A. KHAWARIJ
1. LATAR BELAKANG KEMUNCULANNYA.
Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa Arab,
yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak.
[1]Ini yang mendasari Syahrastani untuk menyebut khawarij
terhadap orang yang memberontak imam yang sah.[2] Berdsarkan
pengertian etimologi ini pula, khawarij berarti setiap muslim yang
ingin keluar dari kesatuan umat Islam.[3]
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam
adalah suatu sekte / aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar
meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan
Ali yang menerima arbitrase ( tahkim ), dalam Perang Siffin pada tahun
37 H / 648 M, dengan kelompok bughat ( pemberontak ) Muawiyah bin
Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.
[4] Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya
barada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang
telah dibaiat mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di
pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah. Lagi pula
berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh
kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu
daya licik ajakan damai Muawiyah, kemenangan yang hampir diraih
itu menjadi raib.[5]
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai
kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak
permintan itu. Namun, karena desakan sebagian pengikutnya,
terutama ahli qurra seperti Al-Asyats bin Qais, Masud bin Fudaki At-
Tamimi, dan Zaid bin Husein Ath-Thai, dengan sangat terpaksa Ali
memerintahkan Al-Asytar ( komandan Pasukannya ) untuk
menghentikan peperangan.[6]
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan
Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai ( hakam ) nya,
tetapi orang-orang Khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa
Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian
mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asyari dengan
harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan Kitab Allah.
Keputusan tahkim yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai
khalifah oleh utusannya, dan mengangkat Muawiyah menjadi
khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan orang-
orangKhawarij. Mereka membelot dengan mengatakan, Mengapa
kalian berhukum pada manusia. Tidak ada hukum selain hukum yang ada
di sisi Allah. Imam Ali menjawab, Itu adalah ungkapan yang benar,
tetapi mereka artikan dengan keliru. Pada sat itu juga orang-
orang Khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura.
Itulah sebabnyaKhawarij disebut dengan nama Hururiah.[7] Kadang-
kadang mereka disebut dengan syurah[8] dan Al-Mariqah.[9]
Dengan arahan Abdullah Al-Kiwa, mereka sampai di Hurura. Di
Hurura, kelompok Khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada
Muawiyah dan juga kepada Ali. Mereka mengangkat seorang
pemimpin yang bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.[10]
2. DOKTRIN-DOKTRIN POKOKNYA.
Di antara doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah berikut ini.
1. Kahlifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat
Islam:
2. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian
setiap orang Muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi
syarat.
3. Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersifat
adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan, bahkan
dibunuh kalau melakukan kezaliman.[11]
4. Khalifah sebelum Ali ( Abu Bakar, Umar, dan Utsman ) adalah sah,
tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a
dianggap telah menyeleweng.
5. Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase ( tahkim ), ia
dianggap telah menyeleweng.
6. Muawiyah dan Al Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asyari juga
dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.[12]
7. Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.[13]
8. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut Muslim sehingga
harus dibunuh. Yang sangat anarkis ( kacau ) lagi, mereka
menganggap bahwa seorang Muslim dapat menjadi kafir apabila ia
tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan
risiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.[14]
9. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan
mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup
dalam dar al-harb ( negara musuh ), sedang golongan mereka sendiri
berada di dar al-Islam ( negara Islam ).[15]
10. Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
11. Adanya waad dan waid ( orang yang baik harus masuk surga,
sedangkan orang yang jahat harus masuk neraka ).
12. Amar maruf nahi munkar.
13. Memalingkan ayat-ayat Al-Quran yang
tampak mutasabihat (samar).
14. Quran adalah makhluk.[16]
15. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.[17]
Bila dianalisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan
kaum Khawarij dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori : politik,
teologi, dan sosial. Dari poin a sampai poin g dapat dikategorikan
sebagai doktrin politik sebab membicarakan hal-hal yang
berhubungan dengan masalah kenegaraan, khususnya tentang
kepala negara ( khilafah).
3. PERKEMBANGAN KHAWARIJ.
Sebagaimana telah dikemukakan, khawarij telah
menjadikan imamah-khilafah ( politik ) sebagai doktrin sentral yang
memicu timbulnya doktrin-doktrin teologis lainnya. Radikalitas yang
melekat pada watak dan perbuatan kelompok Khawarij
menyebabkan mereka sangat rentan kepada perpecahan., baik
secara internal kaum Khawarij sendiri, maupun secara eksternal
dengan sesama kelompok Islam lainnya. Para pengamat berbeda
pendapat tentang jumlah sekte yang terbentuk akibat perpecahan
yang terjadi dalam tubuh Khawarij. Al-Baghdadi mengatakan bahwa
sekte ini telah terpecah menjadi 18 subsekte.[18] Adapun, Al-
Asyfarayani, seperti dikutip Baghdadi, mengatakan bahwa sekte ini
telah pecah menjadi 22 subsekte.[19]
Terlepas dari berapa banyak subsekte pecahan Khawarij, tokoh-
tokoh yang disebutkan di atas sepakat bahwa subsekte Khawarij
yang besar terdiri dari 8 macam, yaitu :
1. a. Al-Muhakkimah.
1. b. Al-
Azriqah.
2. An-Nadjat.
3. Al-Baihasiyah
4. Al-Ajridah.
5. As-Saalabiyah.
6. Al-Abadiyah.
7. As-Sufriyah.
Semua subsekte itu membicarakan persoalan hukum bagi orang
yang berbuat dosa besar, apakah ia masih dianggap Mukmin
ataukah telah menjadi kafir. Tampaknya, doktrin teologi ini tetap
menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan doktrin-
doktrin yang lain hanya pelengkap saja. Sayangnya, pemikiran
subsekte ini lebih bersifat praktis daripada teoritis, sehingga
kriteria mukmin atau kafirnya sesorang menjadi tidak jelas. Hal ini
menyebabkan dalam kondisi tertentu seseorang dapat disebut
mukmin dan pada waktu yang bersamaan disebut sebagai kafir.
1. B. MURJIAH
1. LATAR BELAKANG KEMUNCULAN.
Nama Murjiah diambil dari kata irja atau arjaa yang
bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arjaa
mengandung arti pula memberi harapan, yakni memberi harapan
kepada pelaku dosa besaruntuk memperoleh pengampunan dan
rahmat Allah. Selain itu, arjaa berarti pula meletakkan di belakang
atau mengemudikan, yaitu rang yang mengwemudikan amal dari
iman. Oleh karena itu Murjiah, artinya orang yang menunda
penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan
Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
[22]
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul
kemunculan Murjiah. Teori pertama mengatakan bahwa
gagasan irja atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan
tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi
pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari
sektarianisme. Murjiah, baik sebagai kelompok politik maupun
teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syiah
dan Khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.[23]
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis
doktrin Murjiah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang
oleh cucu Ali bin Abi Thalib , Al-Hasan bin Muhammad al-Hanafiyah,
sekitar tahun 695. Watt, penggagas teori ini, menceritakan bahwa
setelah 20 tahun kematian Muawiyah, pada tahun 680, dunia Islam
dikoyak oleh pertikaian sipil. Al-Mukhtar membwa faham Syiah ke
Kuffah dari tahun 685 687; Ibnu Zubayr mengklaim kekhalifahan di
Mekah hingga yang berada di bawah kekuasaan Islam. Sebagai
respon dari keadaan ini, muncul gagasan irja atau penangguhan
( postponenment ). Gagasan ini pertama kali digunakan sekitar tahun
695 oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-
Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya. Dalam surat itu Al-Hasan
menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan, Kita mengakui
Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan
yang terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan Usman, Ali, dan
Zubyr ( seorang tokoh pembelot ke Mekah ). Dengan sikap politik ini,
Al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia
kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok Syiah
revolusioner yang terlampau mengagungkan Ali dan para
pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak
mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan alasan bahwa ia adalah
keturunan si pendosa Usman.[24]
1. DOKTRIN-DOKTRIN POKOK.
Adapun di bidang teologi, doktrin irja dikembangkan Murjiah ketika
menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu.
Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang
ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencakup iman,
kufur, dosa besar dan ringan ( mortal and venial sains ), tauhid, tafsir l-
Quran, eskatalogi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman
Nabi ( the impeccabality of the Prophet ), hukuman atas dosa
( punishment of sins ), ada yang kafir ( infidel ) di kalangan generasi
awal Islam, tobat ( redress of wrongs ), hakikat al-Quran, nama dan
sifat Allah, serta ketentuan Tuhan ( predestination ).[25]
Berkaitan dengan doktrin teologi Murjiah, W. Montgomery Watt
merincinya sebagai berikut :[26]
1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah
memutuskannya di akhirat kelak.
2. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam
peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
3. Pemberian harapan ( giving of hope )terhadap orang muslim yang
berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4. Doktrin-doktrin Murjiah menyerupai pengajaran ( madzhab ) para
skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murjiah, Harun Nasution
menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu :[27]
1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa
Al-Asyari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di
hari kiamat kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang
berdosa besar.
3. Meletakkan ( pentingnya ) iman daripada amal.
4. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
1. SEKTE-SEKTE MURJIAH.
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murjiah tampaknya dipicu
oleh perbedaan pendapat ( bahkan hanya dalam hal intensitas )di
kalangan para pendukung Murjiah sendiri. Dalam hal ini, terdapat
problem yang cukup mendasar ketika para pengamat
mengklasifikasikan sekte-sekte Murjiah. Kesulitannya antara lain
adalah ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu yang diklaim
oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murjiah, tetapi tidak
diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud adalah Washil bin
Atha dari Mutazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus Sunnah.[28] Oleh
karena itulah, Ash-Syahrastani, seperti dikutip oleh Watt,
menyebutkan sekte-sekte Murjiah sebagai berikut :[29]
1. a. Murjiah Khawarij.
2. b. Murjiah Qadariyah.
3. c. Murjiah Jabariyah.
4. d. Murjiah Murni.
5. e. Murjiah Sunni. ( tokohnya adalah Abu hanifah ).
Harun Nasution secara garis besar
menglasifikasikan Murjiah menjadi dua sekte, yaitu
golongan moderat dan golongan ekstrim. Murjiah
moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mungkin, tidak
kafir, tidak pula kekal dalam neraka. Mereka disiksa sebesar
dosanya, dan bila diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka
sama sekali. Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan Rasul-
Rasul-Nya serta apa saja yang datang dari-Nya secara keseluruhan
namun dalam garis besar. Iman ini tidak bertmbah dan tidak pula
berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini. Penggagas
pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib,
Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadits.[30]
Adapun yang termasuk kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-
Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Al-Hasaniyah. Pandangan
tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan seperti berikut.[31]
1. Jahmiyah, kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya,
berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian
menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena
iman dan kufur bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain pada
tubuh manusia.
2. Shalihiyah, kelompok Abu-hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa
iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu
Tuhan. Salat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut
ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu
pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar
menggambarkan kepatuhan.
3. Yunusiyah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa
melakukan perbuatan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak
iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-
perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang
bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa
perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang
sebagai musyrik ( polithest ).
4. Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan, Saya
tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi
yang diharamkan itu adalah kambing ini, maka orang tersebut tetap
mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan Saya tahu
Tuhan mewajibkan naik haji ke Kabah, tetapi saya tidak tahu apakah
Kabah itu di India atau tempat lain.
1. C. JABARIYAH
1. ASAL USUL KEMUNCULAN
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara, yang mengandung arti
memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau
dikatakan, Allah mempunyai sifat al-Jabbar (dalam bentuk
mubalaghah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-insan
majbur (bentuk isim maful) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa
atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama) setelah
ditarik menjadi Jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti
suatu kelompok atau aliran (isme).[32]
Dalam sejarah, tercatat bahwa orang yang pertama kali
mengemukakan paham Jabariyah dikalangan umat Islam adalah al-
Jaad ibn Dirham. Pandangan-pandangan jaad ini kemudian
disebarluaskan oleh para pengikutnya seperti Salim bin Safwan.
[33] Ia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukan dia
yang mengadakan tetapi Allah sendiri, baik berupa gerakan reflex
atau gerak lain yang semacam atau perbuatan-perbuatan yang
kelihatannya dikehendaki atau disengaja, seperti berbicara, berjalan
dan sebagainya. Manusia tidak lain bagaikan bulu yang ditiup angin,
tidak mempunyai gerak sendiri. Dengan demikian, aliran Jabariyah
telah menurunkan derajat manusia kepada tingkatan yang lebih
rendah daripada binatang, bahkan sama dengan tumbuh-tumbuhan.
[34]
Mengenai kemunculan paham al-Jabbar ini, para ahli sejarah
pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa
Arab, digambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung
oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara
hidup mereka. Ketergantungan hidup mereka kepada alam sahara
yang ganas telah memunculkan sikap-sikap penyerahan diri
terhadap alam.[35]sebenarnya benih-benih al-Jabbar sudah muncul
jauh sebelum kedua tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat dalam
peristiwa sejarah berikut ini :
1. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar
dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka memperdebatkan
masalah tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang
ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
2. Khalfiah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang
ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata : tuhan
telah menentukan aku mencuri. Mendengar ucapan itu, Umar marah
sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh
karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman. Pertama, hukuman
potong tngan karena mencuri, kedua, hukuman dera karena
menggunakan dalil takdir Tuhan.
3. Pada pemerintahan Daulah Bani Umayyah, pandangan tentang al-
Jabbar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui
suratnya memberka reaksi yang keras kepada penduduk Syiria yang
diduga berpaham Jabariyah.[36]
Paparan di ats menjelaskan bahwa bibit paham al-Jabbar telah
muncul sejak awal periode Islam. Namun, al-Jabbarsebagai suatu
pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru
terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, yakni oleh
kedua tokoh yang telah disebutkan di atas.[37]
Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah, ada yang
menyatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh
pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab qurra dan
agama Kristen bermazhab yacobt.[38]Namun, tanpa pengaruh asing
itu, paham al-Jabbar akan muncul juga di kalangan umat Islam. Di
dalam Alquran sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan
faham ini, misalnya :
Mereka selamanya tidak percaya sekiranya Allah tidak :
menghendaki (Q.S. al-Anam : 1
Artinya :llah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (Q.S. al-
: Shaffat : 96)ya
2) Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain
Tuhan.
1) al-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad al-Najjar (w. 230 H).
para pengikutnya disebut al-Najjariyah atau al-Husainiyah. Diantara
pendapat-pandapatnya adalah :
a) Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tapi manusia
mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-
perbuatan itu.
b) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat, akan tetapi Tuhan dapat
saja memindahkan potensi hati (marifat) pada mata sehingga
manusia dapat melihat Tuhan.
2) al-Dhirar
2. DOKTRIN-DOKTRIN POKOK
Dalam ajarannya, aliran Qadariyah sangat menekankan posisi
manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan
perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melaksanakan
kehendaknya itu. Dalam menentukan keputusan yang menyangkut
perbutannya sendiri, manusialah yang menentukan, tanpa ada
campur tangan Tuhan.[56]
Selanjutnya Qadariyah, sebagaimana dikemukakan Ghailan
berpendapat bahwa manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan-
perbuatan atas kehendak dan kekuasaannya sendiri, dan manusia
pula yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan
jahat atas kemampuan dan dayanya sendiri.[57]
Dalam Kitab al-Milal wa al-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah
disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mutazilah,
sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas.
Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas
dikupas oleh kalangan Mutazilah, sebab paham ini juga menjadikan
salah satu doktrin Mutazilah. Akibatnya, seringkali orang
menamakan Qadariyah dengan Mutazilah karena kedua aliran ini
sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.[58]
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam
pengertian bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu
(azali). Dalam paham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah
yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya sejak
azali, yaitu hukum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.[59]
Kaum Qadariyah berpendapat bahwatidak ada alasan yang tepat
untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan
Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin
Islam. Banyak ayat Alquran yang mendukung pendapat ini, misalnya
surat al-Kahfi (18) : 29.
Artinya :
Artinya :
Artinya :
1. Al-Adl
Tuhan Maha Adil. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang
baik dan terbaik dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu
adil bila tidak mengingkari janji-Nya. Dengan demikian Tuhan terikat
dengan janji-Nya. Orang beriman akan masuk surga dan orang kafir
akan masuk neraka.
1. Al-Wad wa al-Waid
Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu
memberi pahal surga bagi yang berbuat baik dan mengancam
dengan siksa neraka atas orang yang berbuat durhaka.
1. F. SYIAH
1. PENGERTIAN
Syiah dilihat dari segi bahasa berarti pengikut, pendukung atau
kelompok. Sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum
muslimin yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya merujuk
pada keturunan Nabi (ahlul-Bait). Point penting dalam syiah adalah
pernyataan bahwa petunjuk agama itu bersumber dari ahlul bait.
Mereka menolak petunjuk-petunjuk dari sahabat yang bukan ahlul
bait atau pengikutnya.[62]
Ajaran syiah berawalan pada sebutan untuk pertama kalinya
kepada pengikut Ali (Syiah Ali), pemimpin pertama ahlul bait pada
masa Rasulullah SAW hidup. Kejadian-kejadian pada awal munculnya
Islam dan pertumbuhan Islam selanjutnya selama 23 tahun masa
kenabian.[63]
Kaum syiah ialah orang-orang yang menyokong Ali bin Abi Thalib ra.
Ali telah mempunyai pendukung-pendukung sejak permulaan
sesudah wafat Rasulullah SAW, di antaranya : Jabir Ibnu Abdillah,
Huzaifah Ibnu Yaman, Salman Al Farisi, Abu Zar Al Gifari dan lainnya.
[64]
Inti ajaran syiah adalah berkisar masalah khalifah. Jadi masalah
politik yang akhirnya berkembang dan bercampur dengan masalah-
masalah agama.[65]
1. ASAL-USUL KEMUNCULAN SYIAH
Mengenai kemunculan syiah dalam sejarah terdapat dikalangan
para ahli. Syiah mulai muncul pada saat akhir pemerintahan
Utsman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib.[66]
Adapun dikalangan tokoh-tokoh syiah sendiri terdapat kekacauan
pandangan mengenai awal kemunculan syiah ini seperti :
Anaubkhati, tokoh Syiah berpendapat bahwa golongan syiah itu
baru ada setelah Nabi wafat. Sedangkan Ibnu Nadir berpandangan
bahwa golongan syiah tidak terbentuk setelah perang jamal.
Ada pula yang mengatakan bahwa nama syiah, baru muncul /
terkenal ketika perang siffin antara Ali ra dengan Muawiyah[67] dan
masih banyak pendapat lainnya.
Kalangan syiah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syiah
berkaitan dengan masalah pengganti Nabi SAW, mereka menolak
dengan tegas pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Utsman dan
menganggap Ali lah yang lebih berhak menjadi khalifah.
3) al-Luma (Sorotan)
1) Sifat
5) Keadilan
Pada dasarnya Al-Asyari dan Mutazilah setuju bahwa Allah itu adil.
Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-
Asyari tidak sependapat dengan Mutazilah yang mengharuskan
Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah
dan memberi pahala bagi orang yang baik.
1) Kitab Tauhid
2) Tawil Quran
3) Makhaz AsySyarai
4) Al-Jadl
2) Perbuatan manusia
4) Sifat Tuhan
5) Melihat Tuhan
6) Kalam Tuhan
Orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam
neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan
telah menjanjikan akan memebrikan balasan manusia sesuai
dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah untuk orang-
orang musyrik .
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Al-Qahir bin Thahir bin Muhammad Al-Bagdadi. Al-Farq bain Al-
Firaq. Al-Azhar. Mesir. 1037.
Abi Al-Fath Muhammad Abd Al-Karim bin Abi Baskar Ahmad Asy-
Syahrastani. Al-Milal wa An-Nihal. Dar Al-Fikr. Libanon. Beirut. t.t..
Ali Mustahafa Al-Ghurabi. Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah wa nasyatu Ilmi
Al-Kalam Inda Al-Muslimin. Maktabah wa mathbaah Muhammad Ali
Shabih wa auladuhu. Haidan Al-Azhar. Mesir. Cet II. 1958.
Harun Nasution. Teologi Islam : Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. UI.
Press. Cet I. 1985.
Muhammad Fazlul Rahman Ansari. Konsepsi Masuarakat Islam
Modern. Terj. Juniarso Ridwan, dkk. Risalah. Bandung. 1984.
Amir An-Najar. Al-Khawarij : Aqidatan wa fikratan wa falsafatan. Terj. Afif
Muhammad dkk. Lentera. Cet I. Bandung. 1993.
Ibrahim Madzkur. Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Thatbiquh. Juz
II. Dar Al-Maarif. Mesir. 1947.
Nurchalis Madjid, ( Ed. ). Khazanah Intelektual Islam. Bulan Bintang,
Cet II. Jakarta. 1985.