Anda di halaman 1dari 20

ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU KALAM

Disampaikan oleh : Muchamad Sofyan Hadi, M.Pd.I


PENDAHULUAN
Sebagai salah satu ilmu keIslaman, Ilmu kalam sangat lah penting untuk di ketahui oleh seorang
muslim yang mana pembahasan dalam ilmu kalam ini adalah pembahasan tentang aqidah dalam Islam
yang merupakan inti dasar agama, karena persolaan aqidah Islam ini memiliki konsekwensi yang
berpengarah pada keyakinan yang berkaitan dengan bagaimana seseorang harus meng interpretasikan
tuhan itu sebagai sembahannya hingga terhindar dari jurang kesesatan dan dosa yang tak terampunkan
(syirik).
Memang, Pembahasan pokok dalam Agama Islam adalah aqidah, namun dalam kenyataanya masalah
pertama yang muncul di kalangan umat Islam bukanlah masalah teologi, melainkan persolaan di bidang
politik, hal ini di dasari dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa, titik awal munculnya persolan
pertama ini di tandai dengan lahirnya kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang telah terpecah
yang kesemuanya itu di awali dengan persoalan politik yang kemudian memunculkan kelompok-
kelompok dengan berbagai Aliran teologi dan berbagai pendapat-pendapat yang berbeda-beda.
Dalam pembahasan Ilmu Kalam, kita dihadapkan pada barbagai macam gerakan pemikiran-pemikiran
besar yang kesemuanya itu dapat dijadikan sebagai gambaran bahwa agama Islam telah hadir sebagai
pelopor munculnya pemikiran-pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu dapat kita jumpai hampir
di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa Islam sebagi mana di jumpai dalam sejarah,
bukanlah sesempit yang dipahami pada umumnya, karena Islam dengan bersumber pada al—Quran dan
As-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas.
ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM
Problematika teologis di kalangan umat Islam baru muncul pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin
Abi Thalib (656-661M) yang ditandai dengan munculnya kelompok dari pendukung Ali yang
memisahkan diri mereka karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima Tahkim dalam
menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin abi Sofyan, gubernur syam, pada waktu perang siffin.
Kelompok ini selanjutnya dikenal dengan Kelompok Khawarij.
Lahirnya Kelompok Khawarij ini dengan berbagai pendapatnya selanjutnya, menjadi dasar kemunculan
kelompok baru yang dikenal dengan nama Murji’ah. lahirnya Aliran teologi inipun mengawali
kemunculan berbagai Aliran-Aliran teologi lainnya. Dan dalam perkembangannya telah banyak
melahirkan berbagai Aliran teologi yang masing-masing mempunyai latar belakang dan sejarah
perkembangan yang berbeda-beda.Berikut ini akan dibahas tentang pertumbuhan dan perkembangan
Aliran tersebut berikut pokok-pokok pikiran nya masing-masing.
1. Aliran Khawarij.
a. Pengertian dan latar belakang timbulnya Aliran khawarij
Aliran Khawarij merupakan Aliran teologi tertua yang merupakn Aliran pertama yang
muncul dalam teologi Islam. Menurut ibnu Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang
disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah di sepakati para
jema’ah, baik ia keluar pada masa sahabat khulafaur rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-
baik. Menurut bahasa nama khawarij ini berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu
diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.[1] Kelompok ini juga kadang kadang
menyebut dirinya Syurah yang berarti “golongan yang mengorbankan dirinya untuk Allah di
samping itu nama lain dari khawarij ini adalah Haruriyah, istilah ini berasal dari kata harura,
nama suatu tempat dekat kufah, yang merupakan tempat mereka menumpahakn rasa
penyesalannya kapada Ali bin abi Thalib yang mau berdamai dengan Mu’awiyah.[2]
Kelompok khawarij ini merupakan bagian dari kelompok pendukung Ali yang
memisahkan diri, dengan beralasan ketidak setujuan mereka terhadap sikap Ali bin abi Thalib
yang menerima tahkim (arbitrase) dalam upaya untuk menyelesaikan persilisihan dan konfliknya
dengan Mu’awiyah bin abi sofyan, gubernur syam, pada waktu perang siffin.
Latar belakang ketidak setujuan mereka itu, beralasan bahwa tahkim itu merupakan
penyelesaian masalah yang tidak di dasarkan pada ajaran Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh
manusia sendiri, dan orang yang tidak Memutuskan hukum dengan al-quran adalah kafir. Dengan
demikian, orang yang melakukan tahkim dan merimanya adalah kafir.[3]
Atas dasar ini, kemudian golongan yang semula mendukung Ali ini selanjutnya berbalik
menentang dan memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya yaitu Abu Musa
Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash.Untuk itu mereka berusaha keras agar
dapat membunuh ke empat tokoh ini, dan menurut fakta sejarah, hanya Ali yang berhasil
terbunuh ditangan mereka.
b. Tokoh-tokoh Khawarij
1. Abdullah bin Wahab al-Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura
(pimpinan Khawarij pertama)
2. Urwah bin Hudair
3. Mustarid bin sa’ad
4. Hausarah al-Asadi
5. Quraib bin Maruah
6. Nafi’ bin al-azraq (pimpinan al-Azariqah)
7. Abdullah bin Basyir
8. Zubair bin Ali
9. Qathari bin Fujaah
10. Abd al-Rabih
11. Abd al Karim bin ajrad
12. Zaid bin Asfar
13. Abdullah bin ibad[4]
c. Sekte-sekte dan ajaran pokok Khawarij
Terpecahnya Khawarij ini menjadi beberapa sekte, mengawali dan mempercepat
kehancurannya dan sehingga Aliran ini hanya tinggal dalam catatan sejarah. Sekte-Sekte tersebut
adalah: [5]
1. Al-Muhakkimah
2. Al-Azariqah
3. Al-Najdat
4. Al-baihasyiah
5. Al-Ajaridah
6. Al-Sa’Alibah
7. Al-Ibadiah
8. Al Sufriyah
d. Secara umum ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah:
1. Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
2. Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan zubair,
dengan Ali bin abi tahAlib) dan para pelaku tahkim—termasuk yang menerima dan
mambenarkannya – di hukum kafir;
3. Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat. [6]
4. Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi
Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.
5. Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan
syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
6. Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya
Usman r.a dianggap telah menyeleweng,
7. Khalifah Ali dianggap menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase).[7]
2. Aliran Murji’ah
a. Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran Murji’ah
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam
upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagai mana hal itu
dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang
terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan tuhan, karena hanya tuhanlah yang mengetahui
keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melukan dosa besar masih di
anggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap
tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasulnya.
Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap
mangucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang
tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.[8] Pandangan mereka itu terlihat pada kata murji’ah
yang barasal dari kata arja-a yang berarti menangguhkan, mengakhirkan dan memberi
pengharapan.
b. Hal-hal yang melatar belakangi kehadiran murji’ah antara lain adalah : [9]
1. adanya perbedaan pendapat antara Syi’ah dan Khawarij; mengkafirkan pihak-pihak yang
ingin merebut kekuasaan Ali dan mengakfirkan orang- yang terlihat dan menyetujui tahkim
dalam perang siffin.
2. adanya pendapat yang menyalahkan Aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan
terjadinya perang jamal.
3. adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin
Affan. [10]
c. Ajaran-ajaran Murji’ah
1. Iman Hanya membenarkan (pengakuan) di dalam Hati
2. Orang islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir. Muslim tersebut tetap
mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadt.
3. Hukum terhadap perbuatan manusia di tangguhkan hingga hari kiamat[11]
d. Tokoh dan sekte dalam murji’ah
Dalam perkembangannya, Murji’ah mengalami berbagai perbedaan pendapat dikalangan
pengikutnya yang mendasari lahirnya aliran-aliran, selanjutnya, aliran murji’ah ini terpecah
menjadi beberapa macam sekte, ada yang moderat, ada pula yang ekstrem.
Tokoh murji’ah Moderat antara lain adalah hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi
Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits[12], yang berpendapat,
bagaimanapun besarnya dosa seseorang, kemungkinan mendapat ampunan dari tuhan masih
ada. Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah kelompok Jahmiyah, pengikut Jaham bin
Shafwan. Kelompok ini berpendapat, sekalipun seseorang menyatakan dirinya musyrik, orang
itu tidak dihukum kafir.[13]
3. Aliran Qadariyah
a. Pengertian dan latar belakang timbulnya aliran Qadariyah
Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan
atau kemampuan.Sedangkan sebagai suatu aliran dalam ilmu kalam, qadariyah adalah nama yang
dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan
manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham qadariyah manusia di
pandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal
dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar dan qada Tuhan[14]
Mazhab qadariyah muncul sekitar tahun 70 H(689 M). Ajaran-ajaran tentang Mazhab ini
banyak memiliki persamaan dengan ajaran Mu’tazilah sehingga Aliran Qadariyah ini sering juga
disebut dengan aliran Mu’tazilah, kesamaan keduanya terletak pada kepercayaan kedunya yang
menyatakan bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan dan perbuatannya, dan tuhan tidak
campur tangan dalam perbuatan manusia ini, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena
qada dan qadar Allah SWT.[15]
Aliran ini merupakan aliran yang suka mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip
ajaran Al-Qur’an dan hadits sendiri. Al-Qur’an dan Hadits mereka tafsirkan berdasarkan logika
semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa menjamin seluruh kebenaran, sebab
logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap hasil tangkapan panca indera yang serba terbatas
kemampuannya. Jadi seharusnya logika dan akal pikiranlah yang harus tunduk kepada Al-Qura’n
dan Hadits, bukan sebaliknya.[16]
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan al Dimasyqi. Kedua tokoh
ini yang mempersoalkan tentang Qadar.
b. Pokok-pokok ajaran Qadariyah
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298, pokok-pokok
ajaran qadariyah adalah :
1. Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlah mukmin, tapi fasik dan orang
fasik itu masuk neraka secara kekal.
2. Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang
menciptakannya dan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga)
atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal
perbuatannya yang salah dan dosa karena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
3. Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam arti bahwa Allah
tidak memiliki sifat-sifat azali, seperti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang
bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup,
mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri.
4. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan
mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu
ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk. [17]
Selanjutnya terlepas apakah paham qadariyah itu di pengaruhi oleh paham luar atau
tidak, yang jelas di dalam Al-Qur’an dapat di jumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan
paham qadariyah .
Dalam surat Al Ra’ad Ayat 11, di jelaskan
ž“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan diri mereka sendiri”
Dalam Surat Al-Kahfi ayat 29, allah menegaskan
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.
Dengan demikian paham qadariyah memilki dasar yang kuat dalam islam, dan
tidaklah beralasan jika ada sebagian orang menilai paham ini sesat atau keular dari islam
4. Aliran Jabariyah
a. Pengerian, dan latar belakang Kemunculan jabariyah.
Nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Sedangkan
menurut al-Syahrastani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara
hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebutkepada Allah.[18] Dan dalam bahasa inggris
disebut dengan fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan
manusia di tentukan sejak semula oleh qada dan qadar tuhan.
Menurut catatan sejarah, paham jabariyah ini di duga telah ada sejak sebelum agama
Islam datang ke masyarakat arab. Kehidupan bangsa arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara
telah memberikan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang sangat tidak
bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian mendasari mereka untuk tidak bisa
berbuat apa-apa, dan menyebankan mereka semata-mata tunduk dan patuh kepada kehendak
Tuhan.[19]
Munculnya mazhab ini berkaitan dengan munculnya Qadariyah. Daerah kelahirannya pun
berdekatan. Qadariyah muncul di irak, jabariyah di khurasan. Aliran ini pada mulanya di pelopori
oleh al-ja’ad bin dirham. Namun, dalam perkembangannya. Aliran ini di sebarluaskan oleh Jahm
bin Shafwan. Karena itu aliran ini terkadang disebut juga dengan Jahmiah.
b. Pokok-pokok paham jabariyah.
Selanjutnya, yang menjadi dasar yang sejajar dengan pemahaman pada aliran jabariyah
ini dijelaskan Al-Qur’an diantaranya :
Dalam surat al-Shaffat ayat 96 :
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
Dalam surat al Insan ayat 30, dinyatakan
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah”.
Jahm bin Shafwan mempunyai pendirian bahwa manusia itu terpaksa, tidak mempunyai
pilihan dan kekuasaan. Manusia tidak bisa berbuat lain dari apa yang telah di lakukannya. Allah
SWT, telah mentakdirkan atas dirinya segala amal perbuatan yang mesti di kerjakannya, dan
segala perbuatan itu adalah ciptaan allah, sama seperti apa yang dia ciptakan pada benda-benda
yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Jahm menginterpretasikan bahwa pahala dan siksa
merupakan paksaan dalam arti bahwa allah telah mentakdirkan seseorang itu baik sekaligus
memberi pahala dan Allah telah mentakdirkan seseorang itu berdosa sekaligus juga menyiksanya.
Sehingga, dalam realisasinya, orang yang termakan paham ini bisa menjadi apatis dan
beku hidupnya, tidak bisa berbuat apa-apa, selain berpangku tangan, menunggu takdir Allah
semata-mata dan berusahapun tidak. Karena mereka telah berkeyakinan bahwa Allah telah
mentakdirkan segala sesuatu, dan manusia tidak bisa mengusahakan sesuatu itu.
Disisi lain, aliran ini tetap berpendapat bahwa manusia tetap mendapat pahala atau siksa
karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan
manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.
Berkenaan dengan itu perlu dipertegas bahwa Jabariyah yang di kemukakan Jaham bin Shafwan
adalah paham yang ekstrem. Sementara itu terdapat pula paham jabariyah yang moderat, seperti
yang diajarkan oleh Husain Bin Muhammad al.Najjar dan Dirar Ibn ‘Amr.
Menurut Najjar dan Dirar, bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan Manusia baik
perbuatan itu positif maupun negatif Tetapi dalam melakukan perbuatan itu manusia mempunyai
bagian daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh tuhan, mempunyai efek, sehingga manusia
mampu melakukan perbuatan itu.Daya yang diperoleh untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan
inilah yang kemudian disebut Kasb atau acquisition.[20] Menurut paham ini manusia tidak hanya
bagaikan wayang di gerakkan oleh dalang, tetapi manusia dan Tuhan terdapat kerja sama dalam
mewujudkan suatu perbuatan, dan manusia tidak semata-mata di paksa dalam melaksanakan
perbuatannya.
5. Aliran Mu’tazilah
a. Pengertian dan latar belakang munculnya Mu’tazilah
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata Í’tizal” yang artinya “memisahkan diri”, pada
mulanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin
Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam
perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut Mu’tazilah dan di
gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.
Aliran mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di kota
basyrah dan mampu bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah muncul pada
pertengahan abad pertama hijrah yakni di isitilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri
atau besikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya perang
jamal dan perang siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat
dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.
Disisi lain, yang melatarbelakangi munculnya kedua Mu’tazilah diatas tidaklah sama
dan tidak ada hubungannya karena yang pertama lahir akibat kemelut politik, sedangkan yang
kedua muncul karena didorong oleh persoalan aqidah.[21] Dalam perkembangannya,
Mu’tazilah pimpinan Washil bin Atha’ lah yang menjadi salah satu aliran teologi dalam islam.
b. Pokok-pokok ajaran Mu’tazilah
Ada lima prinsip pokok ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan bagi pemeluk ajaran ini
untuk memegangnya, yan dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf :
1. al Tauhid (keesaan Allah)
2. al ‘Adl (keadlilan tuhan)
3. al Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
4. al Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
5. amar Ma’ruf dan Nahi mungkar.[22]
c. Tokoh-tokoh Mu’tazilah
Diantara para tokoh-tokoh yang berpengaruh pada Mu’tazilah yaitu:
1. Washil bin Atha’
2. Abu Huzail al-Allaf
3. Al Nazzam
4. Al-Jubba’i[23]
6. Ahlussunah Wal- Jamaah
a. Pengertian dan para tokoh serta pemikiran-pemikiran mereka.
Ahlussunnah berarti penganut atau pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan
jemaah berarti sahabat nabi. Jadi Ahlussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut Sunnah
Nabi dan para sahabat beliau.[24] Ahlussunnah sering juga disebut dengan Sunni dapat di
bedakan menjadi 2 pengertian, yaitu khusus dan umum, Sunni dalam pengertian umum adalah
lawan kelompok Syiah, Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagai mana juga Asy’ariyah masuk
dalam barisan Sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan
Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah.[25]
Aliran ini, muncul sebagai reaksi setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan maturidiyah,
dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.Tokoh utama yang juga merupakan pendiri
mazhab ini adalah Abu al hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi.
b. Abu al Hasan al Asy’ari
Pokok-pokok pemikirannya
1. Sifat-sifat Tuhan. Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaimana di sebut di dalam Alqur’an,
yang di sebut sebagai sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri diatas zat tuhan. Sifat-sifat itu
bukanlah zat tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
2. Al-Qur’an, Manurutnya, al-Quran adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.
3. Melihat Tuhan, menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti.
4. Perbuatan Manusia. Menurutnya, perbuatan manusia di ciptakan tuhan, bukan di ciptakan oleh
manusia itu sendiri.
5. Antrophomorphisme
6. Keadlian Tuhan, Menurutnya, tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan
tempat manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak tuhan sebab tuhan
maha kuasa atas segalanya.
7. Muslim yang berbuat dosa. Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat diakhir
hidupnya tidaklah kafir dan tetap mukmin.[26]
c. Abu manshur Al-Maturidi
Pokok-pokok pemikirannya :
1. Sifat Tuhan. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
2. Perbuatan Manusia. Menurutnya, Perbuatan manusia sebenarnya di wujudkan oleh manusia itu
sendiri, dan bukan merupakan perbuatan tuhan.
3. Al Quran. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
4. Kewajiban tuhan. Menurutnya, tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
5. Muslim yang berbuat dosa. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
6. Janji tuhan. Menurutnya, janji pahala dan siksa mesti terjadi, dan itu merupakan janji tuhan
yang tidak mungkin di pungkirinya.
7. Antrophomorphisme. [27]
7. Aliran Syiah
a. Pengertian dan kemunculannya Syi’ah
Secara bahasa Syi’ah berarti pengikut. Yang dimaksud dengan pengikut disini ialah para
pendukung Ali bin Abi Thalib. Secara istilah Syi’ah sering di maksudkan pada kaum muslimin
yang dalam bidang spritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturuan Nabi Muhammad
SAW, atau yang sebut sebagai ahl al-bait.selanjutnya, istilah yiah ini untuk pertama kalinya di
tujukan pada para pengikut ali (syi’ah ali), pemimpin pertama ahl- al bait pada masa Nabi
Muhammad SAW. Para pengikut ali yang disebut syi’ah ini diantaranya adalah Abu Dzar al
Ghiffari, Miqad bin Al aswad dan Ammar bin Yasir.[28]
Mengenai latar belakng munculnya aliran ini, terdapat dua pendapat, pertama menurut
Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin Affan kemudian
tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Adapun menurut Watt,
Syi’ah benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang
dikenal denganPerang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan ali
terhadap arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali di ceritakan terpecah menjadi dua,
satu kelompok mendukung sikap Ali –kelak di sebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap
Ali, kelak di sebut Khawarij.[29]
b. Pokok-Pokok Pikiran Syi’ah[30]
Kaum Syi’ah memiliki lima prinsip utama yang wajib di percayai oleh penganutnya.
Kelima prinsip itu adalah :
1. al Tauhid
Kaum Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa Allah itu ada, Maha esa, tunggal,
tempat bergantung, segala makhluk, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak ada
seorang pun yang menyamainya. Dan juga mereka mempercayai adanya sifat-sifat Allah.
2. al ‘Adl
Kaum Syi’ah mempunyai keyakinan bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak
melakukan perbuatan zhalim dan perbuatan buruk, ia tidak melakukan perbuatan buruk
karena ia melarang keburukan, mencela kezaliman dan orang yang berbuat zalim.
3. al Nubuwwah
Kepercayaan Syi’ah terhadap para Nabi-nabi juga tidak berbeda dengan keyakinan
umat muslim yang lain. Menurut mereka, Allah mengutus sejumlah nabi dan rasul ke muka
bumi untuk membimbing umat manusia.
4. al imamah
Menurut Syi’ah, Imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia
sekaligus, ia pengganti rasul dalam memelihara Syari’at, melaksanakan Hudud, dan
mewujudkan kebaikan dan ketentraman umat.
5. al ma’ad
Ma’ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya
sepenuhnya akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.
8. Aliran Salafiyah
a. Pengertian dan latar belakang munculnya Salafiyah
Secara bahasa salafiyah berasal dari kata salaf yang berarti terdahulu, yang dimaksud
terdahulu disini adalah orang-orang terdahulu yang semasa Rasul SAW, para sahabat, para
tabi’in, dan tabitt tabi’in. sedangakan salafiyah berarti orang-orang yang mengikuti salaf.[31]
Istilah salaf mulai dikenal dan muncul beberapa abad abad sesudah Rasul SAW wafat,
yaitu sejak ada orang atau golongan yang tidak puas memahami al Qur’an dan hadits tanpa
ta’wil, terutama untuk menjelaskan maksud-maksud tersirat dari ayat-ayat al-Qur’an sehingga
tidak menimbulkan hal-hal yang tidak layak bagi Allah SWT.[32]
Orang yang termasuk dalam kategori salaf adalah orang yang hidup sebelum tahun 300
hijriah, orang yang hidup sesudah tahun 300 H termasuk dalam kategori khalaf.
b. Tokoh-tokoh ulama salaf dan perkembangan Aliran salafiyah.
Tokoh terkenal ulama salaf adalah Ahmad bin Hambal. Nama lengkapnya, Ahmad, bin
Muhammad bin Hambal, beliau juga di kenal sebgai pendiri dan tokoh mazhab Hambali. .
Tokoh salafiyah yang terkenal lainnya adalah Taqiyuddin Abu al Abbas Ahmad bin
Abdul Halim bin Abd al salam bin Abdullah bin Muhammad bin Taimiyah al Hambali, atau
yang lebih di kenal dengan nama Ibnu Taimiyah. Beliau merupakan seorang teolog dan ahli
Hukum yang banyak menghasilkan karya tulis.beliau juga ahli di bidang tafsir dan hadist.
Dalam perkembangannya, ajaran yang bermula pada Imam Ahmad bin Hanbal ini,
selanjutnya di kembangkan oleh Ibnu Taimiyah, kemudian di suburkan oleh Imam Muhammad
bin Abdul Wahab.dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara Spodaris.
Pada abad ke 20 M gerakan ini muncul dengan dimensi baru. Tokoh-tokohnya adalah
Jamaluddin al Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Salafiyah baru al afgani ini terdiri dari 3 komponen pokok yakni :
1. Keyakinan bahwa kemajuan dan kejayaan umat Islam hanya mungkin di wujudkan jika
mereka kembali kepada ajaran Islam yang masih murni dan kembali pada ajaran Islam yang
masih murni, dan meneladani pokok hidup sahabat Nabi. Komponen pertama ini
merupakan satu unsur yang di miliki oleh salfiyah sebelumnya.
2. perlawanan terhadap kolonialisme dan mominasi barat, baik politik, ekonomi, maupun
kebudayaan.
3. pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Al Afgani dapat di katakan sebagai penganut salafiyah modern karena dalam rumusan
pahamnya yang banyak meletakkan unsur-unsur moderenismesebagai mana terlihat pada
komponen 2 dan 3 diatas.
Syekh Muhammad Abduh adalah murid Al afgani dan Muhammad Rasyid Ridaha
adalah murid dari Muhammad Abduh, meskipun dalam beberapa hal antara dengan guru
berbeda dalam banyak hal mereka sama.

PENUTUP
Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa Islam telah hadir sebagai pelopor lahirnya pemikiran-
pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu dapat kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga
dapat dijadikan alasan bahwa Islam sebagi mana di jumpai dalam sejarah, bukanlah sesempit yang
dipahami pada umumnya, karena Islam dengan bersumber pada al—Quran dan As-Sunnah dapat
berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas.
Sekarang, bagaimana kita menaggapi pemikiran-pemikiran tersebut yang kesemuanya memiliki titik
pertentangan dan persamaan masing-masing dan tentunya pendapat-pendapat mereka memiliki
argumentasi-argumentasi yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits. Namun pendapat mana diantara
pendapat-pendapat tersebut yang paling baik, tidaklah bisa kita nilai sekarang. Karana penilaian
sesungguhnya ada pada sisi Allah yang akan diberikanNya di akhirat nanti.
Penilaiaan baik tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin di lakukan dengan
mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam
sejarah. Disisi lain, kita juga bisa menilai baik tidaknya suatu pendapat atau paham dengan
mengaitkannya pada kenyataan yang berlaku dimasyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan
manusia, dan juga pendapat tersebut banyak di ikuti oleh Manusia.
A. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut
muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.
Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama
Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha'
berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik.
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah
awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan
akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah
semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka
mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak
saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi
pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri,
yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada
dua golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini
tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani
pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan
Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum
Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini
bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang
tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini
muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang
pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji
dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.

B. Beberapa Versi Tentang Nama Mu’tazilah


Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada
peristiwa yang terjadi antara wasil bin ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan hasan Al-Basri
di basrah. Ketika wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid
Basrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang
yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, hasil mengemukakan pendapatnya
dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan
tidak kafir.” Kemudian wasil menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di
lingkungan mesjid. Di sana wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya.
Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala
anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang
disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin
Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara
mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari
Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak
pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada
suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang
disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut
bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum
Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa
menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama
Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan
bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manjilah bain al-
manjilatain). Dalam artian mereka member status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari
golongan mukmin dan kafir.
C. Ajaran yang Diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah
Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl
(Keadilan). Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu
datang dari Allah, sedangkan. Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak
(masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah:
205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka
kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil
bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk
terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan nama
Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini
adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar
dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa
besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya,
dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan
Wa’idiyyah.
Kaum mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan
murji'ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama
"kaum rasionalis Islam".
Aliran mu'tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini telah
memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin
mempelajari filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah
Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu'tazilah, bukan oleh
mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam.
Aliran Mu'tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di kota Basrah (Irak),
pusat ilmu dan peradaan dikala itu, tempat peraduaan aneka kebudayaan asing dan pertemuan
bermacam-macam agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang menghancurkan Islam dari
segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya Islam maupun tidak.

BAB III
KESIMPULAN

Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah
(memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan
Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan
pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan
kafir yang berarti ia fasik
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak
pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah
kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah
bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal
dalam beragama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras
dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal.
Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah
berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-
Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian
membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang
semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.
Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad
al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak
setradisional al-Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah.

SEBAB-SEBAB MUCULNYA ALIRAN DALAM ILMU KALAM

Menurut Harun Nasution :


1. Di awali persoalan politik.
- Islam tumbuh dan berkembang di Mekkah selama 12 Tahun.
- Hijrah ke Yasrib/Madinah 622 M/10 Tahun.
- Nabi Wafat 12 Rabiul Awal 11 H/08 Juli 632 M.
- Pemilihan Kahalifah pertama, antara Abu Bakar & Sa’ad bin Ubadah.
- Abu Bakar jadi Khalifah selama 2 tahun/3 bulan (632-634 M).
- Umar jadi khalifah 10 tahun (634-654/10 tahun).
- Utsman jadi khalifah 12 tahun.
- Ali jadi khalifah 5 tahun.
- Diadakan tahkim.
2. Dari persoalan politik merembet ke masalah theologi/agama.
- Siapa yang kafir dan bukan kafir, barang siapa yang tidak berhukum dengan Al-Qur’an maka
kafir.
- Konsep kafir mengalami perubahan yang kafir bukan hanya yang tidak berpegang dengan Al-
Qur’an tetapi juga pendosa besar.
Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu :
1. Aliran khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa bersar adalah kafir, dalam arti telah
keluar dari islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2. Aliran Murji’ah, menegaskan orang yang berdosa dosa besar masih tetap mukmin dan bukan
kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni
atau menghukumnya.
3. Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima keddua pendapat di atas. Bagi mereka, orang yang
berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pulamukmin. Mereka menganbil posisi antar mukmin
dan kafir, yang dalam bahasa arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah manzilatain (posisi di
antara dua posisi)
Dalam islam, timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan nama qadariyah dan
jabariya. Menurut qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dalam
perbuatannya. Adapun jabariyah, berpendapat sebaiknya hanwa manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan
tradisional islam, terutama golongan hambali. Mereka yang menentang ini kemudian
mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipeloporinAbu Al-Hasan Al-Asy’ari (935
M). Disamping Aliran Asy’ariyah, timbul pula suatu aliran di Samarkand yang juga bermaksud
menentang aliran mu’tazilah. Aliran ini didiraikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi.
Aliran ini kemudian dikenal dengan nama teologi Al-Maturidiyah.
Aliran-aliran khawarij, murji’ah, dan mu’tajilah tidak mempunyai wujud lagi, kecuali
dalam sejarah. Adapun yang masih ada sampai sekarang adalah aliran Asy’ariyah dan
maturidiyah yang keduanya disebut Ahlussunnah wal-jama’ah.
Asal-Usul Munculnya Aliran-Aliran Dalam Ilmu Kalam
Sejak wafatnya Nabi Muhammad saw, kaum muslimin sudah mulai menghadapi perpecahan.
Tetapi perpecahan itu menjadi reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah. Setelah beberapa
lamanya Abu Bakar menduduki jabatan kekhalifahan, mulai tampak kembali perpecahan yang
disebarkan oleh orang-orang yang murtad dari Islam dan orang-orang yang mengumumkan dirinya
menjadi nabi, seperti Musailamatul Kadzdzab, Thulalhah, Sajah dan Al-Aswad Al-Ansy. Di samping
itu ada pula kelompok-kelompok lain yang tidak mau membayar zakat kepada Abu Bakar. Padahal
dahulunya mereka semua taat dan disiplin membayar zakat pada Nabi. Akan tetapi semua perselisihan
itu segera dapat diatas dan dipersatukan kembali, karena kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar. Maka
selamatlah kekuasaan Islam yang muda Itu dari ancaman fitnah dari musuh-musuh Islam yang hendak
menghancur-leburkannya.
Kemudian perjalanan kekhalifahan Abu Bakar As-shiddiq, Umar ibnu Khattab, dan Utsman
Ibnu Affan tidak begitu menghadapi persoalan, bahkan terjalin persaudaraan yang mesra dan akrab.
Pada masa ketiga khalifah itulah, dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya mengerahkan semua
tenaga kaum muslimin untuk menyiarkan dan mengembangkan Islam ke seluruh pelosok penjuru
dunia. Tetapi setelah Islam meluas ke Afrika, Asia Timur bahkan Asia Tenggara tiba-tiba diakhir
Khalifah Utsman, terjadi suatu persoalan yang ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang oleh sebagian
orang Islam dianggap kurang mendapat simpati dari sebagian kaum muslimin.
Kebijakan khalifah Utsman bin Affan yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan umat pada
saat itu, diantaranya ialah kurang pengawasan dan pengangkatan terhadap beberapa pejabat penting
dalam pemerintahan, sehingga para pelaksana pemerintahan (para eksekutif) di lapangan tidak bekerja
secara maksimal, diperparah lagi dengan adanya sikap nepotisme dari keluarganya. Utsman banyak
menempatkan para pejabat tersebut dari kalangan keluarganya, sehingga banyak mengundang protes
dari kalangan umat Islam. Dan sebenarnya hal Ini adalah bisa dimaklumi karena memang keluarga
Usman bin Affan adalah keluarga orang-orang yang pandai. Namun Inilah bermulanya fitnah yang
membuka kesempatan orang-orang yang berambisi untuk menggulingkan pemerintahan Utsman.
Karena derasnya arus fitnah ini sehingga mengakibatkan terbunuhnya Sayyidina Utsman bin
Affan . Setelah itu maka Ali bin Abi Thalib terpilih dan diangkat menjadi khalifah, tetapi dalam
pengangkatan tidak memperoleh suara yang bulat, karena ada golongan yang tidak menyetujui
pengangkatan itu. Bahkan ada yang dengan terang-terangan menentang pengangkatan tersebut
sekaligus menuduh bahwa Ali campur tangan atau sekurang-kurangnya membiarkan komplotan
pembunuhan terhadap Utsman. Semenjak itulah, berpangkalnya perpecahan umat Islam, hingga
menjadi beberapa partai atau golongan. Diantaranya sebagai berikut :
Kelompok yang setuju atas pengangkatan Ali menjadi khalifah.
Kelompok yang pada awalnya patuh dan setuju, tetapi kemudian setelah terjadi perpecahan,
menjadi golongan yang netral. Mereka berpendidikan, tidak mau mengikuti taat pada Ali, tidak pula
memusuhinya Ali. Karena mereka berkeyakinan bahwa keberpihakan kepada salah satu dari dua
golongan tersebut tidak berakibat baik.
Kelompok yang jelas-jelas menentang Ali secara terbuka, yaitu Thalhah bin Abdullah, Zubir
bin Awam, Aisyah binti Abu Bakar. Semuanya ini bersatu dan sepakat menjadikan Aisyah sebagai
komandan untuk menggulingkan khalifah Ali. Mereka menyusun tentara, lalu menduduki Basrah.
Pegawai-pegawai Ali di Basrah dibunuh, perbendaharaan dirampas. Sebab itu Ali pun dengan
membawa pasukan yang dipimpinnya sendiri menuju Basrah, dan akhirnya terjadilah pertempuran
hebat. Thalhah dan Zubir terbunuh. Aisyah tertangkap dan dipulangkan ke Madinah. Peperangan ini
dinamai peperangan Jamal (unta), sebab Aisyah memimpin pertempuran itu dari atas unta. Dari tentara
Aisyah banyak yang melarikan diri dan menggabungkan diri dengan tentara Mu’awiyah di Syam, yang
same-sama menentang Ali. Terjadinya peperangan antara Mu’awiyah dan Ali, hingga pertempuran
Shiffin, yaitu perang terakhir antara Ali dan Mu’awiyah.
Ada golongan umat Islam yang memisahkan diri dari tentara Ali. Golongan
ini yang kita kenal dengan kaum Khawarij, mereka tidak setuju dengan gencatan
senjata dan perundingan antara Ali dengan Mu’awiyah. Mereka ini dihancurkan pula
oleh Ali, sehingga cerai-berai. Sebenarnya Khawarij ini pada mulanya sungguh-
sungguh membela kepentingan agama. Mereka menuduh Ali tidak tegas dalam
mempertahankan kebenaran, sedang Mu’awiyah adalah penentang kebenaran, jadi
mereka memisahkan diri dari kedua-dua kelompok tersebut. Ia merasa mempunyai
hak untuk menentang pemerintahan mana saja yang tidak jujur. Dengan alasan-
alasan itulah, Khawarij menentang Ali dan Mu’awiyah.
Demikianlah golongan-golongan politik yang timbul di masa Khalifah AIi-Kemudian sesudah
Ali, timbullah beberapa kelompok atau aliran ilmu kalam (aliran tentang aqidah) yang diakibatkan oleh
timbulnya golongan-golongan politik tersebar di atas, yaitu:
1. Syi’ah
Golongan ini sangat fanatik kepada, khalifah Ali bin Abi Thalib dan, keturunannya. Mereka
berkeyakinan tidak seorangpun yang berhak memegang, menduduki jabatan kekhalifahan kecuali dari
keturunan Ali. Jika orang yang mengakui khalifah bukan dari keturunan Ali, berarti merampas hak
kekuasaan dan kekhalifahannya tidak syah. Tetapi akhirnya golongan ini dimasuki pula oleh unsur-
unsur yang menyimpang dari pokok-pokok agama Islam.
2. Qadariyah
Golongan Qodariyah, pokok pemikirannya adalah bahwa usaha dan gerak perbuatan manusia
ditimbulkan sendiri, bukan dari Allah. Faham ini, mula-mula dianjurkan oleh Ma’bad Al-Juhainy,
Ghailan al-Dimasyqi dan Al-Ja’du bin Dirham. Ketiga tokoh ini hidup pada zaman Daulah Umaiyah
dan ketiganya mati terbunuh.
3. Jabariyah
Golongan ini muncul di Khurasan, yang dipelopori oleh Al-Jaham bin Shafwan la berpendapat
bahwa hidup manusia ini sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala. Segala gerak-geriknya dijadikan Tuhan
semata-mata, manusia tidak dapat berusaha dan menggerakkan dirinya. Mereka juga meniadakan sifat-
sifat Allah Ta’ala. “Kita tidak boleh menyifati Allah Ta’ala, dengan suatu sifat yang bersamaan dengan
sifat-sifat yang terdapat pada makhluknya”. Pemimpin golongan ini, akhirnya terbunuh juga di
Khurasan.
4. Murjiah
Golongan Murji’ah berpendapat, bahwa kemaksiatan tidaklah menghilangkan keimanan atau
tidak memberi bekas terhadap keimanan seseorang, sebagaimana ketaatan, tidak memberi pengaruh
kepada orang yang kafir.
5. Karamiyah
Golongan ini berpendapat, bahwa yang diwajibkan kepada setiap muslim hanyalah pengakuan
lisan saja atas kebenaran rasul. Artinya cukuplah seseorang dengan mengucapkan dua kalimat syahadat
saja, sekalipun tanpa amal dan tanpa tashdiq di hati.
6. Khawarij
Golongan ini pada mulanya adalah pengikut setia Khalifah Ali, namun mereka memisahkan diri
akibat tidak setuju dengan kebijakan khalifah menerima perdamian dengan Mu’awiyah pada saat
perang Siffin. Mereka berpendapat bahwa orang yang mengerjakan dosa besar, atau meninggalkan
kewajiban-kewajiban yang sampai mati belum sempat tobat, maka orang itu dihukumkan keluar dari
Islam dan menjadi kafir. Jadi mereka abadi dalam neraka.
7. Mu’tazilah
Golongan Mu’tazilah ini salah satu pokok pikirannya adalah, bahwa orang Islam yang
mengerjakan dosa besar, atau meninggalkan kewajiban-kewajiban, yang sampai matinya belum sempat
bertobat, maka orang itu dihukum keluar dari Islam, tetapi tidak menjadi kafir, hanya fasiq saja, namun
menurutnya orang fasiq akan abadi di neraka.
8. Ahli Sunah wal Jama’ah
Kelompok ini biasa menyebut dirinya Islama Aswaja. Pemahaman mereka ialah bahwa yang
dihukumkan dengan orang Islam, ialah orang yang memenuhi tiga syarat, yaitu : menuturkan dua
kalimat syahadat dengan lisan, dan diikuti dengan kepercayaan hati dan buktikan dengan amal.
Menurut Ahli Sunah wal Jama’ah, bahwa orang yang mengerjakan dosa besar atau mengingkari
kewajiban-kewajiban yang diperihtahkan Allah sampai mati tidak sempat tobat, dihukumkan sebagai
mukmin “yang melakukan maksiat. Hukumnya di akhirat kelak, bila tidak memperoleh ampunan dari
Allah akan masuk neraka untuk menjalani hukumannya. Sesudah menjalani azab dan hukumnya itu,
ada harapan mendapat kebebasan dan masuk surga.

Aliran-Aliran Dalam Ilmu Kalam


Sebagaimana kita bahas di atas, bahwa pada masa akhir pemerintahan Khulafa al-Rasyidin
muncul aliran kalam yang popular dengan nama Khawarij, kemudian diikuti oleh Murji’ah, Qadariyah
dan Jabariyah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Marl kita telisik satu
persatu sehingga kita dapat memahami pandangan-pandangan mereka dengan benar.

1. Aliran Syi’ah
Syi’ah adalah golongan yang menyanjung dan memuji Sayyidina Ali secara berlebih-lebihan.
Karena mereka beranggapan bahwa Ali yang lebih berhak menjadi khalifah pengganti Nabi
Muhammad SAW, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifah-khalifah seperti Abu Bakar As Shiddiq,
Umar Bin Khattab dan Utsman Bin Affan dianggap sebagai penggasab atau perampas khilafah.
Sebagaimana dimaklumi bahwa mulai timbulnya fitnah di kalangan ummat Islam biang
keladinya adalah Abdullah Bin Saba’, seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam. Pitnah tereebut
cukup berhasil, dengan terpecah-belahnya persatuan ummat, dan timbullah Syi’ah sebagai firqoh
pertama :
Sebenarnya Syi’ah bermula dari perjuangan politik yaitu khilafah, kemudian berkembang
menjadi agama. Adapun dasar pokok Syi’ah ialah tentang Khalifah, atau sebagaimana mereka
menamakannya Imam. Maka Sayyidina Ali adalah iman sesudah Nabi Muhammad SAW. Kemudian
sambung-bersambung Imam itu menurut urutan dari Allah. Beriman kepada imam, dan taat kepadanya
merupakan sebagian dari iman. Iman menurut pandangan Syi’ah bukan seperi. pandangan Golongan
Ahlus Sunnah. Menurut golongan Ahlus Sunnah, khalifah atau imam adalah wakil pembawa syari’at
(Nabi) dalam menjaga agama. Dia mendorong manusia untuk beramal apa yang diperintahkan Allah.
Dia adalah pemimpin kekuasaan peradilan, pemerintahan dan peperangan. Akan tetapi baginya tidak
ada kekuasaan di bidang syari’at, kecuali menafsirkan sesuatu atau berijtihad tentang sesuatu yang
tidak ada nashnya.
Adapun menurut golongan Syi’ah, imam itu mempunyai pengertian yang
lain, dia adalah guru yang paling besar. Imam pertama telah mewarisi macam-
macam ilmu Nabi SAW. Imam bukan manusia biasa, tetapi manusia luar biasa,
karena dia ma’shum dari berbuat salah. Di sini ada dua macam ilmu yang dimiliki
imam yaitu; ilmu lahir dan ilmu batin. Sungguh Nabi SAW telah mengajarkan Al-
Qur’an dengan makna batin dan makna lahir, mengajarkannya rahasia-rahasia
alam dan masalah-masalah ghaib. Tiap imam mewariskan perbendaharaan ilmu-
ilmu kepada imam sesudahnya. Tiap imam mengajar manusia pada waktunya
sesuatu rahasia-rahasia (asrar) yang mereka mampu memahaminya. Oleh karena
itulah imam merupakan guru yang paling besar. Orang-orang Syi’ah tidak percaya
kepada ilmu dan hadits, kecuali yang diriwayatkan dari imam-imam golongan
Syi’ah sendiri.
Apabila berpadu pada kekuasaan khalifah urusan agama dan politik.
maka perselisihan antara golongan Syi’ah dengan golongan-golongan lainnya
adalah bercorak agama dan politik. Inti ajaran Syi’ah adalah berkisar masalah
khilafah. Jadi masalah politik, yang akhirnya berkembang dan bercampur dengan
masalah-masalah agama. Ajaran-ajarannya. yang terpenting yang berkaitan
dengan khilafah ialah Al’ Ishmah, Al Mahdi, At Taqiyyah dan Ar Raj’ah.
Menurut keyakinan golongan Syi’ah bahwa imam-imam mereka itu sebagaimana para nabi
adalah bersifat Al Ishmah atau ma’shum dalam segala tindak lakunya, tidak pernah berbuat dosa besar
maupun kecil, tidak ada tanda berlaku maksiat, tidak boleh berbuat salah ataupun lupa. Hal itu
didasarkan :
1. Apabila imam boleh berbuat salah, maka akan membutuhkan kepada imam lain untuk memberikan
petunjuk, demikian seterusnya. Oleh karena itu imam tidak boleh salah, dengan perkataan lain hams
ma’shum. Lawan-lawan golongan Syi’ah menolak ajaran tersebut dengan alasan bahwa kebutuhan
terhadap imam itu bukan karena kemungkinan masyarakat berbuat salah, akan tetapi karena fungsi
imam itu sendiri sebagai pelaksana hukum, menolak kerusakan dan memelihara kesucian agama. Tidak
ada kebutuhan dalam tugas itu tentang ma’shumnya imam, tetapi cukup dengan ijtihad dan berlaku
adil.
2. Imam itu adalah pemelihara syari’at, oleh karena imam harus ma’shum. Kalau tidak demikian maka
niscaya membutuhkan pemelihara yang lain. Lawan-lawan mereka menoiaknya dengan alasan bahwa
imam itu bukan pemelihara syari’at, tetapi sebagai pelaksana syari’at. Adapun pemelihara syari’at ialah
para ulama.
Aliran-aliran Syi’ah ada yang moderat dan ada yang radikal. Zaidiyah merupakan aliran yang
paling dekat Sunni, bahkan menolak faham Al-Mahdi dan Ar Raj’ah yang menjadi keparcayaan umum
aliran-aliran Syi’ah.
Syi’ah Az Zaidiyah adalah pengikut Zaid Bin Ali Bin Husain Bin Ali Bin Abi Thalib. Syi’ah
Az Zaidiyah ini adalah firqoh Syi’ah yang paling dekat (tidak banyak menyimpang) kepada Aldus
Sunnah dan yang paling lurus. la tidak mengangkat imam-imamnya sampai pada martabat kenabian,
bahkan juga tidak mengangkatnya ke martabat yang mendekatinya, tetapi mereka menganggap imam-
imam seperti manusia pada umumnya. Hanya saja mereka adalah seutama-utama orang sesudah
Rasulullah SAW. Mereka tidak mengkafirkan seorang pun di antara sahabat-sahabat Nabi dan terutama
orang (Abu Bakar, Umar dan Utsman, pen) yang dibai’at oleh Ali dan mengakui keimanannya.
Aliran Zaidiyyah menolak faham Al Mahdi : “Aliran Zaidiyyah adalah sebagian dari aliran-
aliran dalam Syi’ah, yang sangat terpengaruh oleh ajaran-ajaran Mu’tazilah, karena Zaid pemimpin
aliran Zaidiyyah ini pernah berguru kepada Washil Bin Atho’, pemimpin Mu’tazilah. Mereka sangat
mengingkari sekali terhadap faham Al Mahdi dan Raj’ah, dan dalam kitab-kitabnya mereka menolak
hadits-hadits dan cerita-cerita yang berhubungan dengan hal tersebut.
Syi’ah Ghaliyah atau Ashabu I-Ghulat, golongan Syi’ah yang ajaran-ajarannya telah melampaui
batas (ekstrim). Mereka ada yang berpendapat bahwa imam-imam mereka mempunyai unsur-unsur
ketuhanan. Ada pula yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Kepercayaan tersebut adalah
pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan inkarnasi, reinkamasi, ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen.
Agama Yahudi menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya, sedangkan agama Kristen menyerupakan
makhluk dengan Tuhannya.
Di antara aliran-aliran Al Ghaliyah yang keterlaluan ialah As Saba’iyah, Al ‘Al’Alba’iyah dan
Al Khattabiyah. Aliran As Sabai’yah adalah pengikut Abdullah Bin Saba’, orang Yahudi dari Yaman,
yang pura-pura masuk Islam. Aliran Saba’iyah inilah yang pertama kali menyatakan ajaran tentang
gaibnya imam, raj’ah, menitis (hulul)-nya sifat ketuhanan kepada imam, dan berpindah (tanasukh)-nya
sifat ketuhanan dari seorang imam kepada imam berikutnya.
Aliran Al Khattabiyah, pengikut Abil Khattab Muhammad Bin Abi Zainab Bani Asad. Setelah
dia meninggal, diganti Mu’amar mempunyai ajaran-ajaran yang berlebih-lebihan. Mereka beranggapan
bahwa dunia itu tidak akan rusak. Sesungguhnya surga ialah keadaan yang manusia mendapatkan
kebaikan, kenikmatan dan kesehatan. Dan sesungguhnya neraka ialah keadaan yang manusia
mendapatkan keburukan, kesulitan dan bencana. Mereka menghalalkan khamer, zina, dan semua hal
yang diharamkan. Dan mereka selalu meninggalkan shalat dan fardlu-fardlu lainnya.
Kini, Syi’ah dengan berbagai bentuk alirannya, masih tersebar cukup luas. Di Iran, Syi’ah
merupakan mazhab resmi negara. Di samping itu, Syi’ah terdapat juga di Irak, Pakistan, India dan
Yaman. Monument yang tidak boleh dilupakan yang merupakan jasa Syi’ah, ialah Universitas Al
Azhar Mesir, didirikan pada tahun 359 H = 970 M, oleh Khalifah Al Muiz Lidinillah, dari Bani
Fathimiyah. Semula, di Universitas Al Azhar ini adalah untuk mencetak kader-kader Syi’ah, pejabat-
pejabat penting pemerintah. Namun, bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Bani Fathimiyah dengan
khalifah terakhirnya Al ‘Azid Lidinillah pada tahun 555 H = 1160 M, maka corak Universitas Al Azhar
yang semula berfaham Syi’ah, berganti berfaham Sunni sampai sekarang.
2. Lahirnya Aliran Khawarij
Khawarij ini merupakan suatu aliran dalam kalam yang bermula dari sebuah kekuatan politik.
Dikatakan khawarij (orang-orang yang keluar) karena mereka keluar dari barisan pasukan Ali saat
mereka pulang dari perang Siffin, yang dimenangkan oleh Mu’awiyah melalui tipu daya perdamaian.
Gerakan exodus itu, mereka lakukan karena tidak puas dengan sikap Ali menghentikan peperangan,
padahal mereka hampir memperoleh kemenangan. Sikap Ali menghentikan peperangan tersebut,
menurut mereka, merupakan suatu kesalahan besar karena Mu’awiyah adalah pembangkang, sama
halnya dengan Thalhah dan Zutair. Oleh sebab itu tidak perlu ada perundingan lagi dengan mereka. dan
Ali semestinya meneruskan peperangan sampai para pembangkang itu hancur dan tunduk.
Kemudian orang-orang Khawarij mulai mengafirkan siapa saja yang dianggap melakukan
kesalahan, seperti Utsman bin Affan yang melakukan kesalahan karena mengubah sistem politiknya
sehingga menimbulkan huru-hara. Kemudian Thalhah. Zubair dan Mu’awiyah yang melakukan
pembangkangan terhadap Ali bin Abi Thalih sebagai khalifah yang sah. Dan Ali bin Abi Thalib sendiri
yang melakukan kesalahan karena menghentikan pertempuran dalam perang Siffin, ketika
menaklukkan mu’awiyah yang tidak mau bai’at kepadanya.
Pada awalnya tuduhan kafir tersebut dilontarkan mereka kepada Mu’awiyah, Amru bin Ash, Ali
bin Abi Thalib dan Abu Musa al-Asy’ari, yang keempatnya ini pelaku utama proses tahkim (damai)
untuk mengakhiri peperangan. Namun, tahkim tersebut menurut orang-orang khawarij tidak sesuai
dengan ketentuan ajaran agama, karena Mu’awiyah adalah pembangkang yang seharusnya diperangi
sampai hancur dan tunduk. Dengan demikian, jalan terakhir tersebut tidak sesuai dengan ketentuan
hukum Allah, dan barang siapa menetapkan sesuatu dengan ketentuan yang tidak sesuai dengan hukum
Allah tergolong orang-orang kafir, sebagaimana dikemukakan dalam surah al-Maidah ayat 44 yang
Artinya:
“Barang siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan oleh
Allah adalah kafir”.
Kemudian sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa pada akhirnya mereka mengafirkan
orang-orang yang melakukan kesalahan (dosa) besar, karena tidak mengikuti hukum Allah juga
termasuk suatu kesalahan besar. Kendati semua yang mereka kafirkan itu adalah para pelaku pilitik
yang menuntut pandangannya melakukan kesalahan besar dengan tidak mengikuti norma agama sesuai
Al-Qur’an, namun demikian mereka juga mengafirkan para pelaku dosa besar di luar politik, bahkan
lebih jauh mereka mengafirkan orang-orang yang tidak sependapat dan tidak sealiran dengan mereka.
Akhirnya semakin banyak konflik dan pertempuran akibat pemikiran teologinya itu, sehingga Ali bin
Abi Thalib penguasa sah saat itu menyerang mereka dan menghancurkannya tahun 37 H. Akan tetapi
salah seorang dari mereka ada yang selamat dan membunuh Ali bin Abi Thalib tahun ke-40 H.
Walaupun telah dihancurkan Ali bin Abi Thalib tahun ke-37 H, namun sisa-sisa kekuatan
mereka masih terus bergerak dan berhasil menghimpun kekuatan lagi, sehingga terus melakukan
gerakan oposisi terhadap daulah Umayah. Akan tetapi, kelompok ini rentan sekali sehingga mudah
pecah, dapat dihancurkan kembali oleh Banu Umayah pada tahun 70 H. Sisa-sisanya dari sub sekte
Ibadiyah (sebutan sub sekte Khawarij yang sangat moderat) sampai kink masih ada di Sahara Al-Jazair,
Tunisia, Pulau Zebra, Zanzibar, Omman dan Arabia Selatan, dan tidak melakukan perlawanan politik
apa-apa terhadap penguasa yang sah.
Sesuai dengan uraian diatas, make pemikiran kalam aliran khawarij yang paling menonjol
adalah tentang pelaku dosa besar yang menurut mereka tergolong orang kafir, dan termasuk pada
kategori dosa besar adalah sikap menentang terhadap pemikiran khawarij sehingga orang-orang yang
tidak sepaham dengan mereka tergolong kafir.
Di samping itu, mereka mempunyai pemikiran yang khas tentang definisi iman. Yakni menurut
mereka iman itu adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan
anggota badan. Sejalan dengan definisinya ini, maka orang-orang yang tidak mengamalkan ajaran
agamanya, atau melakukan pelanggaran dalam kategori dosa besar, termasuk kufur, karena amal
mempengaruhi iman.
Dengan demikian pokok-pokok pikiran aliran ilmu kalam mereka dapat disimpulkan sbb :
1) Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah termasuk Kafir
2) Orang yang terlibat perang Jamal yakni perang antara Ali dan Aisyah dan
pelaku arbitrase antara Ali dan Mua’awiyah dihukum Kafir
3) Kholifah menurut mereka tidak harus keturunan Nabi atau suku quraisy

Mempercayai bahwa muhamad bin hanafiah sebagai pemimpin setelah husein Ali wafat
A. Nama kausaniyah diambil dari nama kaisan yaitu nama budak Ali Bin Abuthilib. Mesikpun
sekte(organisasi) ini punah, cerita kebesaran muhamad bin hanafiah dapat di jumpai dalam cerita
rakyat, hikayat ini terkenal sejak abad 15 M di malaka.
B. Saidiyah : Yaitu sekte ini mengakui ke kalifahan Abu bakar & Umar sekte syi’ah mempercayai bahwa
Zaed Bin Ali Bin Husein Zaenal Abidin merupakan peimpin setelah husein bin Ali wafat. Dalam sekte
ini ada 5 syarat untuk dapat di angkat sebagai pemimpin. Yaitu :
1. Berasal dari keturunan Fatimah Binti Muhammad
2. Berpengetahuan luas tentang agama
3. Hidupnya untuk beribadah
4. Jihad di jalan Allah dengan mengangkat senjata
5. Berani
C. Sekte Imamiyah : yaitu sekte Syi’ah yang menunjukan langsung Ali Bin Abitholib untuk menjadi
imam oleh rassulullah Sebagai pengganti beliau. Sehingga sekte ini tidak mengakui Abu bakar dan
Umar.sekte imamyah pecah menjadi 2 golongan, yang terbesar yaitu:
1. Isna Asy’ariah / Syi’ah dua 12
Ismailiyah
3. Lahirnya Aliran Murji’ah
Sejak terjadinya ketegangan politik di akhir pemerintahan Utsman bin Affan, ada sejumlah
sahabat nabi yang tidak mau ikut campur dalam perselisihan politik. Ketika selanjutnya terjadi salah
menyalahkan antara pihak pendukung Ali dengan pihak penuntut bela kematian Utsman bin Affan,
maka mereka bersikap “irja” yakni menunda putusan tentang siapa yang bersalah. Menurut mereka,
biarlah Allah saja nanti di hari akhirat yang memutuskan siapa yang bersalah di antara mereka yang
tengah berselisih ini.
Selanjutnya mereka kaum khawarij berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar itu
menjadi kafir dan kelak akan kekal dalam neraka, maka Kaum Murji’ah berpendapat bahwa mukmin
yang melakukan dosa besar tersebut masih tetap mukmin, yaitu mukmin yang berdosa tidak berubah
menjadi kafir. Lalu apakah mereka akan masuk ke dalam neraka atau surga, atau masuk neraka terlebih
dahulu baru kemudian ke dalam surga, ditunda sampai ada putusan akhir dari Allah. Disamping itu,
khusus bagi para pelaku dosa besar, mereka juga berharap agar mereka mau bertaubat, dan berharap
pula agar taubatnya diterima di sisi Allah SWT.
Karena penundaan semua putusan terhadap Allah, serta senantiasa berharap Allah akan
mengampuni dosa-dosa para pelaku dosa besar tersebut, maka mereka ini kemudian populer disebut
sebagai golongan atau aliran “murji’ah” (orang yang mendapat putusan para pelaku dosa besar sampai
ada ketetapan dari Allah, sambil berharap bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka itu).
Pendirian Murji’ah di atas sangat moderat, sehingga menjadi pendirian umat Islam pada
umumnya tentang mukmin yang berbuat dosa besar. Mereka sendiri kemudian disebut sebagai
penganut aliran Murji’ah moderat. Akan tetapi pada akhir abad pertama dan awal abad kedua hijrah,
muncul orang-orang murji’ah ekstrim yang sangat meremehkan peran amal perbuatan. Mereka
selanjutnya berpendapat bahwa siapa saja yang meyakini keesaan Allah dan ke-Rasulan Muhammad
SAW, adalah orang beriman walaupun selalu melakukan perbuatan buruk. Bahkan seorang tidak boleh
dikatakan kafir kendati sering melakukan ibadah di dalam gereja, karena keimanan itu ada dalam hati,
dan hanya dapat diketahui oleh Allah. Tokoh-tokoh aliran murji’ah ekstrim ini adalah Jaham bin
Shafwan, Abu Hasan al-Shalih, Muqatil bin Sulaiman dan Yunus al-Samiri.
Kaum murji’ah ekstrim ini banyak memperoleh kecaman dari para ulama saat itu, dan tidak
memperoleh pengikut, serta akhirnya lenyap. Sedang murji’ah moderat kemudian menjadi pengikut
aliran Ahlus Sunrah wal Jama’ah.
Pemikiran yang paling menonjol dari aliran ini adalah bahwa pelaku dosa besar tidak dikategori
sebagai orang kafir, karena mereka masih memiliki keimanan dan keyakinan dalam hati bahwa Tuhan
mereka adalah Allah, Rasul-Nya adalah Muhammad, serta Al-Qur’an sebagai kitab ajarannya serta
meyakini rukun-rukun iman lainnya.
Disamping itu, mereka berpendapat bahwa iman itu adalah mengetahui dan meyakini atas ke-
Tuhanan Allah dan ke-Rasulan Muhammad. Mereka tidak memasukkan unsur amal dalam iman,
sehingga amal tidak mempengaruhi iman. Oleh sebab itu pulalah mereka berpendapat bahwa pelaku
dosa besar tetap mukmin, dan tidak terkategori sebagai orang kafir sebagaimana dinyatakan ajaran
khawarij. Sedangkan dosanya harus mereka pertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Dengan demikian pokok-pokok pikiran aliran ilmu kalam mereka dapat disimpulkan sbb:
1) Pengakuan Iman Islam cukup di dalam hatinya saja dan tidak dituntut
membuktikan keimanan dengan perbuatan.
2) Selama seorang muslim meyakini dua kalimat syahadat apabila ia berbuat
dosa besar maka tidak tergolong kafir dan hukuman mereka ditangguhkan di
akhirat dan hanya Allah yang berhak menghukum
4. Lahirnya Aliran Qadariyah
Sebagaimana khawarij dan murji’ab, aliran teologi qadariyah juga lahir dengan dilatarbelakangi
oleh kegiatan politik, yakni pada masa pemerintahan mu’awiyah bin Abu Sufyan, dari Daulah Banu
Umayah. Sepeninggal Ali bin Abi Thalib, tahun 40 H mu’wiyah menjadi penguasa daulah islamiyah.
Dan untuk memperkokoh kekuasaannya itu, dia menggunakan berbagai cara, khususnya dalam
menumpas semua oposisi, bahkan mendiang Ali bin Abi Thalib dicaci maki dalam setiap kesempatan
berpidato termasuk saat berkhotbah Jum’at.
Para ulama yang shalil banyak yang tidak setuju dengan gaya dan cara mu’awiyah, namun
mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk menutupi kesalahan itu, mereka mengembalikan semuanya
kepada Allah bahwa semua yang terjadi atas kehendak-Nya. Isu ini kemudian dimanfaatkan pula oleh
mu’awiyah dalam memimpin daulah islamiyah, bahwa semua yang dilakukan itu atas kehendak Allah.
Dalam suasana inilah muncul Ma’bad al-Jauhani dan Ghailan al-Damasyqi, dua tokoh
pemberani yang melontarkan kritik terhadap mu’awiyah sekaligus menentang pernyataan teologis yang
membenarkan tindakan politiknya. Menurut keduanya, manusia bertanggung jawab untuk menegakkan
kebenaran dan kebaikan serta menghancurkan kedhaliman. Manusia diberi Allah daya dan kekuatan
untuk melakukan suatu perbuatan. Manusia juga diberi kebebasan untuk memilih antara melakukan
sesuatu kebaikan dan keburukan, dan mereka harus mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya
kelak di hari akhir.
Bila manusia memilih untuk melakukan perbuatan baik, maka dia akan memperoleh pahala di
sisi Allah dan akan memperoleh kebahagiaan dalam hidup di akhiratnya kelak. Sedang mereka yang
memilih melakukan perbuatan buruk, akan memperoleh siksa dalam neraka. Manusia tidak boleh
berpangku tangan melihat kedzaliman dan keburukan. Manusia harus berjuang melawan kedzaliman
dan menegakkan kebenaran. Manusia bukanlah majbur (dipaksa oleh Allah). Karena Ma’bad dan
Ghailan ini mengajarkan bahwa manusia memiliki qudrah untuk mewujudkan suatu perbuatan, maka
fahamnya dinamakan faham “qadariyah”.
Kemudian Ma’bab al-Jauhani ikut menentang kekuasaan Bani Umayah dengan membantu
Abdurrahman ibnu al-Asy’ats, gubernur Syijistan yang memberontak melawan daulah Banu Umayah.
Dalam suatu pertempuran tahun 80H. Ma’bad al-Jauhani mati terbunuh. Sedang temannya Ghailan al-
Darmasqi terus menyirakan faham qadariyah itu, dengan banyak melontarkan kritik terhadap Banu
Umayah, dan sering keluar masuk penjara, dan akhirnya dia menjalani hukuman mali pada masa
pemerintahan Hisyam bin Abd al-Malik (105-125 H).
Sesuai dengan uraian diatas, pemikiran yang menonjol dari aliran ini adalah soal perbuatan
manusia dan kekuatan Tuhan. Dalam pandangannya, manusia mempunyai kebebasan untuk
menentukan perbuatannya serta melakukan perbuatannya itu. Dan di akhirat mereka harus
mempertanggungjawabkan semua perbuatan itu. Sejalan dengan pemikirannya ini, mereka berpendapat
bahwa Tuhan telah memberikan daya kepada manusia, serta memberikan aturan-aturan hidup yang
sangat jelas dengan berbagai akibatnya. Ada perbuatan-perbuatan baik yang akan memberi mereka
imbalan pahala dan kebahagiaan akhirat, dan ada pula perbuatan-perbuatan jahat dan ancaman siksaan
mereka bagi yang melanggarnya.
Daya yang diberikan Tuhan itu kemudian menjadi milik manusia sendiri untuk mereka gunakan
melakukan berbagai perbuatan. Kalau mereka gunakan untuk melakukan perbuatan baik sesuai
petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, maka mereka akan memperoleh kebahagiaan. Dan sebaliknya,
kalau mereka gunakan untuk melakukan perbuatan buruk, maka mereka harus mempertanggung
jawabkan semua perbuatannya itu. Inilah yang kemudian disebut dengan konsep keadilan
Tuhan.
Pemikiran mereka ini mempunyai landasan yang cukup kuat antara lain firman Allah dalam
Surat Al-Kahfi ayat 29 yang
Artinya : “Barang siapa mengehendaki (untuk menjadi orang berimab) maka berimanlah, dan barang siapa
menghendaki (untuk menjadi orang kafir) maka kafirlah”.

Artinya:“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu masyarakat bila mereka sendiri tidak
melakukan perubahan apa-apa terhadap dirinya.
Dengan demikian, aliran qadariyah merupakan suatu aliran ilmu kalam yang menekankan
kebebasan manusia dalam melakukan perbuatannya, dan mereka harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya itu di sisi Allah kelak di hari perhitungan. Mereka yang berprestasi dalam melakukan
amal kebajikan akan memperoleh imbalan pahala di dalam surga, sementara yang justru banyak
melakukan perbuatan jahat, serta kurang berprestasi dalam melakukan perbuatan baik, akan terkena
ancaman siksa di dalam neraka. Posisi manusia di surga atau neraka tersebut, menurut aliran ini sangat
tergantung pada perbuatannya selama hidup di dunia ini.
Pemikiran-pemikiran qadariyah ini kemudian diikuti den diteruskan oleh para penganut aliran
mu’tazilah, khususnya pada aspek pemikiran mereka tentang perbuatan manusia, dan kekuasaan mutlak
Tuhan. Yakni bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan kehendak serta perbuatannya,
namun mereka harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di hadapan Tuhan. Aliran
mu’tazilah meneruskan pemikiran qadariyah mi, karena aliran terakhir ini mempunyai kecenderungan
yang sama dalam memahami ajaran-ajaran aqidah, terutama dalam aspek-aspek yang boleh berbeda
pendapat, yaitu pada ajaran-ajaran yang dikemukakan dengan lafal zhanni Aliran qadariyah dan
mu’tazilah sama-sama menganut aliran rasional dalam pemahaman kalam mereka.
5. Lahirnya Aliran Jabariyah
Kalau qadariyah lahir seiring dengan lontaran-lontaran kritik terhadap kekejaman Daulah Banu
Umayah, maka Jabariyah sebaliknya, aliran ini lahir bermula dari ketidak berdayaan dalam menghadapi
kekejaman mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan mengembalikan semuanya atas kehendak dan kekuasaan
Tuhan. Kemudian isu keagamaan ini dipegang oleh mu’awiyah sendiri untuk membenarkan perlakuan-
perlakuan politiknya itu. Oleh sebab itu masa kelahirannya sebenarnya berbarengan dengan kelahiran
qadariyah. Namun pada masa munculnya, yang dipelopori oleh Ja’ad bin Dirham, pemikiran kalam ini
belum berkembang. Dan menjadi satu aliran yang punya pengaruh serta tersebar di masyarakat setelah
dikembangkan oleh Jahm bin Shafwan (W.131 H). Oleh sebab itu, aliran ini sering juga disebut aliran
Jahmiyah.
Dilihat dari segi pemikiran kalamnya, aliran Jabariyah bertolak belakang
dengan qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan
perbuatan yang dilakukan manusia, pada hakikatnya adalah
dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau
siksa, karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Faham bahwa yang
dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya
pahala dan siksa.
Menurut faham ini, manusia tidak hanya bagaikan wayang, yang digerakkan oleh dalang, tapi
manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sementara
nasib mereka di akhirat sangat ditentukan oleh kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Yakni posisi
mereka ditentukan oleh kekuasaan mutlak Tuhan. Pemikiran-pemikiran kalam dari aliran Jabariyah ini
kemudian banyak diserap oleh aliran Asy’ariyah, karena keduanya sama-sama memiliki kecenderungan
untuk mengikuti aliran tradisional, yakni aliran ilmu kalam yang kurang menghargai kebebasan
manusia, serta kurang melakukan pendekatan logika nalar dalam pemikiran kalam mereka.
6. Lahirnya Aliran Mu’tazilah
Lahirnya aliran teologi mu’tazilah tidak terlepas dari perkembangan pemikiran-pemikiran ilmu
kalam yang sudah muncul sebelumnya. Aliran ini lahir berawal dari tanggapan Washil bin Atha’ salah
seorang murid Hasan Bashri di Bashrah, alas pemikiran yang dilontarkan khawarij tentang pelaku dosa
besar. Ketika Hasan Bashri bertanya tentang tanggapan Washil terhadap pemikiran khawarij tersebut,
dia menjawab bahwa para pelaku dosa besar bukan mukmin dan juga bukan kefir. Mereka berada
dalam posisi antara mukmin dan kafir (orang fasik). Kemudian Washil memisahkan diri dari jamaah
Hasan Bashri, dan gurunya itu secara spontan berkata Ttazala ‘anna” (Washil memisahkan diri dari kita
semua). Karena itulah kemudian pemikiran yang dikembangkan Washil menjadi sebuah aliran yang
oleh anggota jamaah Hasan Bashri dinamai dengan “mu’tazilah”.
Kelompok ini kemudian mengembangkan diri dengan memperkaya wawasan keilmuannya
melalui penelaahan mendalam terhadap literatur-literatur Yunani yang berada di pusat-pusat studi
gereja timur, yaitu Antochia, Jundisaphur dan Alexandria. Langkah-langkah kieatif tersebut, mereka
lakukan dalam rangka menghadapi serangan-serangan logika kelompok Kristen terhadap teologi Islam
dan kemudian menghasilkan suatu format pemikiran ilmu kalam yang lebih cenderung menggunakan
pendekatan berpikir filsafat, sehingga aliran ini kemudian terkenal dengan aliran kalam rasional.
Sebenarnya mereka sendiri menanamkan dirinya sebagai ahlu at-tauhid (menjaga ke-Esa-an
Allah) dan ahlu al-’adl (mempercayai dan meyakini penuh akan keadilan Tuhan), karena rumusan-
rumusan pemikiran kalamnya itu benar-benar menjaga kemurnian tauhid dan prinsip keadilan Tuhan.
Dan ajaran-ajaran pokoknya itu tertuang dalam rumusan “Mabadi al-Khamsah” (lima dasar ajaran),
yaitu al-Tauhid, al-’adlu, al-wa’du wa al-wa’id, al-manzilah baina al-manzilatain, serta amar ma’ruf
nahi munkar.
At-tauhid artinya mengesakan Allah, yakni Allah itu benar-benar Esa dalam segala-galanyb,
tidak ada sesuatu pun yang dapat menandingi ke-Esa-annya itu. Sehubungan dengan prinsip Tauhidnya
itu, mu’tazilah menafikan sifat, karena merupakan sesuatu yang berada di luar zat. Kalau ada sifat
berarti ada dua yang qadim yaitu zat dan sifat. Untuk menghindari pemikiran yang akan membawa
kepada kemusyrikan tersebut, mereka nafikan sifat Tuhan, dan seterusnya mereka berpendapat bahwa
sifat-sifat itu adalah zat Tuhan sendiri. Kemudian untuk menjaga prinsip, ketauhidannya itu, Mu’tazilah
juga berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluk, karena kalau bukan makhluk akan ada qadim lain
selain Allah.
Sedangkan al-’adlu adalah suatu prinsip yang mengatakan bahwa Tuhan itu Maha Adil, Dia
akan memberikan imbalan pahala dan jaminan kebahagiaan bagi orang yang tidak berprestasi dalam
melakukan perbuatan-perbuatan baik. Dan dia tidak akan, menyiksa orang-orang shahih. Seiring
dengan prinsip keadilannya itu, maka Allah sudah menetapkan janji dan ancaman senada yang akan
dipatuhi-Nya sendiri. Akan tetapi, prestasi keagamaan setiap orang itu pasti berbeda, bisa saja ada
orang mukmin yang kelakuannya seperti orang kafir. Inilah yang mereka sebut sebagai orang fasik,
yang menempati posisi antara mukmin
dan kafir.
Sedang di akhirat nanti mereka akan tetap memperoleh siksa atas perbuatan-perbuatan dosanya,
namun siksanya tidak sama dengan siksaan orang kafir Untuk menghindari posisi ini, dan agar semua
orang menjadi orang baik, maka mereka mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar sebagai wajib ‘ain.
Dengan demikian kelima dasar ajaran rnu’tazilah ini merupakan suatu rangkaian logis, yang satu sama
lain mempunyai keterkaitan.
Aliran teologi mu’tazilah ini menjadi aliran resmi di Daulah Bani Abbasiah pada zaman
pemerintahan al-Makmun (198-218 H), dan dua khalifah sesudahnya, Mu’tashim (218-227 H) dan al-
Wasiq (227-232 H). Namun dihancurkan kembali oleh al-Mutawakil pada tahun 234 H, sehingga
kekuatan aliran ini kembali lemah dan diganti kemudian dengan aliran Asy’ariyah yang lebih terkenal
dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah. Kesimpulan dari pokok-pokok Mu’tazilah adalah sebagai berikut:
Aliran Mu’tazilah memiliki lima ajaran pokok yaitu :
1. Tauhid (Keesaan Allah SWT)
Terkait hal ini mu’tazilah berpendapat, antara lain :
 Mengingkari sifat-sifat Allah SWT, menurut Kaum Mu’tazilah apa yang
dikatakan sifat adalah tak lain dari zat-Nya sendiri;
 Al-Qur’an me.nurutnya adalan makhluk (baru);
 Allah di akhirat kelak tidak dapat dilihat oleh panca indra manusia,
karena Allah tidak akan terjangkau oleh mata
2. Keadilan Allah SWT
Setiap orang Islam harus percaya akan keadilan Allah, tetapi aliran mu’tazilah, memperdalam
arti keadilan serta menunjukkan batas-batasnya, sehingga menimbulkan beberapa masalah. Dasar
keadilan yang diyakini oleh kaum Mu’tazilah adalah meletakkan pertanggungjawaban manusia atas
segala perbuatannya. Dalam menafsirkan keadilan tersebut mereka mengatakan sebagai berikut :
“Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa
mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, dengan kekuasaan yang
diciptakan-Nya terhadap diri manusia. la hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya. Ia hanya
menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak campur tangan dalam keburukan yang
dilarang-Nya.
Aliran ini berpendapat bahwa Allah akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
apa yang diperbuat manusia. (Mulyadi, 2005, hal. 108)
3. Janji dan Ancaman
Aliran mu’tazilah berpendapat, bahwa Allah tidak akan mengingkari janji-Nya; memberi pahala
kepada orang muslim yang berbuat baik, dan menimpakan azab kepada yang berbuat dosa (Mulyadi,
2005, hal. 108)
4. Posisi di antara dua posisi (al-manzilatu bainal manzilatain)
Karena prinsip ini, Washil bin ‘Atha memisahkan diri dari majlis Hajsan Bashri, seperti yang
disebutkan di atas. Menurut pendapatnya,, seseorang muslim yang mengerjakan dosa besar ia tergolong
bukan mukmin tetapi juga tidak kafir, melainkan menjadi orang fasik. Jadi kefasikan merupakan
tempat tersendiri antara “kufur” dan “iman”. Tingkatan seorang fasik berada di bawah orang mukmin
dan diatas orang kafir.
Jalan tengah ini kemudian berlaku juga dalam bidang-bidang lain. Jalan tengah ini diambil oleh
aliran mu’tazilah dari sumber-sumber agama Islam, yaitu:
a) Al-Qur’an : banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan dan memuji
untuk mengambil jalan tengah seperti (QS. Al-Isra’: 31) “Jangan engkau
jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu dan Jangan pula terlalu
membeberkannya seluruhnya”. Ia juga menggunakan argument (QS. Al-
Baqarah: 137).
b) Al-Hadits : seperti (sebaik-baiknya perkara ialah yang berada di tengah-
tengah) (Mulyadi, 2005, hal 109)
5. Amar makruf dan nahi mungkar
Ajaran mu’tazilah mengenai tuntutan untuk berbuat baik dan mencegah segala perbuatan yang
tercela ini lebih banyak berkaitan dengan fiqh.
Kelima prinsip tersebut merupakan dasar utama yang harus dipegang oleh setiap orang
mu’tazilah dan hal ini sudah menjadi kesepakatan mereka. Akan tetapi mereka berbeda-beda pendapat
dalam soal-soal kecil dan terperinci. ketika memperdalam pembahasan kelima prinsip tersebut dan
menganalisanya dengan didasarkan atas pikiran filsafat Yunani dan Iain-lain. Karena itu sebenarnya
pemikiran aliran mu’tazilah sangat beragam. sebagaimana halnya dengan bermacam-macam aliran
filsafat, seperti Stoic, Epicure. Phytagoras, Neo-Platonismc dan sebagainya, yang k9semuanya disebut
filsafat Yunani. (Mulyadi, 2005, hal 109)
7. Lahirnya Aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Aliran ini dilahirkan dan dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H) pada tahun 300
H di Baghdad. Abu Hasan al-Asy’ari sendiri pada awalnya adalah seorang pengikut aliran teologi
Mu’tazilah, namun dia terus dilanda keraguan dengan pemikiran-pemikiran kalam mu’taziiah, terutama
karena kaberanian mu’tazilah dalam mena’wilkan ayat-ayat mutasyabihat untuk mendukung logika
teologi mereka, sehingga pemaknaannya berbeda dengan lafalnya, dan juga karena keberanian mereka
dalam membatasi penggunaan al-Sunnah hanya yang mutawatir saja untuk doktrin-doktrin aqidahnya.
Karena keraguannya itulah, pada usianya yang ke-40 al-Asy’ari yang menyatakan keluar dari
Mu’tazilah dan mengembangkan pemikiran teologi sendiri, dengan memperbanyak penggunaan al-
Sunnah dan membatasi penggunaan logika filsafat dalam pemikiran kalamnya itu. Karena membatasi
penggunaan logika filsafat dan memperbanyak penggunaan al-Sunnah, maka pemikiran-pemikiran
kalam Abu Hasan mudah dipahami oleh orang banyak, dan memperoleh pengikut serta pendukung
yang cukup besar. Sejalan dengan itu, aliran teologinya ini disebut dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah
artinya aliran kalam yang banyak menggunakan al-Sunnah dalam perumusan-perumusan pemikiran
kalamnya, dan memperoleh pengikut yang cukup besar (wal jama’ah) dari kalangan masyarakat,
khususnya dari lapisan yang tidak mampu menjangkau pemikiran kalam rasional yang diperkenalkan
aliran mu’tazilah dan aliran juga sering disebut asy’ariyah karena dinisbitkan pada tokohnya.
Berbagai pemikiran kalam yang dikemukakan mu’tazilah dia kritisi habis. Seperti tentang sifat.
Dia katakan Tuhan itu mempunyai sifat, karena kalau sifat-sifat itu dikatakan sebagai zat seperti yang
dikemukakan mu’tazilah, maka akan terjadi kerancuan yang sangat besar. Seperti tentang “ilmu”, kalau
ilmu (pengetahuan) dijadikan sebagai zat dan bukan sebagai sifat, maka Tuhan itu adalah ilmu atau
pengetahuan. Padahal Tuhan adalah Allah Yang Maha Tahu, bukan ilmu atau pengetahuan itu sendiri.
Demikian pula dengan al-Qur’an, menurutnya kitab suci ini qadim karena al-Qur’an itu kalam
Allah, maka posisinya sama seperti pemilik kalam. Kalau Allah qadim, maka kalam-Nya pun qadim.
Disamping itu, keyakinan bahwa AI-Qur’an itu makhluk juga akan dihadapkan dengan kerancuan
logika berpikir, karena Allah menciptakan makhluk-Nya ini dengan kata-kata “kun”. Dan kalau kata
“kun” sendiri sudah makhluk make perlu “kun” yang lain untuk menciptakannya, dan begitulah
seterusnya tanpa ada akhir, sehingga terjadi lingkaran logika yang tidak berujung (tasalsul).
Kemudian ayat-ayat mutajasimah yang dita’wilkan Mu’tazilah, dia bahwa pada pengertian
lafalnya, hanya saja tidak bisa diidentifikasikan seperti kata Yadullah, yang diartikan mu’tazilah
sebagai kekuasaan Allah, Abu Hasan menafsirkannya dengan tangan Allah. Hanya saja dia tidak bisa
mengidentifikasikan bentuk tangan-Nya itu, sehingga dia mengatakan bahwa Allah itu bertangan
namun tangan-Nya itu tidak bisa diidentifikasi (layukayyaf). Demikian pula dengan ayat-ayat
mutajasimah lainnya.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, aliran teologi ini, mulai berkembang tahun 300 H, dan
mempunyai pengaruh pada pemerintahan Abbasiah, bahkan untuk seterusnya sampai kini, pada
umumnya umat Islam di dunia termasuk di Indonesia menganut aliran teologi ini, walaupun sebahagian
kalangan intelektual muslim sudah mudah keluar dari doktrin-doktrin Asy’ariyah dan memasuki aliran
kalam rasional.
Adapun pokok-pokok pikiran golongan ahlu sunnah wal jama’ah dapat disimpulkan sbb:
1) Sifat Tuhan
Pendapat Al-Asy’ari dalam soal sifat Tuhan terletak di tengah-tengah antara aliran Mu’tazilah di satu
pihak rian aliran Hasywiah dan Mujassimah di lain pihak. Aliran Mu’tazilah tidak mengakui sifat-sifat
wujud, qidam, baqa dan wahdaniah (Ke-Esa-an). Sifat zat yang lain, seperti sama’, bashar dan lain-lain
tidak lain hanya zat Tuhan sendiri. Golongan Hasywiah dan Mujassimah mempersamakan sifat-sifat
Tuhan dengan sifat-sifat makhluk. Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat Allah yang tersebut sesuai dengan
zat Allah sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Jadi, Allah mendengar tetapi
tidak seperti manusia mendengar. Allah dapat melihat tetapi tidak seperti penglihatan manusia, dan
seterusnya.
2) Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
Pendapat Al-asy’ari dalam soal ini juga tengah-tengah antara aliran Jabariah dan aliran Mu’tazilah.
Menurut aliran Mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan perbuatannya dengan suatu kekuasaan
yang diberikan Allah kepadanya. Menurut aliran Jabariah, manusia tidak berkuasa mengadakan atau
menciptakan sesuatu, tidak memperoleh (kasb) sesuatu bahkan ia laksana bulu yang bergerak kian
kemari menurut arah angin yang meniupnya. Datanglah Al-Asy’ari dan mengatakan bahwa manusia
tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh (kasb) sesuatu perbuatan.
3) Melihat Tuhan pada hari Qiyamat
Menurut aliran Mu’tazilah Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan dengan demikian, mereka
menakwilkan ayat-ayat yang mengatakan ru’yat, disamping menolak hadits-hadits Nabi yang
menetapkan ru’yat Karena tingkatan hadits tersebut mereka adalah hadits ahad (hadits perseorangan).
Menurut golongan Musyabihat, Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula.
Dengan menempuh jalan tengah antara kedua golongan tersebut, Al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan
dapat dilihat di akhirat kelak.
4) Dosa besar
Aliran Mu’tazilah mengatakan, apabila pembcat dosa besar tidak bertobat dan dosanya itu, meskipun ia
mempunyai iman dan kataatan, tidak akan keluar dari neraka. Aliran Murji’ah mengatakan, siapa yang
iman kepada Tuhan dan mengiklilaskan diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang
dikerjakannya, namun tidak akan mempengaruhi imannya, artinya tetap dipandang sebagai orang
mukmin.

Anda mungkin juga menyukai