PENUTUP
Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa Islam telah hadir sebagai pelopor lahirnya pemikiran-
pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu dapat kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga
dapat dijadikan alasan bahwa Islam sebagi mana di jumpai dalam sejarah, bukanlah sesempit yang
dipahami pada umumnya, karena Islam dengan bersumber pada al—Quran dan As-Sunnah dapat
berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas.
Sekarang, bagaimana kita menaggapi pemikiran-pemikiran tersebut yang kesemuanya memiliki titik
pertentangan dan persamaan masing-masing dan tentunya pendapat-pendapat mereka memiliki
argumentasi-argumentasi yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits. Namun pendapat mana diantara
pendapat-pendapat tersebut yang paling baik, tidaklah bisa kita nilai sekarang. Karana penilaian
sesungguhnya ada pada sisi Allah yang akan diberikanNya di akhirat nanti.
Penilaiaan baik tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin di lakukan dengan
mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam
sejarah. Disisi lain, kita juga bisa menilai baik tidaknya suatu pendapat atau paham dengan
mengaitkannya pada kenyataan yang berlaku dimasyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan
manusia, dan juga pendapat tersebut banyak di ikuti oleh Manusia.
A. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut
muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.
Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama
Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha'
berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik.
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah
awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan
akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah
semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka
mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak
saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi
pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri,
yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada
dua golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini
tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani
pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan
Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum
Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini
bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang
tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini
muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang
pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji
dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.
BAB III
KESIMPULAN
Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah
(memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan
Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan
pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan
kafir yang berarti ia fasik
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak
pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah
kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah
bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal
dalam beragama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras
dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal.
Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah
berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-
Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian
membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang
semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.
Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad
al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak
setradisional al-Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah.
1. Aliran Syi’ah
Syi’ah adalah golongan yang menyanjung dan memuji Sayyidina Ali secara berlebih-lebihan.
Karena mereka beranggapan bahwa Ali yang lebih berhak menjadi khalifah pengganti Nabi
Muhammad SAW, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifah-khalifah seperti Abu Bakar As Shiddiq,
Umar Bin Khattab dan Utsman Bin Affan dianggap sebagai penggasab atau perampas khilafah.
Sebagaimana dimaklumi bahwa mulai timbulnya fitnah di kalangan ummat Islam biang
keladinya adalah Abdullah Bin Saba’, seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam. Pitnah tereebut
cukup berhasil, dengan terpecah-belahnya persatuan ummat, dan timbullah Syi’ah sebagai firqoh
pertama :
Sebenarnya Syi’ah bermula dari perjuangan politik yaitu khilafah, kemudian berkembang
menjadi agama. Adapun dasar pokok Syi’ah ialah tentang Khalifah, atau sebagaimana mereka
menamakannya Imam. Maka Sayyidina Ali adalah iman sesudah Nabi Muhammad SAW. Kemudian
sambung-bersambung Imam itu menurut urutan dari Allah. Beriman kepada imam, dan taat kepadanya
merupakan sebagian dari iman. Iman menurut pandangan Syi’ah bukan seperi. pandangan Golongan
Ahlus Sunnah. Menurut golongan Ahlus Sunnah, khalifah atau imam adalah wakil pembawa syari’at
(Nabi) dalam menjaga agama. Dia mendorong manusia untuk beramal apa yang diperintahkan Allah.
Dia adalah pemimpin kekuasaan peradilan, pemerintahan dan peperangan. Akan tetapi baginya tidak
ada kekuasaan di bidang syari’at, kecuali menafsirkan sesuatu atau berijtihad tentang sesuatu yang
tidak ada nashnya.
Adapun menurut golongan Syi’ah, imam itu mempunyai pengertian yang
lain, dia adalah guru yang paling besar. Imam pertama telah mewarisi macam-
macam ilmu Nabi SAW. Imam bukan manusia biasa, tetapi manusia luar biasa,
karena dia ma’shum dari berbuat salah. Di sini ada dua macam ilmu yang dimiliki
imam yaitu; ilmu lahir dan ilmu batin. Sungguh Nabi SAW telah mengajarkan Al-
Qur’an dengan makna batin dan makna lahir, mengajarkannya rahasia-rahasia
alam dan masalah-masalah ghaib. Tiap imam mewariskan perbendaharaan ilmu-
ilmu kepada imam sesudahnya. Tiap imam mengajar manusia pada waktunya
sesuatu rahasia-rahasia (asrar) yang mereka mampu memahaminya. Oleh karena
itulah imam merupakan guru yang paling besar. Orang-orang Syi’ah tidak percaya
kepada ilmu dan hadits, kecuali yang diriwayatkan dari imam-imam golongan
Syi’ah sendiri.
Apabila berpadu pada kekuasaan khalifah urusan agama dan politik.
maka perselisihan antara golongan Syi’ah dengan golongan-golongan lainnya
adalah bercorak agama dan politik. Inti ajaran Syi’ah adalah berkisar masalah
khilafah. Jadi masalah politik, yang akhirnya berkembang dan bercampur dengan
masalah-masalah agama. Ajaran-ajarannya. yang terpenting yang berkaitan
dengan khilafah ialah Al’ Ishmah, Al Mahdi, At Taqiyyah dan Ar Raj’ah.
Menurut keyakinan golongan Syi’ah bahwa imam-imam mereka itu sebagaimana para nabi
adalah bersifat Al Ishmah atau ma’shum dalam segala tindak lakunya, tidak pernah berbuat dosa besar
maupun kecil, tidak ada tanda berlaku maksiat, tidak boleh berbuat salah ataupun lupa. Hal itu
didasarkan :
1. Apabila imam boleh berbuat salah, maka akan membutuhkan kepada imam lain untuk memberikan
petunjuk, demikian seterusnya. Oleh karena itu imam tidak boleh salah, dengan perkataan lain hams
ma’shum. Lawan-lawan golongan Syi’ah menolak ajaran tersebut dengan alasan bahwa kebutuhan
terhadap imam itu bukan karena kemungkinan masyarakat berbuat salah, akan tetapi karena fungsi
imam itu sendiri sebagai pelaksana hukum, menolak kerusakan dan memelihara kesucian agama. Tidak
ada kebutuhan dalam tugas itu tentang ma’shumnya imam, tetapi cukup dengan ijtihad dan berlaku
adil.
2. Imam itu adalah pemelihara syari’at, oleh karena imam harus ma’shum. Kalau tidak demikian maka
niscaya membutuhkan pemelihara yang lain. Lawan-lawan mereka menoiaknya dengan alasan bahwa
imam itu bukan pemelihara syari’at, tetapi sebagai pelaksana syari’at. Adapun pemelihara syari’at ialah
para ulama.
Aliran-aliran Syi’ah ada yang moderat dan ada yang radikal. Zaidiyah merupakan aliran yang
paling dekat Sunni, bahkan menolak faham Al-Mahdi dan Ar Raj’ah yang menjadi keparcayaan umum
aliran-aliran Syi’ah.
Syi’ah Az Zaidiyah adalah pengikut Zaid Bin Ali Bin Husain Bin Ali Bin Abi Thalib. Syi’ah
Az Zaidiyah ini adalah firqoh Syi’ah yang paling dekat (tidak banyak menyimpang) kepada Aldus
Sunnah dan yang paling lurus. la tidak mengangkat imam-imamnya sampai pada martabat kenabian,
bahkan juga tidak mengangkatnya ke martabat yang mendekatinya, tetapi mereka menganggap imam-
imam seperti manusia pada umumnya. Hanya saja mereka adalah seutama-utama orang sesudah
Rasulullah SAW. Mereka tidak mengkafirkan seorang pun di antara sahabat-sahabat Nabi dan terutama
orang (Abu Bakar, Umar dan Utsman, pen) yang dibai’at oleh Ali dan mengakui keimanannya.
Aliran Zaidiyyah menolak faham Al Mahdi : “Aliran Zaidiyyah adalah sebagian dari aliran-
aliran dalam Syi’ah, yang sangat terpengaruh oleh ajaran-ajaran Mu’tazilah, karena Zaid pemimpin
aliran Zaidiyyah ini pernah berguru kepada Washil Bin Atho’, pemimpin Mu’tazilah. Mereka sangat
mengingkari sekali terhadap faham Al Mahdi dan Raj’ah, dan dalam kitab-kitabnya mereka menolak
hadits-hadits dan cerita-cerita yang berhubungan dengan hal tersebut.
Syi’ah Ghaliyah atau Ashabu I-Ghulat, golongan Syi’ah yang ajaran-ajarannya telah melampaui
batas (ekstrim). Mereka ada yang berpendapat bahwa imam-imam mereka mempunyai unsur-unsur
ketuhanan. Ada pula yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Kepercayaan tersebut adalah
pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan inkarnasi, reinkamasi, ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen.
Agama Yahudi menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya, sedangkan agama Kristen menyerupakan
makhluk dengan Tuhannya.
Di antara aliran-aliran Al Ghaliyah yang keterlaluan ialah As Saba’iyah, Al ‘Al’Alba’iyah dan
Al Khattabiyah. Aliran As Sabai’yah adalah pengikut Abdullah Bin Saba’, orang Yahudi dari Yaman,
yang pura-pura masuk Islam. Aliran Saba’iyah inilah yang pertama kali menyatakan ajaran tentang
gaibnya imam, raj’ah, menitis (hulul)-nya sifat ketuhanan kepada imam, dan berpindah (tanasukh)-nya
sifat ketuhanan dari seorang imam kepada imam berikutnya.
Aliran Al Khattabiyah, pengikut Abil Khattab Muhammad Bin Abi Zainab Bani Asad. Setelah
dia meninggal, diganti Mu’amar mempunyai ajaran-ajaran yang berlebih-lebihan. Mereka beranggapan
bahwa dunia itu tidak akan rusak. Sesungguhnya surga ialah keadaan yang manusia mendapatkan
kebaikan, kenikmatan dan kesehatan. Dan sesungguhnya neraka ialah keadaan yang manusia
mendapatkan keburukan, kesulitan dan bencana. Mereka menghalalkan khamer, zina, dan semua hal
yang diharamkan. Dan mereka selalu meninggalkan shalat dan fardlu-fardlu lainnya.
Kini, Syi’ah dengan berbagai bentuk alirannya, masih tersebar cukup luas. Di Iran, Syi’ah
merupakan mazhab resmi negara. Di samping itu, Syi’ah terdapat juga di Irak, Pakistan, India dan
Yaman. Monument yang tidak boleh dilupakan yang merupakan jasa Syi’ah, ialah Universitas Al
Azhar Mesir, didirikan pada tahun 359 H = 970 M, oleh Khalifah Al Muiz Lidinillah, dari Bani
Fathimiyah. Semula, di Universitas Al Azhar ini adalah untuk mencetak kader-kader Syi’ah, pejabat-
pejabat penting pemerintah. Namun, bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Bani Fathimiyah dengan
khalifah terakhirnya Al ‘Azid Lidinillah pada tahun 555 H = 1160 M, maka corak Universitas Al Azhar
yang semula berfaham Syi’ah, berganti berfaham Sunni sampai sekarang.
2. Lahirnya Aliran Khawarij
Khawarij ini merupakan suatu aliran dalam kalam yang bermula dari sebuah kekuatan politik.
Dikatakan khawarij (orang-orang yang keluar) karena mereka keluar dari barisan pasukan Ali saat
mereka pulang dari perang Siffin, yang dimenangkan oleh Mu’awiyah melalui tipu daya perdamaian.
Gerakan exodus itu, mereka lakukan karena tidak puas dengan sikap Ali menghentikan peperangan,
padahal mereka hampir memperoleh kemenangan. Sikap Ali menghentikan peperangan tersebut,
menurut mereka, merupakan suatu kesalahan besar karena Mu’awiyah adalah pembangkang, sama
halnya dengan Thalhah dan Zutair. Oleh sebab itu tidak perlu ada perundingan lagi dengan mereka. dan
Ali semestinya meneruskan peperangan sampai para pembangkang itu hancur dan tunduk.
Kemudian orang-orang Khawarij mulai mengafirkan siapa saja yang dianggap melakukan
kesalahan, seperti Utsman bin Affan yang melakukan kesalahan karena mengubah sistem politiknya
sehingga menimbulkan huru-hara. Kemudian Thalhah. Zubair dan Mu’awiyah yang melakukan
pembangkangan terhadap Ali bin Abi Thalih sebagai khalifah yang sah. Dan Ali bin Abi Thalib sendiri
yang melakukan kesalahan karena menghentikan pertempuran dalam perang Siffin, ketika
menaklukkan mu’awiyah yang tidak mau bai’at kepadanya.
Pada awalnya tuduhan kafir tersebut dilontarkan mereka kepada Mu’awiyah, Amru bin Ash, Ali
bin Abi Thalib dan Abu Musa al-Asy’ari, yang keempatnya ini pelaku utama proses tahkim (damai)
untuk mengakhiri peperangan. Namun, tahkim tersebut menurut orang-orang khawarij tidak sesuai
dengan ketentuan ajaran agama, karena Mu’awiyah adalah pembangkang yang seharusnya diperangi
sampai hancur dan tunduk. Dengan demikian, jalan terakhir tersebut tidak sesuai dengan ketentuan
hukum Allah, dan barang siapa menetapkan sesuatu dengan ketentuan yang tidak sesuai dengan hukum
Allah tergolong orang-orang kafir, sebagaimana dikemukakan dalam surah al-Maidah ayat 44 yang
Artinya:
“Barang siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan oleh
Allah adalah kafir”.
Kemudian sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa pada akhirnya mereka mengafirkan
orang-orang yang melakukan kesalahan (dosa) besar, karena tidak mengikuti hukum Allah juga
termasuk suatu kesalahan besar. Kendati semua yang mereka kafirkan itu adalah para pelaku pilitik
yang menuntut pandangannya melakukan kesalahan besar dengan tidak mengikuti norma agama sesuai
Al-Qur’an, namun demikian mereka juga mengafirkan para pelaku dosa besar di luar politik, bahkan
lebih jauh mereka mengafirkan orang-orang yang tidak sependapat dan tidak sealiran dengan mereka.
Akhirnya semakin banyak konflik dan pertempuran akibat pemikiran teologinya itu, sehingga Ali bin
Abi Thalib penguasa sah saat itu menyerang mereka dan menghancurkannya tahun 37 H. Akan tetapi
salah seorang dari mereka ada yang selamat dan membunuh Ali bin Abi Thalib tahun ke-40 H.
Walaupun telah dihancurkan Ali bin Abi Thalib tahun ke-37 H, namun sisa-sisa kekuatan
mereka masih terus bergerak dan berhasil menghimpun kekuatan lagi, sehingga terus melakukan
gerakan oposisi terhadap daulah Umayah. Akan tetapi, kelompok ini rentan sekali sehingga mudah
pecah, dapat dihancurkan kembali oleh Banu Umayah pada tahun 70 H. Sisa-sisanya dari sub sekte
Ibadiyah (sebutan sub sekte Khawarij yang sangat moderat) sampai kink masih ada di Sahara Al-Jazair,
Tunisia, Pulau Zebra, Zanzibar, Omman dan Arabia Selatan, dan tidak melakukan perlawanan politik
apa-apa terhadap penguasa yang sah.
Sesuai dengan uraian diatas, make pemikiran kalam aliran khawarij yang paling menonjol
adalah tentang pelaku dosa besar yang menurut mereka tergolong orang kafir, dan termasuk pada
kategori dosa besar adalah sikap menentang terhadap pemikiran khawarij sehingga orang-orang yang
tidak sepaham dengan mereka tergolong kafir.
Di samping itu, mereka mempunyai pemikiran yang khas tentang definisi iman. Yakni menurut
mereka iman itu adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan
anggota badan. Sejalan dengan definisinya ini, maka orang-orang yang tidak mengamalkan ajaran
agamanya, atau melakukan pelanggaran dalam kategori dosa besar, termasuk kufur, karena amal
mempengaruhi iman.
Dengan demikian pokok-pokok pikiran aliran ilmu kalam mereka dapat disimpulkan sbb :
1) Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah termasuk Kafir
2) Orang yang terlibat perang Jamal yakni perang antara Ali dan Aisyah dan
pelaku arbitrase antara Ali dan Mua’awiyah dihukum Kafir
3) Kholifah menurut mereka tidak harus keturunan Nabi atau suku quraisy
Mempercayai bahwa muhamad bin hanafiah sebagai pemimpin setelah husein Ali wafat
A. Nama kausaniyah diambil dari nama kaisan yaitu nama budak Ali Bin Abuthilib. Mesikpun
sekte(organisasi) ini punah, cerita kebesaran muhamad bin hanafiah dapat di jumpai dalam cerita
rakyat, hikayat ini terkenal sejak abad 15 M di malaka.
B. Saidiyah : Yaitu sekte ini mengakui ke kalifahan Abu bakar & Umar sekte syi’ah mempercayai bahwa
Zaed Bin Ali Bin Husein Zaenal Abidin merupakan peimpin setelah husein bin Ali wafat. Dalam sekte
ini ada 5 syarat untuk dapat di angkat sebagai pemimpin. Yaitu :
1. Berasal dari keturunan Fatimah Binti Muhammad
2. Berpengetahuan luas tentang agama
3. Hidupnya untuk beribadah
4. Jihad di jalan Allah dengan mengangkat senjata
5. Berani
C. Sekte Imamiyah : yaitu sekte Syi’ah yang menunjukan langsung Ali Bin Abitholib untuk menjadi
imam oleh rassulullah Sebagai pengganti beliau. Sehingga sekte ini tidak mengakui Abu bakar dan
Umar.sekte imamyah pecah menjadi 2 golongan, yang terbesar yaitu:
1. Isna Asy’ariah / Syi’ah dua 12
Ismailiyah
3. Lahirnya Aliran Murji’ah
Sejak terjadinya ketegangan politik di akhir pemerintahan Utsman bin Affan, ada sejumlah
sahabat nabi yang tidak mau ikut campur dalam perselisihan politik. Ketika selanjutnya terjadi salah
menyalahkan antara pihak pendukung Ali dengan pihak penuntut bela kematian Utsman bin Affan,
maka mereka bersikap “irja” yakni menunda putusan tentang siapa yang bersalah. Menurut mereka,
biarlah Allah saja nanti di hari akhirat yang memutuskan siapa yang bersalah di antara mereka yang
tengah berselisih ini.
Selanjutnya mereka kaum khawarij berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar itu
menjadi kafir dan kelak akan kekal dalam neraka, maka Kaum Murji’ah berpendapat bahwa mukmin
yang melakukan dosa besar tersebut masih tetap mukmin, yaitu mukmin yang berdosa tidak berubah
menjadi kafir. Lalu apakah mereka akan masuk ke dalam neraka atau surga, atau masuk neraka terlebih
dahulu baru kemudian ke dalam surga, ditunda sampai ada putusan akhir dari Allah. Disamping itu,
khusus bagi para pelaku dosa besar, mereka juga berharap agar mereka mau bertaubat, dan berharap
pula agar taubatnya diterima di sisi Allah SWT.
Karena penundaan semua putusan terhadap Allah, serta senantiasa berharap Allah akan
mengampuni dosa-dosa para pelaku dosa besar tersebut, maka mereka ini kemudian populer disebut
sebagai golongan atau aliran “murji’ah” (orang yang mendapat putusan para pelaku dosa besar sampai
ada ketetapan dari Allah, sambil berharap bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka itu).
Pendirian Murji’ah di atas sangat moderat, sehingga menjadi pendirian umat Islam pada
umumnya tentang mukmin yang berbuat dosa besar. Mereka sendiri kemudian disebut sebagai
penganut aliran Murji’ah moderat. Akan tetapi pada akhir abad pertama dan awal abad kedua hijrah,
muncul orang-orang murji’ah ekstrim yang sangat meremehkan peran amal perbuatan. Mereka
selanjutnya berpendapat bahwa siapa saja yang meyakini keesaan Allah dan ke-Rasulan Muhammad
SAW, adalah orang beriman walaupun selalu melakukan perbuatan buruk. Bahkan seorang tidak boleh
dikatakan kafir kendati sering melakukan ibadah di dalam gereja, karena keimanan itu ada dalam hati,
dan hanya dapat diketahui oleh Allah. Tokoh-tokoh aliran murji’ah ekstrim ini adalah Jaham bin
Shafwan, Abu Hasan al-Shalih, Muqatil bin Sulaiman dan Yunus al-Samiri.
Kaum murji’ah ekstrim ini banyak memperoleh kecaman dari para ulama saat itu, dan tidak
memperoleh pengikut, serta akhirnya lenyap. Sedang murji’ah moderat kemudian menjadi pengikut
aliran Ahlus Sunrah wal Jama’ah.
Pemikiran yang paling menonjol dari aliran ini adalah bahwa pelaku dosa besar tidak dikategori
sebagai orang kafir, karena mereka masih memiliki keimanan dan keyakinan dalam hati bahwa Tuhan
mereka adalah Allah, Rasul-Nya adalah Muhammad, serta Al-Qur’an sebagai kitab ajarannya serta
meyakini rukun-rukun iman lainnya.
Disamping itu, mereka berpendapat bahwa iman itu adalah mengetahui dan meyakini atas ke-
Tuhanan Allah dan ke-Rasulan Muhammad. Mereka tidak memasukkan unsur amal dalam iman,
sehingga amal tidak mempengaruhi iman. Oleh sebab itu pulalah mereka berpendapat bahwa pelaku
dosa besar tetap mukmin, dan tidak terkategori sebagai orang kafir sebagaimana dinyatakan ajaran
khawarij. Sedangkan dosanya harus mereka pertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Dengan demikian pokok-pokok pikiran aliran ilmu kalam mereka dapat disimpulkan sbb:
1) Pengakuan Iman Islam cukup di dalam hatinya saja dan tidak dituntut
membuktikan keimanan dengan perbuatan.
2) Selama seorang muslim meyakini dua kalimat syahadat apabila ia berbuat
dosa besar maka tidak tergolong kafir dan hukuman mereka ditangguhkan di
akhirat dan hanya Allah yang berhak menghukum
4. Lahirnya Aliran Qadariyah
Sebagaimana khawarij dan murji’ab, aliran teologi qadariyah juga lahir dengan dilatarbelakangi
oleh kegiatan politik, yakni pada masa pemerintahan mu’awiyah bin Abu Sufyan, dari Daulah Banu
Umayah. Sepeninggal Ali bin Abi Thalib, tahun 40 H mu’wiyah menjadi penguasa daulah islamiyah.
Dan untuk memperkokoh kekuasaannya itu, dia menggunakan berbagai cara, khususnya dalam
menumpas semua oposisi, bahkan mendiang Ali bin Abi Thalib dicaci maki dalam setiap kesempatan
berpidato termasuk saat berkhotbah Jum’at.
Para ulama yang shalil banyak yang tidak setuju dengan gaya dan cara mu’awiyah, namun
mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk menutupi kesalahan itu, mereka mengembalikan semuanya
kepada Allah bahwa semua yang terjadi atas kehendak-Nya. Isu ini kemudian dimanfaatkan pula oleh
mu’awiyah dalam memimpin daulah islamiyah, bahwa semua yang dilakukan itu atas kehendak Allah.
Dalam suasana inilah muncul Ma’bad al-Jauhani dan Ghailan al-Damasyqi, dua tokoh
pemberani yang melontarkan kritik terhadap mu’awiyah sekaligus menentang pernyataan teologis yang
membenarkan tindakan politiknya. Menurut keduanya, manusia bertanggung jawab untuk menegakkan
kebenaran dan kebaikan serta menghancurkan kedhaliman. Manusia diberi Allah daya dan kekuatan
untuk melakukan suatu perbuatan. Manusia juga diberi kebebasan untuk memilih antara melakukan
sesuatu kebaikan dan keburukan, dan mereka harus mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya
kelak di hari akhir.
Bila manusia memilih untuk melakukan perbuatan baik, maka dia akan memperoleh pahala di
sisi Allah dan akan memperoleh kebahagiaan dalam hidup di akhiratnya kelak. Sedang mereka yang
memilih melakukan perbuatan buruk, akan memperoleh siksa dalam neraka. Manusia tidak boleh
berpangku tangan melihat kedzaliman dan keburukan. Manusia harus berjuang melawan kedzaliman
dan menegakkan kebenaran. Manusia bukanlah majbur (dipaksa oleh Allah). Karena Ma’bad dan
Ghailan ini mengajarkan bahwa manusia memiliki qudrah untuk mewujudkan suatu perbuatan, maka
fahamnya dinamakan faham “qadariyah”.
Kemudian Ma’bab al-Jauhani ikut menentang kekuasaan Bani Umayah dengan membantu
Abdurrahman ibnu al-Asy’ats, gubernur Syijistan yang memberontak melawan daulah Banu Umayah.
Dalam suatu pertempuran tahun 80H. Ma’bad al-Jauhani mati terbunuh. Sedang temannya Ghailan al-
Darmasqi terus menyirakan faham qadariyah itu, dengan banyak melontarkan kritik terhadap Banu
Umayah, dan sering keluar masuk penjara, dan akhirnya dia menjalani hukuman mali pada masa
pemerintahan Hisyam bin Abd al-Malik (105-125 H).
Sesuai dengan uraian diatas, pemikiran yang menonjol dari aliran ini adalah soal perbuatan
manusia dan kekuatan Tuhan. Dalam pandangannya, manusia mempunyai kebebasan untuk
menentukan perbuatannya serta melakukan perbuatannya itu. Dan di akhirat mereka harus
mempertanggungjawabkan semua perbuatan itu. Sejalan dengan pemikirannya ini, mereka berpendapat
bahwa Tuhan telah memberikan daya kepada manusia, serta memberikan aturan-aturan hidup yang
sangat jelas dengan berbagai akibatnya. Ada perbuatan-perbuatan baik yang akan memberi mereka
imbalan pahala dan kebahagiaan akhirat, dan ada pula perbuatan-perbuatan jahat dan ancaman siksaan
mereka bagi yang melanggarnya.
Daya yang diberikan Tuhan itu kemudian menjadi milik manusia sendiri untuk mereka gunakan
melakukan berbagai perbuatan. Kalau mereka gunakan untuk melakukan perbuatan baik sesuai
petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, maka mereka akan memperoleh kebahagiaan. Dan sebaliknya,
kalau mereka gunakan untuk melakukan perbuatan buruk, maka mereka harus mempertanggung
jawabkan semua perbuatannya itu. Inilah yang kemudian disebut dengan konsep keadilan
Tuhan.
Pemikiran mereka ini mempunyai landasan yang cukup kuat antara lain firman Allah dalam
Surat Al-Kahfi ayat 29 yang
Artinya : “Barang siapa mengehendaki (untuk menjadi orang berimab) maka berimanlah, dan barang siapa
menghendaki (untuk menjadi orang kafir) maka kafirlah”.
Artinya:“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu masyarakat bila mereka sendiri tidak
melakukan perubahan apa-apa terhadap dirinya.
Dengan demikian, aliran qadariyah merupakan suatu aliran ilmu kalam yang menekankan
kebebasan manusia dalam melakukan perbuatannya, dan mereka harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya itu di sisi Allah kelak di hari perhitungan. Mereka yang berprestasi dalam melakukan
amal kebajikan akan memperoleh imbalan pahala di dalam surga, sementara yang justru banyak
melakukan perbuatan jahat, serta kurang berprestasi dalam melakukan perbuatan baik, akan terkena
ancaman siksa di dalam neraka. Posisi manusia di surga atau neraka tersebut, menurut aliran ini sangat
tergantung pada perbuatannya selama hidup di dunia ini.
Pemikiran-pemikiran qadariyah ini kemudian diikuti den diteruskan oleh para penganut aliran
mu’tazilah, khususnya pada aspek pemikiran mereka tentang perbuatan manusia, dan kekuasaan mutlak
Tuhan. Yakni bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan kehendak serta perbuatannya,
namun mereka harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di hadapan Tuhan. Aliran
mu’tazilah meneruskan pemikiran qadariyah mi, karena aliran terakhir ini mempunyai kecenderungan
yang sama dalam memahami ajaran-ajaran aqidah, terutama dalam aspek-aspek yang boleh berbeda
pendapat, yaitu pada ajaran-ajaran yang dikemukakan dengan lafal zhanni Aliran qadariyah dan
mu’tazilah sama-sama menganut aliran rasional dalam pemahaman kalam mereka.
5. Lahirnya Aliran Jabariyah
Kalau qadariyah lahir seiring dengan lontaran-lontaran kritik terhadap kekejaman Daulah Banu
Umayah, maka Jabariyah sebaliknya, aliran ini lahir bermula dari ketidak berdayaan dalam menghadapi
kekejaman mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan mengembalikan semuanya atas kehendak dan kekuasaan
Tuhan. Kemudian isu keagamaan ini dipegang oleh mu’awiyah sendiri untuk membenarkan perlakuan-
perlakuan politiknya itu. Oleh sebab itu masa kelahirannya sebenarnya berbarengan dengan kelahiran
qadariyah. Namun pada masa munculnya, yang dipelopori oleh Ja’ad bin Dirham, pemikiran kalam ini
belum berkembang. Dan menjadi satu aliran yang punya pengaruh serta tersebar di masyarakat setelah
dikembangkan oleh Jahm bin Shafwan (W.131 H). Oleh sebab itu, aliran ini sering juga disebut aliran
Jahmiyah.
Dilihat dari segi pemikiran kalamnya, aliran Jabariyah bertolak belakang
dengan qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan
perbuatan yang dilakukan manusia, pada hakikatnya adalah
dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau
siksa, karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Faham bahwa yang
dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya
pahala dan siksa.
Menurut faham ini, manusia tidak hanya bagaikan wayang, yang digerakkan oleh dalang, tapi
manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sementara
nasib mereka di akhirat sangat ditentukan oleh kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Yakni posisi
mereka ditentukan oleh kekuasaan mutlak Tuhan. Pemikiran-pemikiran kalam dari aliran Jabariyah ini
kemudian banyak diserap oleh aliran Asy’ariyah, karena keduanya sama-sama memiliki kecenderungan
untuk mengikuti aliran tradisional, yakni aliran ilmu kalam yang kurang menghargai kebebasan
manusia, serta kurang melakukan pendekatan logika nalar dalam pemikiran kalam mereka.
6. Lahirnya Aliran Mu’tazilah
Lahirnya aliran teologi mu’tazilah tidak terlepas dari perkembangan pemikiran-pemikiran ilmu
kalam yang sudah muncul sebelumnya. Aliran ini lahir berawal dari tanggapan Washil bin Atha’ salah
seorang murid Hasan Bashri di Bashrah, alas pemikiran yang dilontarkan khawarij tentang pelaku dosa
besar. Ketika Hasan Bashri bertanya tentang tanggapan Washil terhadap pemikiran khawarij tersebut,
dia menjawab bahwa para pelaku dosa besar bukan mukmin dan juga bukan kefir. Mereka berada
dalam posisi antara mukmin dan kafir (orang fasik). Kemudian Washil memisahkan diri dari jamaah
Hasan Bashri, dan gurunya itu secara spontan berkata Ttazala ‘anna” (Washil memisahkan diri dari kita
semua). Karena itulah kemudian pemikiran yang dikembangkan Washil menjadi sebuah aliran yang
oleh anggota jamaah Hasan Bashri dinamai dengan “mu’tazilah”.
Kelompok ini kemudian mengembangkan diri dengan memperkaya wawasan keilmuannya
melalui penelaahan mendalam terhadap literatur-literatur Yunani yang berada di pusat-pusat studi
gereja timur, yaitu Antochia, Jundisaphur dan Alexandria. Langkah-langkah kieatif tersebut, mereka
lakukan dalam rangka menghadapi serangan-serangan logika kelompok Kristen terhadap teologi Islam
dan kemudian menghasilkan suatu format pemikiran ilmu kalam yang lebih cenderung menggunakan
pendekatan berpikir filsafat, sehingga aliran ini kemudian terkenal dengan aliran kalam rasional.
Sebenarnya mereka sendiri menanamkan dirinya sebagai ahlu at-tauhid (menjaga ke-Esa-an
Allah) dan ahlu al-’adl (mempercayai dan meyakini penuh akan keadilan Tuhan), karena rumusan-
rumusan pemikiran kalamnya itu benar-benar menjaga kemurnian tauhid dan prinsip keadilan Tuhan.
Dan ajaran-ajaran pokoknya itu tertuang dalam rumusan “Mabadi al-Khamsah” (lima dasar ajaran),
yaitu al-Tauhid, al-’adlu, al-wa’du wa al-wa’id, al-manzilah baina al-manzilatain, serta amar ma’ruf
nahi munkar.
At-tauhid artinya mengesakan Allah, yakni Allah itu benar-benar Esa dalam segala-galanyb,
tidak ada sesuatu pun yang dapat menandingi ke-Esa-annya itu. Sehubungan dengan prinsip Tauhidnya
itu, mu’tazilah menafikan sifat, karena merupakan sesuatu yang berada di luar zat. Kalau ada sifat
berarti ada dua yang qadim yaitu zat dan sifat. Untuk menghindari pemikiran yang akan membawa
kepada kemusyrikan tersebut, mereka nafikan sifat Tuhan, dan seterusnya mereka berpendapat bahwa
sifat-sifat itu adalah zat Tuhan sendiri. Kemudian untuk menjaga prinsip, ketauhidannya itu, Mu’tazilah
juga berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluk, karena kalau bukan makhluk akan ada qadim lain
selain Allah.
Sedangkan al-’adlu adalah suatu prinsip yang mengatakan bahwa Tuhan itu Maha Adil, Dia
akan memberikan imbalan pahala dan jaminan kebahagiaan bagi orang yang tidak berprestasi dalam
melakukan perbuatan-perbuatan baik. Dan dia tidak akan, menyiksa orang-orang shahih. Seiring
dengan prinsip keadilannya itu, maka Allah sudah menetapkan janji dan ancaman senada yang akan
dipatuhi-Nya sendiri. Akan tetapi, prestasi keagamaan setiap orang itu pasti berbeda, bisa saja ada
orang mukmin yang kelakuannya seperti orang kafir. Inilah yang mereka sebut sebagai orang fasik,
yang menempati posisi antara mukmin
dan kafir.
Sedang di akhirat nanti mereka akan tetap memperoleh siksa atas perbuatan-perbuatan dosanya,
namun siksanya tidak sama dengan siksaan orang kafir Untuk menghindari posisi ini, dan agar semua
orang menjadi orang baik, maka mereka mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar sebagai wajib ‘ain.
Dengan demikian kelima dasar ajaran rnu’tazilah ini merupakan suatu rangkaian logis, yang satu sama
lain mempunyai keterkaitan.
Aliran teologi mu’tazilah ini menjadi aliran resmi di Daulah Bani Abbasiah pada zaman
pemerintahan al-Makmun (198-218 H), dan dua khalifah sesudahnya, Mu’tashim (218-227 H) dan al-
Wasiq (227-232 H). Namun dihancurkan kembali oleh al-Mutawakil pada tahun 234 H, sehingga
kekuatan aliran ini kembali lemah dan diganti kemudian dengan aliran Asy’ariyah yang lebih terkenal
dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah. Kesimpulan dari pokok-pokok Mu’tazilah adalah sebagai berikut:
Aliran Mu’tazilah memiliki lima ajaran pokok yaitu :
1. Tauhid (Keesaan Allah SWT)
Terkait hal ini mu’tazilah berpendapat, antara lain :
Mengingkari sifat-sifat Allah SWT, menurut Kaum Mu’tazilah apa yang
dikatakan sifat adalah tak lain dari zat-Nya sendiri;
Al-Qur’an me.nurutnya adalan makhluk (baru);
Allah di akhirat kelak tidak dapat dilihat oleh panca indra manusia,
karena Allah tidak akan terjangkau oleh mata
2. Keadilan Allah SWT
Setiap orang Islam harus percaya akan keadilan Allah, tetapi aliran mu’tazilah, memperdalam
arti keadilan serta menunjukkan batas-batasnya, sehingga menimbulkan beberapa masalah. Dasar
keadilan yang diyakini oleh kaum Mu’tazilah adalah meletakkan pertanggungjawaban manusia atas
segala perbuatannya. Dalam menafsirkan keadilan tersebut mereka mengatakan sebagai berikut :
“Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa
mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, dengan kekuasaan yang
diciptakan-Nya terhadap diri manusia. la hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya. Ia hanya
menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak campur tangan dalam keburukan yang
dilarang-Nya.
Aliran ini berpendapat bahwa Allah akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
apa yang diperbuat manusia. (Mulyadi, 2005, hal. 108)
3. Janji dan Ancaman
Aliran mu’tazilah berpendapat, bahwa Allah tidak akan mengingkari janji-Nya; memberi pahala
kepada orang muslim yang berbuat baik, dan menimpakan azab kepada yang berbuat dosa (Mulyadi,
2005, hal. 108)
4. Posisi di antara dua posisi (al-manzilatu bainal manzilatain)
Karena prinsip ini, Washil bin ‘Atha memisahkan diri dari majlis Hajsan Bashri, seperti yang
disebutkan di atas. Menurut pendapatnya,, seseorang muslim yang mengerjakan dosa besar ia tergolong
bukan mukmin tetapi juga tidak kafir, melainkan menjadi orang fasik. Jadi kefasikan merupakan
tempat tersendiri antara “kufur” dan “iman”. Tingkatan seorang fasik berada di bawah orang mukmin
dan diatas orang kafir.
Jalan tengah ini kemudian berlaku juga dalam bidang-bidang lain. Jalan tengah ini diambil oleh
aliran mu’tazilah dari sumber-sumber agama Islam, yaitu:
a) Al-Qur’an : banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan dan memuji
untuk mengambil jalan tengah seperti (QS. Al-Isra’: 31) “Jangan engkau
jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu dan Jangan pula terlalu
membeberkannya seluruhnya”. Ia juga menggunakan argument (QS. Al-
Baqarah: 137).
b) Al-Hadits : seperti (sebaik-baiknya perkara ialah yang berada di tengah-
tengah) (Mulyadi, 2005, hal 109)
5. Amar makruf dan nahi mungkar
Ajaran mu’tazilah mengenai tuntutan untuk berbuat baik dan mencegah segala perbuatan yang
tercela ini lebih banyak berkaitan dengan fiqh.
Kelima prinsip tersebut merupakan dasar utama yang harus dipegang oleh setiap orang
mu’tazilah dan hal ini sudah menjadi kesepakatan mereka. Akan tetapi mereka berbeda-beda pendapat
dalam soal-soal kecil dan terperinci. ketika memperdalam pembahasan kelima prinsip tersebut dan
menganalisanya dengan didasarkan atas pikiran filsafat Yunani dan Iain-lain. Karena itu sebenarnya
pemikiran aliran mu’tazilah sangat beragam. sebagaimana halnya dengan bermacam-macam aliran
filsafat, seperti Stoic, Epicure. Phytagoras, Neo-Platonismc dan sebagainya, yang k9semuanya disebut
filsafat Yunani. (Mulyadi, 2005, hal 109)
7. Lahirnya Aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Aliran ini dilahirkan dan dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H) pada tahun 300
H di Baghdad. Abu Hasan al-Asy’ari sendiri pada awalnya adalah seorang pengikut aliran teologi
Mu’tazilah, namun dia terus dilanda keraguan dengan pemikiran-pemikiran kalam mu’taziiah, terutama
karena kaberanian mu’tazilah dalam mena’wilkan ayat-ayat mutasyabihat untuk mendukung logika
teologi mereka, sehingga pemaknaannya berbeda dengan lafalnya, dan juga karena keberanian mereka
dalam membatasi penggunaan al-Sunnah hanya yang mutawatir saja untuk doktrin-doktrin aqidahnya.
Karena keraguannya itulah, pada usianya yang ke-40 al-Asy’ari yang menyatakan keluar dari
Mu’tazilah dan mengembangkan pemikiran teologi sendiri, dengan memperbanyak penggunaan al-
Sunnah dan membatasi penggunaan logika filsafat dalam pemikiran kalamnya itu. Karena membatasi
penggunaan logika filsafat dan memperbanyak penggunaan al-Sunnah, maka pemikiran-pemikiran
kalam Abu Hasan mudah dipahami oleh orang banyak, dan memperoleh pengikut serta pendukung
yang cukup besar. Sejalan dengan itu, aliran teologinya ini disebut dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah
artinya aliran kalam yang banyak menggunakan al-Sunnah dalam perumusan-perumusan pemikiran
kalamnya, dan memperoleh pengikut yang cukup besar (wal jama’ah) dari kalangan masyarakat,
khususnya dari lapisan yang tidak mampu menjangkau pemikiran kalam rasional yang diperkenalkan
aliran mu’tazilah dan aliran juga sering disebut asy’ariyah karena dinisbitkan pada tokohnya.
Berbagai pemikiran kalam yang dikemukakan mu’tazilah dia kritisi habis. Seperti tentang sifat.
Dia katakan Tuhan itu mempunyai sifat, karena kalau sifat-sifat itu dikatakan sebagai zat seperti yang
dikemukakan mu’tazilah, maka akan terjadi kerancuan yang sangat besar. Seperti tentang “ilmu”, kalau
ilmu (pengetahuan) dijadikan sebagai zat dan bukan sebagai sifat, maka Tuhan itu adalah ilmu atau
pengetahuan. Padahal Tuhan adalah Allah Yang Maha Tahu, bukan ilmu atau pengetahuan itu sendiri.
Demikian pula dengan al-Qur’an, menurutnya kitab suci ini qadim karena al-Qur’an itu kalam
Allah, maka posisinya sama seperti pemilik kalam. Kalau Allah qadim, maka kalam-Nya pun qadim.
Disamping itu, keyakinan bahwa AI-Qur’an itu makhluk juga akan dihadapkan dengan kerancuan
logika berpikir, karena Allah menciptakan makhluk-Nya ini dengan kata-kata “kun”. Dan kalau kata
“kun” sendiri sudah makhluk make perlu “kun” yang lain untuk menciptakannya, dan begitulah
seterusnya tanpa ada akhir, sehingga terjadi lingkaran logika yang tidak berujung (tasalsul).
Kemudian ayat-ayat mutajasimah yang dita’wilkan Mu’tazilah, dia bahwa pada pengertian
lafalnya, hanya saja tidak bisa diidentifikasikan seperti kata Yadullah, yang diartikan mu’tazilah
sebagai kekuasaan Allah, Abu Hasan menafsirkannya dengan tangan Allah. Hanya saja dia tidak bisa
mengidentifikasikan bentuk tangan-Nya itu, sehingga dia mengatakan bahwa Allah itu bertangan
namun tangan-Nya itu tidak bisa diidentifikasi (layukayyaf). Demikian pula dengan ayat-ayat
mutajasimah lainnya.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, aliran teologi ini, mulai berkembang tahun 300 H, dan
mempunyai pengaruh pada pemerintahan Abbasiah, bahkan untuk seterusnya sampai kini, pada
umumnya umat Islam di dunia termasuk di Indonesia menganut aliran teologi ini, walaupun sebahagian
kalangan intelektual muslim sudah mudah keluar dari doktrin-doktrin Asy’ariyah dan memasuki aliran
kalam rasional.
Adapun pokok-pokok pikiran golongan ahlu sunnah wal jama’ah dapat disimpulkan sbb:
1) Sifat Tuhan
Pendapat Al-Asy’ari dalam soal sifat Tuhan terletak di tengah-tengah antara aliran Mu’tazilah di satu
pihak rian aliran Hasywiah dan Mujassimah di lain pihak. Aliran Mu’tazilah tidak mengakui sifat-sifat
wujud, qidam, baqa dan wahdaniah (Ke-Esa-an). Sifat zat yang lain, seperti sama’, bashar dan lain-lain
tidak lain hanya zat Tuhan sendiri. Golongan Hasywiah dan Mujassimah mempersamakan sifat-sifat
Tuhan dengan sifat-sifat makhluk. Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat Allah yang tersebut sesuai dengan
zat Allah sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Jadi, Allah mendengar tetapi
tidak seperti manusia mendengar. Allah dapat melihat tetapi tidak seperti penglihatan manusia, dan
seterusnya.
2) Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
Pendapat Al-asy’ari dalam soal ini juga tengah-tengah antara aliran Jabariah dan aliran Mu’tazilah.
Menurut aliran Mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan perbuatannya dengan suatu kekuasaan
yang diberikan Allah kepadanya. Menurut aliran Jabariah, manusia tidak berkuasa mengadakan atau
menciptakan sesuatu, tidak memperoleh (kasb) sesuatu bahkan ia laksana bulu yang bergerak kian
kemari menurut arah angin yang meniupnya. Datanglah Al-Asy’ari dan mengatakan bahwa manusia
tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh (kasb) sesuatu perbuatan.
3) Melihat Tuhan pada hari Qiyamat
Menurut aliran Mu’tazilah Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan dengan demikian, mereka
menakwilkan ayat-ayat yang mengatakan ru’yat, disamping menolak hadits-hadits Nabi yang
menetapkan ru’yat Karena tingkatan hadits tersebut mereka adalah hadits ahad (hadits perseorangan).
Menurut golongan Musyabihat, Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula.
Dengan menempuh jalan tengah antara kedua golongan tersebut, Al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan
dapat dilihat di akhirat kelak.
4) Dosa besar
Aliran Mu’tazilah mengatakan, apabila pembcat dosa besar tidak bertobat dan dosanya itu, meskipun ia
mempunyai iman dan kataatan, tidak akan keluar dari neraka. Aliran Murji’ah mengatakan, siapa yang
iman kepada Tuhan dan mengiklilaskan diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang
dikerjakannya, namun tidak akan mempengaruhi imannya, artinya tetap dipandang sebagai orang
mukmin.