PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam.
Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran
tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi),
hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan
mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang
kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang
dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu,
tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa
kontroversi dalam umat, terutama bagi aliran yang bercorak atau
berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi.
Banyak yang mengidentikkan khawarij dengan kekerasan dan
mengidentikan Mu’tazilah dengan nyeleneh, sesat, cenderug merusak tatanan
agama Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran Islam dan pendapat dari
aliran-aliran yang lainya. Agar tidak terjebak dalam kontroversi dan
kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji
masalah ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam di
setiap sisinya. Dengan semangat itulah, penulis mencoba menguraikan
beberapa hal yang berkaitan tentang aliran-aliran yang ada dalam agama
islam,diantaranya adalah aliran khawarij, jabariyah, qodariyah,murji’ah,
asy’ariyah, mu’tazilah, maturidiyah, dan syi’ah. Dalam makalah ini, penulis
akan memaparkan tentang sejarah, pemikiran , dan analisa dari berbagai aliran-
aliran yang tersebut di atas.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja aliran-aliran dalam Akidah Islam?
2. Bagaimana latar belakang kemunculan aliran-aliran dalam Akidah Islam?
3. Bagaimana perkembangan aliran-aliran dalam Akidah Islam?
1
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa saja aliran-aliran dalam Akidah Islam.
2. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang kemunculan aliran-aliran
dalam Akidah Islam.
3. Untuk mengetahui perkembangan kemunculan aliran-aliran dalam Akidah
Islam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. KHAWARIJ
1. Latar Belakang Kemunculan Khawarij
Kata khawarij secara etimologis berasal dari bahasa Arab kharaja
yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Adapun yang
dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu
sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar
meninggalkan barisan karena tidak sepakat terhadap Ali yang menerima
arbitrase/tahkim dalam perang siffin pada tahun 37 H/648 M dengan
kelompok bughat (pemberontak) Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal
persengketaan khilafah. Kelompok khawarij mulanya memandang Ali dan
pasukannya berada pada pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah
sah yang telah dibai’at mayoritas umat islam, sementara Mu’awiyah
berada pada pihak yang salah karena memberontak kepada khalifah sah.
Lagi pula berdasarkan estimasi khawarij, pihak Ali hampir memperoleh
kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya
licik ajakan damai Mu’awiyah, kemenagan yang hampir diraih menjadi
raib.1
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan dibalik ajakan damai
kelompok Mu’awiyah, sehingga pada mulanya Ali menolak permintaan
itu. Akan tetapi, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama qurra’,
seperti AL-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-Tamimi dan Zaid bin
Husein Ath-Tha’i, dengan terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar
(komandan pasukan Ali) untuk menghentikan peperangan.2
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan
Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai (hakam)-nya, tetapi
orang-orang khawarij menolaknya dengan alasan bahwa Abdullah bin
Abbas adalah orang yang berasal dari kelompok Ali. Mereka lalu
1
H. Abdul Rozak dan H. Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Rev., Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm. 64
2
Ibid.
3
mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al- Asy’ari dengan harapan
dapat memuuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim,
yaitu Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya,
sementara Mu’awiyah dinobatkan menjadi khalifah oleh delegasinya pula
sebagai pengganti Ali, akhirnya mengecewakan orang-orang khawarij.
Sejak itulah, orang-orang khawarij membelot dengan mengatakan,
“Mengapa kalian berhukum kepada manusia? Tidak ada hukum selain
hukum yang ada pada sisi Allah”. Mengomentari perkataan mereka Imam
Ali menjawab “itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan
dengan keliru.” Pada waktu itulah orang-orang khawarij keluar dari
pasukan Ali dan langsung menuju Harura, sehingga khawarij disebut juga
dengan nama Hururiah.
Di Harura, kelompok khawarij melanjutkan perlawanan selain
kepada Mu’awiyah juga kepada Ali. Di sana mereka mengangkat seorang
pimpinan definitif yang bernama Abdullah Al kiwa untuk sampai ke
Harura.3
2. Doktrin-doktrin Pokok Khawarij4
Diantara doktrin-doktrin pokok khawarij adalah:
a. Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam,
b. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab,
c. Setiap orang muslim berhak menjadi khalifah asal sudah memenuhi
syarat,
d. Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap
adil dan menjalankan syari’at islam, ia harus dijatuhkan bahkan
dibunuh jika melakukan kezaliman,
e. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah,
tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a.
dianggap telah menyeleweng,
f. Khalifah Ali juga sah, tetapi setelah terjadi arbitrase, ia dianggap
menyeleweng
3
Ibid., hlm. 65
4
Ibid., hlm. 65-66
4
g. Pasukan perang jamal yang melawan Ali juga kafir.
3. Perkembangan Khawarij
Khawarij, sebagaimana telah dikemukakan, telah menjadikan
imamah/khilafah/politik sebagai doktrin sentral yang memicu timbulnya
doktrin-doktrin teologis lainnya. Radikalitas yang melekat pada watak dan
perbuatan kelompok khawarij menyebabkannya sangat rentan pada
perpisahan, baik secara internal kaum khawarij maupun secara eksternal
dengan sesama kelompok islam lainnya. Para pengamat telah berbeda
pendapat tentang berapa banyak prpecahan yang terjadi dalam tubuh kaum
khawarij. Al-Bagdadi mengatakan bahwa sekte ini telah dipecah menjadi
20 subsekte. Harun megatakan bahwa sekte ini telah pecah menjadi 18
subsekte. Adapun Al-Asfarayani, seperti dikutip Bagdadi, mengatakan
bahwa sekte ini telah pecah menjadi 22 subsekte.5
Terlepas dari berapa banyak sebsektepecahan khawarij, tokoh-
tokoh yang disebutkan diatas sepakat bahwa subsekte khawarij yang besar
hanya ada 8, yaitu:
a. Al-Muhakkimah,
b. Al-Azriqah,
c. An-Najdat,
d. Al-Baihasiyah
e. Al-Ajaridah,
f. As-Saalbiyah,
g. Al-Abadiyah,
h. As-Sufriyah.6
5
Ibid., hlm. 68-69
6
Ibid., hlm 69
5
tidak jelas. Hal ini menyebabkan dalam kondisi tertentu seseorang dapat
disebut mukmin sekaligus pada waktu bersamaan disebut kafir.7
7
Ibid.
8
Ibid., hlm. 70
9
Ibid., hlm 70-71
6
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja’ yang merupakan basis
doktrin Murji’ah muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang
diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-
Hanafiyah, sekitar tahun 695. Watt, penggegas teori ini menceritakan
bahwa 20 tahun setelah meninggalnya Mu’awiyah tahun 680, dunia islam
dikoyak oleh pertikaian sipil, yaitu Al-Mukhtar membawa paham syi’ah
ke kufah dari tahun 685-687; Ibnu Zubair mengklaim kekhakifahan di
Mekah hingga kekuasaan Islam. Sebagai respon dari keadaan ini muncul
gagasan irja’ atau penangguhan (postponenment).gagasan ini tampaknya
pertama kali dipergunakan sekitar tahun 695 oleh cucu Ali bin Abi Thalib,
Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiya, dalam sebuah surat pendeknya
yang tampak autentik. Dalam surat itu, Al-Hasan menunjukkan sikap
politiknya dengan mengatakan, “kita mengakui Abu Bakar dan Umar,
tetapi menangguhkan keputusan atas persolan yang terjadi pada konflik
sipil pertama yang melibatkan Utsman, Ali, dan Zubair”. Dengan sikap
politik ini, Al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat islam. Ia
kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok syi’ah revolusioner
yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta
menjauhkan diri dari khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan
Mu’awiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan si pendosa utsman.10
7
disebut Murji’ah dengan mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap
mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah SWT,
apakah mengampuninya atau tidak.11
11
Ibid., hlm. 72
12
Ibid.
13
Ibid.
8
c. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang
berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah
SWT.
d. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para
skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
a. Iman adalah cukup dengan percaya kepada Allah SWT. Dan Rasul-
Nya. Adapun amal atau perbuatan bukan merupakan keharusan bagi
adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin
walaupun meninggalkan apa yang difardukan kepadanya dan
melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar.
b. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman dihati,
setiap maksiat tidak dapat mendatangkan mudharat ataupun gangguan
atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup
menjauhkan diri dari syirik dan meninggalkan dalam keadan akidah
tauhid.
a. Murji’ah Khawarij
b. Murji’ah Qodariyah
c. Murji’ah Jabariyah
d. Murji’ah Murni
e. Murji’ah Sunni (tokohnya adalah Abu Hanifah)
14
Ibid.
15
Ibid., hlm. 74
9
dan diampuni oleh Allah SWT. Praktis tidak termasuk neraka. Iman adalah
pengetahuan tentang Tuhan dan Rasul-rasul-Nya serta yang datang dari-
Nya secara keseluruhan, namun dalam garis besar. Iman tidak bertambah
dan tidak pula berkurang. Tidak ada perbedaan manusia dalam hal ini.
Penggagas pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi
Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis.16
16
Ibid., hlm 74-75
10
mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan. “saya tahu
Tuhan mewajibkan naik haji ke kakbah, tetapi saya tidak tahu apakah
kakbah di India atau ditempat lain.17
C. JABARIYAH
1. Latar Belakang Kemunculan Jabariyah
17
Ibid.
18
Ibid., hlm. 81-82
19
Ibid., hlm. 83
11
dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena
itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu.
Pertamaa, hukuman potong karena mencuri,. Kedua, hukuman dera
karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Khalifah Ali nin Abi Thalib seusai perang shiffin ditanya oleh
seseorang tentang kadar (ketentuan) Tuhan dan kaitannya dengan
pahalan dan siksa. Orang itu bertanya, “apabila perjalanan (menuju
perang shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada
pahala sebagai balasannya. “kemudian Ali menjelaskan bahwa qadha
dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Oleh karena itu ada pahala dan
siksa sebagai balasan amal perbutan manusia. Ali selanjutnya
menjelskan, sekiranya qadha dan qadar merupakan paksaan batal lah
pahala dan siksa, gugur pula lah makna janji dan ancaman Tuhan, serta
tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-
orang yang baik.
d. Pada pemerintahan daulah bani umayah, pandangan tentang al-jabar
semakin mencuat kepermukaan. Abdullah bin Abbas melalui suratnya
memberikan reaksi keras kepada penduduk siria yang diduga
berpaham “jabariyah”.20
2. Para Pemuka dan Doktrin-doktrin Pokok Jabariyah
Menurut Asy-Syahrastani, jabariah itu dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian, yaitu ekstrem dan moderat. Diantara doktrin jabariyah
ekstrem adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan
merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya, melainkan perbuatan
yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya kalau seseorang mencuri itu bukan
terjadi atas kehendk sendiri, melainkan karena qadha dan qadar Tuhan
yang mengghendaki demikian. Diantara pemuka jabariah ekstrem adalah
sebagai berikut:21
a. Jahm bin Shafwan
b. Ja’d bin Dirham
20
Ibid., hlm. 83-84
21
Ibid., hlm. 84-85
12
c. Al-Najjar
d. Adh-Dhirar
D. QADARIYAH
1. Sejarah Timbulnya.
Qadariyah mula-mula timbulnya sekitar tahun 70H/689 M,
dipimpin oleh Ma’bad al-Juhni al-Bisri dan Ja’ad bin Dirham, pada masa
pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M).
22
K.H. Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan
Perkembangannya, P.T. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 139
23
Ibid., hlm 140
13
Sehubungan pendapat Qadariyah tersebut, sebelumnya Nabi
Muhammad SAW. bersabda, yang artinya :
14
melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan
dayanya sendiri. Dalam paham ini manusia merdeka dalam tingkah
lakunya. Ia berbuat baik adalah atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Di
sini tak terdapat paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah
ditentukan terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-
perbuatannya hanya bertindak menurut nasibnya yang telah ditentukan
semenjak azal. Selain dari pengajur paham qadariah, Ghailan juga
merupakan pemuka Murji’ah dari golongan al-Saluhiah.25
25
Ibid., hlm. 35
26
K.H. Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan
Perkembangannya, P.T. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 141
27
Ibid., hlm. 142
15
iman ialah mengenal keadilan. Maksudnya ialah qadar (takdir) baik dan
buruk seseorang tanpa sedikit pun disandarkan kepada Allah Swt.”
E. MU’TAZILAH
1. Sejarah Timbulnya
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala, artinya
menyisihkan diri. Berbeda-beda pendapat orang tentang sebab-musabab
timbulnya firqoh Mu’tazilah itu. Seorang ulama tabi’in yang terkenal
bernama Imam Hasan al-Basri (w. 110 H) yang menyelenggarakan majelis
pengajarannya di masjid kota Basrah. Di antara muridnya yang terbilang
pandai ialah Washil bin Atho’ (w. 131 H). Suatu hari Imam Hasan al-Basri
ini menerangkan bahwa seorang Islam yang telah beriman kepada Allah
Swt. dan Rasulnya, kemudian orang itu melakukan dosa besar, lalu orang
itu meninggal sebelum bertobat, menurut Imam Hasan al-Basri orang itu
tetap Muslim. Hanya saja Muslim yang durhaka (ma’shiyat). Di akhirat
kelak, dia dimasukkan ke dalam neraka untuk sementara waktu guna
menerima hukuman atas perbuatan dosanya itu. Sampai batas tertentu
sesudah menjalani hukuman atas perbuatan dosanya itu. Sampai batas
waktu tertentu sesudah menjalani hukuma itu dia dikeluarkan dari neraka,
kemudia dimasukkan ke dalam surga.29
28
Ibid., hlm. 142-143
29
Ibid., hlm. 163
16
Washil bin Atho’ setelah menyatakan berbeda pendirian dengan
gurunya, lalu keluar dari majelis gurunya dan kemudian mengadakan
majelis sendiri di suatu sudut masjid Basrah itu. Karena itu majelisnya
dinamakan kaum Mu’tazilah, sebab memisahkan atau mengasingkan diri
dari jamaah majelis gurunya, yaitu Imam Hasan al-Basri. Washil diikuti
oleh seorang temannya bernama Amr bin ‘Ubaid (w. 144 H). Sewaktu
timbulnya gerakan Mu’tazilah, kekuasaan dipegang oleh Khalifah Hisyam
bin Abdul Malik (101-125 H) dari Bani Umayah.30
30
Ibid.
31
Ibid., hlm. 165
17
c. Al-Watsiq bin al-Mu’tashim (227-232 H).
32
Ibid., hlm. 166
18
sekalipun ada petunjuk dari nash. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi dengan
roh dan jasad, kebangkitan manusia dari kubur (hasyrul ajsad)
dianggapnya bertentangan dengan akal pikiran.33
2. Ajarannya
a. Tauhid
Tauhid adalah dasar ajaran Islam yang pertama dan utama.
Sebenarnya ajaran tauhid ini bukan monopoli Mu’tazilah saja, tetapi ia
menjadi milik setiap orang Islam. Hanya saja Mu’tazilah mempunyai
tafsiran yang khusus sedemikian rupa dan mereka
mempertahankannya, sehingga mereka menamakan dirinya sebagai
Ahlul ‘Adli Wat Tauhid.
Kaum Mu’tazilah memakai istilah “Tauhid” tersebut yaitu
bahwa kaum Mu’tazilah meniadakan sifat-sifat Tuhan. Mereka
menganut pendapat yang meniadakan sifat-sifat yang Qadim itu sama
sekali. Sebab, kalau seandainya memang ada sifat-sifat Yang Qadim,
tentulah akan ada beberapa yang Qadim. Dan ini adalah kepercayaan
syirik. Mereka berpendapat bahwa Allah Swt. adalah ‘Alim
(Mengetahui) dengan dzat-Nya, Qadir (Kuasa) dengan dzat-Nya,
Haiyun (Hidup) dengan dzat-Nya, Mutakallim (Berbicara) dengan
dzat-Nya. Berdasarkan atas pendapat tersebut maka mereka berkata,
bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, karena tak ada Yang Qadim kecuali
Allah Swt.
Karena adanya prinsip-prinsip ini, maka musuh-musuh
Mu’tazilah menggelari mereka dengan Mu’atthilah, sebab mereka
telah meniadakan sifat-sifat Tuhan dan menghapuskannya. Dan karena
prinsip-prinsip ini pulalah maka kepada orang-orang yang menetapkan
adanya sifat-sifat Tuhan lalu diberi gelar Shifatiyah. Dan karena
33
Ibid., hlm. 166-167
19
prinsip pertama dan kedua tersebut, maka kaum Mu’tazilah sendiri
menyebut diri mereka dengn “Ahlul ‘Adhi Wat Tauhdi” (pengemban
keadilan dan ketauhidan).34
b. Keadilan
Keadilan berarti meletakkan tanggung jawab manusia atas
perbuatan-perbuatannya. Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak
menciptakan perbuatan manusia, manusia bisa mengerjakan perintah-
perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, karena
kekuasaan yang dijadikan Tuhan pada diri manusia. Tuhan tidak
memerintah kecuali apa yang dilarang-Nya. Tuhan hanya menguasai
kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan berlepas diri dari
keburukan-keburukan yang dilarang-Nya. Dengan dasar keadilan ini,
Mu’tazilah menolak golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa
manusia dalam segala perbuatannya tidak mempunyai kebebasan,
bahkan manusia dalam keterpaksaan.35
c. Janji dan Ancaman
Tuhan berjanji akan memberikan pahala dan mengancam akan
memberikan siksaan, pasti dilaksanakan, karena Tuhan sudah
menjanjikan demikian. Siapa yang berbuat baik maka dibalas dengan
kebaikan dan sebaliknya mereka yang berbuat kejahatan akan dibalas
dengan kejahatan pula. Tidak ada ampunan terhadap dosa besar tanpa
tobat, sebagaimana tidak mungkin orang berbuat baik yang tidak
menerima pahala.
Kaum Mu’tazilah sepakat mengatakan bahwa seorang Mukmin
apabila meninggal dalam keadaan taat dan tobat, dia berhak untuk
mendpatkan pahala. Juga berhak untuk mendapatkan tafaddhul
(karunia Tuhan), yaitu suatu pengertian lain dibalik pahala. Dan
apabila seorang Mukmin meninggal tanpa bertobat lebih dahulu dari
sesuatu dosa besar yang telah diperbuatnya, maka dia ditempatkan
dalam neraka selama-lamanya, akan tetapi siksa yang diterimanya
34
Ibid., hlm. 168-169
35
Ibid., hlm. 169-170
20
lebih ringan daripada siksa orang yang kafir. Inilah yang mereka sebut
janji dan ancaman.36
d. Tempat di Antara Dua Tempat
Washil bin Atho’ mengatakan bahwa orang yang berdosa besar
selain musyrik itu tidak Mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq.
Fasiq terletak antara iman dan kafir.37
e. Amar Makruf Nahi Munkar
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan taklif dan
lapangan fiqih daripada lapangan tauhid. Di dalam Al-Qur’an banyak
ayat yang menerangkan tentang masalah amar makruf dan nahi
munkar ini, antara lain pada surat Ali Imran ayat 104 dan surat
Luqman ayat 17. Prinsip ini harus dijalankan oleh setiap orang Islam
untuk menyiarkan agama dan mengambil bagian dari tugas ini. Sejarah
menunjukkan betapa gigihnya orang-orang Mu’tazilah itu
mempertahankan Islam, memberantas kesesatan yang tersebar luas
pada permulaan Khalifah Bani Abbasiyah, yang hendak
menghancurkan kebenaran Islam, bahkan tidak segan-segan
menggunakan kekerasan dalam melaksanakan prinsip tersebut,
meskipun terhadap sesama golongan Islam, sebagaimana yang pernah
dialami oleh golongan Ahli Hadis dalam masalah Khalqul Qur’an.
Adapun ciri-ciri Mu’tazilah ialah suka berdebat, terutama
dihadapan umum. Mereka yakin akan kekuatan akal pikiran, karena
itulah suka berdebat dengan siapa saja yang berbeda pendapat
dengannya.38
3. Perkembangannya
Sekitar dua abad lamanya ajaran-ajaran MU’tazilah ini
berpengaruh, karena diikuti dan didukung oleh penguasa waktu itu.
Masalah-masalah yang diperdebatkan antara lain:
a. Sifat-sifat Allah itu ada atau tidak
b. Baik dan buruk itu ditetapkan berdasarkan syara’ atau akal pikiran
36
Ibid., hlm.171-172
37
Ibid., hlm. 172
38
Ibid., hlm. 173-174
21
c. Orang yang berdosa besar akan kekal di neraka atau tidak
d. Al-Qur’an itu makhluk atau bukan
e. Perbuatan manusia itu dijadikannya sendiri atau dijadikan oleh Allah
Swt.
f. Allah Swt. itu bisa dilihat di akhirat nanti atau tidak
g. Alam itu qadim atau hadis
h. Allah Swt. wajib membuat yang baik (shilah) dan yang lebih baik
(ashlah).
39
Ibid., hlm. 175-175
40
Ibid., hlm.177
41
Ibid., hlm. 178
22
oleh Ja’ad bin Dirham, guru dari Marwan bin Muhammad, khalifah
terakhir Bani Umayah. Ja’ad bin Dirham adalah orang yang pertama kali
mengemukakan masalah Khalqul Qur’an di Damaskus. Kemudian dia
pindah ke Kufah. Di sini Jaham bin Sofwan berguru kepadanya. Pendapat
lain mengatakan bahwa sebenarnya pendapat Ja’ad bin Dirham itu berasal
dari pendapat Aban bin Sam’an. Dan Aban bin Sam’an mengambil dari
Thalut bin A’sham seorang Yahudi. Adapula yang berpendapat bahwa
tentang Khalqul Qur’an itu bukan pengaruh dari Yahudi, tetapi dari
Kristen yang beranggapan bahwa Isa Ibnu Maryam itu bukan makhluk
tetapi Kalam Allah Swt.42
42
Ibid., hlm. 180
43
Ibid., hlm. 183
23
Artinya: “Barangsiapa berbuat baik, maka itu adalah buat dirinya,
dan siapa berbuat jahat, maka itu merugikan dirinya. Dan tiadalah
Tuhanmu aniaya terhadap hamba-hamba-Nya.”
- QS. An-Najmu [53] ayat 39-41
Artinya: “Dan bahwasannya tiadalah bagi manusia, kecuali apa yang
telah dikerjakannya. Dan bahwasanya usahanya itu akan
diperlihatkan. Kemudian dia akan diberi balasan yang paling
sempurna.”
- QS. An-Nisa [4] ayat 111
Artinya: “Dan barangsiapa melakukan suatu dosa, maka
sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.”
F. SYI’AH
1. Sejarah Timbulnya
Syi’ah berasal dari bahasa Arab, artinya pengikut atau golongan.
Kata jamaknya Syiya’un. Syi’ah dimaksudkan sebagai suatu golongan
dalam Islam yang beranggapan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra.
adalah orang yang berhak sebagai khalifah pengganti Nabi, berdasarkan
wasiatnya. Sedangkan khalifah-khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin
Khattab, dan Utsman bin Affan adalah penggasab (perampas) kedudukan
khalifah. Golongan Syi’ah ini terpadu padanya pengertian fiqroh dan
mazhab. Sebab mereka beranggapan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib
dan anak keturunannya lebih berhak menjadi khalifah daripada orang lain,
berdasarkan wasiat Nabi. Masalah khalifah ini adalah soal politik yang
dalam perkembangan selanjutnya mewarnai pandangan mereka di bidang
agama.44
2. Pokok-pokok Ajarannya
a. Al-‘Ishmah
Menurut keyakinan golongan Syi’ah bshwa imam-imam
mereka itu sebagaimana para Nabi adalah bersifat al-ishmah atau
ma’sum dalam segala tindak lakunya, tidak pernah berbuat dosa besar
maupun kecil, tidak ada tanda-tanda berlaku maksiat, tidak boleh
44
Ibid., hlm. 72
24
berbuat salah ataupun lupa. Pikiran terhadap adanya sifat ma’sum itu
jauh daripada tabiat manusia, yang mempunyai hawa nafsu,
kecenderungan sifat baik dan buruk. Keutamaan manusia itu tidak
terletak pada segi ma’sumnya, tetapi pada kewmamp[uannya berbuat
baik dan meninggalkan keburukan. Sedangkan tabiat ma’sum itu ada
pada malaikat.45
b. Imam Al-Mahdi
c. Ar-Raj’ah
45
Ibid., hlm. 86
46
Ibid., hlm. 91
47
Ibid., hlm 93-94
48
Ibid., hlm. 96
25
Paham Al-Mahdi erat hubungannya dengan paham Ar-Raj’ah
yaitu keyakinan orang-orang syi’ah tentang akan datangnya imam
mereka setelah gaib, untuk menegakkan keadilan, menghancurkan
kedzoliman dan membangun kembali kekuasaan mereka. Ajaran Raj’ah
ini berasal dari kepercayaan orang-orang yahudi yang mengajarkan
bahwa Nabi Ilyas as. juga belum meninggal. Ajaran Abdullah bin Saba’
inilah yang kemudian menjadi kepercayaan orang-orang syi’ah bahwa
imam-imam mereka yang penghabisa belum mati, masih bersembunyi,
dan akan kembali pada akhir zaman untuk menegakkan keadilan dan
kebenaran, menghancurkan kedzoliman.49
d. At-Taqiyyah
49
Ibid., hlm. 97-98
50
Ibid., hlm. 99
26
sama sekali, meskipun membawa kematiannya, seperti membunuh,
berbuat zina, dan lain-lainnya.51
3. Perkembangannya
Golongan syi’ah ternyata dalam sejarah perkembangannya
terpecah belah menjadi 25 aliran, diantaranya yaitu Al-Kaisaniyyah, Az-
Zaidiyah, Al-Imamiyah dan Al-Galiyah yang akan diterangkan sebagai
berikut :52
a. Al-Kaisaniyah
Syi’ah Al-Kaisaniyah, pengikut Mukhtar bin Abi Ubaid as-
Tsaqafy.
Pokok-pokok ajaran syi’ah Al-Kaisaniyah dapat diringkastkan sebagai
berikut.
1. mereka tidak percaya adanyan eoh tuhan menetes kedalan tubuh
Sayidina Ali, seperti kepercayaan orang-orang Saba’iyah
2. mereka mempercayai kembalinya imam (raj’ah) setelah
meninggalnya
3. mereka beranggapan bahwa Allah SWT mengubah kehendaknya
menurut perubahan ilmunya. Allah SWT memerintah sesuatu,
kemudian memerintah pula kebalikannya.
4. Mereka mempercayai adanya reingkarnasi (Tanasukh Al-Arwah)
5. Mereka mempercayai adanya roh.53
b. Az-Zaidiyah
Syi’ah az-zaidiyah adalah pengikut Zaid bin Ali bin Husein bin
Ali bin Abi Thalib. Adapun ajaran az-zaidiyah terpenting
diantaranya.54
1. Orang-orang az-zaidiyah tidak mempercayai bahwa imam yang
telah diwasiatkan Nabi SAW itu telah ditunjuk nama dan orangnya,
melainkan diberitahukannya dengan sifatnya saja
51
Ibid., hlm. 101-102
52
Ibid., hlm. 102
53
Ibid., hlm. 107-110
54
Ibid., hlm. 111
27
2. Sesungguhnya imam Zaid berpendapat tentang bolehnya imam
yang kurang utama. Sifat-sifat imam yang disebutkan bukanlah
sifat-sifat yang wajib kesempurnaanya untuk sahnya imam, tetapi
sifat-sifat imam merupakan percontohan yang sempurna, yang
memilih lebih utama dari lainnya
3. Diantara madzhab zaidiyah berpendapat bolehnya membai’at dua
orang imam pada satu daerah, yang mana masing-masing imam itu
menjadi imam yang dia keluar padanya (daerah tempat tinggalnya)
4. Orang-orang zaidiyah berkeyakinan bahwa orang yang berdosa
besar kekal dalam neraka, selama dia tidak bertobat dengan tobat
yang sebenar-benarnya.
5. Mereka dalam ajaran-ajarannya lebih dekat kepada ahlus sunnah.55
c. Al-Imamiyah
Aliran Al-Imamiyah, golongan syi’ah yang mempercayai
bahwa imam-imam itu ditunjuk oleh nabi berdasar wasiatnya. Yaitu
Sayyidina Ali dan keturunanya sampai imam yang ke-12, Muhammad
Al-Mahdi Al-Muntadhar. 56
Syi’ah imamiyah terdiri dari beberapa aliran, yang terkenal
ialah aliran-aliran Ja’fariyah, Isma’iliyah, Idzna Asyariyah. Ja’fariyah
dinisbatkan kepada Ja’far Assodik, imam syi’ah yang ke-6. Fiqih
Ja’fariyah telah dipelajari secara khusus oleh Saikul Akbar Mahmud
Syaltut, melalui lembaga Dar al-Taqrib Baina Madzahib al-Islamiyah.
Aliran Isma’iliyah, dinisbatkan kepada Ismail, salah seorang diantara 5
putra Ja’far Assodiuk, yaitu Ismail, Abdullah al-Fathah, Musa Al-
Kadim, Ishak, dan Muhammad ad-Dibaj. Aliran Islamiyah hanya
mempercayai 7 orang imam saja yaitu Sayyidina Ali, Hasan, Husein,
Ali Zainal Abbidin, Muhammad al-Bakir, Ja’far Assodik dan Ismaill.
Pengikut aliran Ismailiyah adalah daulat Fatimiyah di Mesir, dan
pengikutnya sekarang, Agha khan di Pakistan, di Irak, Ismailiyah
55
Ibid., hlm. 111-114
56
Ibid., hlm. 115
28
disebut Batiniyah, Qaramithiha dan Muzaniyah. Di Kurasan, disebut
Ta’limiyah dan Mulhidah.57
d. Al-Ghaliyah
Syi’ah i ini ajaran-ajarannya telah melampaui batas. Mereka
ada yang berpendapat bahwa imam-imam mereka mempunyai unsur-
unsur ketuhanan. Adapula yang menyerupakan Tuhan dengan
makhluk-Nya. Kepercayaan tersebut adalah pengaruh dari kepercayaa-
kepercayaan inkarnasi, reinkarnasi ajaran-ajaran yahudi dan Kriosten.
Agama Yahudi menyerupakan Tuhan dengan makhluknya sedangkan
agama kristen menyerupakan makhluk dengan Tuhannya.58
Diantara aliran Al-Ghaliyah yang keterlaluan ialah As-sabiyah,
Al-Albaiyah dan Al-katthabiyah. Aliran As-Sabiyah adalah pengikut
Abdullah bin Saba’. Orang Yahudi dari Persia, yang pura-pura masuk
Islam. Aliran Sab’iyah inilah yang pertama kali menyatakan ajaran
tentang gaibnya imam, raj’ah, menitisnya sifat ketuhanan kepadfa
imam, dan berpindahnya sifat ketuhanan dari seseorang imam pada
imam penggantinnya.
Aliran Al-albaiyah adalah pengikut Al-Alba’ bin Dzira ad-
Dausy. Dia (al-Alba’) mengutamakan Ali atas Nabi SAW dan dia
beranggapan bahwa sesungguhnya dia mengutus Muhammad,
maksudnya Ali. Dia menyebut dirinya Tuhan. Al-Alba mencela Nabi
Muhammad SAW. Dia menganggap bahwa nabi itu diutus untuk
mendakwahkan kenabian Ali, tetapi kemudian mendakwahkan
kenabian diirinya sendiri.
Aliran Al-Katthabiyah adalah pengikut Abil Khatab
Muhammad bin abi Zainal Bani Assab. Setelah dia meninggal, diganti
Mu’amar, mempunyai ajaran-ajaran yang berlebih-lebihan. Mereka
beranggapan bahwa dunia itu tidak rusak sesungguhnya surga adalah
keadaan yang manusia mendapatkan kebaikan, kenikmatan dan
kesehatan. Dan sesungguhnya mereka adalah keadaan yang manusia
57
Ibid., hlm. 115-116
58
Ibid., hlm. 120
29
mendapatkan keburukan, kesulitan, dan bencana. Mereka
menghalalkan khameer, zina, dan semua hal yang diharamkan. Mereka
selalu meninggalkan sholat dan fardhu-fardhu lainnya.59
G. AHLUSSUNNAH (AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI)
1. Al-Asy’ari
a. Sejarah Hidupnya
59
Ibid., hlm. 121-122
60
Ibid., hlm. 201
61
Ibid., hlm. 202
30
b. Doktri-doktrin Teologi Al-Asy’ari
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah
sebagai berikut.62
1. Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai
sifat-sifat Allah tidak dapat dihindarkan meskipun mereka setuju
bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari dihadapkan
pada dua pandangan yang ekstrem. Pada satu pihak, ia berhadapan
dengan kelompok sifatiah (pemberi sifat), kelompok mujassimah
(antropomorfis), dan kelompok musyabbihah. Pada pihak lain, ia
berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah.
Menghadapi dua kelompok yang berbeda, Al-Asy’ari
berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan
Mu’tazilah) dan sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki,
tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis (berbeda
dengan pendapat kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari
berpendapat bahwa sifat-sifat Allah unik dan tidak dapat
dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi –sejauh menyangkut
realitasnya (haqiqah)- tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan
demikian, tidak berbeda dengan-Nya.63
2. Kebebasan dalam berkehendak (free-will)
Al-Asy’ari mengambil pendapat menengah antara dua
pendapat yang ekstrem, yaitu Jabariyah dan Mu’tazilah.
Untuk menengahi dua pendapat tersebut, Al-Asy’ari
membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah
pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah
yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah yang mampu
menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).64
62
H. Abdul Rozak dan H. Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Rev., Pustaka Setia, Bandung,
2013, hlm. 147
63
Ibid., hlm. 147-148
64
Ibid., hlm. 148
31
3. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan
kontradiktif dari akal dan wahyu, Al-Asy’ari mengutamakan
wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan buruk Al-Asy’ari berpendapat bahwa
baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah
mendasarkannya pada akal.65
4. Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas
kata-kata, huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi
Allah dan tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an
bagi Al-Asy’ari tidak diciptakan sebab apabila diciptakan, sesuai
dengan ayat:66
“Sesungguhnya firman Kami terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, ‘Jadilah!’
Maka jadilah sesuatu itu.”
5. Melihat Allah
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak
dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah
yang menyebabkan dapat dilihat atau Ia menciptakan kemampuan
penglihatan manusia untuk melihat-Nya.67
6. Keadilan
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah tidak memiliki keharusan
apapun karena Ia adalah Penguasa Mutlak. Jika Mu’tazilah
mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya,
sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah Pemimpin
Mutlak.68
7. Kedudukan orang berdosa
65
Ibid., hlm. 149
66
Ibid.
67
Ibid., hlm. 149-150
68
Ibid., 150
32
Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar
adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena
dosa selain kufur.69
2. Al-Maturidi
a. Sejarah Hidupnya
Imam Al-Maturidi, nama lengkapnya adalah Imam Abu
Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-
Anshari. Murid-muridnya sebagai pengikut setia memberinya beberapa
laqab: Alam al-Huda, Imam al-Huda, dan Imam al-Mutakallimin’.
Gelar-gelar tersebut mencerminkan martabat keilmuannya yang hampir-
hampit tiada banding dan kegigihannya dalam membela dan
mempertahankan as-sunnah dan akidah Islam.70
Di bidang fiqh, Al-Maturidi adalah penganut mazhab Hanafi.
Al-Maturidi dibesarkan di negeri yang menjadi ajang perdebatan antara
Fiqih Hanafiyah dan Fiqih Syafi’iyah. Sebagaimana perdebatan itu juga
terjadi antara Fuqaha’ dan Ahli Hadis di satu pihak dengan aliran
Mu’tazilah di pihak lain dalam soal teologi Islam (Ilmu Kalam). Hal itu
mendorong Al-Maturidi untuk memperdalam ilmu agama kususnya
Ilmu Kalam yang menjadi concern umat Islam pada waktu itu sampai
dia dapat melahirkan karya-karya monumental yang sangat berharga
dan pantaslah kalau dia mendapat gelar ahli teologi (theologian), ahli
hukum (jurist), ahli tafsir Al-Qur’an (Quran Comentator) dan salah
satu dari pendiri mazhab (doctrinal school) Ahlus Sunah Wal Jamaah
(Orthodox Sunni School) dalam Ilmu Kalam.71
b. Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
1. Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-
Qur’an dan akal.72
69
Ibid.
70
K.H. Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan
Perkembangannya, P.T. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm.256
71
Ibid., hlm 257-258
72
H. Abdul Rozak dan H. Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Rev., Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm.
151
33
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa
penentu baik dan buruknya sesuatu terdapat pada sesuatu itu sendiri,
sedangkan perintah atau larangan syariah hanya mengikuti
ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu.
Al-Maturidi membagi sesuatu yang barkaitan dengan akal pada tiga
macam, yaitu:
a. Akal hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
b. Akal hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;
c. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, keculai
dengan petunjuk ajaran wahyu.73
2. Perbuatan manusia
Menurut Al-Mutaridi, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan
karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Al-
Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia
dengan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.
Kebebasan manusia dalam melakukan baik atau buruk tetap dalam
kehendak Tuhan, tetapi memilih yang diridai-Nya atau yang tidak
diridai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan
Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak
atas kerelaan-Nya. Dengan demikian manusia dalam paham Al-
Maturidi tidak sebebas manusia dalam paham Mu’tazilah.74
3. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Menurut Al-Maturidi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung
sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.75
4. Sifat Tuhan
Menurut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan
bukan pula lain dari esensi-Nya.76
5. Melihat Tuhan
73
Ibid., hlm. 152
74
Ibid., hlm. 152-153
75
Ibid., hlm. 154
76
Ibid.,
34
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan.
Tentang melihat Tuhan ini diberitakan oleh Al-Qur’an, antara lain
firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al-Maturidi mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat
ditangkap dengan penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud,
walaupun Ia immaterial.77
6. Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca:sabda) yang tersusun
dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang
sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim
bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara
adalah baharu (hadis).78
7. Perbuatan manusia
Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-
kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak terlepas dari
hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban
tersebut, antara lain:
1. Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada
manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai
dengan keadilan, dan manusia juga diberi Tuhan kemerdekaan
dalam kemampuan dan perbuatannya;
2. Hukuman atau ancaman dan janji pasti terjadi karena yang
demikian merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-
Nya.79
8. Pentutusan Rasul
Al-Maturidi berpendapat bahwa akal memerlukan bimbingan ajaran
wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepada manusia. Jadi, pengutusan Rasul adalah hal
niscaya yang berfungsi sebagai sumber-sumber informasi. Tanpa
mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul, berarti manusia
77
Ibid., hlm. 155
78
Ibid.
79
Ibid., hlm. 155-156
35
membebankan akalnya pada sesuatu yang berada di luar
kemampuannya.80
9. Pelaku dosa besar (murtakib al-kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak
kafir dan tidak kekal di dalam neraka, walaupun ia meninggal
sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.81
80
Ibid., hlm. 156
81
Ibid.
36
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Khawarij berarti orang-orang keluar barisan Ali bin Abi Thalib.
Golongan ini menganggap diri mereka orang-orang yang keluar dari rumah dan
semata-mata untuk berjuang di jalan Allah. Meskipun pada awalnya khawarij
muncul karena persoalan politik, tetapi dalam perkembangan golongan ini
banyak berbicara masalah teologis.
Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang meyakini Ali bin
Abi Thalib dan keturunannya sebagai pemimpin Islam setelah Nabi SAW.
wafat.
Aliran Murji’ah bernama Murji’ah karena dalam prinsipnya, mereka
menunda persoalan konflik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi
Sofyan, dan kaum Khawarij pada hari perhitungan kelak.
Aliran Qodariyah yang menganggap bahwa manusia mempunyai
qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya dan bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Allah. Dalam sejarah
perkembangan teologi Islam, tidak diketahui secara pasti kapan aliran ini
muncul.
Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat
dan menyadarkan perbuatan tersebut kepada Allah.
Aliran Mu’tazilah muncul sebagai reaksi atas pertentangan antar
aliran Khawarij dan aliran Mu’tazilah mengenai persoalan mukmin yang
berdosa besar.
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam pengertian umum adalah lawan
kelompok syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah sebagaimana juga Asy’ari
musuh dalam barisan sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah madzhab
yang berada dalam barisan Asy’ari dan merupakan lawan Mu’tazilah
Selanjutnya Ahlussunah banyak dipakai setelah muncul aliran Asy’ari dan
Mutaridi, dua aliran yang menentang ajaran Mu’tazilah.
37
DAFTAR PUSTAKA
Nasir, Sahilun A. 2012. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan
Perkembangannya. Jakarta: P.T. Rajagrafindo Persada.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. 2013. Rev. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka
Setia.
38