Anda di halaman 1dari 23

ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA

Maret 12, 2015

ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA

A. Aliran Khowarij
1. Pengertian
Khowarij secara bahasa diambil dari Bahasa Arab khowaarij, secara harfiah berarti mereka yang keluar. Istilah khowarij
adalah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam islam yang pada awalnya mengakui kekuasaan Ali bin
Abi Thalib lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, berpusat di daerah yang kini
terletak di bagian negara Irak Selatan dan merupakan bentuk yang berbeda dari kaum sunni dan syiah. Disebut
atau dinamakan khawarij karena keluarnya mereka dari kepemimpinan Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Kebanyakan dari kaum Khawarij adalah Arab dusun yang tinggal di kawasan pegunungan dan karena itu hidup
dengan sangat sederhana. Mereka sangat keras hati tetapi amat taat menjalankan agama. Karena pemikirannya yang
sederhana, Khawarij mengartikan Al Qur’an benar-benar secara tekstual; tetapi betapapaun beratnya mereka toh
melaksanakannya.
Aliran Khawarij dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan
Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim
(arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin (37H/657).
2. Latar Belakang
Khawarij lahir dari komponen paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh militer pimpinan Ali ra.
sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak terkendali dan dirasa sulit untuk mereda dengan prinsip masing-
masing. Maka kubu Mu’awiyah ra. yang merasa akan dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan untuk
mengakhiri perang saudara itu dengan “Tahkim dibawah Al Qur’an”.
Semula Ali ra. tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan hukum kekhilafahannya sudah jelas
dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil dari kelompok militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima
ajakan kubu Mu’awiyah ra. Kelompok ini terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan saat keputusan
yang diambil Ali ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra. menghadapi utusan kubu lawannya Amru bin al-Ash
dalam tahkim, Ali ra. malah mengalah pada nama Abu Musa Al Asy’ary yang diajukan kelompok itu menggantikan
Abdullah bin Abbas ra.
Anehnya, kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui tawaran kubu Mu’awiyah ra. Untuk
mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim. Pada akhirnya setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan
Mu’awiyah ra. Sebagai khilafah menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa genjatan
senjata dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam hukum Islam.
Artinya menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah mengikuti proses itu telah melanggar
ketentuan syara’, karena telah melanggar prinsip dasar bahwa setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (lâ
hukma illa lillâh).
Dan sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa maka ia telah kafir, maka mereka
menilai bahwa setiap individu yang telah melangar prinsip tersebut telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka
memaksanya untuk bertobat atas dosanya itu sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil dalam proses
Tahkim.
Demikian watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok paling keras memegang teguh
prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyebab utama lahirnya kelompok ini. Khawarij adalah kelompok
yang didalamnya dibentuk oleh mayoritas orang-orang Arab pedalaman (a’râbu al-bâdiyah). Mereka cenderung
primitive, tradisional dan kebanyakan dari golongan ekonomi rendah, namun keadaan ekonomi yang dibawah
standar tidak mendorong mereka untuk meningkatkan pendapatan. Ada sifat lain yang sangat kontradiksi dengan
sifat sebelumnya, yaitu kesederhanaan dan keikhlasan dalam memperjuangkan prinsip dasar kelompoknya.
Walaupun keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan komposisi seperti itu, kelompok ini
cenderung sempit wawasan dan keras pendirian. Prinsip dasar bahwa “tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan”
mereka tafsirkan secara dzohir saja.
Bukan hanya itu, sebenarnya ada kepentingan lain yang mendorong dualisme sifat dari kelompok ini. Yaitu
kecemburuan atas kepemimpinan golongan Quraisy. Dan pada saatnya kemudian Khawarij memilih Abdullâh bin
Wahab ar-Râsiby yang diluar golongan Quraisy sebagai khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam
Khawarij, menyatakan bahwa Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari golongan Ajam (diluar golongan
Arab) yang kemudian menghapus Syari’at Nabi Muhammad SAW.
Nama khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja keluar dari barisan Ali ra. dan tidak
mendukung barisan Mu’awiyah ra. namun dari mereka menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja
yang terdapat pada QS. An Nisa’ ; 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah di
jalan Allah dan Rasul-Nya. Selanjutnya mereka juga menyebut kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata
Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Baqarah ; 207. tentang seseorang yang menjual dirinya
untuk mendapatkan ridla Allah. Selain itu mereka juga disebut “Haruriyah” yang merujuk pada “Harurah’ sebuah
tempat di pinggiran sungai Furat dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri dari barisan pasukan
Ali ra. saat pulang dari perang Syiffin.
Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”. Sebagai kelompok dengan prinsip dasar “lâ hukma illa
lillâh”.
3. Doktrin Ajaran
Secara umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah kaum muslimin yang berbuat dosa besar adalah kafir.
Kemudian, kaum muslimin yang terlibat dalam perang jamal, yakni perang antara Aisyiah, Thalhah, dan dan
Zubair melawan Ali bin Abi Thalib dihukumi kafir. Kaum Khawarij memutuskan untuk membunuh mereka
berempat tetapi hanya berhasil membunuh Ali. Menurut mereka Khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus
dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari golongan
manapun bisa menjadi kholifah asalkan mampu memimpin dengan benar.
Dalam upaya kafir mengkafirkan ini, terdapat suatu golongan yang menolak ajaran kaum Khawarij yang
mengkafirkan orang mukmin yang melakukan dosa besar. Sehingga mereka membentuk sautu golongan yang
menolak ajaran pengkafiran tersebut, golongan ini disebut dengan golangan Murji’ah.
Berikut pokok-pokok doktrin ajaran aliran Khawarij
a. Setiap ummat Muhammad yang terus menerus melakukan dosa besar hingga matinya belum melakukan tobat,
maka dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka.
b. Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat dan zalim.
c. Ada faham bahwa amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak
bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Dengan latar belakang watak dan karakter kerasnya, mereka selalu
melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
d. Keimanan itu tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun demikian, karena
pada umumnya manusia tidak bisa memecahkan masalahnya, kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk
berpegang kepada keimanan, apakah dalam berfikir, maupun dalam segala perbuatannya. Apabila segala
tindakannya itu tidak didasarkan kepada keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan kafir.
Dengan mengutip beberapa ayat Al-Quran, mereka berusaha untuk mempropagandakan pemikiran-pemikiran
politis yang berimplikasi teologis itu, sebagaimana tercermin di bawah ini :
a. Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar; sedangkan Usman dan Ali, juga orang-orang yang ikut dalam
“Perang Unta”, dipandang telah berdosa.
b. Dosa dalam pandangan mereka sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar apabila ia
tidak bertobat. Dari sinilah muncul term “kafir” dalam faham kaum Khawarij.
c. Khalifah tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh karenanya, mereka menolak
pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
d. Ketaatan kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan. Jika menyimpang, wajib
diperangi dan bahkan dibunuhnya.
e. Mereka menerima Al Qur’an sebagai salah satu sumber diantara sumber-sumber hukum Islam.
f. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Ustman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke-7 kekhalifahannya
Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng.
g. Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi arbitras (tahkim) ia dianggap telah menyeleweng.
h. Mu’awiyah dan Amr bin Al-Asy dan Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
Selain pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis, kaum Khawarij juga memiliki pandangan atau
pemikiran (doktrin-doktrin) dalam bidang sosial yang berorientasi pada teologi, sebagaimana tercermin dalam
pemikiran-pemikiran sebagai berikut :
a. seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim, sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis lagi, mereka
menganggap seorang muslim bisa menjadi kafir apabila tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap
kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
b. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka, bila tidak ia wajib diperangi karena
dianggap hidup di negara musuh, sedangkan golongan mereka dianggap berada dalam negeri islam,
c. Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng,
d. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk kedalam surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk
neraka),
e. Amar ma’ruf nahi munkar,
f. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari tuhan,
g. Qur’an adalah makhluk,
h. Memalingkan ayat-ayat Al Qur’an yang bersifat mutasyabihat (samar)
Jadi secara umum pokok ajaran aliran Khawarij adalah
a. Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
b. Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan zubair, dengan Ali bin abi
tahAlib) dan para pelaku tahkim—termasuk yang menerima dan mambenarkannya – di hukum kafir;
c. Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.
d. Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi Khalifah apabila
suda memenuhi syarat-syarat.
e. Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam, dan di
jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
f. Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya Usman r.a dianggap
telah menyeleweng,
g. Khalifah Ali dianggap menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase).
4. Tokoh
a. 'Abdullah bin Wahhab ar-Rasyidi
b. Urwah bin Hudair
c. Mustarid bin Sa'ad
d. Hausarah al-Asadi
e. Quraib bin Maruah
f. Nafi' bin al-Azraq
g. 'Abdullah bin Basyir
h. Najdah bin Amir al-Hanafi
5. Sekte
Munculnya banyak cabang dan sekte Khawarij ini diakibatkan banyaknya perbedaan dalam bidang akidah yang
mereka anut dan banyaknya nama yang mereka pergunakan sejalan dengan perbedaan akidah mereka yang
beraneka ragam itu. Asy-syak’ah menyebutkan adanya delapan firqah besar, dan firqah-firqah ini terbagi lagi
menjadi firqah-firqah kecil yang jumlahnya sangat banyak. Perpecahan ini menyebabkan gerakan kaum Khawarij
lemah, sehingga mereka tidak mampu menghadapi kekuatan militer Bani Umayyah yang berlangsung bertahun-
tahun.
Menurut Prof. Taib Thahir Abdul Mu’in, bahwa sebenarnya ada dua golongan utama yang terdapat dalam aliran
Khawarij, yakni :
a. Sekte Al-Azariqoh
Nama ini diambil dari Nafi Ibnu Al-Azraq, pemimpin utamanya, yang memiliki pengikut sebanyak dua puluh ribu
orang. Di kalangan para pengikutnya, Nafi digelari “amir al-mukminin”. Golongan al-azariqoh dipandang sebagai
sekte yang besar dan kuat di lingkungan kaum Khawarij.
Dalam pandangan teologisnya, Al-Azariqoh tidak menggunakan term kafir, tetapi menggunakan term musyrik atau
politeis. Yang dipandang musyrik adalah semua orang yang tidak sepaham dengan ajaran mereka. Bahkan, orang
Islam yang tidak ikut hijrah kedalam lingkungannya, dihukumkan musyrik.
Karena kemusyrikannya itu, kaum ini membolehkan membunuh anak-anak dan istri yang bukan golongan Al-
Azariqoh. Golongan ini pun membagi daerah kekuasaan, yakni “dar al-Islam” dan “dar al-kufur”. Dar al-Islam
adalah daerah yang dikuasai oleh mereka, dan dipandang sebagai penganut Islam sebenarnya. Sedangkan Dar al-
Kufur merupakan suatu wilayah atau negara yang telah keluar dari Islam, karena tidak sefaham dengan mereka dan
wajib diperangi.
b. Sekte Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh sekte Khawarij. Nama golongan ini diambnil
dari Abdullah Ibnu Ibad, yang pada tahun 686 M. memisahkan diri dari golongan Al-Azariqoh.
Adapun faham-fahamnya yang dianggap moderat itu, antara lain :
1) Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik, tetapi kafir. Orang
Islam demikian, boleh mengadakan hubungan perkawinan dan hukum waris. Syahadat mereka diterima, dan
membunuh mereka yang tidak sefaham dihukumkan haram.
2) Muslim yang melakukan dosa besar masih dihukumkan ‘muwahid’, meng-esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin.
Dan yang dikatakan kafir, bukanlah kafir agama, tetapi kafir akan nikmat. Oleh karenanya, orang Islam yang
melakukan dosa besar tidak berartyi sudah keluar dari Islam.
3) Harta kekayaan hasil rampasan perang yang boleh diambil hanyalah kuda dan senjata. Sedangkan harta kekayaan
lainnya, seperti emas dan perak, harus dikembalikan kepada pemiliknya.
4) Daerah orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka, masih merupakan “dar at-tauhid”, dan tidak boleh
diperangi.
B. Aliran Murji’ah
1. Pengertian
Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang berarti menunda atau menangguhkan. Salah satu
aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi
Syahristani menyebutkan dalam bukunya Al-Milal wa an-Nihal (buku tentang perbandingan agama serta sekte-sekte
keagamaan dan filsafat) bahwa orang pertama yang membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.
Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoalan konflik politik antara
Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu
mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir diantara ketiga
golongan yang tengah bertikai tersebut. Menurut pendapat lain, mereka disebut Murji’ah karena mereka
menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan rasul-
Nya. Adapun dosa besar orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat. Maksudnya, kelak di akhirat baru
ditentukan hukuman baginya.
Persoalan yang memicu Murji’ah untuk menjadi golongan teologi tersendiri berkaitan dengan penilaian mereka
terhadap pelaku dosa besar. Menurut penganut paham Murji’ah, manusia tidak berhak dan tidak berwenang untuk
menghakimi seorang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah mereka akan masuk neraka atau masuk surga.
Masalah ini mereka serahkan kepada keadilan Tuhan kelak. Dengan kata lain mereka menunda penilaian itu sampai
hari pembalasan tiba.
Paham kaum Murji’ah mengenai dosa besar berimplikasi pada masalah keimanan seseorang. Bagi kalangan
Murji’ah, orang beriman yang melakukan dosa besar tetap dapat disebut orang mukmin, dan perbuatan dosa besar
tidak mempengaruhi kadar keimanan. Alasannya, keimanan merupakan keyakinan hati seseorang dan tidak
berkaitan dengan perkataan ataupun perbuatan. Selama seseorang masih memiliki keimanan didalam hatinya,
apapun perbuatan atau perkataannya, maka ia tetap dapat disebut seorang mukmin, bukan kafir. Murji’ah mengacu
kepada segolongan sahabat Nabi SAW, antara lain Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Imran bin
Husin yang tidak mau melibatkan diri dalam pertentangan politik antara Usman bin Affan (khalifah ke-3; w. 656)
dan Ali bin Abi Thalib (khalifah ke-4; w. 661).
2. Latar Belakang
Munculnya aliran ini di latar belakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah (kekhalifahan). Setelah
terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali
dan Mu’awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela Ali
(disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali (disebut Khawarij). Ketika berhasil mengungguli dua
kelompok lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah lalu membentuk
Dinasti Umayyah. Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya. Syi’ah menentang Mu’awiyah
karena menuduh Mu’awiyah merebut kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara itu
Khawarij tidak mendukung Mu’awiyah karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam pertikaian antara
ketiga golongan tersebut terjadi saling mengafirkan. Di tengah-tengah suasana pertikaian ini muncul sekelompok
orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok inilah yang
kemudian berkembang menjadi golongan Murji’ah.
Dalam perkembanganya, golongan ini ternyata tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di
zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Kaum Murji’ah menyatakan
bahwa orang yang berdosa besar tidak dapat dikatakan sebagai kafir selama ia tetap mengakui Allah SWT sebagai
Tuhannya dan Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. Pendapat ini merupakan lawan dari pendapat kaum Khawarij
yang mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar hukumnya adalah kafir.
Golongan Murji’ah berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan
kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir, kendatipun ia melakukan
dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan ia ampuni atau tidak. Pendapat ini
menjadi doktrin ajaran Murji’ah.
3. Doktrin Ajaran
Doktrin-doktrin aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “murji’ah” dan dalam sikap
netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang
berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan memberi pengharapan. Menangguhkan berarti menunda soal siksaan
seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan
disiksa sesuai dengan dosanya.
Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin,
imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap
keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan
mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan
maksiat, ia masih dikatakan mukmin.
Menurut Harun Nasution menyebutkan, bahwa Murji’ah memiliki empat ajaran pokok, yaitu :
a. Menunda hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan
menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c. Meletakkan (pentingnya) iman dari amal.
d. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4. Tokoh
a. Abu Hasan Ash-Shalihi
b. Yunus bin An-Namiri
c. Ubaid Al-Muktaib
d. Ghailan Ad-Dimasyq
e. Bisyar Al-Marisi
f. Muhammad bin Karram
5. Sekte
Kaum Murji’ah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murji’ah menurut Harun
Nasutuion, terbagi kepada dua golongan besar, yakni “golongan moderat” dan “golongan ekstrim”.
a. Golongan Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam
neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan.
b. Golongan Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibnu Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya
kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur
tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga
ia mati, tidaklah menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang
mukmin yang sempurna imannya.
Golongan ekstrim dalam Murji’ah terbagi menjadi empat kelompok, yaitu :
1) Al-Jahmiyah, kelompok Jahm bin Syafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada
tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di
dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
2) Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui tuhan, sedangkan kufur
tidak tahu tuhan. Sholat bukan merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya
dalam arti mengetahui tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar
menggambarkan kepatuhan.
3) Yumusiah dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak
iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang
bersangkutan. Dalam hal ini Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak
merusak iman seseorang sebagai musyrik.
4) Hasaniyah, jika seseorang mengatakan “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang
diharamkan itu adalah kambing ini”, maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir

C. Aliran Syi’ah
1. Pengertian
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī. Syi'ah adalah bentuk
pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat
khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang
beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun)
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna:
Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.
Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama
di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula
anak cucu sepeninggal beliau.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik
tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga
tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan
kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah
lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh
Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah
dan Sunni dalam penafsiran Al Qur’an , Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi
Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak
dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan
Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti
para Imam dan Imam saat ini.
2. Latar Belakang
Mengenai latar belakng munculnya aliran Syi’ah, terdapat dua pendapat ;
a. Menurut Abu Zahrah
Syi’ah mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Adapun
b. Menurut Mongomary Watt
Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal denganPerang siffin. Dalam
peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan ali terhadap arbitrase yang diatwarkan Mu’awiyah, pasukan Ali di
ceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali, kelak di sebut Syi’ah dan kelompok lain
menolak sikap Ali, kelak di sebut Khawarij.
Secara historis, akar aliran Syi’ah terbentuk segera setelah kematian Nabi Muhammad, yakni ketika Abu Bakar
terpilih sebagai khalifah pertama pada pertemuan tsaqifah yang diselenggarakan di Dar al-Nadwa, di Madinah.
Pemilihan tersebut dilaksanakan secara tergesa-gesa sebagai wujud persaingan antara kelompok Anshar dan
Muhajirin yang sempat mengancam perpecahan Islam. Dalam pertemuan itu Ali tidak hadir karena sibuk
mengurus jenazah Nabi. Pada waktu itu usia Ali 30 tahun, di mana bangsa Arab menjadikan usia sebagai syarat
penting kecakapan dalam kepemimpinan, meskipun secara historis terdapat sejumlah pengecualian akan hal
tersebut. Tetapi pengikut Ali, pada saat itu, merasa bahwa klaim mereka telah direbut secara tidak adil.
Selanjutnya Umar ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai penggantinya, menjadi khalifah kedua yang kemudian
dilanjutkan oleh Usman. Setelah Usman terbunuh oleh pemberontak yang mengatasnamakan diri mereka sebagai
anti depotisme keluarga Umayah, Ali kemudian diangkat menjadi khalifah keempat pada tahun 35H/656M.
Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa peristiwa pembunuhan khalifah ke-3 Usman Bin Affan, telah melahirkan
rentetan sejarah yang sangat panjang dan membawa dampak pada khalifah setelahnya, Ali bin Abi Thalib. Di
antaranya adalah penolakan Muawiyah, gubernur Damaskus atas Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dengan alasan
bahwa Ali tidak melakukan pengusutan terhadap pembunuhan Usman. Ketegangan antara Ali dan Muawiyah ini
berbuntut dengan terjadinya perang Siffin yang berakhir dengan peristiwa arbitrase (tahkim), yang dianggap
sebagai titik temu penyelesaian persengketaan yang terjadi antara khalifah (Ali Bin Abi Thalib) dengan Muawiyah.
Namun peristiwa itu justru melahirkan berbagai reaksi dan aksi, seiring dengan tidak bisanya menyatukan
pemikiran dan pendapat dari masing-masing kelompok. Pada akhirnya membuat umat menjadi bagian-bagian
(firqah-firqah). Sejarah mencatat, bermula dari perpecahan politik ini, pada kelanjutannya melahirkan aliran-aliran
teologi dalam Islam.
Aliran yang paling terkenal dengan peristiwa ini adalah Khawarij yang muncul sebagai pasukan yang keluar dari
barisan Ali atau memisahkan diri sebagai bentuk protes terhadap keputusan Ali dan pada saat yang bersamaan juga
muncul satu golongan yang tetap setia mendukung Ali bin Abi Thalib, yang pada berikutnya terkenal dengan nama
Syi’ah, yang dalam perekembangnya hadir sebagai sebuah aliran yang memiliki konsep dan ajaran tersendiri.
Dalam perkembangannya, Syi’ah dapat diterima oleh banyak kalangan namun dengan banyak perbedaan dan
perpecahan yang melahirkan sekte yang tidak sedikit dalam Syi’ah itu sendiri. Tetapi sekalipun Syi’ah terpecah
kepada beragam sekte, namun mereka mempunyai keyakinan yang sama pada umumnya, yang merupakan ciri
Syi’ah secara menyeluruh.
3. Doktrin Ajaran
Dalam Syi'ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu'uddin (masalah penerapan
agama). Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin:
a. Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
b. Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
c. An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan
kepada umat manusia
d. Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat sebagai penerus risalah
kenabian.
e. Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan.
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa
menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin [QS. Al Hadid (57) :3]. Allah tidak terikat ruang
dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang). Dimensi ketuhanan ini
merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan
segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin [QS. Al Hadid (57) :3]. Allah tidak terikat ruang
dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang). Dia (Allah) telah menciptakan
segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) [QS. Al-Furqaan (25) :2] Apakah kamu tidak tahu
bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam
kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah [QS. Al-Hajj (22) :70] Dia menciptakan apa yang dikehendaki-
Nya [QS. Al-Maa'idah (5) :17] Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya
[QS. Al-An'am (6) :149] Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat [QS. As-Safat (37) :96] Dan hanya
kepada Allah-lah kesudahan segala urusan [QS. Luqman (31) :22]. Allah yang menentukan segala akibat. Dia
(Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) [QS. Al-Furqaan (25)
:2]Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu
semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah [QS. Al-Hajj (22) :70] Dia menciptakan
apa yang dikehendaki-Nya [QS. Al-Maa'idah (5) :17] Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk
kepadamu semuanya [QS. Al-An'am (6) :149] Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat [QS. As-Safat
(37) :96] Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan [QS. Luqman (31) :22]. Allah yang menentukan
segala akibat. nabi sama seperti muslimin lain.
I’tikadnya tentang kenabian ialah:
a. Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
b. Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad SAW.
c. Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling utama dari seluruh Nabi
yang ada.
d. Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
e. Al Qur’an ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad SAW.
4. Tokoh
a. Abu Dzar al Ghiffari
b. Miqad bin Al aswad
c. Ammar bin Yasir
5. Sekte
Syi'ah terpecah menjadi 22 sekte. Dari 22 sekte itu, hanya tiga sekte yang masih ada sampai sekarang, yakni:
a. Dua Belas Imam
Disebut juga Imamiah atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam); dinamakan demikian sebab mereka percaya yang
berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam. Aliran ini adalah yang terbesar di
dalam Syiah. Urutan imam mereka yaitu:
1) Ali bin Abi Thalib (600-661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625-669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6) Jafar bin Muhammad (703-765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7) Musa bin Ja'far (745-799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
8) Ali bin Musa (765-818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
9) Muhammad bin Ali (810-835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
10) Ali bin Muhammad (827-868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
11) Hasan bin Ali (846-874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari
12) Muhammad bin Hasan (868-), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi
b. Ismailiyah
Disebut juga Tujuh Imam; dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari 'Ali
bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:
1) Ali bin Abi Thalib (600-661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625-669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6) Ja'far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7) Ismail bin Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.
c. Zaidiyah
Disebut juga Lima Imam; dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin
'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak
sah. Urutan imam mereka yaitu:
1) Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri
Muhammad al-Baq

D. Aliran Jabariyah
1. Pengertian
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid
dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya
melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara
istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada
Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah
ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan
manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini
manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan
bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Menurut catatan sejarah, paham jabariyah ini di duga telah ada sejak sebalum agama Islam datangke masyarakat
arab. Kehidupan bangsa arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar terhadap
hidup mereka, dengan keadaan yang sangat tidak bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian
mendasari mereka untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebankan mereka semata-mata tunduk dan patuh
kepada kehendak tuhan.
2. Latar Belakang
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra
menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama
membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.
Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan, yang
bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke
masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar
dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara
yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi
yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta
keringnya udara.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyatalkat arab tidak melihat jalan untuk mengubah
keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka
kepada paham fatalisme.
3. Doktrin Ajaran
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan berdasarkan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.
a. Aliran ekstrim.
Diantara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendaptnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat
apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat
Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep
iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang
kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini
sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak
mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat
dilihat dengan indera mata di akherat kelak. Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah
Khalisah.
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Al Qur’an adalah makhluk dan sesuatu
yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk,
seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan
kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham
Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala
akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
b. Aliran Moderat
Menurut Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di
dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia
juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan,
tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin
Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia
mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di
akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat
dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.
Dasar pemahaman pada aliran jabariyah ini dijelaskan Al Qur’an diantaranya :
QS. Al-saffat; 96
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
QS. Al Insan; 30
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah”.
Selain ayat-ayat Al Qur’an di atas, benih-benih faham Jabariyah juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:
a. Suatu ketika Nabi menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang
mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat
Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika ditntrogasi, pencuri itu berkata
"Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah
berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan
tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang
tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai
balasannya”. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan
siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan
siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang
berbuat dosa.
d. Adanya paham Jabariyah telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di
Syiria.
4. Tokoh
a. Jahm bin Shafwan
b. Al-Ja’ad Bin Dirham
c. Husain Bin Muhammad Al Najjar
d. Dirar Ibn ‘Amr.

E. Aliran Qadariyah
1. Pengertian
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan
kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih
menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya.
Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia menusia mempunyai
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar Tuhan.
Menurut Ahmad Amin, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia
memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu
melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
2. Latar Belakang
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan.
Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali
dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah
pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan
kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib.
Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat
dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700 M.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu
kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin
Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan
selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.
3. Doktrin Ajaran
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-
perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri
pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-
Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala
perbuatannya.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai
kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh
hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di
akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri,
bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai
dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa
Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam
perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan
demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali,
yaitu hukum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi
fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan kecuali
tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak
mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam, menyebut pokok-pokok ajaran qadariyah sebagai berikut :
a. Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlahmukmin, tapi fasik dan orang fasikk itu masuk neraka
secara kekal.
b. Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang menciptakannyadan karena
itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan
buruk (siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosakarena itu pula, maka Allah berhak disebut
adil.
c. Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam ati bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat
azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah
SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri.
d. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk,
walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang
menyebabkan baik atau buruk.
Selanjutnya terlepas apakah paham qadariyah itu di pengaruhi oleh paham luar atau tidak, yang jelas di dalam Al
Qur’an dapat di jumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham qadariyah.
Dalam QS. Al Ra’ad ; 11,
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan diri mereka sendiri”
QS. Al-Kahfi ; 29
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang
ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.
4. Tokoh
a. Ma’bad Al-Juhani
b. Ghailan al Dimasyqi

F. Aliran Mu’tazilah
1. Pengertian
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata “Í’tizal” yang artinya “memisahkan diri”, pada mulanya nama ini di berikan
oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari
gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut
Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.
Ada beberapa pandangan, mengapa mereka disebut mu’tazilah, yaitu kelompok atau orang yang mengasingkan dan
memisahkan diri.
Pendapat pertama, pemisahan mereka lebih disebabkan karena politik (i’tizâl siyâsi), dimana mereka menamakan diri
dengan Mu’tazilah ketika Hasan bin ‘Ali membai’at Mu’awiyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepadanya.
Mereka mengasingkan diri dari Hasan, Mu’awiyah dan semua orang. Mereka menetap di rumah-rumah dan masjid-
masjid. Mereka berkata: “kami bergelut dengan ilmu dan ibadah.”
Pendapat kedua, pemisahan mereka lebih disebabkan karena perdebatan (i’tizâl kalâmi) mengenai hukum pelaku
dosa besar antara Imam Hassan al-Bashri dengan Wâshil bin ‘Atha’ yang hidup pada masa pemerintahan Hisyam
bin Abdil Malik al-Umawy.
2. Latar Belakang
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di kota basyrah dan mampu
bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah muncul pada pertengahan abad pertama hijrah yakni
diisitilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau besikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni
pada peristiwa meletusnya perang jamal dan perang siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak
mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.
Disisi lain, yang melatarbelakangi munculnya Aliran Mu’tazilah adalah sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena
mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang
berbuat dosa besar.
Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah
Baghdad. Menurut Ahmad Amin sebagaimana yang ditulis oleh A. Hanafi bahwa pengaruh filsafat Yunani pada
aliran Mu’tazilah Baghdad lebih nampak, karena adanya kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat di Baghdad,
dan juga karena istana khalifah-khfalifah Abbasiyah di Baghdad menjadi tempat pertemuan ulama-ulama Islam
dengan ahli-ahli pikir golongan lain.
Aliran Basrah lebih banyak menekankan segi-segi teori dan keilmuan, sedang aliran Baghdad sebaliknya, lebih
menekankan segi pelaksanaan ajaran Mu’tazilah dan banyak terpengaruh oleh kekuasaan khalifah-khalifah. Aliran
Baghdad banyak mengambil soal-soal yang telah dibahas aliran Basrah, kemudian diperluas pembahasannya.
3. Doktrin Ajaran
Ada lima prinsip pokok ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan bagi pemeluk ajaran ini untuk memegangnya, yan
dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf :
a. Al Tauhid (keesaan Allah)
Ini merupakan inti akidah madzhab mereka dalam membangun keyakinan tentang mustahilnya melihat Allah di
akhirat nanti, dan sifat-sifat Allah itu adalah substansi Dzatnya sendiri serta Al Qur`an adalah makhluq.
Dalam buku Ahmad Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam) dikutip pandangan al-Asy’ari yang menyebutkan
bahwa kaum Mu’tazilah menafsirkan Tauhid sebagai berikut:
“Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan benda (jisim), bukan orang (syakhs), bukan jauhar, bukan pula
aradh…tidak berlaku padanya…tidak mungkin mengambil tempat (ruang), tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada
makhluq yang menunjukkan ketidak azalianNya. Tidak dibatas, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak dapat
dicapai pancaindera…tidak dapat dilihat mata kepala dan tidak bisa digambarkan akal pikiran. Ia Maha Mengetahui, berkuasa
dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang yang berkuasa dan orang yang hidup…hanya Ia sendiri yang Qadim,
dan tidak ada lainnya yang Qadim…Tidak ada yang menolongNya dalam menciptakan apa yang diciptakanNya dan tidak
membikin makhluq karena contoh yang telah ada terlebih dahulu.”
b. Al ‘Adl (keadlilan tuhan)
Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak
menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintahNya dan meninggalkan
larangan-laranganNya dengan qudrah (kekuasaan) yang ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu. Tuhan tidak
memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang dikehendakiNya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang
diperintahkanNya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarangNya.
Dengan pemahaman demikian, maka tidaklah adil bagi Tuhan seandainya Ia menyiksa manusia karena perbuatan
dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena diperintah Tuhan. Tuhan dikatakan adil jika
menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.
c. Al Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
Al-Wa’du Wal-Wa’id (janji dan ancaman), bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku
kebaikan agar dimasukkan ke dalam surga, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar
(walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam neraka, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah
untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah
d. Al Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
Secara harfiah, berarti posisi diantara dua posisi. Menurut Mu’tazilah maksudnya adalah suatu tempat antara surga
dan neraka sebagai konsekwensi dari pemahaman yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah Fasiq; tidak
dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kafir, dia tidak berhak dihukumkan Mu’min dan tidak pula
dihukumkan Kafir, begitu pula dihukum munafiq, karena sesungguhnya munafiq berhak dihukumkan kafir
seandainya telah diketahui kenifaqkannya. Dan tidaklah yang demikian itu dihukumkan kepada pelaku dosa besar.
e. Amar ma’ruf nahi mungkar
Dengan berpegang kepada QS. Ali Imran ; 104 dan QS. Luqman ; 17, seperti halnya golongan lain bahwa perintah
untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat adalah wajib ditegakkan.
Dalam pandangan Mu’tazilah; dalam keadaan normal pelaksanaan al-amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar itu cukup
dengan seruan saja, tetapi dalam keadaan tertentu perlu kekerasan.
Dalam memastikan terlaksananya prinsif ini, mereka bertindak berlebih-lebihan dan berselisih pandangan dengan
mayoritas (jumhur) ummat; mereka mengatakan al-amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar itu dilakukan dengan hati
saja bila itu cukup, jika tidak cukup maka dengan lisan, dan jika dengan lisan saja tidak cukup maka dengan tangan,
bahkan dilaksanakan dengan senjata.
4. Tokoh
a. Washil bin Atha’
b. Abu Huzail Al Allaf
c. Al Nazzam
d. Abu Hasyim Al Jubba’i
G. Aliran Ahu Sunnah Wal Jamaah/Sunni
Ahlussunnah berarti penganut atau pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan jemaah berarti sahabat nabi. Jadi
Ahlussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut Sunnah (ittikad) nabi dan para sahabat beliau. Aliran ini, muncul
sebagai reaksi setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran
Mu’tazilah.
Tokoh utama yang juga merupakan pendiri mazhab ini adalah Abu Al Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al
Maturidi. Dua tokoh Sunni ini kemudian dalam perkembanganya ajaran mereka menjadi doktrin penting dalam
aliran Sunni yakni aliran Asy’ariyah dan aliran Maturidiyah.
Sebagai aliran yang se zaman, keduanya termasuk dalam aliran Ahlussunnah. Terkait kepemimpinan para khalifah
setelah Nabi saw sesuai urutan historis yang telah terjadi, keduanya memiliki pandangan serupa. Juga tak ada
perbedaan dalam pandangan mereka terhadap para penguasa Bani Umayah dan Bani Abbas. Dalam semua sisi
masalah imamah pun mereka saling sepakat. Keduanya juga sepaham bahwa Allah bisa dilihat tanpa kaif (cara), had
(batas), qiyam (berdiri) wa qu`ud (duduk) dan hal-hal sejenisnya.
1. Aliran Asy’ariyah
a. Pengertian
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah
Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi
Burdah Amir bin Abi Musa Al Asy’ari. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan
demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada
tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al
Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah.
Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya
dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan
oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan
keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara
dirinya dengan Al Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau
berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang
benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua
pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam
mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui
manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-
sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al Ibanah, ia
menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah,
dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para
shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
b. Latar Belakang
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio
telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat
yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa
menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang
akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli
dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah
yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al Asy'ari adalah bahwa mereka begitu
mempertahankan hubungan Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah
resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An Nidzamiyah, baik
yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar
di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta
sultan Shalahuddin Al Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy Syafi'i dan mazhab Al Malikiyah
periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy'ariyah ini adalah akidah yang paling
populer dan tersebar di seluruh dunia.
c. Doktrin Ajaran
1) Sifat-sifat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaiman di sebut di dalam Al Qur’an, yang di sebut sebagai sifat-sifat yang
azali, Qadim, dan berdiri diatas zat tuhan. Sifat-sifat itu bukanlah zat tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
2) Al Qur’an.
Menurutnya, Al Quran adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.
3) Melihat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti.
4) Perbuatan Manusia.
Menurutnya, perbuatan manusia di ciptakan tuhan, bukan di ciptakan oleh manusia itu sendiri.
5) Keadlian Tuhan
Menurutnya, tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di akhirat. Sebab
semua itu marupakan kehendak mutlak tuhan sebab Tuhan Maha Kuasa atas segalanya.
6) Muslim yang berbuat dosa.
Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat diakhir hidupnya tidaklah kafir dan tetap mukmin.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal
jamaah ialah Imam Al Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al
Ghazali meyakini bahwa:
1) Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
2) Al Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3) Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4) Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5) Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia, tidak wajib memberi ganjaran
pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan Ahl sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana pun, meski pada
masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah.
d. Tokoh
1) Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
2) Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
3) Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
4) Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
5) Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
2. Aliran Maturidiyah
a. Pengertian
Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional. Nama aliran itu dinisbahkan dari
nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad al-Maturidi. Al Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim
keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Muktazilah dan Asy'ariyah mengenai kemampuan
akal manusia. Aliran ini disebut-sebut memiliki kemiripan dengan Asy'ariyah.
Aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur Al Maturidi yang berpijak kepada
penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Aliran Maturidiyah digolongkan dalam teologi Ahli Sunnah Wal
Jamaah yang merupakan ajaran yang bercorak rasional.
Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan aliran yang memberikan otoritas yang
besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas, maksudnya aliran Maturidiyah berpegang
pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu
bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.
Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al Qur’an yaitu kewajiban melakukan
penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al Qur’an. Dalam menfsirkan Al Qur’an Al Maturidi
membawa ayat-ayat yang mutasyabih (samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan jelas pengertiannya).
Ia menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang
mikmin tidak mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah adalah lebih selamat.
b. Latar Belakang
Aliran Maturidiyah lahir di samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya adalah Abu Mansur
Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al Maturidi, di daerah Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab
Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh
sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga bermazhab Hanafi. Riwayatnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut
Abu Hanifa sehingga paham teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang Abu
Hanifa. Sistem pemikiran aliran maturidiyah, termasuk golongan teologi ahli sunah.
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak menggunakan rasio. Hal ini mungkin banyak dipengaruhi oleh
Abu Hanifa karena Al Maturidi sebagai pengikat Abu Hanifa. Dan timbulnya aliran ini sebagai reaksi terhadap
mu’tazilah.
Dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, disebutkan, pada pertengahan abad ke-3 H terjadi
pertentangan yang hebat antara golongan Muktazilah dan para ulama. Sebab, pendapat Muktazilah dianggap
menyesatkan umat Islam. Al Maturidi yang hidup pada masa itu melibatkan diri dalam pertentangan tersebut
dengan mengajukan pemikirannya.Pemikiran-pemikiran Al Maturidi dinilai bertujuan untuk membendung tidak
hanya paham Muktazilah, tetapi juga aliran Asy'ariyah. Banyak kalangan yang menilai, pemikirannya itu merupakan
jalan tengah antara aliran Muktazilah dan Asy'ariyah. Karena itu, aliran Maturidiyah sering disebut “berada antara
teolog Muktazilah dan Asy'ariyah”.Namun, keduanya (Maturidi dan Asy'ari) secara tegas menentang aliran
Muktazilah.
c. Doktrin Ajaran
1) Akal dan Wahyu
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al Qur’an dan akal, akal banyak digunakan diantaranya
karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban
mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al Qur’an yang
memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya untuk memperoleh pengetahuan dan keimanannya
terhadapAllah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Jika akal tidak
memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya.
Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti ia
telah meninggalkan kewajiban yang diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut Namun akal, menurut Al Maturidi tidak
mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang lain.
Dalam masalah amalan baik dan buruk, beliau berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak
pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti kemampuan akal mengenai
baik dan buruknya sesuatu, walau ia mengakui bahwa akal terkadang tidak mampu melakukannya. Dalam kondisi
ini, wahyu dijadikan sebagai pembimbing.
Al Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu :
a) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
b) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu,
c) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan Maturidiyah memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah, namun tentang
kewajiban melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan Maturidiyah berpendapat bahwa ketentuan itu harus
didasarkan pada wahyu.
2) Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Mengenai
perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah mengharuskan manusia untuk memiliki
kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini
Al Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia.
Allah mencipta daya (kasb) dalam setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada
pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
Dalam masalah pemakaian daya ini Al Maturidi memakai faham Imam Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah
(kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada
dalam kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat
baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan berbuat
buruk pun dengan kehendak Allah, tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.

3) Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan


Penjelasan di atas menerangkan bahwa Allah memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik atau buruk. Tetapi,
pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah berbuat sekehendak dan sewenang-wenang. Hal ini karena qudrat tidak
sewenang-wenang (absolute), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan
keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
4) Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al Maturidi berpendapat bahwa sifat itu
tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada
bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud
tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-
qadama).
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak
pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
5) Melihat Tuhan
Al Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan dalam. QS. Al Qiyamah ayat 22
dan 23 :
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan
mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena
keadaan di sana beda dengan dunia.
6) Kalam Tuhan
Al Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara denagn kalam nafsi (sabda yang
sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari
huruf dan suara adalah baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah
bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara.
Maturidiyah menerima pendapat Mu’tazilah mengenai Al Qur’an sebagai makhluk Allah, tapi Al Maturidi lebih
suka menyebutnya hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al Qur’an.
7) Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali
karena da hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat
mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang
dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal tersebut tidak sesuai dengan
keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam kemampuan dan perbuatannya,
Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
8) Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul
berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh
dengan pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia
dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.
9) Pelaku Dosa Besar
Al Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati
sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai
dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman.
Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
10) Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al qalb, bukan
semata iqrar bi al-lisan. Al Qur’an surat Al-Hujurat ayat 14 :
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah
tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan
mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’."
Ayat tersebut difahami sebagai penegasan bahwa iman tidak hanya iqrar bi al-lisan, tanpa diimani oleh qalbu. Lebih
lanjut Al Maturidi mendasarkan pendapatnya pada QQS. Al Baqarah ; 260,
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-
orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar
hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya
olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah
mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam ayat tersebut, bukan berarti bahwa Nabi Ibrahim belum beriman, tetapi beliau menginginkan agar
keimanannya menjadi keimanan ma’rifah. Ma’rifah didapat melalui penalaran akal. Adapun pengertian iman
menurut golongan Bukhara, adalah tashdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan, yaitu meyakini dan membenarkan dalam
hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya dengan membawa risalah serta mengakui segala pokok
ajaran islam secara verbal.
d. Madzhab Aliran Maturidiyah
1) Golongan Samarkand.
Golongan ini dalah pengikut Al Maturidi sendiri, golongan ini cenderung ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana
pendapatnya soal sifat-sifat tuhan, maturidi dan asy’ary terdapat kesamaan pandangan, menurut maturidi, tuhan
mempunyai sifat-sifat, tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya.
Begitu juga tuhan berkuasa dengan zatnya. Mengetahui perbuatan-perbuatan manusia maturidi sependapat dengan
golongan mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbutannya. Apabila ditinjau dari
sini, maturidi berpaham qadariyah. Maturidi menolak paham-paham mu’tazilah, antara lain maturidiyah tidak
sepaham mengenai pendapat mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk. Aliran maturidi juga
sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi.
Demikian pula masalah antropomorphisme. Dimana maturidi berpendapat bahwa tangan wajah tuhan, dan
sebagainya seperti pengambaran Al Qur’an. Mesti diberi arti kiasan (majazi). Dalam hal ini. Maturidi bertolak
belakang dengan pendapat asy’ary yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan tuhan mempunyai
bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi (ditakwilkan).
2) Golongan Buhara
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al Yusr Muhammad Al Bazdawi. Dia merupakan pengikut maturidi
yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi.
Dari orang tuanya, Al Bazdawi dapat menerima ajaran maturidi. Dengan demikian yang di maksud golongan
Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Al Maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih
dekat kepada pendapat-pendapat Al Asy’ary.
Namun walaupun sebagai aliran maturidiyah. Al Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan maturidi. Ajaran-ajaran
teologinya banyak dianut oleh sebagin umat Islam yang bermazab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran maturidiya
sampai sekarang masih hidup dan berkembang dikalangan umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawir, Al Munawi Kamus Bahasa Arab. Indonesia, Ponpes Al-Munawir, Yogyakarta, 1984.
Anwar, Rohison dan Abdul Rozak. Ilmu Kalam Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung : Pustaka Setia. 2001.
Asmuni, Yusran, Ilmu Tauhid, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996Nata, Abuddin, Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf,
Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1995Zainuddin, H, Ilmu Tauhid, Jakarta:PT Rineka Cipta, 1992
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
Ensiklopedi Islam (S-Z), penerbit PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta. Penyusun: Dewan Redaksi. buku 5
Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
Hussain Affandi al-Jisr, al-Hushumul Hamidiyah, Ahmad Nabhan, Surabaya, 1970.
Ibnu Kathir : Malapetaka Bakal Menimpa Menjelang Kiamat; Darul Fajr,
cetakan ke 2 ; 2004 Ustaz Jaafar Salleh : 3 Tokoh Bakal Menakluk Dunia; Pustaka Azhar, 2009
James W. Morris. This is an unrevised, pre-publication version of an article or translation which has subsequently been
published, with revisions and corrections as Section II (‘At the End of Time’) in Ibn 'Arabī: The Meccan Revelations
(co-author with W. Chittick), New York, Pir Press, 2002
Kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa,
Cetakan I
Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: al-Izzah, 2002)
Nasir, Salihun. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta : Rajawali Pers. 1991.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press
Nata, Abuddin. Ilmu kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Jakarta : Rajawali Pers. 1993.
Prof.Dr H. Mahmud Yunus: Tafsir Quran Karim; Klang Book Centre, 1992 Imam Imam Muslim: Tarjamah
Shahih Muslim Jilid IV; CV Asy Syifa Semarang, 1993
Raji Abdullah, M. Sufyan. Lc, Mengenal Aliran-Aliran Dalam Islam Dan Ciri-Ciri Ajarannya, Jakarta, Pustaka Al-Riyadl,
2006.
Syech Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Terjemah KH. Firdaus, AN-PN Bulan Bintang, Jakarta Cetakan Pertama,
1963.
Tafsir alqur’an Departemen Agama Republik Indonesia. Tim Tashih Drs. HA. Hafizh Dasuki, MA dkk
Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997)

Anda mungkin juga menyukai