Anda di halaman 1dari 48

ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA

A. Aliran Khowarij
1. Pengertian
Khowarij secara bahasa diambil dari Bahasa Arab khowaarij, secara harfiah berarti mereka
yang keluar. Istilah khowarij adalah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam
islam yang pada awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib lalu menolaknya. Pertama
kali muncul pada pertengahan abad ke-7, berpusat di daerah yang kini terletak di bagian
negara Irak Selatan dan merupakan bentuk yang berbeda dari kaum sunni dan syiah.
Disebut atau dinamakan khawarij karena keluarnya mereka dari kepemimpinan Khalifah Ali
Bin Abi Thalib.
Kebanyakan dari kaum Khawarij adalah Arab dusun yang tinggal di kawasan pegunungan
dan karena itu hidup dengan sangat sederhana. Mereka sangat keras hati tetapi amat taat
menjalankan agama. Karena pemikirannya yang sederhana, Khawarij mengartikan Al Quran
benar-benar secara tekstual; tetapi betapapaun beratnya mereka toh melaksanakannya.
Aliran Khawarij dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang
keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang
telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Muawiyyah yang dikomandoi
oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin (37H/657).

2. Latar Belakang
Khawarij lahir dari komponen paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh
militer pimpinan Ali ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak terkendali dan
dirasa sulit untuk mereda dengan prinsip masing-masing. Maka kubu Muawiyah ra. yang
merasa akan dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan untuk mengakhiri perang
saudara itu dengan Tahkim dibawah Al Quran.
Semula Ali ra. tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan hukum
kekhilafahannya sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil dari
kelompok militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima ajakan kubu Muawiyah ra.
Kelompok ini terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan saat keputusan yang
diambil Ali ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra. menghadapi utusan kubu lawannya
Amru bin al-Ash dalam tahkim, Ali ra. malah mengalah pada nama Abu Musa Al Asyary yang
diajukan kelompok itu menggantikan Abdullah bin Abbas ra.
Anehnya, kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui tawaran kubu
Muawiyah ra. Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim. Pada akhirnya
setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Muawiyah ra. Sebagai khilafah
menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa genjatan senjata
dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam hukum Islam.
Artinya menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah mengikuti
proses itu telah melanggar ketentuan syara, karena telah melanggar prinsip dasar bahwa
setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (l hukma illa lillh).
Dan sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa maka ia
telah kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang telah melangar prinsip tersebut
telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka memaksanya untuk bertobat atas dosanya itu
sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil dalam proses Tahkim.
Demikian watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok paling keras
memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyebab utama lahirnya
kelompok ini. Khawarij adalah kelompok yang didalamnya dibentuk oleh mayoritas orang-
orang Arab pedalaman (arbu al-bdiyah). Mereka cenderung primitive, tradisional dan
kebanyakan dari golongan ekonomi rendah, namun keadaan ekonomi yang dibawah standar
tidak mendorong mereka untuk meningkatkan pendapatan. Ada sifat lain yang sangat
kontradiksi dengan sifat sebelumnya, yaitu kesederhanaan dan keikhlasan dalam
memperjuangkan prinsip dasar kelompoknya.
Walaupun keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan komposisi
seperti itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras pendirian. Prinsip dasar
bahwa tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan mereka tafsirkan secara dzohir saja.
Bukan hanya itu, sebenarnya ada kepentingan lain yang mendorong dualisme sifat dari
kelompok ini. Yaitu kecemburuan atas kepemimpinan golongan Quraisy. Dan pada saatnya
kemudian Khawarij memilih Abdullh bin Wahab ar-Rsiby yang diluar golongan Quraisy
sebagai khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam Khawarij, menyatakan bahwa
Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari golongan Ajam (diluar golongan Arab)
yang kemudian menghapus Syariat Nabi Muhammad SAW.
Nama khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja keluar dari
barisan Ali ra. dan tidak mendukung barisan Muawiyah ra. namun dari mereka menganggap
bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat pada QS. An Nisa ; 100. yang
merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah di jalan Allah dan Rasul-
Nya. Selanjutnya mereka juga menyebut kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata
Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Baqarah ; 207. tentang seseorang
yang menjual dirinya untuk mendapatkan ridla Allah. Selain itu mereka juga disebut
Haruriyah yang merujuk pada Harurah sebuah tempat di pinggiran sungai Furat dekat
kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang
dari perang Syiffin.
Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok Muhakkimah. Sebagai kelompok dengan
prinsip dasar l hukma illa lillh.

3. Doktrin Ajaran
Secara umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah kaum muslimin yang berbuat dosa
besar adalah kafir. Kemudian, kaum muslimin yang terlibat dalam perang jamal, yakni
perang antara Aisyiah, Thalhah, dan dan Zubair melawan Ali bin Abi Thalib dihukumi kafir.
Kaum Khawarij memutuskan untuk membunuh mereka berempat tetapi hanya berhasil
membunuh Ali. Menurut mereka Khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari
keturunan Nabi Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim
dari golongan manapun bisa menjadi kholifah asalkan mampu memimpin dengan benar.
Dalam upaya kafir mengkafirkan ini, terdapat suatu golongan yang menolak ajaran kaum
Khawarij yang mengkafirkan orang mukmin yang melakukan dosa besar. Sehingga mereka
membentuk sautu golongan yang menolak ajaran pengkafiran tersebut, golongan ini disebut
dengan golangan Murjiah.
Berikut pokok-pokok doktrin ajaran aliran Khawarij
a. Setiap ummat Muhammad yang terus menerus melakukan dosa besar hingga matinya
belum melakukan tobat, maka dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka.
b. Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut
khianat dan zalim.
c. Ada faham bahwa amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para
pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Dengan latar belakang watak
dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah
yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
d. Keimanan itu tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri.
Namun demikian, karena pada umumnya manusia tidak bisa memecahkan masalahnya,
kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk berpegang kepada keimanan, apakah
dalam berfikir, maupun dalam segala perbuatannya. Apabila segala tindakannya itu tidak
didasarkan kepada keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan kafir.
Dengan mengutip beberapa ayat Al-Quran, mereka berusaha untuk mempropagandakan
pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis itu, sebagaimana tercermin di bawah
ini :
a. Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar; sedangkan Usman dan Ali, juga orang-orang
yang ikut dalam Perang Unta, dipandang telah berdosa.
b. Dosa dalam pandangan mereka sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap
pelaku dosa besar apabila ia tidak bertobat. Dari sinilah muncul term kafir dalam faham
kaum Khawarij.
c. Khalifah tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh
karenanya, mereka menolak pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
d. Ketaatan kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan.
Jika menyimpang, wajib diperangi dan bahkan dibunuhnya.
e. Mereka menerima Al Quran sebagai salah satu sumber diantara sumber-sumber hukum
Islam.
f. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Ustman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke-7
kekhalifahannya Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng.
g. Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi arbitras (tahkim) ia dianggap telah
menyeleweng.
h. Muawiyah dan Amr bin Al-Asy dan Abu Musa Al-Asyari juga dianggap menyeleweng dan
telah menjadi kafir.
Selain pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis, kaum Khawarij juga memiliki
pandangan atau pemikiran (doktrin-doktrin) dalam bidang sosial yang berorientasi pada
teologi, sebagaimana tercermin dalam pemikiran-pemikiran sebagai berikut :
a. seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim, sehingga harus dibunuh. Yang
sangat anarkis lagi, mereka menganggap seorang muslim bisa menjadi kafir apabila tidak
mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban
harus dilenyapkan pula.
b. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka, bila tidak ia wajib
diperangi karena dianggap hidup di negara musuh, sedangkan golongan mereka dianggap
berada dalam negeri islam,
c. Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng,
d. Adanya waad dan waid (orang yang baik harus masuk kedalam surga, sedangkan orang
yang jahat harus masuk neraka),
e. Amar maruf nahi munkar,
f. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari tuhan,
g. Quran adalah makhluk,
h. Memalingkan ayat-ayat Al Quran yang bersifat mutasyabihat (samar)
Jadi secara umum pokok ajaran aliran Khawarij adalah
a. Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
b. Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan zubair,
dengan Ali bin abi tahAlib) dan para pelaku tahkimtermasuk yang menerima dan
mambenarkannya di hukum kafir;
c. Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.
d. Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi
Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.
e. Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan
menjalankan syariat islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
f. Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya
Usman r.a dianggap telah menyeleweng,
g. Khalifah Ali dianggap menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase).

5. Sekte
Munculnya banyak cabang dan sekte Khawarij ini diakibatkan banyaknya perbedaan dalam
bidang akidah yang mereka anut dan banyaknya nama yang mereka pergunakan sejalan
dengan perbedaan akidah mereka yang beraneka ragam itu. Asy-syakah menyebutkan
adanya delapan firqah besar, dan firqah-firqah ini terbagi lagi menjadi firqah-firqah kecil
yang jumlahnya sangat banyak. Perpecahan ini menyebabkan gerakan kaum Khawarij
lemah, sehingga mereka tidak mampu menghadapi kekuatan militer Bani Umayyah yang
berlangsung bertahun-tahun.
Menurut Prof. Taib Thahir Abdul Muin, bahwa sebenarnya ada dua golongan utama yang
terdapat dalam aliran Khawarij, yakni :

a. Sekte Al-Azariqoh
Nama ini diambil dari Nafi Ibnu Al-Azraq, pemimpin utamanya, yang memiliki pengikut
sebanyak dua puluh ribu orang. Di kalangan para pengikutnya, Nafi digelari amir al-
mukminin. Golongan al-azariqoh dipandang sebagai sekte yang besar dan kuat di
lingkungan kaum Khawarij.
Dalam pandangan teologisnya, Al-Azariqoh tidak menggunakan term kafir, tetapi
menggunakan term musyrik atau politeis. Yang dipandang musyrik adalah semua orang yang
tidak sepaham dengan ajaran mereka. Bahkan, orang Islam yang tidak ikut hijrah kedalam
lingkungannya, dihukumkan musyrik.
Karena kemusyrikannya itu, kaum ini membolehkan membunuh anak-anak dan istri yang
bukan golongan Al-Azariqoh. Golongan ini pun membagi daerah kekuasaan, yakni dar al-
Islam dan dar al-kufur. Dar al-Islam adalah daerah yang dikuasai oleh mereka, dan
dipandang sebagai penganut Islam sebenarnya. Sedangkan Dar al-Kufur merupakan suatu
wilayah atau negara yang telah keluar dari Islam, karena tidak sefaham dengan mereka dan
wajib diperangi.
b. Sekte Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh sekte Khawarij. Nama
golongan ini diambnil dari Abdullah Ibnu Ibad, yang pada tahun 686 M. memisahkan diri dari
golongan Al-Azariqoh.
Adapun faham-fahamnya yang dianggap moderat itu, antara lain :
1) Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula
musyrik, tetapi kafir. Orang Islam demikian, boleh mengadakan hubungan perkawinan dan
hukum waris. Syahadat mereka diterima, dan membunuh mereka yang tidak sefaham
dihukumkan haram.
2) Muslim yang melakukan dosa besar masih dihukumkan muwahid, meng-esa-kan Tuhan,
tetapi bukan mukmin. Dan yang dikatakan kafir, bukanlah kafir agama, tetapi kafir akan
nikmat. Oleh karenanya, orang Islam yang melakukan dosa besar tidak berartyi sudah keluar
dari Islam.
3) Harta kekayaan hasil rampasan perang yang boleh diambil hanyalah kuda dan senjata.
Sedangkan harta kekayaan lainnya, seperti emas dan perak, harus dikembalikan kepada
pemiliknya.
4) Daerah orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka, masih merupakan dar at-tauhid,
dan tidak boleh diperangi.

B. Aliran Murjiah
1. Pengertian
Kata Murjiah berasal dari kata bahasa Arab arjaa, yarjiu, yang berarti menunda atau
menangguhkan. Salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah.
Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahristani menyebutkan dalam bukunya Al-
Milal wa an-Nihal (buku tentang perbandingan agama serta sekte-sekte keagamaan dan
filsafat) bahwa orang pertama yang membawa paham Murjiah adalah Gailan ad-Dimasyqi.
Aliran ini disebut Murjiah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian
persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke
hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat
tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir diantara ketiga golongan yang
tengah bertikai tersebut. Menurut pendapat lain, mereka disebut Murjiah karena mereka
menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin selama masih beriman kepada
Allah SWT dan rasul-Nya. Adapun dosa besar orang tersebut ditunda penyelesaiannya di
akhirat. Maksudnya, kelak di akhirat baru ditentukan hukuman baginya.
Persoalan yang memicu Murjiah untuk menjadi golongan teologi tersendiri berkaitan
dengan penilaian mereka terhadap pelaku dosa besar. Menurut penganut paham Murjiah,
manusia tidak berhak dan tidak berwenang untuk menghakimi seorang mukmin yang
melakukan dosa besar, apakah mereka akan masuk neraka atau masuk surga. Masalah ini
mereka serahkan kepada keadilan Tuhan kelak. Dengan kata lain mereka menunda penilaian
itu sampai hari pembalasan tiba.
Paham kaum Murjiah mengenai dosa besar berimplikasi pada masalah keimanan
seseorang. Bagi kalangan Murjiah, orang beriman yang melakukan dosa besar tetap dapat
disebut orang mukmin, dan perbuatan dosa besar tidak mempengaruhi kadar keimanan.
Alasannya, keimanan merupakan keyakinan hati seseorang dan tidak berkaitan dengan
perkataan ataupun perbuatan. Selama seseorang masih memiliki keimanan didalam hatinya,
apapun perbuatan atau perkataannya, maka ia tetap dapat disebut seorang mukmin, bukan
kafir. Murjiah mengacu kepada segolongan sahabat Nabi SAW, antara lain Abdullah bin
Umar, Saad bin Abi Waqqas, dan Imran bin Husin yang tidak mau melibatkan diri dalam
pertentangan politik antara Usman bin Affan (khalifah ke-3; w. 656) dan Ali bin Abi Thalib
(khalifah ke-4; w. 661).
2. Latar Belakang
Munculnya aliran ini di latar belakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah
(kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam terpecah
kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Muawiyah. Kelompok Ali lalu
terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah)
dan golongan yang keluar dari barisan Ali (disebut Khawarij). Ketika berhasil mengungguli
dua kelompok lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok
Muawiyah lalu membentuk Dinasti Umayyah. Syiah dan Khawarij bersama-sama
menentang kekuasaannya. Syiah menentang Muawiyah karena menuduh Muawiyah
merebut kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij
tidak mendukung Muawiyah karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam
pertikaian antara ketiga golongan tersebut terjadi saling mengafirkan. Di tengah-tengah
suasana pertikaian ini muncul sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat
dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok inilah yang kemudian berkembang
menjadi golongan Murjiah.
Dalam perkembanganya, golongan ini ternyata tidak dapat melepaskan diri dari persoalan
teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang
yang berdosa besar. Kaum Murjiah menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tidak
dapat dikatakan sebagai kafir selama ia tetap mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya dan
Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. Pendapat ini merupakan lawan dari pendapat kaum
Khawarij yang mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar hukumnya adalah kafir.
Golongan Murjiah berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah
aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap mukmin,
bukan kafir, kendatipun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu
terserah kepada Tuhan, akan ia ampuni atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran
Murjiah.
3. Doktrin Ajaran
Doktrin-doktrin aliran Murjiah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam murjiah
dan dalam sikap netralnya. Pandangan netral tersebut, nampak pada penamaan aliran ini
yang berasal dari kata arjaa, yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan
memberi pengharapan. Menangguhkan berarti menunda soal siksaan seseorang ditangan
Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya,
maka akan disiksa sesuai dengan dosanya.
Istilah memberi harapan mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal
ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak
mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat
atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap
kekufurannya. Mereka berharap bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia
masih dikatakan mukmin.
Menurut Harun Nasution menyebutkan, bahwa Murjiah memiliki empat ajaran pokok,
yaitu :
a. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asyari yang
terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c. Meletakkan (pentingnya) iman dari amal.
d. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat dari Allah.
4. Tokoh
a. Abu Hasan Ash-Shalihi
b. Yunus bin An-Namiri
c. Ubaid Al-Muktaib
d. Ghailan Ad-Dimasyq
e. Bisyar Al-Marisi
f. Muhammad bin Karram
5. Sekte
Kaum Murjiah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran
Murjiah menurut Harun Nasutuion, terbagi kepada dua golongan besar, yakni golongan
moderat dan golongan ekstrim.
a. Golongan Murjiah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir
dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang
dilakukan.
b. Golongan Murjiah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibnu Sofwan, berpendapat bahwa orang
Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah
menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang
menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah
menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang
mukmin yang sempurna imannya.
Golongan ekstrim dalam Murjiah terbagi menjadi empat kelompok, yaitu :
1) Al-Jahmiyah, kelompok Jahm bin Syafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa
orang yang percaya kepada tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah
menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain
dalam tubuh manusia.
2) Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui
tuhan, sedangkan kufur tidak tahu tuhan. Sholat bukan merupakan ibadah kepada Allah,
yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui tuhan. Begitu pula
zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
3) Yumusiah dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau
perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan
perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini
Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak
merusak iman seseorang sebagai musyrik.
4) Hasaniyah, jika seseorang mengatakan saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi
saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini, maka orang tersebut
tetap mukmin, bukan kafir

C. Aliran Syiah
1. Pengertian
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab Sy`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Sy`.
Syi'ah adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali artinya "pengikut Ali", yang
berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW
bersabda: "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali
anta wa syi'atuka humulfaaizun)
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain
itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.
Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin
Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk
kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber
pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi
Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan
menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah
Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad,
dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan
yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al Quran , Hadits, mengenai Sahabat,
dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi
dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah
(juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-
sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
2. Latar Belakang
Mengenai latar belakng munculnya aliran Syiah, terdapat dua pendapat ;
a. Menurut Abu Zahrah
Syiah mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan
berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Adapun
b. Menurut Mongomary Watt
Syiah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal
denganPerang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan ali terhadap
arbitrase yang diatwarkan Muawiyah, pasukan Ali di ceritakan terpecah menjadi dua, satu
kelompok mendukung sikap Ali, kelak di sebut Syiah dan kelompok lain menolak sikap Ali,
kelak di sebut Khawarij.
Secara historis, akar aliran Syiah terbentuk segera setelah kematian Nabi Muhammad, yakni
ketika Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama pada pertemuan tsaqifah yang
diselenggarakan di Dar al-Nadwa, di Madinah. Pemilihan tersebut dilaksanakan secara
tergesa-gesa sebagai wujud persaingan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang sempat
mengancam perpecahan Islam. Dalam pertemuan itu Ali tidak hadir karena sibuk mengurus
jenazah Nabi. Pada waktu itu usia Ali 30 tahun, di mana bangsa Arab menjadikan usia
sebagai syarat penting kecakapan dalam kepemimpinan, meskipun secara historis terdapat
sejumlah pengecualian akan hal tersebut. Tetapi pengikut Ali, pada saat itu, merasa bahwa
klaim mereka telah direbut secara tidak adil.
Selanjutnya Umar ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai penggantinya, menjadi khalifah kedua
yang kemudian dilanjutkan oleh Usman. Setelah Usman terbunuh oleh pemberontak yang
mengatasnamakan diri mereka sebagai anti depotisme keluarga Umayah, Ali kemudian
diangkat menjadi khalifah keempat pada tahun 35H/656M.
Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa peristiwa pembunuhan khalifah ke-3 Usman Bin
Affan, telah melahirkan rentetan sejarah yang sangat panjang dan membawa dampak pada
khalifah setelahnya, Ali bin Abi Thalib. Di antaranya adalah penolakan Muawiyah, gubernur
Damaskus atas Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dengan alasan bahwa Ali tidak melakukan
pengusutan terhadap pembunuhan Usman. Ketegangan antara Ali dan Muawiyah ini
berbuntut dengan terjadinya perang Siffin yang berakhir dengan peristiwa arbitrase
(tahkim), yang dianggap sebagai titik temu penyelesaian persengketaan yang terjadi antara
khalifah (Ali Bin Abi Thalib) dengan Muawiyah.
Namun peristiwa itu justru melahirkan berbagai reaksi dan aksi, seiring dengan tidak bisanya
menyatukan pemikiran dan pendapat dari masing-masing kelompok. Pada akhirnya
membuat umat menjadi bagian-bagian (firqah-firqah). Sejarah mencatat, bermula dari
perpecahan politik ini, pada kelanjutannya melahirkan aliran-aliran teologi dalam Islam.
Aliran yang paling terkenal dengan peristiwa ini adalah Khawarij yang muncul sebagai
pasukan yang keluar dari barisan Ali atau memisahkan diri sebagai bentuk protes terhadap
keputusan Ali dan pada saat yang bersamaan juga muncul satu golongan yang tetap setia
mendukung Ali bin Abi Thalib, yang pada berikutnya terkenal dengan nama Syiah, yang
dalam perekembangnya hadir sebagai sebuah aliran yang memiliki konsep dan ajaran
tersendiri.
Dalam perkembangannya, Syiah dapat diterima oleh banyak kalangan namun dengan
banyak perbedaan dan perpecahan yang melahirkan sekte yang tidak sedikit dalam Syiah
itu sendiri. Tetapi sekalipun Syiah terpecah kepada beragam sekte, namun mereka
mempunyai keyakinan yang sama pada umumnya, yang merupakan ciri Syiah secara
menyeluruh.
3. Doktrin Ajaran
Dalam Syi'ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu'uddin
(masalah penerapan agama). Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin:
a. Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
b. Al-Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
c. An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai
pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia
d. Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat
sebagai penerus risalah kenabian.
e. Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan.
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang menginformasikan
bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin [QS. Al Hadid (57) :3]. Allah
tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau
akan datang). Dimensi ketuhanan ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran
yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk
menciptakan Takdir.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin [QS. Al Hadid (57) :3]. Allah
tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau
akan datang). Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah
menetapkannya (takdirnya) [QS. Al-Furqaan (25) :2] Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah
mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada
dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah [QS. Al-Hajj (22) :70] Dia
menciptakan apa yang dikehendaki-Nya [QS. Al-Maa'idah (5) :17] Kalau Dia (Allah)
menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya [QS. Al-An'am (6) :149]
Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat [QS. As-Safat (37) :96] Dan hanya
kepada Allah-lah kesudahan segala urusan [QS. Luqman (31) :22]. Allah yang menentukan
segala akibat. Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah
menetapkannya (takdirnya) [QS. Al-Furqaan (25) :2]Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah
mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada
dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah [QS. Al-Hajj (22) :70] Dia
menciptakan apa yang dikehendaki-Nya [QS. Al-Maa'idah (5) :17] Kalau Dia (Allah)
menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya [QS. Al-An'am (6) :149]
Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat [QS. As-Safat (37) :96] Dan hanya
kepada Allah-lah kesudahan segala urusan [QS. Luqman (31) :22]. Allah yang menentukan
segala akibat. nabi sama seperti muslimin lain.
Itikadnya tentang kenabian ialah:
a. Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
b. Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad SAW.
c. Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling utama
dari seluruh Nabi yang ada.
d. Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah
manusia-manusia suci.
e. Al Quran ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad SAW.
4. Tokoh
a. Abu Dzar al Ghiffari
b. Miqad bin Al aswad
c. Ammar bin Yasir
5. Sekte
Syi'ah terpecah menjadi 22 sekte. Dari 22 sekte itu, hanya tiga sekte yang masih ada sampai
sekarang, yakni:
a. Dua Belas Imam
Disebut juga Imamiah atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam); dinamakan demikian sebab
mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua
belas imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan imam mereka yaitu:
1) Ali bin Abi Thalib (600-661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625-669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6) Jafar bin Muhammad (703-765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7) Musa bin Ja'far (745-799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
8) Ali bin Musa (765-818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
9) Muhammad bin Ali (810-835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad
at Taqi
10) Ali bin Muhammad (827-868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
11) Hasan bin Ali (846-874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari
12) Muhammad bin Hasan (868-), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi
b. Ismailiyah
Disebut juga Tujuh Imam; dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya
tujuh orang dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il.
Urutan imam mereka yaitu:
1) Ali bin Abi Thalib (600-661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625-669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6) Ja'far bin Muhammad bin Ali (703765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7) Ismail bin Ja'far (721 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-
Kadzim.
c. Zaidiyah
Disebut juga Lima Imam; dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin
'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat karena tidak
menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:
1) Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Zaid bin Ali (658740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin
Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baq

D. Aliran Jabariyah
1. Pengertian
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di
dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari
Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah
adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan
kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan
terpaksa (majbur).
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala
perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya
adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak
manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak
mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang
mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai
dalangnya.
Menurut catatan sejarah, paham jabariyah ini di duga telah ada sejak sebalum agama Islam
datangke masyarakat arab. Kehidupan bangsa arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara
telah memberikan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang sangat
tidak bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian mendasari mereka untuk
tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebankan mereka semata-mata tunduk dan patuh
kepada kehendak tuhan.
2. Latar Belakang
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang
sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani
Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan
manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Adapaun tokoh yang
mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan, yang
bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum
agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun
pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi
yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata
dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman,
tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi
panasnya musim serta keringnya udara.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyatalkat arab tidak melihat
jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang
diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya
mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham
fatalisme.
3. Doktrin Ajaran
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan berdasarkan menjadi dua kelompok, yaitu
ekstrim dan moderat.
a. Aliran ekstrim.
Diantara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendaptnya adalah bahwa manusia tidak
mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal
dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan,
meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan
yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau
membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum
Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia
seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan
indera mata di akherat kelak. Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau
Jabariyah Khalisah.
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Al Quran adalah
makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak
mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar.
Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak
berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan
kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan
perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik
dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan
ketentuan Allah.
b. Aliran Moderat
Menurut Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi
manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak
seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan,
tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham
seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat.
Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat
saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.
Dasar pemahaman pada aliran jabariyah ini dijelaskan Al Quran diantaranya :
QS. Al-saffat; 96
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.
QS. Al Insan; 30
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Selain ayat-ayat Al Quran di atas, benih-benih faham Jabariyah juga dapat dilihat dalam
beberapa peristiwa sejarah:
a. Suatu ketika Nabi menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir
Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar
dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika ditntrogasi,
pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian
marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan
dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan
hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan
siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu
terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian
Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan
siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan,
maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi
orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d. Adanya paham Jabariyah telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang
tumbuh berkembang di Syiria.
4. Tokoh
a. Jahm bin Shafwan
b. Al-Jaad Bin Dirham
c. Husain Bin Muhammad Al Najjar
d. Dirar Ibn Amr.

E. Aliran Qadariyah
1. Pengertian
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang
bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran
yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat
berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih
menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-
perbutannya.
Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia
menusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Menurut Ahmad Amin, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang
mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan
dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua
perbuatan, yakni baik dan buruk.
2. Latar Belakang
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan
sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang
mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Mabad al-Jauhani dan Ghilan
ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad
Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya
beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya
adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syuib. Sementara W. Montgomery
Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam
kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700
M.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik
Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu
mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah
dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan
selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.
3. Doktrin Ajaran
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia
berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas
kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam
menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa
atas segala perbuatannya.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri.
Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya
sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan
pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas
kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga
kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan
atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang
yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang
dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut
nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah
ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali,
yaitu hukum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam.
Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan kecuali tidak mempunyai sirip seperti ikan yang
mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti
gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam, menyebut pokok-pokok ajaran
qadariyah sebagai berikut :
a. Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlahmukmin, tapi fasik dan orang
fasikk itu masuk neraka secara kekal.
b. Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang
menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga)
atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal
perbuatannya yang salah dan dosakarena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
c. Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam ati bahwa Allah
tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang
bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup,
mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri.
d. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik
dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala
sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.
Selanjutnya terlepas apakah paham qadariyah itu di pengaruhi oleh paham luar atau tidak,
yang jelas di dalam Al Quran dapat di jumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham
qadariyah.
Dalam QS. Al Raad ; 11,
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan diri mereka sendiri
QS. Al-Kahfi ; 29
Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir.
4. Tokoh
a. Mabad Al-Juhani
b. Ghailan al Dimasyqi

F. Aliran Mutazilah
1. Pengertian
Perkataan Mutazilah berasal dari kata tizal yang artinya memisahkan diri, pada
mulanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mutazilah karena pendirinya, Washil bin
Atha, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam
perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut Mutazilah dan di
gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.
Ada beberapa pandangan, mengapa mereka disebut mutazilah, yaitu kelompok atau orang
yang mengasingkan dan memisahkan diri.
Pendapat pertama, pemisahan mereka lebih disebabkan karena politik (itizl siysi), dimana
mereka menamakan diri dengan Mutazilah ketika Hasan bin Ali membaiat Muawiyah dan
menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Mereka mengasingkan diri dari Hasan,
Muawiyah dan semua orang. Mereka menetap di rumah-rumah dan masjid-masjid. Mereka
berkata: kami bergelut dengan ilmu dan ibadah.
Pendapat kedua, pemisahan mereka lebih disebabkan karena perdebatan (itizl kalmi)
mengenai hukum pelaku dosa besar antara Imam Hassan al-Bashri dengan Wshil bin Atha
yang hidup pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdil Malik al-Umawy.
2. Latar Belakang
Aliran Mutazilah lahir kurang lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di kota
basyrah dan mampu bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah muncul
pada pertengahan abad pertama hijrah yakni diisitilahkan pada para sahabat yang
memisahkan diri atau besikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa
meletusnya perang jamal dan perang siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat
yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka
dan memilih jalan tengah.
Disisi lain, yang melatarbelakangi munculnya Aliran Mutazilah adalah sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murjiah akibat adanya
peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan
Khawarij dan Murjiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar.
Dari segi geografis, aliran Mutazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mutazilah Basrah dan
aliran Mutazilah Baghdad. Menurut Ahmad Amin sebagaimana yang ditulis oleh A. Hanafi
bahwa pengaruh filsafat Yunani pada aliran Mutazilah Baghdad lebih nampak, karena
adanya kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat di Baghdad, dan juga karena istana
khalifah-khfalifah Abbasiyah di Baghdad menjadi tempat pertemuan ulama-ulama Islam
dengan ahli-ahli pikir golongan lain.
Aliran Basrah lebih banyak menekankan segi-segi teori dan keilmuan, sedang aliran Baghdad
sebaliknya, lebih menekankan segi pelaksanaan ajaran Mutazilah dan banyak terpengaruh
oleh kekuasaan khalifah-khalifah. Aliran Baghdad banyak mengambil soal-soal yang telah
dibahas aliran Basrah, kemudian diperluas pembahasannya.
3. Doktrin Ajaran
Ada lima prinsip pokok ajaran Mutazilah yang mengharuskan bagi pemeluk ajaran ini untuk
memegangnya, yan dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf :
a. Al Tauhid (keesaan Allah)
Ini merupakan inti akidah madzhab mereka dalam membangun keyakinan tentang
mustahilnya melihat Allah di akhirat nanti, dan sifat-sifat Allah itu adalah substansi Dzatnya
sendiri serta Al Qur`an adalah makhluq.
Dalam buku Ahmad Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam) dikutip pandangan al-Asyari
yang menyebutkan bahwa kaum Mutazilah menafsirkan Tauhid sebagai berikut:
Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan benda (jisim), bukan orang (syakhs),
bukan jauhar, bukan pula aradhtidak berlaku padanyatidak mungkin mengambil tempat
(ruang), tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluq yang menunjukkan
ketidak azalianNya. Tidak dibatas, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak dapat
dicapai pancainderatidak dapat dilihat mata kepala dan tidak bisa digambarkan akal
pikiran. Ia Maha Mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang
mengetahui, orang yang berkuasa dan orang yang hiduphanya Ia sendiri yang Qadim, dan
tidak ada lainnya yang QadimTidak ada yang menolongNya dalam menciptakan apa yang
diciptakanNya dan tidak membikin makhluq karena contoh yang telah ada terlebih dahulu.
b. Al Adl (keadlilan tuhan)
Paham keadilan yang dikehendaki Mutazilah adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki
keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan
perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya dengan qudrah (kekuasaan)
yang ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu. Tuhan tidak memerintahkan sesuatu kecuali
menurut apa yang dikehendakiNya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang
diperintahkanNya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang
dilarangNya.
Dengan pemahaman demikian, maka tidaklah adil bagi Tuhan seandainya Ia menyiksa
manusia karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena
diperintah Tuhan. Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas
kemauannya sendiri.
c. Al Wad wa al waid (janji dan ancaman)
Al-Wadu Wal-Waid (janji dan ancaman), bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-
Nya (al-wad) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam surga, dan melaksanakan
ancaman-Nya (al-waid) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan
ke dalam neraka, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya.
Karena inilah mereka disebut dengan Waidiyyah
d. Al Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
Secara harfiah, berarti posisi diantara dua posisi. Menurut Mutazilah maksudnya adalah
suatu tempat antara surga dan neraka sebagai konsekwensi dari pemahaman yang
mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah Fasiq; tidak dikatakan beriman dan tidak pula
dikatakan kafir, dia tidak berhak dihukumkan Mumin dan tidak pula dihukumkan Kafir,
begitu pula dihukum munafiq, karena sesungguhnya munafiq berhak dihukumkan kafir
seandainya telah diketahui kenifaqkannya. Dan tidaklah yang demikian itu dihukumkan
kepada pelaku dosa besar.
e. Amar maruf nahi mungkar
Dengan berpegang kepada QS. Ali Imran ; 104 dan QS. Luqman ; 17, seperti halnya golongan
lain bahwa perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat adalah wajib
ditegakkan.
Dalam pandangan Mutazilah; dalam keadaan normal pelaksanaan al-amru bil marf wan
nahyu anil munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi dalam keadaan tertentu perlu
kekerasan.
Dalam memastikan terlaksananya prinsif ini, mereka bertindak berlebih-lebihan dan
berselisih pandangan dengan mayoritas (jumhur) ummat; mereka mengatakan al-amru bil
marf wan nahyu anil munkar itu dilakukan dengan hati saja bila itu cukup, jika tidak cukup
maka dengan lisan, dan jika dengan lisan saja tidak cukup maka dengan tangan, bahkan
dilaksanakan dengan senjata.
4. Tokoh
a. Washil bin Atha
b. Abu Huzail Al Allaf
c. Al Nazzam
d. Abu Hasyim Al Jubbai
G. Aliran Ahu Sunnah Wal Jamaah/Sunni
Ahlussunnah berarti penganut atau pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan jemaah
berarti sahabat nabi. Jadi Ahlussunnah wal jamaah mengandung arti penganut Sunnah
(ittikad) nabi dan para sahabat beliau. Aliran ini, muncul sebagai reaksi setelah munculnya
aliran Asyariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mutazilah.
Tokoh utama yang juga merupakan pendiri mazhab ini adalah Abu Al Hasan Al Asyari dan
Abu Mansur Al Maturidi. Dua tokoh Sunni ini kemudian dalam perkembanganya ajaran
mereka menjadi doktrin penting dalam aliran Sunni yakni aliran Asyariyah dan aliran
Maturidiyah.
Sebagai aliran yang se zaman, keduanya termasuk dalam aliran Ahlussunnah. Terkait
kepemimpinan para khalifah setelah Nabi saw sesuai urutan historis yang telah terjadi,
keduanya memiliki pandangan serupa. Juga tak ada perbedaan dalam pandangan mereka
terhadap para penguasa Bani Umayah dan Bani Abbas. Dalam semua sisi masalah imamah
pun mereka saling sepakat. Keduanya juga sepaham bahwa Allah bisa dilihat tanpa kaif
(cara), had (batas), qiyam (berdiri) wa qu`ud (duduk) dan hal-hal sejenisnya.
1. Aliran Asyariyah
a. Pengertian
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al Asy`ariy.
Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail
bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al Asyari. Kelompok
Asyariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri
madzhab Asyariyah.
Abul Hasan Al Asyaari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia
di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al Marwazi, seorang
fakih madzhab Syafii di Masjid Al Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al Jubbai,
seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al Jubbai, salah seorang
pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam
sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya
untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al Asyari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah.
Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami
kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah.
Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al
Jubbai seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat
Nabi dan beliau berkata kepadanya, Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang
mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar. Kejadian ini terjadi beberapa kali,
yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari
yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam
mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al Asyari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia
keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf
dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada
pendirian barunya. Dalam kitab Al Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada
madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah,
Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al Quran, Sunnah
Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabiin, serta imam ahli hadits.
b. Latar Belakang
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah
dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi
penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia
Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-
argumen yang bisa dicerna akal.
Al Asyari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen
Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan
merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asyariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap
paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al
Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan-manusia, bahwa
kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan
seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asyariyah semakin berkembang lagi pada masa
keemasan madrasah An Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur.
Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh
para petinggi negeri itu seperti Al Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta
sultan Shalahuddin Al Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy Syafi'i dan
mazhab Al Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah
Asy'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
c. Doktrin Ajaran
1) Sifat-sifat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaiman di sebut di dalam Al Quran, yang di sebut
sebagai sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri diatas zat tuhan. Sifat-sifat itu bukanlah zat
tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
2) Al Quran.
Menurutnya, Al Quran adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.
3) Melihat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti.
4) Perbuatan Manusia.
Menurutnya, perbuatan manusia di ciptakan tuhan, bukan di ciptakan oleh manusia itu
sendiri.
5) Keadlian Tuhan
Menurutnya, tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat
manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak tuhan sebab Tuhan Maha
Kuasa atas segalanya.
6) Muslim yang berbuat dosa.
Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat diakhir hidupnya tidaklah kafir
dan tetap mukmin.
Pengikut Asyari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran
Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung
kembali pada paham-paham Asyari. Al Ghazali meyakini bahwa:
1) Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
2) Al Quran bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3) Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4) Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5) Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia, tidak
wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak
dapat dipikul kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asyari dengan Ahl sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke
mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para
khalifah Abasiyah.
d. Tokoh
1) Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
2) Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
3) Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
4) Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
5) Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
2. Aliran Maturidiyah
a. Pengertian
Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional. Nama aliran
itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad al-Maturidi. Al Maturidi lahir
dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat
antara Muktazilah dan Asy'ariyah mengenai kemampuan akal manusia. Aliran ini disebut-
sebut memiliki kemiripan dengan Asy'ariyah.
Aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur Al Maturidi
yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Aliran Maturidiyah
digolongkan dalam teologi Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran yang bercorak
rasional.
Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan aliran yang
memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan atau
melampaui batas, maksudnya aliran Maturidiyah berpegang pada keputusan akal pikiran
dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara. Sebaliknya jika hal itu bertentangan
dengan syara, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara.
Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al Quran yaitu
kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al Quran.
Dalam menfsirkan Al Quran Al Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabih (samar
maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan jelas pengertiannya). Ia mentawilkan
yang muhtasyabih berdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika
seorang mikmin tidak mempunyai kemampuan untuk mentawilkannya, maka bersikap
menyerah adalah lebih selamat.
b. Latar Belakang
Aliran Maturidiyah lahir di samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya
adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al Maturidi, di daerah
Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333
H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan
pengikutnya juga bermazhab Hanafi. Riwayatnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut
Abu Hanifa sehingga paham teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham
yang dipegang Abu Hanifa. Sistem pemikiran aliran maturidiyah, termasuk golongan teologi
ahli sunah.
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak menggunakan rasio. Hal ini mungkin banyak
dipengaruhi oleh Abu Hanifa karena Al Maturidi sebagai pengikat Abu Hanifa. Dan timbulnya
aliran ini sebagai reaksi terhadap mutazilah.
Dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, disebutkan, pada pertengahan
abad ke-3 H terjadi pertentangan yang hebat antara golongan Muktazilah dan para ulama.
Sebab, pendapat Muktazilah dianggap menyesatkan umat Islam. Al Maturidi yang hidup
pada masa itu melibatkan diri dalam pertentangan tersebut dengan mengajukan
pemikirannya.Pemikiran-pemikiran Al Maturidi dinilai bertujuan untuk membendung tidak
hanya paham Muktazilah, tetapi juga aliran Asy'ariyah. Banyak kalangan yang menilai,
pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Muktazilah dan Asy'ariyah. Karena
itu, aliran Maturidiyah sering disebut berada antara teolog Muktazilah dan
Asy'ariyah.Namun, keduanya (Maturidi dan Asy'ari) secara tegas menentang aliran
Muktazilah.
c. Doktrin Ajaran
1) Akal dan Wahyu
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al Quran dan akal, akal banyak
digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah. Menurut Al-
Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan
akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al Quran yang memerintahkan agar manusia
menggunakan akalnya untuk memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadapAllah
melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Jika akal
tidak memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak akan memerintahkan
manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk
memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti ia telah meninggalkan
kewajiban yang diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut Namun akal, menurut Al Maturidi
tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang lain.
Dalam masalah amalan baik dan buruk, beliau berpendapat bahwa penentu baik dan
buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan
syariah hanyalah mengikuti kemampuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu, walau
ia mengakui bahwa akal terkadang tidak mampu melakukannya. Dalam kondisi ini, wahyu
dijadikan sebagai pembimbing.
Al Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu :
a) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
b) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu,
c) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan Maturidiyah memiliki kesamaan dengan
Mutazilah, namun tentang kewajiban melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan
Maturidiyah berpendapat bahwa ketentuan itu harus didasarkan pada wahyu.
2) Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah
ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah
mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar kewajiban
yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al Maturidi mempertemukan
antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah
mencipta daya (kasb) dalam setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan
demikian tidak ada pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
Dalam masalah pemakaian daya ini Al Maturidi memakai faham Imam Abu Hanifah, yaitu
adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan
perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang
diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan
Allah, dan Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan berbuat buruk pun
dengan kehendak Allah, tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.

3) Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan


Penjelasan di atas menerangkan bahwa Allah memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik
atau buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah berbuat sekehendak dan
sewenang-wenang. Hal ini karena qudrat tidak sewenang-wenang (absolute), tetapi
perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang
sudah ditetapkan-Nya sendiri.
4) Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al Maturidi
berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari
esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah
(innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari
dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim
(taadud al-qadama).
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mutazilah,
perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
5) Melihat Tuhan
Al Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan dalam. QS.
Al Qiyamah ayat 22 dan 23 :
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka melihat.
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata,
karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di
akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan dunia.
6) Kalam Tuhan
Al Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara denagn
kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim
bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadits).
Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat dengannya,
kecuali dengan suatu perantara.
Maturidiyah menerima pendapat Mutazilah mengenai Al Quran sebagai makhluk Allah,
tapi Al Maturidi lebih suka menyebutnya hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan
Al Quran.
7) Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi
kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-
Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya.
Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal
tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam
kemampuan dan perbuatannya,
Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah
ditetapkan-Nya.
8) Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang
disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar
kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mutazilah, yaitu bahwa
pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik
bahkan terbaik dalam hidupnya.
9) Pelaku Dosa Besar
Al Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam
neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka
adalah balasan untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah
penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman,
hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
10) Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah
tashdiq bi al qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan. Al Quran surat Al-Hujurat ayat 14 :
Orang-orang Arab Badui itu berkata: Kami telah beriman. Katakanlah: Kamu belum
beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam
hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi
sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang."
Ayat tersebut difahami sebagai penegasan bahwa iman tidak hanya iqrar bi al-lisan, tanpa
diimani oleh qalbu. Lebih lanjut Al Maturidi mendasarkan pendapatnya pada QQS. Al
Baqarah ; 260,
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana
Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?"
Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap
(dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu
cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit
satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang
kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Dalam ayat tersebut, bukan berarti bahwa Nabi Ibrahim belum beriman, tetapi beliau
menginginkan agar keimanannya menjadi keimanan marifah. Marifah didapat melalui
penalaran akal. Adapun pengertian iman menurut golongan Bukhara, adalah tashdiq bi al-
qalb dan iqrar bi al-lisan, yaitu meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan
Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya dengan membawa risalah serta mengakui segala
pokok ajaran islam secara verbal.
d. Madzhab Aliran Maturidiyah
1) Golongan Samarkand.
Golongan ini dalah pengikut Al Maturidi sendiri, golongan ini cenderung ke arah paham
mutazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat tuhan, maturidi dan asyary terdapat
kesamaan pandangan, menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat, tuhan mengetahui
bukan dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya.
Begitu juga tuhan berkuasa dengan zatnya. Mengetahui perbuatan-perbuatan manusia
maturidi sependapat dengan golongan mutazilah, bahwa manusialah sebenarnya
mewujudkan perbuatan-perbutannya. Apabila ditinjau dari sini, maturidi berpaham
qadariyah. Maturidi menolak paham-paham mutazilah, antara lain maturidiyah tidak
sepaham mengenai pendapat mutazilah yang mengatakan bahwa Al Quran itu makhluk.
Aliran maturidi juga sepaham dengan mutazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa janji
dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi. Demikian pula masalah antropomorphisme. Dimana
maturidi berpendapat bahwa tangan wajah tuhan, dan sebagainya seperti pengambaran Al
Quran. Mesti diberi arti kiasan (majazi). Dalam hal ini. Maturidi bertolak belakang dengan
pendapat asyary yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan tuhan
mempunyai bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi (ditakwilkan).
2) Golongan Buhara
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al Yusr Muhammad Al Bazdawi. Dia merupakan
pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al
Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari orang tuanya, Al Bazdawi dapat menerima
ajaran maturidi. Dengan demikian yang di maksud golongan Bukhara adalah pengikut-
pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Al Maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat
kepada pendapat-pendapat Al Asyary.
Namun walaupun sebagai aliran maturidiyah. Al Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan
maturidi. Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagin umat Islam yang bermazab
Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran maturidiya sampai sekarang masih hidup dan berkembang
dikalangan umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawir, Al Munawi Kamus Bahasa Arab. Indonesia, Ponpes Al-Munawir,
Yogyakarta, 1984.
Anwar, Rohison dan Abdul Rozak. Ilmu Kalam Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung : Pustaka Setia.
2001.
Asmuni, Yusran, Ilmu Tauhid, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996Nata, Abuddin, Ilmu kalam,
Filsafat, dan tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1995Zainuddin, H, Ilmu Tauhid, Jakarta:PT Rineka Cipta, 1992
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
Ensiklopedi Islam (S-Z), penerbit PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta. Penyusun: Dewan Redaksi.
buku 5
Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin:
Antasari Press, 2008)
Hussain Affandi al-Jisr, al-Hushumul Hamidiyah, Ahmad Nabhan, Surabaya, 1970.
Ibnu Kathir : Malapetaka Bakal Menimpa Menjelang Kiamat; Darul Fajr,
cetakan ke 2 ; 2004 Ustaz Jaafar Salleh : 3 Tokoh Bakal Menakluk Dunia; Pustaka Azhar,
2009
James W. Morris. This is an unrevised, pre-publication version of an article or translation which
has subsequently been published, with revisions and corrections as Section II (At the End of
Time) in Ibn 'Arab: The Meccan Revelations (co-author with W. Chittick), New York, Pir
Press, 2002
Kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Pustaka At-Taqwa, Cetakan I
Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: al-Izzah, 2002)
Nasir, Salihun. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta : Rajawali Pers. 1991.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-
Press
Nata, Abuddin. Ilmu kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Jakarta : Rajawali Pers. 1993.
Prof.Dr H. Mahmud Yunus: Tafsir Quran Karim; Klang Book Centre, 1992 Imam Imam Muslim:
Tarjamah Shahih Muslim Jilid IV; CV Asy Syifa Semarang, 1993
Raji Abdullah, M. Sufyan. Lc, Mengenal Aliran-Aliran Dalam Islam Dan Ciri-Ciri Ajarannya, Jakarta,
Pustaka Al-Riyadl, 2006.
Syech Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Terjemah KH. Firdaus, AN-PN Bulan Bintang, Jakarta
Cetakan Pertama, 1963.
Tafsir alquran Departemen Agama Republik Indonesia. Tim Tashih Drs. HA. Hafizh Dasuki, MA dkk
Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997)

Perbuatan Tuhan Dan Perbutan Manusia


a. Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan
perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki
kemampuan untuk melakukannya.
1. Aliran Mutazilah
Aliran Mutazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa
Perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti
bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan
buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu.
Faham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-
ashlah) mengosekuensikan aliran Mutazilah memunculkan faham kewajiban Allah berikut
ini :
a) Kewajiban Tidak Memberikan Beban di Luar Kemampuan Manusia
Memberi beban diluar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah
bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham
mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau ia member beban yang
terlalu berat kepada manusia.

b) Kewajiban Mengirimkan Rasul


Bagi aliran Mutazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal
gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman
rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka
adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia
tentang Tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan
terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak akan
memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c) Kewajiban Menepati Janji (al-Wad) dan Ancaman (al-Waid)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran
Mutazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduannya, yaitu keadilan. Tuhan akan
bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang
berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Oleh karena itu,
menepati janji dan menjalankan ancaman adalah kewajiban Tuhan.
2. Aliran Asyariyah
Menurut aliran Asyariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi
manusia (ash-shalah wa al-ashlah) sebagaimana dikatakan aliran Mutazilah, tidak dapat
diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini
ditegaskan Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan
terbaik bagi manusia. Dengan demikian, aliran Asyariyah tidak menerima faham Tuhan
mempunyai kewajiban.
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tak
mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asyariyah menerima faham pemberi beban di luar
kemampuan manusia. Al-Asyaari sendiri dengan tegas mengatakan Al-Luma, bahwa Tuhan
dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul pada manusia.
3. Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah
Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand yang juga
memberikan batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat bahwa
perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Sedangkan Maturidiyah
Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asyariyah mengenai faham bahwa Tuhan
tidak mempunyai kewajiban. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman
rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidaklah
bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
Aliran Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan, sekurang-
kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan pemberian hukuman.
Mengenai memberikan beban kepada manusia diluar batas kemampuannya (taklif
ma la yutaq), aliran Maturidiyah Bukhara menerimanya. Tuhan kata Al-Bazdawi, tidaklah
mustahil meletakkan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia.
Sebaliknya aliran Maturidiyah Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mutazilah.
Pemberian beban yang terpikul memang dapat sejalan dengan faham golongan Samarkand
bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan bukan
Tuhan.

b. Perbuatan Manusia
Masalah perbuatan manusia berawal dari pembahasan sederhana yang dilakukan
oleh kelompok Jabariyah (pengikut Jad bin Dirham dan Jahm bin Shafwan) dan Qadariyah
(pengikut Mabad Al-Juhani dan Ghailan Ad-Dimsyaqi), yang kemudian dilanjutkan dengan
pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mutazilah, Asyariyah, dan Maturidiyah.
Akar dari perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam
semesta termasuk didalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Mahakuasa dan mempunyai
kehendak yang bersifat mutlak.
1) Aliran Jabariyah
Tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah ekstrim dan Jabariyah
moderat dalam masalah perbuatan manusia. Jabariyah ekstrim berpendapat bahwa segala
perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri,
tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Adapun Jabariyah moderat mengatakan
bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan
baik, tetapi manusia mempunyai peran didalamnya.
2) Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatannya atas kehendaknya sendiri baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena
itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak
mendapatkan hukuman atas kejahatan yang diperbuatannya.

3) Aliran Mutazilah
Aliran Mutazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh
karena itu, Mutazilah menganut faham Qadariyah atau free will. Menurut Al-Jubai dan Abd
Al-Jabbra, manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang
berbuat baik dan buruk. Kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas
kehendak dan kemampuannya sendiri. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada
diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya.
4) Aliran Asyariyah
Dalam faham Asyari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan
anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat
dengan faham Jabariyah daripada faham Mutazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya,
Asyari pendiri aliran Asyariyah, memakai teori al-kasb (perolehan). Teori al-kasbAsyari
dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantara daya yang
diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk
melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori kasb ini, manusia kehilangan
keaktifan, sehingga manusia bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Dan pada
prinsipnya, aliran Asy-ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah,
sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya.
5) Aliran Maturidiyah
Ada pendapat antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara mengenai
perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham Mutazilah, sedangkan
kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asyariyah. Kehendak dan daya berbuat pada
diri manusia, menurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam
arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mutazilah adalah
bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi sama-sama dengan
perbuatannya. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas
manusia dalam Mutazilah.
Maturidiyah Bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand.
Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk
perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk
melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta,dan manusia hanya dapat
melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya. 1[1]
B. Sifat-Sifat Tuhan
Ayat-ayat Al-Quran telah mengisyaratkan kepada sebagian sifat-sifat yang wajib pada
Allah dan sifat-Nya yang dikehendaki oleh kesempurnaan ketuhanan-Nya.
Pertama, tentang wujudullah (adanya Alah). Ayat yang menerangkan adanya Allah
terdapat dalam surat Ar-Radu [13] 2, Al-Anbiya, An-Naml dan dalam surat yang lainnya.
Kedua, tentang kekadiman Allah dan kebaqaannya. Yaitu Allah tidak berpermulaan dan
tentang kebaqaannya diungkapkan dalam beberapa ayat Al-Quran surat Al-Hadid [57]:3.
Ketiga, tentang mukhalafatullahi lil hawaditsi (tidak bersamaan Allah dengan makhluk-
Nya). Sifat Allah ini diungkapkan dalam surat Al-Ikhlas.
Keempat, qiyammullahi taala binafsihi (tentang Allah menyelesaikan segala sesuatu
dengan dirinya, tidak memerlukan sesuatu makhluk). Qs. Fathir [35]: 15
Kelima, tentang wahdaniyatullahi taala (tentang keesaan Allah). Sifat ini diungkapkan
dalam beberapa ayat Al-Quran (QS. An-Naml 27:53, QS. Al-Maidah 5:74 dan masih banyak
surat lainnya) dan sungguh banyak ayat yang menerangkan tentang ke-Esaan Allah baik
pada zat-Nya, pada sifat-Nya, dan pada perbuatan-Nya. Tak ada yang memelihara selain-
Nya.
Keenam, tentang kudrat Allah (kekuasaan Allah). Banyak ayat Al-Quran yang
menegaskan bahwa Allah maha kuasa dan kuasanya berlaku menurut kehendak-Nya. (QS.
Al-Had 22:1, 7. QS. Al-Kahfi 18:31, dll)
Ketujuh, tentang iradah Allah (kehendak Allah). Ayat Al-Quran yang menegaskan
bahwa Allah berkehendak dan kehendak-Nya itu mutlak, tak ada yang memalingkan
kehendak-Nya itu, yaitu Qs. Yasin 36:82. Qs. Al-Isra 17:16. Qs. An-Nisa 4:4, dll).
Kedelapan, tentang ilmu Allah. Di dalam Al-Quran banyak ayat yang menerangkan
bahwa Allah berilmu, mengetahui segala-galanyabaik nyata atau yang tersembunyi, baik
yang besar maupun kecil. (Qs. Saba 34:2, Qs. Araf 7:88, Qs. Luqman 31:16).
Kesembilan, hayyatullah (hidup). Banyak ayat Al-Quran yang menerangkan bahwa Allah
senantiasa hidup bersifat dengan kehidupan yang sempurna yang tak ada kesempurnaan
yang melebihi-Nya. (Qs. Al-baqarah 2:255, Qs. Ali Imran 3:4).
Kesepuluh, tentang sama Allah dan Bashar-Nya (mendengar dan melihat). (Qs. Al-
Mujadalah 58:1, Qs. Al-Alaq 96:74).
Kesebelas, tentang kalamullah. Bahwa Allah berkata-kata dan Allah bersifat dengan
kalam. (Qs. An-Nisa 4:164, Qs. Al-Baqarah 2:75).2[2]

Dalam hal ini yang menjadi perdebatan diantara aliran kalam adalah masalah sifat-sifat
Tuhan. Ini tampaknya dipicu oleh truth claim3[3] yang dibangun atas dasar kerangka berfikir
masing-masing dan klaim menauhidkan Allah. Tiap-tiap aliran mengaku bahwa fahamnya
dapat menyucikan dan memelihara keesaan Tuhan.
Perbedaan antara aliran kalam temtang sifat-sifat Allah tidak terbatas pda persoalan
apakah Allah memiliki sifat atau tidak, tetapi juga pada persoalan-persoalan cabang sifat-
sifat Allah, seperti antropomorphisme melihat Tuhan, dan esensi Al-Quran.
1. Aliran Mutazilah
Aliran Mutazilah mencoba menyelesaikan persoalan denganmengatakan bahwa Tuhan
tidak mempunyai sifat. Definisinya tentang Tuhan bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai
pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat, dan sebagainya. Ini
tidak berarti Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, dan sebaginya. Tuhan
bagi mereka tetap mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam
arti kata sebenarnya. Artinya, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu
adalah Tuhan.
2. Aliran Asyariah
Aliran ini membawa penyelesaian yang berlawanan dengan faham mutazilah. Mereka
dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Al-asyari, tidak dapat
diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatan-Nya, di samping
menyatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya juga
menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan dan daya. Al-asyari lebih jauh
berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat dan sifat-sifat itu, seperti memiliki tangan dan
kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis. Selanjutnya al-asyari
berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat
manusia yang tampak mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi sejauh
menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian tidak
berbeda dengan-Nya.
3. Aliran Maturidiyah
Maturidiyah Bukhara mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa
Tuhan memiliki sifat-sifat. Maturidiyah Bukhara juga berpendapat Tuhan tidak mempunyai
sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Quran yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat
jasmani harus diberi takwil.Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Quran yang menggambarkan
Tuhan mempunyai mata dan tangan, bukanlah Tuhan mempunyai anggota badan.4[4]
C. Kehendak Mutlak Tuhan Dan Keadilan Tuhan
Pangkal persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan adalah keberadaan Tuhan
sebagai pencipta alam semesta.Sebagai pencipta alam, Tuhan haruslah mengatasi segala
yang ada, bahkan harus melampaui segala aspek yang ada itu.Ia adalah eksistensi yang
mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas karena tidak ada eksistensi lain
yang mengatasi dan melampaui eksistensi-Nya ia difahami sebagai eksistensi yang esa dan
unik.5[5]
Adapun beberapa aliran yang perpendapat tentang kemutlakan dan keadilan Tuhan,
antara lain;
1. Aliran Mutazilah
Mutazilah yang berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak
mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian
mengharuskan hamba-Nya itu untuk menanggung akibat perbuatannya.Aliran Mutazilah
mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi.Ketidak mutlakan
kekuasaan Tuhan itu di sebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia
serta adanya hukum alam (sunatullah) yang menurut Al-Quran tidak pernah berubah.
Kebebasan manusia yang memang diberikan Tuhan kepadanya, baru bermakna kalau
Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya.Demikian pula keadilan Tuhan,
membuat Tuhan sendiri terikat pada norma-norma keadilan yang bila dilanggar membuat
Tuhan bersifat tidak adil atau zalim. Dengan demikian, dalam pemahaman Mutazilah,Tuhan
tidaklah memperlakukan kehendak dan kekuasaan-Nya secara mutlak, tetapi sudah
terbatas. Tuhan dalam pandangan Mutazilah, mempunyai kewajiban-kewajiban yang
ditentukan-Nya sendiri bagi diri-Nya.6[6]
Perbuatan Tuhan tidaklah bertujuan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk
kepentingan makhluk dan perbuatan-Nya itu selalu baik.Kebaikan itu bermakna bila Tuhan
tidak berbuat zalim dengan membebani manusia yang tidak terpikul dan menyiksa pelaku
perbuatan buruk dengan paksaan tanpa member kebebasan terlebih dahulu.Keadilan Tuhan
terletak pada keharusan adanya tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, yaitu kewajiban
berbuat baik dan terbaik bagi makhluk dan member kebebasan kepada manusia.Adapun
kehendak mutlak-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan itu sendiri.
2. Aliran Asyariah
Kaum Asyariyah, karena percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat
bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat
sesuatu semata-mata adalah kekuasan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena
kepentingan manusia atau tujuan yang lain. Keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap mahluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-
Nya.Tuhan dapat member pahala kepada hamba-Nya atau member siksa dengan
sekehendak hati-Nya, dan itu semua adalah adil bagi Tuhan.Justru tidaklah adil jika Tuhan
tidak dapat berbuat sekehendak-Nya karena Dia adalah penguasa mutlak.Sekiranya Tuhan
menghendaki semua makhluk-Nya masuk ke dalam surge atau pun neraka, itu adalah adil
karena tuhan berbuat dan membuat hokum menurut kehendak-Nya.7[7]
Aliran Asyariyah, yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan
manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, mengemukakan
bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan haruslah berlaku semutlak-
mutlaknya.Manusia berkehendak setelah Tuhan sendiri menghendaki agar manusia
berkehendak.Makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai
kekuasaan mutlak terhadap mahkluk-Nya da dapat berbuat sekehendak hati-Nya.
3. Aliran Maturidiyah
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan tuhan, aliran ini terpisah menjadi dua,
yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.Maturidiyah
Samarkandmempunyai posisi yang lebih deket kepada Mutazilah, tetapi kekuatan akal dan
batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil daripada yang diberikan
aliran Mutazilah.
Kehendak mutlak menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan.Tuhan
adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk
berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap
manusia.Adapun Maturidiyah Bukharaberpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan
mutlak.Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi
Tuhan.Dengan demikian, dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan terletak pada
kehendak mutlak-Nya, tak ada satu dzat pun yang lebih berkuasa daripada-Nya dan tidak
ada batasan-batasan bagi-Nya.Tampak, aliran Maturidiyah Samarkandlebih dekat dengan
Asyariyah.Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa ketidakadilan Tuhan haruslah difahami
dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
4. Ibnu Rusyd
Dalam soal baik dan buruk ia lebih condong kepada pendapat aliran Mutazilah, tetapi
dalam soal keburukan dunia, pendapat berbeda. Ia mengatakan bahwa baik dan buruk
kesemuanya dijadikan Tuhan dan dikehendaki-Ny pula. Kalau dalam baik, baik itu sendiri
yang dituju, tetapi dalam buruk, bukan buruk itu sendiri yang dituju, tetapi karena ia sebagai
jalan kepada kebaikan.8[8]
Ibnu Rusyd sependapat juga dengan aliran Mutazilah, bahwa Tuhan tidak menghendaki
dan tidak mengadakan kekafiran bagi hamba-hamba-Nya. Akan tetapi Tuhan mengadakan
kekuatan yang bias digunakan untuk kedua hal yang berlawanan (iman dan kafir).9[9]
Contoh kasus:
Sesungguhnya Allahlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan yang ada dalam diri
manusia, seperti gerak yang diciptakan Allah dalam seluruh benda-benda mati. Manusia
dikatakan berbuat bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majazi seperti pohon
berbuah, air mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan tenggelam, langit cerah dan
mendung serta hujan dan sebagainya.
LMU KALAM SYI'AH (TOKOH DAN AJARANNYA)
Saturday, 6 April 20133komentar

Oleh: Syafieh.M. Fil. I


A. Pendahuluan

Pada dewasa ini aliran syiah merupakan salah stu aliran yang actual di bicarakan dalam
berbagai media, baik media elektronik maupun cetak. Aliran syiah telah dikecam sebagai
aliran yang sesat dan menyesatkan karena ajarnnya yang dianggap telah melanggar kaidah
dalam agama islam.

Telah nampak berbagai protes terhadap ajaran mereka salah satunya adalah yang telah
terjadi di Bandung Senin, 23 April 2012. Hasil akhir dari Musyawarah Ulama dan Ummat
Islam Indonesia ke-2 yang diprakarsai Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) yang
berlangsung di Masjid Al Fajr Kota Bandung, menghasilkan keputusan: Merekomendasikan
kepada MUI Pusat agar mengeluarkan fatwa tentang kesesatan faham Syiah,Meminta
kepada Menkumham, Menag, dan Kejagung agar mencabut izin seluruh organisasi, yayasan,
atau lembaga yang berada dibawah naungan syiah dan atau yang berfaham Syiah,
Merekomendasikan kepada pemerintah melalui Mendikbud agar menutup segala kegiatan
Iranian Corner di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Kemudian berkembang berit lagi
Bandung Rabu, 02/05/2012 18:07 WIB - Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar
Rafani Achyar mengakui pihaknya sulit memfatwakan aliran Syiah sebagai aliran sesat.
Hingga kini MUI terus mengkaji berbagai hal yang ada dalam paham Syiah tersebut.Kemuan
karena tiadak adanya keputusan pemerintah yang kurang tegas di Pasuruan Rabu,
09/05/2012 19:28 WIB - 3 Spanduk sosialisasi Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Jawa Timur No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 Tentang Kesesatan Ajaran Syiah, dipasang di
wilayah Bangil, Spanduk bertuliskan 'Alhamdulillah Fatwa MUI Jatim 2012 Menyatakan Syiah
Sesat dan Menyesatkan' dipasang oleh Jamaah Ahlussunah Wal Jamaah (Aswaja).

Terlepas dari insiden tersebut yang kerap kali tidak harmonis, Syiah sebagai sebuah mazhab
teologi menarik untuk dibahas. Diskursus mengenai Syiah telah banyak dituangkan dalam
berbagai kesempatan dan sarana. Tak terkecuali dalam makalah kali ini. Dalam makalah ini
kami akan membahas pengertian, sejarah, tokoh, ajaran, sekte Syiah, dan pengaruhnya
pada tahun 2012. Semoga karya sederhana ini dapat memberikan gambaran yang utuh,
obyektif, dan valid mengenai Syiah, yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita
sebagai seorang muslim, serta terhindar dari aliran yang sesat.

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Syi'ah

Syiah (Bahasa Arab: , Bahasa Persia: )ialah salah satu aliran atau mazhab dalam
Islam. Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni
menolak Imam dari Imam Syi'ah. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Syi'i (Bahasa Arab: .)
menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Sekitar 90% umat Muslim sedunia
merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.

Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab Sy`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah
Sy` .

"Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali artinya "pengikut
Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu
Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang
beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun)[1]

Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain
itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.Adapun menurut
terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat
utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan
kaum muslimin, demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau.[2] Syi'ah, dalam sejarahnya
mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami
perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.

Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber
pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi
Muhammad SAW, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.

Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan
menantu Nabi Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus
kekhalifahan setelah Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang
diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung
oleh Nabi Muhammad SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.[3]

Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan
yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat,
dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi
dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah
(juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-
sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.[4]

2. Sejarah munculnya Syi'ah

Mengenai kemunculan syiah dalam sejarah terdapat perbedaan dikalangan ahli. Menurut
Abu Zahrah, syiah mulai muncul pasda masa akhir pemerintahan Usman bin Affaan
kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pewmerintahan Ali bin Abi Thalib, adapun
menurut Watt, syiah baru benar-benar. Muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali
dan Muawiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon
atas penerimaan Ali terhadap arbritase yang ditawarkan Muawiyah. Pasukan Ali diceritakan
terpecah menjadi dua. Satu kelompok mendukung sikap Ali (Syiah) dan kelompok mendak
sikap Ali (Khawarij).[5]

Kalangan syiah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syiah berkaitan dengn masalah
penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka menlak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khathtab,
dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang
berhak mengantikan Nabi SAW. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syiah tersebut sejalan
dengan isyarat-isyarat yang diberikan Nabi SAW, pada masa hidupnya. Pada awal kenabian
ketika Muhammad SAW diperintahkan menya,paikan dakwah ke kerabatnya, yang pertama
menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan
bahwa orang yang pertama menemui ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya.
Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang luar biasa besar.[6]

Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm.[7]
Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam perjalanan dari Mekkah ke
Madinah di suatu padang pasir yang bernama Ghadir Khumm. Nabi memilih Ali sebagai
pengantinya dihadapan massa yang menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya
menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat-i ammali), tetapi juga menjadikna
Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka. Namun realitasnya berbicara
lain.[8]

Berlawanan dengan harpan mereka, ketika nabi wafata dan jasadnya belum dikuburkan, ada
kelompok lain yang pergi ke masjid untuk menentukan pemimpin yang baru karena
hilangnya pemimpin yang secara tiba-tiba, sedangkan anggota keluarga nabi dan beberapa
sahabat masih sibuk dengan persiapan upacara pemakaman Nabi. Kelompok inilah yang
kemudian menjadai mayoritas bertindak lebih jauh dan dengan sangat tergesa-gesa memilih
pemimpin yang baru dengan alasan kesejahteraan umat dann memcahkan masalah mereka
saat itu. Mereka melakukan itu tanpa berunding dahulu dengan ahlul bait, kerabat, atau pun
sahabat yang pada saat itu masih mengurusi pemakaman. Mereka tidak memberi tahu
sedikitpun. Dengan demikian, kawan-kawan Ali dihdapkan pada suatu hal yang sudah tak
bias berubah lagi (faith accomply).[9]
Karena kenyataan itulah muncul suatu sikap dari kalangan kaum muslimin yang
menentanga kekhalifahan dan kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan
tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti nabi dan penguasa keagamaan yang
sah adalah Ali. Mereka yakin bahwa semua masalah kerohanian dan agama harus merujuk
kepadanya dan mengajak masyarakat mengikutinya.[10] Kaum inilah yang disebut dengan
kaum Syiah. Namun lebih dari pada itu, seperti yang dikatakan Nasr, sebab utama
munculnya Syiah terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam
sendiri, sehingga mesti diwujudkan.[11]

Perbedaan pendapat dikalangan para ahli mengenai kalangan Syiah merupakan sesuatu
yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah perpecahan dalam Islam yang
memang mulai mencolok pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan memperoleh
momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya
setelah Perang Siffin. Adapun kaum Syiah, berdasarkan hadits-hadits yang mereka terima
dari ahl al-bait, berpendapat bahwa perpecahan itu sudah mulai ketika Nabi SAW. Wafat
dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar. Segera setelah itu terbentuklah Syiah. Bagi
mereka, pada masa kepemimpinan Al-Khulafa Ar-rasyidin sekalipun, kelompok Syiah sudah
ada. Mereka bergerak di bawah permukaan untuk mengajarkan dan menyebarkan doktrin-
doktrin syiah kepada masyarakat.

Syiah mendapatkan pengikut yang besar terutama pada masa dinasti Amawiyah. Hal ini
menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan kasar dan kejam dinasti ini terdapat
ahl al-Bait. Diantara bentuk kekerasan itu adalah yang dilakukan pengusaha bani Umayyah.
Yazid bin Muawiyah, umpamanya, pernah memerintahkan pasukannya yang dipimpin oleh
Ibn Ziyad untuk memenggal kepala Husein bin Ali di Karbala.[12] Diceritakan bahwa setelah
dipenggal, kepala Husein dibawa ke hadapan Yazid dan dengan tonkatnya Yazid memukul
kepala cucu Nabi SAW. Yang pada waktu kecilnya sering dicium Nabi.[13] Kekejaman seperti
ini menyebabkan kebagian kaum muslimin tertarik dan mengikuti mazhab Syiah, atau
paling tidak menaruh simpati mendalam terhadap tragedy yang menimpa ahl al-bait.

Dalam perkembangan selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl-al bait dihadapan


dinasti Ammawiyah dan Abbasiyah, syiah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya sendiri.
Berkitan dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yakni tauhid (kepercayaan
kepada kenabian), Nubuwwah (Percaya kepada kenabian), Maad (kepercyaan akan adanya
hidup diakhirat), imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan ahl-al
bait), dan adl (keadaan ilahi). Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia ditulis bahwa perbedaan
antara sunni dan syiah terletak pada doktrin imamah.[14] Meskipun mempunyai landasan
keimanan yang sama, syiah tidak dapat mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan
sejrah, kelompok ini akhirnya tepecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan ini terutama
dipicu oleh masalah doktrin imamah. Diantara sekte-sekte syiah itu adalah Itsna Asyariyah,
Sabiyah. Zaidiyah, dan Ghullat.
3. Pokok-pokok Ajaran Syi'ah

Kaum Syiah memiliki 5 pokok pikiran utama yang harus dianut oleh para pengikutnya
diantaranya yaitu at tauhid, al adl, an nubuwah, al imamah dan al maad.

a. At tauhid

Kaun Syiah juga meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua makhluk,
tidak beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di
bumi ini. Namun, menurut mereka Allah memiliki 2 sifat yaitu al-tsubutiyah yang merupakan
sifat yang harus dan tetap ada pada Allah SWT. Sifat ini mencakup alim (mengetahui), qadir
(berkuasa), hayy (hidup), murid (berkehendak), mudrik (cerdik, berakal), qadim azaliy baq
(tidak berpemulaan, azali dan kekal), mutakallim (berkata-kata) dan shaddiq (benar).
Sedangkan sifat kedua yang dimiliki oleh Allah SWT yaitu al-salbiyah yang merupakan sifat
yang tidak mungkin ada pada Allah SWT. Sifat ini meliputi antara tersusun dari beberapa
bagian, berjisim, bisa dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan
merupakan tambahan dari Dzat yang telah dimilikiNya.[15]

b. Al adl

Kaum Syiah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha Adil. Allah tidak pernah
melakukan perbuatan zalim ataupun perbuatan buruk yang lainnya. Allah tidak melakukan
sesuatu kecuali atas dasar kemaslahatan dan kebaikan umat manusia. Menurut kaum Syiah
semua perbuatan yang dilakukan Allah pasti ada tujuan dan maksud tertentu yang akan
dicapai, sehingga segala perbuatan yang dilakukan Allah Swt adalah baik. Jadi dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa konsep keadilan Tuhan yaitu Tuhan selalu melakukan
perbuatan yang baik dan tidak melakukan apapun yang buruk.Tuhan juga tidak
meninggalkan sesuatu yang wajib dikerjakanNya.[16]

c. An nubuwwah

Kepercayaan kaum Syiah terhadap keberadaan Nabi juga tidak berbeda halnya dengan
kaum muslimin yang lain. Menurut mereka Allah mengutus nabi dan rasul untuk
membimbing umat manusia. Rasul-rasul itu memberikan kabar gembira bagi mereka-
mereka yang melakukan amal shaleh dan memberikan kabar siksa ataupun ancaman bagi
mereka-mereka yang durhaka dan mengingkari Allah SWT. Dalam hal kenabian, Syiah
berpendapat bahwa jumlah Nabi dan Rasul seluruhnya yaitu 124 orang, Nabi terakhir adalah
nabi Muhammad SAW yang merupakan Nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada, istri-
istri Nabi adalah orang yang suci dari segala keburukan, para Nabi terpelihara dari segala
bentuk kesalahan baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul, Al Quran adalah
mukjizat Nabi Muhammad yang kekal, dan kalam Allah adalah hadis (baru), makhluk
(diciptakan) hukian qadim dikarenakan kalam Allah tersusun atas huruf-huruf dan suara-
suara yang dapat di dengar, sedangkan Allah berkata-kata tidak dengan huruf dan suara.[17]
d. Al-Imamah

Bagi kaun Syiah imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama sekaligus dalam
dunia.Ia merupakan pengganti Rasul dalam memelihara syariat, melaksanakan hudud (had
atau hukuman terhadap pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan kebaikan serta
ketentraman umat. Bagi kaum Syiah yang berhak menjadi pemimpin umat hanyalah
seorang imam dan menganggap pemimpin-pemimpin selain imam adlah pemimpin yang
ilegal dan tidak wajib ditaati. Karena itu pemerintahan Islam sejak wafatnya Rasul (kecuali
pemerintahan Ali Bin Abi Thalib) adalah pemerintahan yang tidak sah. Di samping itu imam
dianggap masum, terpelihara dari dosa sehingga iamam tidak berdosa serta perintah,
larangan tindakan maupun perbuatannya tidak boleh diganggu gugat ataupun dikritik.[18]

e. Al-Maad

Secara harfiah al madan yaitu tempat kembali, yang dimaksud disini adalah akhirat. Kaum
Syiah percaya sepenuhnya bahwahari akhirat itu pasti terjadi. Menurut keyakinan mereka
manusia kelak akan dibangkitkan, jasadnya secara keseluruhannya akan dikembalikan ke
asalnya baik daging, tulang maupun ruhnya. Dan pada hari kiamat itu pula manusia harus
memepertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah dilakukan selama hidup di dunia
di hadapan Allah SWT. Pada saaat itu juga Tuhan akan memberikan pahala bagi orang yang
beramal shaleh dan menyiksa orang-orang yang telah berbuat kemaksiatan.[19]

4. Perkembangan Syi'ah

Semua sekte dalam Syi'ah sepakat bahwa imam yang pertama adalah Ali bin Abi
Thalib, kemudian Hasan bin Ali, lalu Husein bin Ali. Namun setelah itu muncul perselisihan
mengenai siapa pengganti imam Husein bin Ali. Dalam hal ini muncul dua pendapat.
Pendapat kelompok pertama yaitu imamah beralih kepada Ali bin Husein, putera Husein bin
Ali, sedangkan kelompok lainnya meyakini bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin
Hanafiyah, putera Ali bin Abi Thalib dari isteri bukan Fatimah.

Akibat perbedaan antara dua kelompok ini maka muncul beberapa sekte dalam Syi'ah. Para
penulis klasik berselisih tajam mengenai pembagian sekte dalam Syi'ah ini. Akan tetapi, para
ahli umumnya membagi sekte Syi'ah dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah,
Zaidiyah, Imamiyah dan Kaum Gulat.

a. Al-Kaisaniyah

Kaisaniyah ialah nama sekte Syiah yang meyakini bahwa kepemimpinan setelah Ali bin Abi
Thalib beralih ke anaknya Muhammad bin Hanafiyah. Para ahli berselisih pendapat
mengenai pendiri Syiah Kaisaniyah ini, ada yang berkata ia adalah Kaisan bekas budak Ali bin
Abi Thalib r.a. Ada juga yang berkata bahwa ia adalah Almukhtar bin Abi Ubaid yang
memiliki nama lain Kaisan.[20]

Diantara ajaran dari Syiah Kaisaniyah ini ialah, mengkafirkan khalifah yang mendahului
Imam Ali r.a dan mengkafirkan mereka yang terlibat perang Sifin dan Perang Jamal (Unta),
dan Kaisan mengira bahwa Jibril a.s mendatangi Almukhtar dan mengabarkan kepadanya
bahwa Allah Swt menyembunyikan Muhammad bin Hanafiyah.[21]

Sekte Kaisaniyah ini terbagi menjadi beberapa kelompok, namun kesemuanya kembali
kepada dua paham yang berbeda yaitu: 1. Meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah
masih hidup. 2. Meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah telah tiada, dan jabatan
kepemimpinan beralih kepada yang lain.[22]

Pokok-pokok ajaran Syiah al-Kaisaniyah anatara lain:

(1) Mereka tidak percaya adanya roh Tuhan menetes ke dalam tubuh Ali ibn Abi Thalib,
seperti kepercayaan orang-orang Sabaiyah.

(2) Mereka mempercayai kembalinya imam (rajah) setelah meninggalnya. Bahkan


kebanyakan pengikut al-Kaisaniyah percaya bahwa Muhammad Ibn Hanafiyah itu tidak
meninggal, tetapi masih hidup bertempat di gunung Radlwa.

(3) Mereka menganggap bahwa Allah Swt. itu mengubah kehendak-Nya menurut
perubahan ilmu-Nya. Allah Swt. Memerintah sesuatu, kemudian memerintah pula
kebalikannya.

(4) Mereka mempercayai adanya reinkarnasi (tanasukh al-arwah).

(5) Mereka mempercayai adanya roh.[23]

b. Az-Zaidiyah

Zaidiyah adalah sekte dalam Syi'ah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein
Zainal Abidin setelah kepemimpinan Husein bin Ali. Mereka tidak mengakui kepemimpinan
Ali bin Husein Zainal Abidin seperti yang diakui sekte imamiyah, karena menurut mereka Ali
bin Husein Zainal Abidin dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin. Dalam
Zaidiyah, seseorang dianggap sebagai imam apabila memenuhi lima kriteria, yakni:
keturunan Fatimah binti Muhammad SAW, berpengetahuan luas tentang agama, zahid
(hidup hanya dengan beribadah), berjihad dihadapan Allah SWT dengan mengangkat
senjata dan berani.

Sekte Zaidiyah mengakui keabsahan khalifah atau imamah Abu Bakar As-Sidiq dan Umar
bin Khattab. Dalam hal ini, Ali bn Abi Thalib dinilai lebih tinggi dari pada Abu Bakar dan Umar
bin Khattab. Oleh karena itu sekte Zaidiyah ini dianggap sekte Syi'ah yang paling dekat
dengan sunnah.[24] Disebut juga Lima Imam dinamakan demikian sebab mereka merupakan
pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat
karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:

1. Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin

2. Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba

3. Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid

4. Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin

5. Zaid bin Ali (658740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin
Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.

Pokok-pokok ajaran Syiah Zaidiyah, terdiri dari beberapa hal. Diantaranya:

(1) Meyakini seseorang dari keturunan Fathimah (puteri Nabi) yang melancarkan
pemberontakan dalam membela kebenaran, dapat diakui sebagai imam, jika ia memiliki
pengetahuan keagamaan, berakhlak mulia, berani, dan murah hati. Selanjutnya mereka
mengatakan bahwa siapapun dari keturunan Ali bin Abi Thalib dapat menjadi imam, bisa
lebih dari seorang dan bahkan tidak ada sama sekali. Jabatan imam dapat dikukuhkan
berdasarkan kemampuan dalam memimpin dan dapat juga berdasarkan latar belakang
pendidikan.

(2) Ajaran Syiah Zaidiyah mengenai kepemimpinan Khulafa al-Rasyidin, mengakui


kekhalifahan Abu Bakr, Umar dan Utsman pada awal masa pemerintahannya, meskipun Ali
bin Abi thalib dinilainya sebagai sahabat yang paling mulia. Dalam kaitan ini, terdapat
konsep Syiah Zaidiyah yang berbunyi : . Yang dimaksud
dengan adalah Abu Bakr, Umar dan Usman. Sedangkan yang dimaksud dengan
ialah Ali bin Abi Thalib.

(3) Dalam ajaran Syiah Zaidiyah, tidak mengakui paham ishmah, yaitu keyakinan bahwa
para imam dijamin oleh Allah dari perbuatan salah, lupa dan dosa. Mereka juga menolak
paham rajaah (seorang imam akan muncul sesudah bersembunyi atau mati), paham
mahdiyah (seorang imam yang bergelar al-Mahdi akan muncul untuk mengambangkan
keadilan dan memusnahkan kebatilan), dan paham taqiyah (sikap kehati-hatian dengan
menyembunyikan identitas di depan lawan).

(4) Dari segi ushul atau prinsip-prinsip umum Islam, ajaran Syiah Zaidiyah mengikuti jalan
yang dekat dengan paham Mutazilah atau paham rasionalis. Adapun dari segi furu atau
masalah hukum dan lembaga-lembaganya, mereka menerapkan fikih Hanafi (salah satu
mazhab fikih dari golongan Sunni). Karenanya, dalam hal nikah mutah mereka
mengharamkannya, meskipun pada awal Islam nikah itu pernah dibolehkan namun telah
dibatalkan. Dewasa ini, fikih Syiah Zaidiyah termasuk fikih yang diajarkan di Universitas al-
Azhar.[25]

a. Al-Imamiyah

Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali
bin Abi Thalib sebagai imam pengganti dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh
karena itu, mereka tidak mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar, Umar, maupun
Utsman. Bagi mereka persoalan imamah adalah salah suatu persoalan pokok dalam agama
atau ushuludin.

Sekte imamah pecah menjadi beberapa golongan. Golongan yang besar adalah golongan
Isna' Asyariyah atau Syi'ah dua belas. Golongan terbesar kedua adalah golongan Isma'iliyah.
Golongan Isma'iliyah berkuasa di Mesir dan Baghadad.[26] Disebut juga Tujuh Imam.
Dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari 'Ali bin Abi
Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:

1. Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin

2. Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan Al-Mujtaba

3. Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain Asy-Syahid

4. Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin

5. Muhammad bin Ali (676743), juga dikenal dengan Muhammad Al-Baqir

6. Ja'far bin Muhammad bin Ali (703765), juga dikenal dengan Ja'far Ash Shadiq

7. Ismail bin Ja'far (721 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa
al-Kadzim.

Pokok-pokok ajaran Syiah Zaidiyah, terdiri dari beberapa hal. Diantaranya

(1) Ilmu al-Faidh al-Ilahi, yang Allah melimpahkannya pada imam. Maka dengan itu imam-
imam, mempunyai kedudukan di atas manusia pada umumnya dan beilmu belebihi manusia
lainnya. Mereka secara khusus mempunyai ilmu yang tidak dimiliki orang lain. Baginya
mengetahui ilmu Syariat melebihi apa yang diketahui.

(2) Sesungguhnya iman itu tidak harus tampak dan di kenal masyarakat, tetapi boleh jadi
samar bersembunyi. Namun demikian tetap harus ditaati. Dialah al-Mahdi yang member
petunjuk kepada manusia, sekalipun dia tidak tampak pada beberapa waktu. Dia tentu
muncul, dan hari kiamat tidak akan dating sampai al-Mahdi itu muncul, memenuhi bumi ini
dengan keadilan, sebagaimana kejahatan dan kezaliman telah merajalela.

(3) Sesungguhnya imam itu tidak bertanggungjawab di hadapan siapa pun. Seorang pun
tidak boleh menyalahkannya, apa pun yang diperbuatnya. Masyarakat harus membenarkan
bahwa apa yang diperbuatnya adalah baik, tidak ada kejelekan sedikitpun. Sebab imam
mempunyai ilmu yang tidak dapat dicapai orang lain. Karena itulah mereka menetapkan
bahwa imam itu mashum.[27]

b. Al-Ghaliyah

Istilah ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw yang artinya bertambah dan naik. Ghala
bi ad-din yang artinya memperkuat dan menjadi ekstrim sehingga melampaui batas. Syiah
ghulat adalah kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap berlebih-lebihan atau ekstrim.
Lebih jauh Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syiah ekstrem (ghulat) adalah kelompok yang
menempatkan Ali pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkat pada derajat
kenabian, bahkan lebih tinggi daripada Nabi Muhammad.[28]

Gelar ektrem (ghuluw) yang diberikan kepada kelompok ini berkaitan dengan pendapatnya
yang janggal, yakni ada beberapa orang yang secara khusus dianggap Tuhan dan ada juga
beberapa orang yang dianggap sebagai Rasul setelah Nabi Muhammad. Selain itu mereka
juga mengembangkan doktrin-doktrin ekstrem lainnya tanasukh, hulul, tasbih dan
ibaha.[29]

Sekte-sekte yang terkenal di dalam Syiah Ghulat ini adalah Sabahiyah, Kamaliyah, Albaiyah,
Mughriyah, Mansuriyah, Khattabiyah, Kayaliyah, Hisamiyah, Numiyah, Yunusiyah dan
Nasyisiyahwa Ishaqiyah. Nama-nama sekte tersebut menggunakan nama tokoh yang
membawa atau memimpinnya. Sekte-sekte ini awalnya hanya ada satu, yakni faham yang
dibawa oleh Abdullah Bin Saba yang mengajarkan bahwa Ali adalah Tuhan. Kemudian
karena perbedaan prinsip dan ajaran, Syiah ghulat terpecah menjadi beberapa sekte.
Meskipun demikian seluruh sekte ini pada prinsipnya menyepakati tentang hulul dan
tanasukh. Faham ini dipengaruhi oleh sistem agama Babilonia Kuno yang ada di Irak seperti
Zoroaster, Yahudi, Manikam dan Mazdakisme.

Adapun doktrin Ghulat menurut Syahrastani ada enam yang membuat mereka ektrem
yaitu:

(1) Tanasukh yang merupakan keluarrnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada
jasad yang lain. Faham ini diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan
bahwa roh disiksa dengan cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendah dan diberi
pahala dengan cara berpindah dari satu kehidupan kepada kehidupan yang lebih tinggi.[30]
Syiah Ghulat menerapkan faham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang
menyatakan seperti Abdullah Bin Muawiyah Bin Abdullah Bin Jafar bahwa roh Allah
berpindah kepada Adam seterusnya kepada imam-imam secara turun-temurun.

(2) Bada yang merupakan keyakinan bahwa Allah mengubah kehendakNya sejalan
dengan perubahan ilmuNya, serta dapat memerintahkan dan juga sebaliknya.[31]
Syahrastani menjelaskan lebih lanjut bahwa bada dalam pandangan Syiah Ghulat memiliki
bebrapa arti. Bila berkaitan dengan ilmu, maka artinya menampakkan sesuatu yang
bertentangan dengan yang diketahui Allah. Bila berkaitan dengan kehendak maka artinya
memperlihatkan yang benar dengan menyalahi yang dikehendaki dan hukum yang
diterapkanNya. Bila berkaitan dengan perintah maka artinya yaitumemerintahkan hal lain
yang bertentangan dengan perintah yang sebelumnya.[32] Faham ini dipilih oleh Mukhtar
ketika mendakwakan dirinya dengan mengetahui hal-hal yang akan terjadi, baik melalui
wahyu yang diturunkan kepadanya atau melalui surat dari imam. Jika ia menjanjikan kepada
pengikutnya akan terjadi sesuatu, lalu hal itu benar-benar terjadi seperti yang diucapkan,
maka itu dijustifikasikan sebagai bukti kebenaran ucapannya. Namun jika terjadi sebaliknya,
ia mengatakan bahwa Tuhan menghendaki bada

(3) Rajah yang masih ada hubungannya dengan mahdiyah. Syiah Ghulat mempercayai
bahwa Imam Mahdi Al-Muntazhar akan datang ke bumi. Faham rajah dan mahdiyah ini
merupakan ajaran seluruh sekte dalam Syiah. Namun mereka berbeda pendapat tentang
siapa yang akan kembali. Sebagian mengatakan bahwa yang akan kembali itu adalah Ali dan
sebagian lagi megatakan bahwa yang akan kembali adalah Jafar As-Shaddiq, Muhammad
bin Al-Hanafiyah bahkan ada yang mengatakan Mukhtar ats-Tsaqafi.[33]

(4) Tasbih artinya menyerupakan, mempersamakan. Syiah Ghulat menyerupakan salah


seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih ini
diambil dari faham hululiyah dan tanasukh dengan khaliq.

(5) Hulul artinya Tuhan berada pada setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan
ada pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syiah ghulat berarti Tuhan menjelma dalam
diri imam sehingga imam harus disembah.

(6) Ghayba yang artinya menghilangkan Imam Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan
Syiah bahwa Imam Mahdi itu ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata
biasa. Konssep ghayba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi pada tahun 66
H/686 M di Kufa ketika mempropagandakan Muhammad Bin Hanafiyah sebagai Imam
Mahdi.[34]

C. Kesimpulam

Ajaran dalam Syi'ah amatlah banyak dan berbeda-beda, sehingga kita harus mencari dan
mengetahui ajaran-ajaran, doktrin-doktrin, dan tokoh-tokoh yang berdampak besar dalam
golongan ini. Selain itu, di dalam aliran Syiah ini terdapat banyak bagian-bagian dan
perbedaan pendapat dalam bertahuid. Yang ditandai dengan munculnya beberapa sekte
seperti Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Gulat.

Hal ini menuntut kita untuk selalu berhati-hati serta mengantisipasi atas adanya doktrin
keras yang mungkin berkembang, atau bahkan telah begitu pesat dalam penyebarluasan
ajarannya ke negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di
Indonesia. Salah satunya adalah menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di
antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum
muslimin. Bahkan yang lebih parah adalah yang memuja dan menganggap bahwa Ali bin Abi
Thalib bukan manusia biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.

Oleh karena itu, sebagai umat Islam kita harus selalu cermat serta berhati-hati dalam
meyakini dan mempelajari suatu aliran baik itu Syiah maupun aliran pemikiran yang lain.
Selain itu, jangan sampai terlalu fanatik, karena fanatisme akan berdampak pada keburukan.
Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebih-lebihan.

DAFTAR PUSTAKA

Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari
kitab Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Al-Awaji

Al-khotib, Sayyid Muhibudin, Mengenal Pokok-pokok Ajaran Syi'ah Al-Imamiyah,


Surabaya:PT.bina ilmu, 1984

Asy-Syahrastani, Muhammad bin Abd Al-Karim, Al-Milal wa An-Nihal, Beirut-Libanon: Dar al-
Kurub al-'Ilmiyah, 1951

Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta : Logos Publishing
House, 1996

A. Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya,
Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-
Press, 1986

Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006

Syakah, Musthafa Muhammad, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu
Zahrah Al-Jawi Solo: Tiga Serangkai, 2008

Thabathabai, Muhammad Husai, Shia,terj. Husain Nasr, Anshariah, Qum, 1981


[1]Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari
kitab Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Al-Awaji

[2] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2,
h. 89

[3]Riwayat di Durul Mansur milik Jalaluddin As-Suyuti

[4]Sayyid Muhibudin al-khotib, Mengenal Pokok-pokok Ajaran Syi'ah Al-Imamiyah,(


Surabaya:PT.bina ilmu, 1984), hal.25

[5] Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Islam. Terj. Abd. Rahman Dahlan dan
Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos, 1996), hal. 34

[6] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2,
hal.90

[7] Hadits tentang Ghadir Khum ini terdapat dalam versi Sunni maupun Syiah dan semuanya
merupakan hadits shahih. Lebih dari seratus sahabat telah meriwayatkan hadits ini dalam
berbagai sanad dan ungkapan. Lihat Muhammad Husai Thabathabai, Shia,terj. Husain Nasr,
(Anshariah, Qum, 1981)

[8] Ibid, hal. 38

[9] Ibid, 39-40

[10] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalamhal. 91

[11] Ibid

[12] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 82

[13] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalamhal. 92

[14] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-
Press, 1986), cet ke-5, h. 135-136

[15] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalamhal. 94

[16] Ibid
[17] Ibid

[18] Ibid

[19] Ibid

[20] Solah Abu Suud, As Syiah An Nasyaah As Syiasiyah wal Aqidah Ad Diniyah, (Giza:
Maktabah Nafidah, 2004), hal. 158

[21] Ibid

[22] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam, hal. 108

[23] Ibid, hal. 108-109

[24]Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta : Logos
Publishing House, 1996) , cet.1 hal.25

[25] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam, hal. 111-114

[26]Ibid 27-28

[27] Ibid, hal. 117

[28] Abu Zahrah, Aliran Politikhal. 39

[29] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalamhal. 105

[30] Abu Zahrah, Aliran Politikhal. 106

[31] Ibid

[32] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalamhal. 107

[33] Ibid

[34] Ibid

Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/04/ilmu-kalam-syiah-tokoh-dan-


ajarannya.html#ixzz3qA7LgWDA

Anda mungkin juga menyukai