun menurut anggapan mereka pada dasarnya adalah mukmin. Karena
itu disebut kufur jika mengingkari-Nya secara lisan.
b. Batasan Kufur
Tentang hal ini terbagi menjadi tujuh kelompok anggapan. 1) Kelompok
pertama ialah pengikut Jahamiyyah yang beranggapan kufur itu merupakan
sesuatu hal yang berkenaan dengan hati dimana hati tidak mengenal (jahl)
terhadap Allah SWT, 2) Kelompok kedua beranggapan bahwa kufur itu
merupakan banyak hal yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, 3)
Kelompok ketiga ...20, 4) Kelompok keempat beranggapan bahwa kufur terhadap
Allah itu mendustakan-Nya, membangkang terhadap-Nya dan mengingkari-Nya
secara lisan. Karena itu tidaklah kekufuran kecual dengan lisan dan bukan
selainnya, anggapan ini dikemukakan oleh Muhammad ibn Karam dan para
pengikutnya, 5) Kelompok kelima beranggapan bahwa kufur itu membangkang,
melawan dan mengingkari Allah baik sepenuh hati ataupun secara lisan, 6)
Kelompok keenam ialah pengikut Abu Syamr, 7) Kelompok ketujuh ialah para
pengikut Muhammad ibn Syabib.
Adapun sebagian besar pengikut murji’ah tidak mengkufurkan seseorang yang
mentakwilkan Al-Qur’an bahkan tidak mengkufurkan siapapun selain yang
kekufurannya itu telah disepakati oarang-orang Islam.
c. Perbuatan Maksiat
Tentang hal ini terbagi menjadi dua kelompok anggapan. 1) Kelompok
pertama ialah para pengikut Bisyr al- Marisi yang beranggapan bahwa segenap
perbuatan maksiat terhadap Allah itu termasuk dosa besar, 2) Kelompok kedua
beranggapan bahwa perbuatan maksiat ini ada dua macam, yang termasuk dosa
besar dan dosa kecil.
20
Kelompok ini tidak dijelaskan oleh Al-Asy’ari
d. Orang yang Taqlid dalam Keimanan
Tentang hal ini terpecah menjadi dua kelompok anggapan. 1) Kelompok
pertama beranggapan bahwa seseorang yang itikadnya atas keesaan Allah itu
taqid tanpa melalui pemikiran, niscaya dia tidaklah disebut mukmin, 2)
Kelompok kedua beranggapan bahwa seseorang yang itikadnya atas keesaan
Allah itu taqlid tanpa melalui pemikiran, niscaya dia tetaplah disebut mukmin.
e. Kabar yang Didatangkan Allah
Tentang hal ini terpecah menjadi tujuh kelompok anggapan. 1) Kelompok
pertama beranggapan bahwa menyetujui kebenaran kabar yang didatangkan Allah
SWT jika Dia menyatakan akan menyiksa hamba-Nya yang melakukan dosa
besar. Difirmankannya:
Artinya: “Sesungguhnya, Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia pun
hanya mengampuni dosa selain (syirik) itu, bagi yang dikehendaki-Nya”. (QS.
An-Nisa’ (4): 48)
s. Qadar
Aliran Murji’ah berbeda anggapan mengenai qadar dan terpecah menjadi dua
kelompok: 1) Memiliki anggapan yang sesuai dengan aliran Mu’tazilah, 2)
Mempunyai anggapan sebaliknya, yang menisbatkan qadar itu datang dari Allah.
t. Nama-nama dan Sifat-sifat Allah
Para pengikut aliran Murji’ah berbeda anggapan tentang nama dan sifat Allah,
sebagian sesuai dengan aliran Mu’tazilah, sementara sebagian lainnya bersesuaian
dengan anggapan Abdullah ibn Muhammad ibn Kullab.
1. Murji’ah Khawarij
2. Murji’ah Qadariyah
3. Murji’ah Jabariyah
4. Murji’ah Murni
5. Murji’ah Sunni
1. Sekte pertama adalah orang-orang yang mengambil sikap irja’ dalam masalah qadar
(takdir) Allah SWT. Dalam sekte ini terdapat beberapa madzhab, antara lain madzhab
Ghilan Ad-Dimsyaqi, madzhab Abu Syamr dan madzhab Muhammad bin Syabib Al-
Bashari. Orang-orang yang termasuk sekte ini disebut dengan kaum Murji’ah
Qadariyyah.
2. Sekte kedua adalah orang yang yang mengambil sikap irja’ dalam masalah iman.
Mereka sefaham dengan kelompok Jahamiyyah yang mengatakan, manusia sama
sekali tidak berkuasa atas perbuatan-perbuatannya karena yang menciptakan
perbuatannya itu adalah Allah SWT. Sekte ini biasa dikenal dengan nama kelompok
Murji’ah Jabariyyah.
3. Sekte ketiga adalah yang terkenal dengan sebutan kelompok Murji’ah Khalishah.
Mereka terbagi menjadi beberapa kelompok kecil, yaitu: kelompok Yunusiyyah
(pengikut Yunus An-Namir), kelompok Ghassaniyah (pengikut Ghassan bin Abban
Al-Kuffi), kelompok Tsaubaniyyah (pengikut Abu Tsauban Al-Murji’i), kelompok
Taumaniyyah (pengikut Abu Mu’adz At-Taumani), kelompok Murisiyyah (pengikut
Bisyr bin Ghiyats Al-Murisi) dan kelompok Shalihiyyah (pengikut Shalih bin ‘Amr
Ash-Shalihi).
Jumlah sekte-sekte Murji’ah yang tidak sedikit dengan corak pemikiran yang berbeda,
secara garis besar dapat dibagi menjadi dua sekte besar, yaitu Murji’ah moderat dan Murji’ah
ekstrim.
Pada golongan Murji’ah yang moderat berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa
besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai
dengan besarnya dosa yang ia lakukan, dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuninya,
sehingga mereka tidak akan masuk neraka sama sekali. Pada golongan ini terdapat nama al-
Hasan Ibnu Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa Ahli
Hadits.25 Jadi, iman seluruh umat Islam dianggap sama, baik yang hanya beriman dalam hati
tanpa diiringi perbuatan dengan yang taat beribadah.
24
Abdul Mun’im Al-Hafni, Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan
Islam (terj.), (Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate bekerjasama dengan Grafindo Khazanah Ilmu, 2006), h. 809-
810
25
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat danTasawuf, (Jakarta:Fajar Interpratama Offset, 1998), h..34
Adapun golongan Murji’ah ekstrim, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada
Tuhan, kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena kafir dan
imannya seseorang tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia tetapi dalam hati sanubari.
Mereka mengatakan, bahwa orang yang telah menyatakan iman, meskipun menyembah
berhala, melaksanakan ajaran-ajaran agama Yahudi atau Kristen dengan menyembah salib,
menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati, tidaklah menjadi kafir, melainkan tetap
mukmin dalam pandangan Allah. Pandangan serupa ini muncul dari prinsip yang mereka anut
yaitu bahwa iman tempatnya di hati, ia tidak bertambah dan tidak berkurang karena perbuatan
apapun dan amal tidak punya pengaruh apa-apa terhadap iman.26
Menurut Nasution dalam Nata, Murji’ah ekstrim ini amat berbahaya jika diikuti, karena
dapat menimbulkan kehancuran dalam bidang akhlak dan budi pekerti luhur, lebih-lebih pada
masyarakat yang dilanda berbagai produk budaya yang tidak bermoral yang pada gilirannya
akan menimbulkan sikap permissivisme, yakni sikap yang mentolelir penyimpangan-
penyimpangan dari norma akhlak dan moral yang berlaku. Karena dalam pandangan Murji’ah
yang dipentingkan hanyalah iman, maka norma-norma akhlak dapat dianggap kurang penting
dan diabaikan. Inilah sebabnya nama Murji’ah pada akhirnya mengandung arti tidak baik dan
tidak disenangi.27
Pandangan kelompok ekstrim tersebut sebagai berikut:28
1. Jahamiyah, kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya, berpandangan
bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya
secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam
hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
2. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah
mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Salat bukan
merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya
dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa, dan haji bukanlah ibadah,
melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
3. Yunusiyah dan Ubudiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau
perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan
perbuatan-peerbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang
bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan
26
Ibid., h. 35-36
27
Ibid., h. 36
28
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam....., h. 60
jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik
(pholitheist).
4. Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan,”saya tahu Tuhan
melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu
adaah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula
orang yang mengatakan, “saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi
saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau tempat lain.”
29
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI press, 1986), h. 32
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan:
Abul Hasan Isma’il al-Asy’ari. 1998. Prinsip-prinsip Dasar Aliran Theologi Islam (terj.).
Bandung: CV Pustaka Setia.
Al-Hafni, Abdul Mun’im. 2006. Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai
dan Gerakan Islam (terj.). Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate bekerjasama dengan
Grafindo Khazanah Ilmu.
Nurdin, M. Amin. 2014. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Rahman, Fazlur. 2001. Gelombang Perubahan dalam Islam-Studi Tentang
Fundamentalisme Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.