Anda di halaman 1dari 39

ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU KALAM

Oleh: Rasyid Rizani, S.HI., M.HI


(Hakim pada Pengadilan Agama Bajawa)

A. KHAWARIJ
1. LATAR BELAKANG KEMUNCULANNYA.
Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa Arab,
yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak.
[1]Ini yang mendasari Syahrastani untuk menyebut khawarij
terhadap orang yang memberontak imam yang sah.[2] Berdsarkan
pengertian etimologi ini pula, khawarij berarti setiap muslim yang
ingin keluar dari kesatuan umat Islam.[3]
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam
adalah suatu sekte / aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar
meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan
Ali yang menerima arbitrase ( tahkim ), dalam Perang Siffin pada tahun
37 H / 648 M, dengan kelompok bughat ( pemberontak ) Muawiyah bin
Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.
[4] Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya
barada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang
telah dibaiat mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di
pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah. Lagi pula
berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh
kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu
daya licik ajakan damai Muawiyah, kemenangan yang hampir diraih
itu menjadi raib.[5]
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai
kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak
permintan itu. Namun, karena desakan sebagian pengikutnya,
terutama ahli qurra seperti Al-Asyats bin Qais, Masud bin Fudaki At-
Tamimi, dan Zaid bin Husein Ath-Thai, dengan sangat terpaksa Ali
memerintahkan Al-Asytar ( komandan Pasukannya ) untuk
menghentikan peperangan.[6]
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan
Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai ( hakam ) nya,
tetapi orang-orang Khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa
Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian
mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asyari dengan
harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan Kitab Allah.
Keputusan tahkim yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai
khalifah oleh utusannya, dan mengangkat Muawiyah menjadi
khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan orang-
orangKhawarij. Mereka membelot dengan mengatakan, Mengapa
kalian berhukum pada manusia. Tidak ada hukum selain hukum yang ada
di sisi Allah. Imam Ali menjawab, Itu adalah ungkapan yang benar,
tetapi mereka artikan dengan keliru. Pada sat itu juga orang-
orang Khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura.
Itulah sebabnyaKhawarij disebut dengan nama Hururiah.[7] Kadang-
kadang mereka disebut dengan syurah[8] dan Al-Mariqah.[9]
Dengan arahan Abdullah Al-Kiwa, mereka sampai di Hurura. Di
Hurura, kelompok Khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada
Muawiyah dan juga kepada Ali. Mereka mengangkat seorang
pemimpin yang bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.[10]
2. DOKTRIN-DOKTRIN POKOKNYA.
Di antara doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah berikut ini.
1. Kahlifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat
Islam:
2. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian
setiap orang Muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi
syarat.
3. Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersifat
adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan, bahkan
dibunuh kalau melakukan kezaliman.[11]
4. Khalifah sebelum Ali ( Abu Bakar, Umar, dan Utsman ) adalah sah,
tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a
dianggap telah menyeleweng.
5. Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase ( tahkim ), ia
dianggap telah menyeleweng.
6. Muawiyah dan Al Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asyari juga
dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.[12]
7. Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.[13]
8. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut Muslim sehingga
harus dibunuh. Yang sangat anarkis ( kacau ) lagi, mereka
menganggap bahwa seorang Muslim dapat menjadi kafir apabila ia
tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan
risiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.[14]
9. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan
mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup
dalam dar al-harb ( negara musuh ), sedang golongan mereka sendiri
berada di dar al-Islam ( negara Islam ).[15]
10. Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
11. Adanya waad dan waid ( orang yang baik harus masuk surga,
sedangkan orang yang jahat harus masuk neraka ).
12. Amar maruf nahi munkar.
13. Memalingkan ayat-ayat Al-Quran yang
tampak mutasabihat (samar).
14. Quran adalah makhluk.[16]
15. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.[17]
Bila dianalisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan
kaum Khawarij dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori : politik,
teologi, dan sosial. Dari poin a sampai poin g dapat dikategorikan
sebagai doktrin politik sebab membicarakan hal-hal yang
berhubungan dengan masalah kenegaraan, khususnya tentang
kepala negara ( khilafah).
3. PERKEMBANGAN KHAWARIJ.
Sebagaimana telah dikemukakan, khawarij telah
menjadikan imamah-khilafah ( politik ) sebagai doktrin sentral yang
memicu timbulnya doktrin-doktrin teologis lainnya. Radikalitas yang
melekat pada watak dan perbuatan kelompok Khawarij
menyebabkan mereka sangat rentan kepada perpecahan., baik
secara internal kaum Khawarij sendiri, maupun secara eksternal
dengan sesama kelompok Islam lainnya. Para pengamat berbeda
pendapat tentang jumlah sekte yang terbentuk akibat perpecahan
yang terjadi dalam tubuh Khawarij. Al-Baghdadi mengatakan bahwa
sekte ini telah terpecah menjadi 18 subsekte.[18] Adapun, Al-
Asyfarayani, seperti dikutip Baghdadi, mengatakan bahwa sekte ini
telah pecah menjadi 22 subsekte.[19]
Terlepas dari berapa banyak subsekte pecahan Khawarij, tokoh-
tokoh yang disebutkan di atas sepakat bahwa subsekte Khawarij
yang besar terdiri dari 8 macam, yaitu :

1. a. Al-Muhakkimah.
1. b. Al-
Azriqah.
2. An-Nadjat.
3. Al-Baihasiyah
4. Al-Ajridah.
5. As-Saalabiyah.
6. Al-Abadiyah.
7. As-Sufriyah.
Semua subsekte itu membicarakan persoalan hukum bagi orang
yang berbuat dosa besar, apakah ia masih dianggap Mukmin
ataukah telah menjadi kafir. Tampaknya, doktrin teologi ini tetap
menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan doktrin-
doktrin yang lain hanya pelengkap saja. Sayangnya, pemikiran
subsekte ini lebih bersifat praktis daripada teoritis, sehingga
kriteria mukmin atau kafirnya sesorang menjadi tidak jelas. Hal ini
menyebabkan dalam kondisi tertentu seseorang dapat disebut
mukmin dan pada waktu yang bersamaan disebut sebagai kafir.

Tindakan kelompok Khawarij ini merisaukan hati umat Islam saat


itu, sebab dengan cap kafir yang diberikan salah satu subsekte
tertentu Khawarij, jiwa seseorang harus melayang, meskipun oleh
subsekte yang lain ia masih dikategorikan mukmin. Bahkan,
dikatakan bahwa jiwa seorang Yahudi atau Majusi masih lebih
berharga dibandingkan dengan jiwa seorang mukmin.
[20] Kendatipun demikian, ada sekte Khawarij yang agak lunak,
yaitu sekte Nadjiyat danIbadiyah. Keduanya membedakan antara kafir
nikmat dan kafir agama. Kafir nikmat hanya melakukan dosa dan
tidak berterima kasih kepada Allah. Orang semacam ini, tidak perlu
dikucilkan dari masyarakat.[21]

1. B. MURJIAH
1. LATAR BELAKANG KEMUNCULAN.
Nama Murjiah diambil dari kata irja atau arjaa yang
bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arjaa
mengandung arti pula memberi harapan, yakni memberi harapan
kepada pelaku dosa besaruntuk memperoleh pengampunan dan
rahmat Allah. Selain itu, arjaa berarti pula meletakkan di belakang
atau mengemudikan, yaitu rang yang mengwemudikan amal dari
iman. Oleh karena itu Murjiah, artinya orang yang menunda
penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan
Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
[22]
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul
kemunculan Murjiah. Teori pertama mengatakan bahwa
gagasan irja atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan
tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi
pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari
sektarianisme. Murjiah, baik sebagai kelompok politik maupun
teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syiah
dan Khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.[23]
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis
doktrin Murjiah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang
oleh cucu Ali bin Abi Thalib , Al-Hasan bin Muhammad al-Hanafiyah,
sekitar tahun 695. Watt, penggagas teori ini, menceritakan bahwa
setelah 20 tahun kematian Muawiyah, pada tahun 680, dunia Islam
dikoyak oleh pertikaian sipil. Al-Mukhtar membwa faham Syiah ke
Kuffah dari tahun 685 687; Ibnu Zubayr mengklaim kekhalifahan di
Mekah hingga yang berada di bawah kekuasaan Islam. Sebagai
respon dari keadaan ini, muncul gagasan irja atau penangguhan
( postponenment ). Gagasan ini pertama kali digunakan sekitar tahun
695 oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-
Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya. Dalam surat itu Al-Hasan
menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan, Kita mengakui
Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan
yang terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan Usman, Ali, dan
Zubyr ( seorang tokoh pembelot ke Mekah ). Dengan sikap politik ini,
Al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia
kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok Syiah
revolusioner yang terlampau mengagungkan Ali dan para
pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak
mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan alasan bahwa ia adalah
keturunan si pendosa Usman.[24]
1. DOKTRIN-DOKTRIN POKOK.
Adapun di bidang teologi, doktrin irja dikembangkan Murjiah ketika
menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu.
Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang
ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencakup iman,
kufur, dosa besar dan ringan ( mortal and venial sains ), tauhid, tafsir l-
Quran, eskatalogi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman
Nabi ( the impeccabality of the Prophet ), hukuman atas dosa
( punishment of sins ), ada yang kafir ( infidel ) di kalangan generasi
awal Islam, tobat ( redress of wrongs ), hakikat al-Quran, nama dan
sifat Allah, serta ketentuan Tuhan ( predestination ).[25]
Berkaitan dengan doktrin teologi Murjiah, W. Montgomery Watt
merincinya sebagai berikut :[26]
1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah
memutuskannya di akhirat kelak.
2. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam
peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
3. Pemberian harapan ( giving of hope )terhadap orang muslim yang
berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4. Doktrin-doktrin Murjiah menyerupai pengajaran ( madzhab ) para
skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murjiah, Harun Nasution
menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu :[27]
1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa
Al-Asyari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di
hari kiamat kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang
berdosa besar.
3. Meletakkan ( pentingnya ) iman daripada amal.
4. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
1. SEKTE-SEKTE MURJIAH.
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murjiah tampaknya dipicu
oleh perbedaan pendapat ( bahkan hanya dalam hal intensitas )di
kalangan para pendukung Murjiah sendiri. Dalam hal ini, terdapat
problem yang cukup mendasar ketika para pengamat
mengklasifikasikan sekte-sekte Murjiah. Kesulitannya antara lain
adalah ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu yang diklaim
oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murjiah, tetapi tidak
diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud adalah Washil bin
Atha dari Mutazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus Sunnah.[28] Oleh
karena itulah, Ash-Syahrastani, seperti dikutip oleh Watt,
menyebutkan sekte-sekte Murjiah sebagai berikut :[29]
1. a. Murjiah Khawarij.
2. b. Murjiah Qadariyah.
3. c. Murjiah Jabariyah.
4. d. Murjiah Murni.
5. e. Murjiah Sunni. ( tokohnya adalah Abu hanifah ).
Harun Nasution secara garis besar
menglasifikasikan Murjiah menjadi dua sekte, yaitu
golongan moderat dan golongan ekstrim. Murjiah
moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mungkin, tidak
kafir, tidak pula kekal dalam neraka. Mereka disiksa sebesar
dosanya, dan bila diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka
sama sekali. Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan Rasul-
Rasul-Nya serta apa saja yang datang dari-Nya secara keseluruhan
namun dalam garis besar. Iman ini tidak bertmbah dan tidak pula
berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini. Penggagas
pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib,
Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadits.[30]
Adapun yang termasuk kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-
Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Al-Hasaniyah. Pandangan
tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan seperti berikut.[31]
1. Jahmiyah, kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya,
berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian
menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena
iman dan kufur bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain pada
tubuh manusia.
2. Shalihiyah, kelompok Abu-hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa
iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu
Tuhan. Salat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut
ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu
pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar
menggambarkan kepatuhan.
3. Yunusiyah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa
melakukan perbuatan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak
iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-
perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang
bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa
perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang
sebagai musyrik ( polithest ).
4. Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan, Saya
tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi
yang diharamkan itu adalah kambing ini, maka orang tersebut tetap
mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan Saya tahu
Tuhan mewajibkan naik haji ke Kabah, tetapi saya tidak tahu apakah
Kabah itu di India atau tempat lain.
1. C. JABARIYAH
1. ASAL USUL KEMUNCULAN
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara, yang mengandung arti
memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau
dikatakan, Allah mempunyai sifat al-Jabbar (dalam bentuk
mubalaghah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-insan
majbur (bentuk isim maful) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa
atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama) setelah
ditarik menjadi Jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti
suatu kelompok atau aliran (isme).[32]
Dalam sejarah, tercatat bahwa orang yang pertama kali
mengemukakan paham Jabariyah dikalangan umat Islam adalah al-
Jaad ibn Dirham. Pandangan-pandangan jaad ini kemudian
disebarluaskan oleh para pengikutnya seperti Salim bin Safwan.
[33] Ia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukan dia
yang mengadakan tetapi Allah sendiri, baik berupa gerakan reflex
atau gerak lain yang semacam atau perbuatan-perbuatan yang
kelihatannya dikehendaki atau disengaja, seperti berbicara, berjalan
dan sebagainya. Manusia tidak lain bagaikan bulu yang ditiup angin,
tidak mempunyai gerak sendiri. Dengan demikian, aliran Jabariyah
telah menurunkan derajat manusia kepada tingkatan yang lebih
rendah daripada binatang, bahkan sama dengan tumbuh-tumbuhan.
[34]
Mengenai kemunculan paham al-Jabbar ini, para ahli sejarah
pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa
Arab, digambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung
oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara
hidup mereka. Ketergantungan hidup mereka kepada alam sahara
yang ganas telah memunculkan sikap-sikap penyerahan diri
terhadap alam.[35]sebenarnya benih-benih al-Jabbar sudah muncul
jauh sebelum kedua tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat dalam
peristiwa sejarah berikut ini :
1. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar
dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka memperdebatkan
masalah tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang
ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
2. Khalfiah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang
ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata : tuhan
telah menentukan aku mencuri. Mendengar ucapan itu, Umar marah
sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh
karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman. Pertama, hukuman
potong tngan karena mencuri, kedua, hukuman dera karena
menggunakan dalil takdir Tuhan.
3. Pada pemerintahan Daulah Bani Umayyah, pandangan tentang al-
Jabbar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui
suratnya memberka reaksi yang keras kepada penduduk Syiria yang
diduga berpaham Jabariyah.[36]
Paparan di ats menjelaskan bahwa bibit paham al-Jabbar telah
muncul sejak awal periode Islam. Namun, al-Jabbarsebagai suatu
pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru
terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, yakni oleh
kedua tokoh yang telah disebutkan di atas.[37]
Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah, ada yang
menyatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh
pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab qurra dan
agama Kristen bermazhab yacobt.[38]Namun, tanpa pengaruh asing
itu, paham al-Jabbar akan muncul juga di kalangan umat Islam. Di
dalam Alquran sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan
faham ini, misalnya :
Mereka selamanya tidak percaya sekiranya Allah tidak :
menghendaki (Q.S. al-Anam : 1

Artinya :llah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (Q.S. al-
: Shaffat : 96)ya

Bukanlah engkau yang melontar ketika melontar (musuh), tapi Allah


lah yang melontar mereka (Q.S. al-Anfal : 17)

Ayat-ayat tersebut terkesan membawa seseorang pada alam pikiran


Jabariyah. Mungkin inilah yang menyebabkan pola pikir Jabariyah
masih ada di kalangan umat Islam hingga kini walaupun anjurannya
telah tiada.

2. PARA PEMUKA JABARIYAH DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA


Perlu ditegaskan bahwa paham Jabariyah yang dikemukakan Jahm
bin Safwan itu adalah paham Jabariyah yang ekstrim, dan disebut
dengan istilah al-jabariyah al-khalish. Sementara itu terdapat pula
paham Jabariyah yang moderat, seperti diajarkan oleh Husain Ibn
Muhammad al-Najjar dan Dirar Ibn Amir, dan diberi istilah dengan al-
jabariyah al-mutawasithah.[39]
Diantara doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa
segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul
dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas
dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan itu bukanlah
terjadi atas kehendaknya sendiri, tapi timbul karena qadha dan
qadar Tuhan yang menghendaki demikian.[40]
Diantara pemuka Jabariyah ekstrim adalah berikut ini :

1. Jahm bin Safwan


Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Safwan. Ia berasal
dari Khurasan, bertempat tinggal di Kufah ; ia seorang dai yang fasih
dan lincah (orator) ; ia menjabat sebagai sekretaris harits bin Surais,
seorang Mawali yang menentang pemerintah Bani Umayah di
Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada
kaitannya dengan agama.[41]
Sebagai seorang penganut dan penyebar paham Jabariyah, banyak
usaha yang dilakukan Jaham yang tersebar ke berbagai tempat,
seperti ke Tirmidz dan Balk.

Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah


sebagai berikut :

1) Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak


mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak
mempunyai pilihan.

2) Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain
Tuhan.

3) Iman adalah marifat atau membenarkan dengan hati. Dalam


hal ini pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum
Murjiah.

4) Kalam Tuhan adalah makhluk, Allah Maha Suci dari segala


sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar
dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera
mata di Akhirat kelak.

1. Saad bin Dirham


Al-Saad adalah seorang maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus.
Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang kristen yang senang
membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di
lingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-
pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian
al-Saad lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta
mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan
disebarluaskan. Doktrin pokok Saad secara umum sama dengan
pikiran Jahm.

Sedangkan Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang


menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun baik,
tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang
diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisitin).
[42] Menurut paham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh
Tuhan), tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan
Tuhan.[43]
Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat ini adalah berikut ini:

1) al-Najjar

Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad al-Najjar (w. 230 H).
para pengikutnya disebut al-Najjariyah atau al-Husainiyah. Diantara
pendapat-pandapatnya adalah :
a) Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tapi manusia
mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-
perbuatan itu.
b) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat, akan tetapi Tuhan dapat
saja memindahkan potensi hati (marifat) pada mata sehingga
manusia dapat melihat Tuhan.

2) al-Dhirar

Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr, pendapatnya tentang


perbuatan manusia sama dengan Husain al-Najjar. Manusia
mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatannya dan tidak
semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya.[44] Secara
tegas, dia menyatakan bahwa suatu perbuatan dapat ditimbulkan
oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak
hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri.
Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-
perbuatannya.
Mengenai ruyat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan
dapat dilihat di Akhirat melalui indera keenam.[45]
1. D. QADARIYAH
1. ASAL USUL KEMUNCULAN QADARIYAH
Qadariyah mula-mula timbul sekitar rahun 70 H/689 M, di pimpin oleh
Mabad al-Juhani al-Bisri dan Saad bin Dirham, pada masa
pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) dan
merupakan penentang kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang
dianggapnya kejam.[46]
Sedangkan menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan
bahwa Qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Mabad al-Juhani
dan Ghailan al-Dimasqy.[47] Sementara itu Ibnu Nabatah
sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Amin berpendapat bahwa
paham Qadariyah itu pertama kali muncul dari seseorang asal Irak
yang menganut kristen dan kemudian masuk Islam, tetapi kemudian
masuk kristen lagi. Dari tokoh inilah Mabad al-Juhani dan ghailan al-
Dimasqy menerima paham Qadariyah.[48] Ghailan al-Dimasqy adalah
penduduk kota Damaskus, ayahnya seorang yang pernah bekerja
pada Khalifah Utsman bin Affan.[49] Dia dikenal sebagai seorang
alim, mengutamakan hidup zuhud dan takwa serta giat berdakwah
mengajak orang mukmin untuk berpegang pada akidah yang benar :
Allah Maha Esa dan Maha Adil.[50]
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang
artinya kemampuan dan kekuatan.[51] Adapun menurut pengertian
terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa
segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri.[52] Sedangkan sebagai aliran dalam ilmu
kalam, Qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang
memberikan penekanan terhedap kebebasan dan kekuatan manusia
dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
kepada qadar atau qada Tuhan.[53]
Nama atau gelar Qadariyah yang diletakkan kepada golongan ini
adalah pemberian musuh-musuhnya yang tidak dapat menerima
paham yang dibawanya[54] dan juga dikaitakan dengan suatu hadis
Nabi :
[55]
Artinya :

Kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini.

2. DOKTRIN-DOKTRIN POKOK
Dalam ajarannya, aliran Qadariyah sangat menekankan posisi
manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan
perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melaksanakan
kehendaknya itu. Dalam menentukan keputusan yang menyangkut
perbutannya sendiri, manusialah yang menentukan, tanpa ada
campur tangan Tuhan.[56]
Selanjutnya Qadariyah, sebagaimana dikemukakan Ghailan
berpendapat bahwa manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan-
perbuatan atas kehendak dan kekuasaannya sendiri, dan manusia
pula yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan
jahat atas kemampuan dan dayanya sendiri.[57]
Dalam Kitab al-Milal wa al-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah
disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mutazilah,
sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas.
Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas
dikupas oleh kalangan Mutazilah, sebab paham ini juga menjadikan
salah satu doktrin Mutazilah. Akibatnya, seringkali orang
menamakan Qadariyah dengan Mutazilah karena kedua aliran ini
sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.[58]
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam
pengertian bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu
(azali). Dalam paham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah
yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya sejak
azali, yaitu hukum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.[59]
Kaum Qadariyah berpendapat bahwatidak ada alasan yang tepat
untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan
Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin
Islam. Banyak ayat Alquran yang mendukung pendapat ini, misalnya
surat al-Kahfi (18) : 29.

yJs u!$x `Bs =s tBur u!$x 3u=s ` )

Artinya :

Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau,


berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir.

Dalam surat Ali Imran (3) :165, disebutkan :

artinya : Adakah patut, ketika kamu ditimpa musibah (pada perang


uhud), padahal telah mendapat kemenangan dua kali (pada perang
badar), lalu kamu berkata : dari manakah bahaya ini ? katakanlah,
.sebabnya dari kesalahan kamu sendiri

Dalam surat al-Radu (13) : 11, disebutkan :

Artinya :

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu bangsa, kecuali


jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.

Dalam surat an-Nisa (4) : 111, disebutkan :

Artinya :

Dan barang siapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia


melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.
1. E. MUTAZILAH
1. ASAL-USUL KEMUNCULAN
Secara harfiah, kata mutazilah berasal dari kata Itazala yang artinya
berpisah atau memisahkan diri, menjauh atau menjauhkan diri.
[60] Secara teknis istilah mutazilah menuju kepada 2 golongan,
yaitu :
1. Muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai
kaum netral politik, khususnya dalam arti bersifat lunak dalam
menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-
lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah dan Abdullah bin Zubair.
Golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mutazilah karena
mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah.[61]
2. Muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang
dikalangan khawarij dan murjiah akibat adanya peristiwa tahkim.
Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan
golongan Khawarij dan Murjiah tentang pemberian status kafir kepada
orang yang berbuat dosa besar. Golongan ini berpusat pada peristiwa
yang terjadi antara Wail bin Ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan
Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Wasil mengikuti pelajaran yang
diberikan Hasan AL-Basri di Mesjid Basrah, datanglah seorang yang
bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basri tentang orang yang
berdosa besar. Ketika Hasan Al-Basri berpikir, Wasil mengemukakan
pendapatnya dengan mengatakan: Saya berpendapat bahwa orang
yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi
berada diposisi di antara keduanya, tidak mukmin, tidak
kafir.Kemudian Wasil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan pergi
ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana Wasil mengulangi
pendapatnya dihadapan para pengikutnya. Dengan adanya hal ini,
Hasan Al-Basri berkata:Wasil menjauhkan diri dari kita (Itazalla
anna).
1. AL-USHUL AL-KHAMSAH : 5 AJARAN DASAR DOKTRIN
MUTAZILAH
2. At-Tauhid
Untuk memurnikan keesaan Tuhan. Mutazilah menolak konsep
Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan dan Tuhan
dapat dilihat dengan mata kepala. Dengan demikian pengetahuan
dan kekuasaan Tuhan adalah Tuhan sendiri, yaitu dzat dan esensi
Tuhan, bukan sifat yang menempel pada dzat-Nya.

1. Al-Adl
Tuhan Maha Adil. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang
baik dan terbaik dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu
adil bila tidak mengingkari janji-Nya. Dengan demikian Tuhan terikat
dengan janji-Nya. Orang beriman akan masuk surga dan orang kafir
akan masuk neraka.

1. Al-Wad wa al-Waid
Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu
memberi pahal surga bagi yang berbuat baik dan mengancam
dengan siksa neraka atas orang yang berbuat durhaka.

1. Al-Manzilah bain Al-Manzilatain


Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar
dan belum tobat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasik.

1. Al-Amr bi Al-Maruf wa An-Nahy An Munkar


Menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran. Ajaran ini
menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini
merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan
keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik.

1. F. SYIAH
1. PENGERTIAN
Syiah dilihat dari segi bahasa berarti pengikut, pendukung atau
kelompok. Sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum
muslimin yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya merujuk
pada keturunan Nabi (ahlul-Bait). Point penting dalam syiah adalah
pernyataan bahwa petunjuk agama itu bersumber dari ahlul bait.
Mereka menolak petunjuk-petunjuk dari sahabat yang bukan ahlul
bait atau pengikutnya.[62]
Ajaran syiah berawalan pada sebutan untuk pertama kalinya
kepada pengikut Ali (Syiah Ali), pemimpin pertama ahlul bait pada
masa Rasulullah SAW hidup. Kejadian-kejadian pada awal munculnya
Islam dan pertumbuhan Islam selanjutnya selama 23 tahun masa
kenabian.[63]
Kaum syiah ialah orang-orang yang menyokong Ali bin Abi Thalib ra.
Ali telah mempunyai pendukung-pendukung sejak permulaan
sesudah wafat Rasulullah SAW, di antaranya : Jabir Ibnu Abdillah,
Huzaifah Ibnu Yaman, Salman Al Farisi, Abu Zar Al Gifari dan lainnya.
[64]
Inti ajaran syiah adalah berkisar masalah khalifah. Jadi masalah
politik yang akhirnya berkembang dan bercampur dengan masalah-
masalah agama.[65]
1. ASAL-USUL KEMUNCULAN SYIAH
Mengenai kemunculan syiah dalam sejarah terdapat dikalangan
para ahli. Syiah mulai muncul pada saat akhir pemerintahan
Utsman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib.[66]
Adapun dikalangan tokoh-tokoh syiah sendiri terdapat kekacauan
pandangan mengenai awal kemunculan syiah ini seperti :
Anaubkhati, tokoh Syiah berpendapat bahwa golongan syiah itu
baru ada setelah Nabi wafat. Sedangkan Ibnu Nadir berpandangan
bahwa golongan syiah tidak terbentuk setelah perang jamal.
Ada pula yang mengatakan bahwa nama syiah, baru muncul /
terkenal ketika perang siffin antara Ali ra dengan Muawiyah[67] dan
masih banyak pendapat lainnya.
Kalangan syiah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syiah
berkaitan dengan masalah pengganti Nabi SAW, mereka menolak
dengan tegas pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Utsman dan
menganggap Ali lah yang lebih berhak menjadi khalifah.

Bukti utama tentang sahaya Ali sebagai pengurus Nabi adalah


peristiwa Ghadir Khumm. [68]
Syiah mendapat pengikut besar pada masa dinasti Amawiyah (Yazid
bin Muawiyah) di masa pemerintahan Yazid cucu Rasulullah Husien
dipenggal kepalanyaoleh Ibnu Ziyad, setelah dipenggal kemudian
kepala Husien dibawa ke hadapan Yazid dan dengan tongkat Yazid
memukul kepala cucu Rasulullah SAW yang pada waktu kecilnya
sering dicium Nabi.[69]
1. SEKTE-SEKTE SYIAH
1. Syiah Imamiyah atau syiah Itsna Asyariyah
Dinamakan syiah Imamiyah karena yang menjadi dasar aqidah
mereka adalah soal Imam (dalam arti khalifah).[70]Syiah Imamiyah
juga terkenal sebagai syiah Itsna Asyariah, sebabnya karena
mempunyai dua belas Imam saja.[71]
Dua belas yang mereka yakini ialah :

1. Al-Murtadha, lahir tahun 23 SH, wafat tahun 40 H (Abdul Hasan Ali


bin Abi Thalib).
2. Azzaky, lahir tahun 2 H, wafat tahun 50 H (Abu Muhammad Hasan
bin Ali).
3. Sayyidusy Syuhada, lahir tahun 3 H, wafat tahun 61 H.
4. Zainal Abidin, lahir tahun 38 H, wafat 95 H (Abu Muhammad Ali bin
Husien)
5. Al-Baqir, lahir tahun 57 H, wafat 114 H (Abu Jafar Muhammad bin
Ali).
6. Ash-Shadiq, lahir tahun 83 H, wafat 147 H (Abu Abdillah Jafar bin
Muhammad).
7. Al-Kazhim, lahir tahun 128 H, wafat tahun 183 H (Abu Ibrahim Musa
bin Jafar).
8. Ar-Ridha, lahir tahun 148 H, wafat tahun 203 H (Abu Hasan Ali bin
Musa)
9. Al- Jawwad, lahir tahun 195 H, wafat tahun 220 H (Abu Jafar
Muhammad bin Ali).
10. Al-Hadi, lahir tahun 212 H, wafat tahun 254 H (Abdul Hasan Ali bin
Muhammad)
11. Al-Askari, lahir tahun 232 H, wafat tahun 260 H (Abu Muhammad bin
Ali)
12. Al-Mahdi, lahir tahun 256 H (Abul Qasim Muhammad bin Hasan).[72]
13. Syiah Zaidiyah
Disebut Syiah Zaidiyah karena sekte ini mengakui Zaid bin Ali
sebagai Imam yang kelima, putra Imam keempat, Zainal Abidin.
Kelompok ini berbeda dengan sekte Syiah lain yang mengakui
Muhammad Baqir, putra Zainal Abidin yang lain, sebagai Imam
kelima. Dari nama Zaid bin Ali inilah, Zaidiyah diambil.[73]
Oleh karena itu, kelompk Syiah Zaidiyah tidak menuduh Abu Bakar
dan Umar sebagai perampas hak kekhalifahan yang seyogyanya
diperuntukan bagi Ali. Jadi, kekhalifahan Abu Bakar dan Umar
adalah sah menurut mereka meskipun yang lebih berhak adalah Ali.

Dalam masalah akidah, mazhab Zaidiyah lebih condong kepada


Mutazilah. Imam Zaid tokoh pendiri mazhab ini (Zaidiyah) adalah
murid dari Washil bin atha yang bapak moyangnya Mutazilah. Dalam
masalah fiqh mereka lebih mirip dengan mazhab Syafii.[74]
1. Syiah Ismailiyah
Ismailiyyah adalah bagian dari aliran Syiah Imamiyyah. Dalam
sejarah Islam mereka tercatat pernah berjaya dengan suatu
kekuasaan yang besar, yaitu Dinasti Fatimiyyah di Mesir dan Syam.
Nama aliran ini dinisbahkan kepada Ismail bin Jafar al-Shadiq. Ia
adalah imam keenam dalam aliran Imamiyyah dua belas. Imam
berikutnya adalah Musa Al-Kazim sebagai imam ketujuh. Namun
aliran Ismailiyyah menetapkan bahwa imam ketujuh adalah anaknya
yang bernama Ismail. Mereka mengatakan bahwa hal itu
berdasarkan nash dari ayahnya, Jafar tetapi Ismail wafat
mendahului ayahnya. Walaupun Ismail telah wafat, mereka tetap
menerapkan nash itu, sehingga keimaman terus berlangsung
setelah Ismail wafat. Prinsip mereka ialah mengamalkan nash itu
lebih baik daripada meninggalkannya. Hal itu tidak mengherankan
karena mereka memandang ucapan-ucapan seorang imam
sepenuhnya sama dengan nash-nash syara yang wajib dilaksanakan
dan tidak boleh ditinggalkan.

Hak keimaman melalui Ismail berpindah kepada anaknya


Muhammad al-Maktum. Sejak Muhammad mulailah ada doktrin
bahwa para imam tersembunyi atau tertutup, karena mereka
menetapkan bahwa seorang imam dapat saja tersembunyi dan tetap
wajib dipatuhi. Tersembunyinya seorang imam tidak menghalanginya
untuk menjadi imam.

Setelah Muhammad al-Maktum yang menajdi imam berturut-turut


ialah Muhammad al-Habib ibn Muhammad al-Maktum dan anak al-
Habib, Abdullah al-Mahdi yang kemudian menampakkan dirinya di
Afrika Utara dan kerajaan Maghrib. Daulah Fathimiyyah di Mesir
timbul setelah Abdullah al-Mahdi muncul.[75]
Karena menganut paham Syiah, para pengikutnya mengalami
penderitaan dan diburu sehingga melarikan diri dari Irak ke Persia,
Khurasan dan kawsan-kawasan Islam lainnya sepertin India dan
Turkistan. Di daerah-daerah itu paham aliran ini bercampur dengan
sebagian kepercayaan Persia kuno dan pemikiran filsafat India.
Karena dipengaruhi paham dan pemikiran-pemikiran itu, banyak
penganut aliran Ismailiyyah yang menyimpang sehingga mereka
banyak mengikuti hawa nafsunya. Itulah sebabnya muncul
kelompok-kelompok baru yang membawa nama aliran Ismailiyyah
yang sebagiannya masih dalam ruang lingkup pemahaman ajaran
Islam, tetapi sebagian lagi menyimpang karena pahamnya telah
tercemar dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pokok Islam.

Aliran Ismailiyyah dinamai juga dengan al-Bathiniyyah (al-Bathiyyun)


antara lain karena mereka selalu mengatakan bahwa imam mereka
tesrembunyi, dan selalu tersembunyi sampai munculnya kerajaan
mereka di Maghrib yang kemudian pindah ke Mesir. Sebab lain ialah
karena mereka mengatakan bahwa syariat itu ada yang lahir dan
ada yang bathin. Masyarakat Islam hanya mengetahui yang lahir,
sedangkan imam mengetahui yang bathin, malah yang lebih
mendalam lagi dari itu. Dengan alasan itu mereka mentawilkan
ayat-ayat Al-Quran dengan tawil yang sangat jauh. Pendapat
mereka dalam masalah ilmu lahir dan ilmu bathin ini sama dengan
pendapat aliran Imamiyyah dua belas. Sebagian aliran tasawuf juga
mengadopsi paham ini.

Pendapat-pendapat yang dianut oleh kalangan aliran Ismailiyyah


yang moderat didasarkabn atas tiga teori yang sebagian besar
dianut juga oleh aliran Ismailiyyah dua belas, yaitu :
1. Limpahan cahaya Illahi (al-Faidh al-Illahi) dalam bentuk
pengetahuan yang dilimpahkan Allah kepada para Imam.
2. Seorang imam tidak mesti menampakkan diri dan dikenal, tetapi
dapat tersembunyi dan meskipun begitu ia wajib dipatuhi. Ia adalah
al-Mahdi yang akan memberi petunjuk kepada manusia.
3. Seorang imam tidak bertanggung jawab kepada siapa pun, dan
siapa pun tidak boleh mempersalahkannya ketika ia melakukan suatu
perbuatan.
1. G. KHALAF (AL-ASYARI DAN AL-MATURIDI)
1. 1. AL-ASYARI
1. Riwayat Hidup Al-Asyari
Namanya Abdul Hasan Ali bin Ismail Al-Asyary keturunan dari Abu
Musa Al-Asyary salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali
dan Muawiyah. Al-Asyari lahir tahun 260 H / 873 M dan wafat pada
tahun 324 H / 935 M. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang
Mutazilah terkenal, yaitu Al-Jubbai, mempelajari ajaran-ajaran
Mutazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus sampai
berusia 40 tahun dan tidak sedikit dari hidupnya untuk mengarang
buku-buku kemutazilahan.

Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama


15 hari, kemudian eprgi ke Mesjid Basrah. Di depan orang banyak ia
menyatakan bahwa ia mula-mula mengatakan Quran adalah
makhluk: Tuhan tidak dapat dilihat matakepala; perbuatan buruk
manusia sendiri yang membuatnya. (semuanya pendapat aliran
Mutazilah). Kemudian ia mengatakan: Saya tidak lagi memegangi
pendapat-pendapat tersebut; saya harus menolak paham-paham
orang Mutazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan
kelemahan-kelemahannya.[76]
Al-Ayari meninggalkan aliran Mutazilah selain karena merasa tidak
puas terhadap konsepsi aliran tersebut dalam soal-soal al-Ashlah
(keharusan mengerjakan yang terbaik bagi Tuhan), juga karena ia
melihat ada perpecahan di kalangan kaum Muslimin yang bisa
melemahkan mereka, kalau tidak segera diakhiri. Sebagai seorang
muslim yang gairat akan kebutuhan kaum Muslimin, ia sangat
mengkhawatirkan kalau Al-Quran dan hadits-hadits Nabi akan
menjadi korban faham-faham aliran Mutazilah yang menurut
pendapatnya tidak dapat dibenarkan, karena didasarkan atas
pemujaan kekuatan akal pikiran, sebagaimana dikhawatirkan juga
akan menjadi korban sikap ahli hadits anthropomorphist yang hanya
memegang lahir (bunyi) nas-nas agama dengan meninggalkan
jiwanya dan hampir menyeret Islam ke lembah kebekuan yang tidak
dapat dibenarkan. Melihat keadaan demikian, maka Asyari dan
golongan textualist dan ternyata jalan tengah tersebut dapat
diterima oleh mayoritas kaum Muslimin.[77]
1. Karya-Karyanya
Ia bukan sekedar mengambil jalan tenagh tersebut di atas tetapi
juga ditulisnya dalam kitab-kitabnya agar bisa dibaca orang banyak.
Ia meninggalkan karangan-karangan kurang lebih berjumlah 90 buah
dalam berbagai lapangan. Ia menolak pikiran-pikiran Aristoteles,
golongan materialist, anthropomorphist, Khawarij dan golongan-
golongan Islam lain, akan tetapi sebagian kegiatannya ditujukan
untuk menghadapi orang-orang Mutazilah, seperti Jubbai, Abil
Huzail dan lain-lain, sebagaimana ditujukan terhadap dirinya sendiri
sewaktu ia masih menjadi pengikut Mutazilah.

Kitab-kitabnya yang terkenal ada 3, yaitu :

1) Maqalat al-Islamiyah (Pendapat-Pendapat golongan-golongan


Islam)
Kitab ini adalah kitab yang pertama kali dikarang tentang
kepercayaan-kepercayaan golongan Islam, dan juga merupakan
sumber terpenting karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya.
Kitab tersebut dibagi 3 :

a) Berisi pendapat bermacam-macam golongan Islam

b) Tantang pendirian ahli hadits dan sunnah

c) Tentang bermacam-macam persoalan ilmu kalam

2) al-Ibanah an Ushulud Diniyah (Keterangan Tentang Dasar-Dasar


Agama)

Kitab ini berisi uraian tentang kepercayaan ahli Sunnah dan


dimulainya dengan memuji Ahmad bin Hanbal dan menyebutkan
kebaikan-kebaikannya. Uraian-uraian kitab ini tidak tersusun rapi,
meskipun menyangkut persoalan-persoalan yang penting dan
banyak sekali.

3) al-Luma (Sorotan)

Kitab ini dimaksudkan untuk membantah lawan-lawannya dalam


beberapa persoalan ilmu kalam.[78]
1. Corak Pemikiran dan Pendapatnya
Al-Ayari sebagai orang yang pernah menganut paham Mutazilah,
tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi
pikiran. Ia menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan
bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal agama atau
membahas soal-soal yang tidak pernah disinggung-singgung oleh
Rasul merupakan suatu kesalahan. Sahabat-sahabat Nabi sendiri,
sesudah wafat beliau, banyak membicarakan soal-soal baru dan
meskipun demikian mereka tidak disebut orang-orang yang sesat.

Ia menentang keras orang yang berkeberatan membela agama


dengan ilmu kalam (Thelogy Islam) dan argumentasi pikiran,
keberatan mana tidak ada dasarnya dalam Quran maupun hadits.

Ia juga mengingkari orang yang berlebih-lebihan menghargai akal


pikiran yaitu aliran Mutazilah. Karena aliran ini tidak mengakui
sifat-sifat Tuhan.

Dengan demikian jelaslah bahwa kedudukan Imam Al-Asyari seperti


yang dilukiskan oleh pengikut-pengikutnya sebagai seorang muslim
yang ikhlas membela kepercayaan dan mempercayai isi Quran dan
Hadits dengan menempatkannya sebagai dasar (pokok) di samping
menggunakan akal pikiran, di mana tugasnya tidak lebih daripada
memperkuat nas-nas tersebut.[79]
Ada beberapa pendapat Al-Asyari, antara lain :

1) Sifat

Pendapat Al-Asyari dalam soal sifat terletak di tengah-tengah


antara aliran Mutazilah di satu pihak dan aliran Hasywiyah dan
Mujassimah di lain pihak. Aliran Mutazilah tidak mengakui sifat-sifat
wujud, qidam, baqa, dan wahdaniyah (Keesaan). Sifat zat lain,
seperti sama, bashar dan lain-lain tidak lain hanya zat Tuhan
sendiri. Golongan Hasywiyah dan Mujassimah mempersamakan
sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk.

Al-Asyari dalam pada itu mengakui sifat-sifat Tuhan yang tersebut


sesuai dengan Zat Tuhan sendiri, dan sama sekali tidak menyerupai
sifat-sifat makhluk. Tuhan mendengar, tetapi tidak seperti kita
mendengar dan seterusnya.[80]
2) Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia

Menurut aliran Asyariyah faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan


terbaik bagi manusia (as-shalah wa al-ashlah), sebagaimana
dikatakan aliran Mutazilah tidak dapat diterima karena
bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa
Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia.
Dengan demikian aliran Asyariyah tidak menerima paham Tuhan
mempunyai kewajiban.

Karena berpendapat pada kekuasaan mutlak Tuhan dan


berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran
Asyariyah menerima paham pemberian beban di luar kemampuan
manusia. Al-Asyari sendiri dengan tegas mengatakan dalam al-Luma
bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul pada
manusia. [81]
3) Melihat Tuhan pada hari Kiamat

Menurut aliran Mutazilah Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata


kepala dan dengan demikian, mereka menawilkan ayat-ayat yang
mengatakan adanya ruyat, di samping menolak hadits-hadits Nabi
yang menetapkan ruyat, karena tingkatan hadits itu menurut
mereka adalah Ahad.

Menurut golongan Musyabbihah Tuhan dapat dilihat dengan cara


tertentu dan pada arah tertentu pula. Dengan menempuh jalan
tengah antara kedua golongan tersebut, Al-Asyari mengatakan
bahwa Tuhan dapat dilihat, tetapi tidak menurut cara tertentu dan
tidak pula pada arah tertentu.[82]
Tuhan dapat dilihat di akhirat, dengan alasan-alasan yang
dikemukakannya ialah bahwa sifat-sifat yang tak dapat diberikan
kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti
diciptakannya Tuhan. Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa
kepada hal ini; karena apa yang dapat dilihat tidak mesti
mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan. Dengan
demikian kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat, itu tidak mesti berarti
Tuhan harus ebrsifat diciptakan.[83]
4) Dosa besar

Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asyari sebagai wakil ahl


As-Sunnah tidak mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah
walaupun melakukan dosa besar seperti berzina dan mencuri.
Menurutnya mereka masih tetap orang yang beriman dengan
keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar.
[84] Akan tetapi, jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan
dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang
telah kafir.[85]
Adapun balasan diakhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia
meninggal dan tidak sempat bertobat, maka menurut Al-Asyari hal
itu ebrgantung kepada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak
Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa
besar itu mendapat syafaat dari Nabi Muhammad SAW sehingga
terbebas dari siksa neraka atau kebalikannya, yaitu Tuhan
memberinya siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang
dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti
orang-orang kafir lainnya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya
selesai, ia akan dimasukkan ke dalam surga.[86]
Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa Asyariyah sesungguhnya
mengambil posisi yang sama dengan Murjiah, khususnya dalam
pernyataan yang tidak mengafirkan para pelaku dosa besar.

5) Keadilan

Pada dasarnya Al-Asyari dan Mutazilah setuju bahwa Allah itu adil.
Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-
Asyari tidak sependapat dengan Mutazilah yang mengharuskan
Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah
dan memberi pahala bagi orang yang baik.

Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia


adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa
Mutazilah mengartikan keadilan dari visi manusia memiliki dirinya,
sedangkan Al-Asyari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
[87]
Aliran Asyari seterusnya menentang faham keadilan yang dibawa
Mutazilah. Dengan demikian ia juga tidak setuju dengan ajaran
Mutazilah tentang al wad wa al-waid.[88]
1. Perkembangan Aliran Asyariyah
Pendirian Al-Asyari tersebut di atas merupakan tali penghubung
antara 2 aliran alam fikiran Islam, yaitu aliran lama (textualist) dan
aliran baru (rasionalist). Akan tetapai sesudah wafatnya, aliran
Asyariyah mengalami perobahan yang cepat. Kalau ada permulaan
berdirinya kedudukannya hanya sebagai penghubung antara kedua
aliran tersebut, maka pada akhirnya aliran Asyariyah lebih condong
kepada segi akal fikiran semata-mata dan memberinya tempat yang
lebih luas daripada nas-nas itu sendiri. Mereka sudah berani
mengeluarkan keputusan bahwa akal menjadi dasar naqal
(nas) karena dengan akallah kita menetapkan adanya Tuhan,
pencipta alam dan Yang Maha Kuasa. Pembatalan akal fikiran
dengan nas berati pembatalan dasar (pokok) dengan cabangnya
yang berakibat pula pembatalan pokok dan cabangnya sama sekali.
Karena sikap tersebut, maka Ahlus Sunnah tidak dapat menrima
golongan Asyariyah, bahkan memusuhinya, sebab dianggap sesat
(bidah). Kegiatan mereka sesudah adanya permusuhan ini menjadi
berkurang, sehingga datang Nizamul Muluk (wafat 485 H / 1092 M),
seorang menteri Saljuk, yang mendirikan 2 sekolah terkenal yang
namanya, yaitu Nizamiyyah di Nizabur dan Baghdad, di mana hanya
aliran Asyariyah saja yang boleh diajarkan. Sejak itu aliran
Asyariyah menjadi aliran resmi negara, dan golongan Asyariyah
menjadi golongan Ahlus Sunnah.[89]
1. Tokoh-Tokoh Aliran Asyariyah
Suatu utama bagi kemajuan aliran Asyariyah, ialah karena aliran ini
mempunyai tokoh-tokoh yang kenamaan, seperti yang telah
disinggung di atas yang mengkonstruksikan ajaran-ajarannya atas
dasar filsafat metafisika. Tokoh-tokoh tersebut antara lain :

1) Al-Baqillani (wafat 403 H)

2) Ibnu faurak (wafat 406 H)

3) Ibnu ishak al-Isfaraini (wafat 418 H)

4) Abdul Kahir al-Bagdadi (wafat 429 H)

5) Imam al-Haramain al-Juwaini (wafat 478 H)


6) Abdul Mudzaffar al-Isfaraini (wafat 478 H)

7) Al-Ghazali (wafat 505 H)

8) Ibnu Tumart (wafat 524 H)

9) As-Syihristani (wafat 548 H)

10) Ar-Razi (1149 1209 H)

11) Al-Iji (wafat 756 H / 1359 M)

12) As-Sanusi (wafat 895 H).[90]


1. 2. AL-MATURIDI
1. Biografi Al-Maturidi
Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di
daerah Samarkand wilayah Transoxiana di Asia Tengah daerah yang
sekarang disebut Uzbekistan. Ia dieprkirakan lahir sekitar
pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H / 944 M.
[91]
Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-
Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H.[92] Al-Maturidi hidup pada masa
khalifah Al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232 274 H / 847
861 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni
bidang teologi daripada fiqih. Ini dilalukan untuk memperkuat
pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak
berkembang pada masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak
sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara.
Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya
tulis.[93]
Maturidy semasa hidupnya dengan Asyari , hanya dia hidup di
Samarkand sedangkan Asyari hidup di Basrah (Iraq). Maturidy
adalah pengikut mazhab Hanafy.

Al-Maturidi mendasarkan pikiran-pikirannya dalam soal-soal


keprcayaan kepada pikiranpikiran Abu Hanifah yang tercantum
dalam kitabnya al-Fiqh al-Akbar dan al-Fiqh al-Absat dan
memberikan ulasan-ulasannya terhadap kedua kitab tersebut. Al-
Maturidy meninggalkan karangan-karangan yang banyak dan
sebagian besarnya dalam lapangan ilmu tauhid.[94]
1. Karya-Karyanya
Di antara karya-karya Maturidi adalah :

1) Kitab Tauhid

2) Tawil Quran

3) Makhaz AsySyarai

4) Al-Jadl

5) Ushul fi Ashul ad-Din

6) Maqalat fi Ahkam Radd Awail Al-Abdillah li Al-Kabi

7) Radd al-Ushul al-Khamisah li Abu Muhammad al-Bahili

8) Radd al-Imamah li Al-Baad Ar-Rawafid

9) Kitab Radd ala Al-Qaramatah.

10) Risalah fi Al-Aqaid

11) Syarh Fiqh al-Akbar


1. Ajaran-Ajaran Teologi Al-Maturidi
1) Akal dan wahyu

Dalam pemikirannya Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran dan


akal, namun porsi untuk akal lebih banyak. Menurut al-Maturidi
mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui
dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal
tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan
agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh
pengetahuan dan keimanan kepada Allah SWT.

Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada 3 macam


yaitu :

a) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu


itu

b) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu


itu

c) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu


kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.

2) Perbuatan manusia

Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan


karena seagla sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus
mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan
kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan
berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepadanya dapat dilaksanakannya.
3) Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan

Qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut) tetapi perbuatan


dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan
keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.

4) Sifat Tuhan

Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama, bashar dan sebagainya.


Pengertian al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-
Asyari. Al-Asyari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang
bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri. Sedangkan Al-
Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai
esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu
mulzamah dzat tanpa terpisah.

5) Melihat Tuhan

Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan kelak


di akhirat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun
Ia immaterial.

6) Kalam Tuhan

Menurut Maturidi, Mutazilah memandang Al-Quran sebagai yang


tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Asyari
memandangnya dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut
Mutazilah bukan merupakan sifat-Nya dan bukan pula dari dzat-Nya.
Al-Quran sebagai sabda Tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang
diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat ini diterima al-
Maturidi, hanya saja Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah
hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Quran. Dalam
konteks ini, pendapat Al-Asyari juga memiliki kesamaan dengan
pendapat al-Maturidi, karena yang dimaksud Al-Asyari dengan
sabda adalah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut al-
Maturidi dan itu memang sifat kekal Tuhan.[95]
7) Pengutusan Rasul

Menurut al-Maturidi akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk


mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi pengutusan Rasul
ebrfungsi sebagai sumber informasi. Pandangan al-Maturidi ini tidak
jauh berbeda dengan pandangan Mutazilah bahwa pengutusan
Rasul itu kewajiban Tuhan

8) Pelaku dosa besar

Orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam
neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan
telah menjanjikan akan memebrikan balasan manusia sesuai
dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah untuk orang-
orang musyrik .

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Al-Qahir bin Thahir bin Muhammad Al-Bagdadi. Al-Farq bain Al-
Firaq. Al-Azhar. Mesir. 1037.
Abi Al-Fath Muhammad Abd Al-Karim bin Abi Baskar Ahmad Asy-
Syahrastani. Al-Milal wa An-Nihal. Dar Al-Fikr. Libanon. Beirut. t.t..
Ali Mustahafa Al-Ghurabi. Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah wa nasyatu Ilmi
Al-Kalam Inda Al-Muslimin. Maktabah wa mathbaah Muhammad Ali
Shabih wa auladuhu. Haidan Al-Azhar. Mesir. Cet II. 1958.
Harun Nasution. Teologi Islam : Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. UI.
Press. Cet I. 1985.
Muhammad Fazlul Rahman Ansari. Konsepsi Masuarakat Islam
Modern. Terj. Juniarso Ridwan, dkk. Risalah. Bandung. 1984.
Amir An-Najar. Al-Khawarij : Aqidatan wa fikratan wa falsafatan. Terj. Afif
Muhammad dkk. Lentera. Cet I. Bandung. 1993.
Ibrahim Madzkur. Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Thatbiquh. Juz
II. Dar Al-Maarif. Mesir. 1947.
Nurchalis Madjid, ( Ed. ). Khazanah Intelektual Islam. Bulan Bintang,
Cet II. Jakarta. 1985.

Anda mungkin juga menyukai