Anda di halaman 1dari 26

ALIRAN & TOKOH ILMU KALAM

A. Asal-Usul Munculnya Aliran-Aliran Dalam Ilmu Kalam


Sejak wafatnya Nabi Muhammad saw, kaum muslimin sudah mulai
menghadapi perpecahan. Tetapi perpecahan itu menjadi reda, karena terpilihnya
Abu Bakar menjadi Khalifah. Setelah beberapa lamanya Abu Bakar menduduki
jabatan kekhalifahan, mulai tampak kembali perpecahan yang disebarkan oleh
orang-orang yang murtad dari Islam dan orang-orang yang mengumumkan dirinya
menjadi nabi, seperti Musailamatul Kadzdzab, Thulalhah, Sajah dan Al-Aswad Al-
Ansy. Di samping itu ada pula kelompok-kelompok lain yang tidak mau membayar
zakat kepada Abu Bakar. Padahal dahulunya mereka semua taat dan disiplin
membayar zakat pada Nabi. Akan tetapi semua perselisihan itu segera dapat diatas
dan dipersatukan kembali, karena kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar. Maka
selamatlah kekuasaan Islam yang muda Itu dari ancaman fitnah dari musuh-musuh
Islam yang hendak menghancur-leburkannya.
Kemudian perjalanan kekhalifahan Abu Bakar As-shiddiq, Umar ibnu
Khattab, dan Utsman Ibnu Affan tidak begitu menghadapi persoalan, bahkan
terjalin persaudaraan yang mesra dan akrab. Pada masa ketiga khalifah itulah,
dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya mengerahkan semua tenaga kaum
muslimin untuk menyiarkan dan mengembangkan Islam ke seluruh pelosok
penjuru dunia. Tetapi setelah Islam meluas ke Afrika, Asia Timur bahkan Asia
Tenggara tiba-tiba diakhir Khalifah Utsman, terjadi suatu persoalan yang
ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang oleh sebagian orang Islam dianggap
kurang mendapat simpati dari sebagian kaum muslimin.
Kebijakan khalifah Utsman bin Affan yang dianggap tidak sesuai dengan
kebutuhan umat pada saat itu, diantaranya ialah kurang pengawasan dan
pengangkatan terhadap beberapa pejabat penting dalam pemerintahan, sehingga
para pelaksana pemerintahan (para eksekutif) di lapangan tidak bekerja secara
maksimal, diperparah lagi dengan adanya sikap nepotisme dari keluarganya.
Utsman banyak menempatkan para pejabat tersebut dari kalangan keluarganya,
sehingga banyak mengundang protes dari kalangan umat Islam. Dan sebenarnya
hal Ini adalah bisa dimaklumi karena memang keluarga Usman bin Affan adalah
keluarga orang-orang yang pandai. Namun Inilah bermulanya fitnah yang
membuka kesempatan orang-orang yang berambisi untuk menggulingkan
pemerintahan Utsman.
Karena derasnya arus fitnah ini sehingga mengakibatkan terbunuhnya
Sayyidina Utsman bin Affan . Setelah itu maka Ali bin Abi Thalib terpilih dan
diangkat menjadi khalifah, tetapi dalam pengangkatan tidak memperoleh suara
yang bulat, karena ada golongan yang tidak menyetujui pengangkatan itu. Bahkan
ada yang dengan terang-terangan menentang pengangkatan tersebut sekaligus
menuduh bahwa Ali campur tangan atau sekurang-kurangnya membiarkan
komplotan pembunuhan terhadap Utsman. Semenjak itulah, berpangkalnya
perpecahan umat Islam, hingga menjadi beberapa partai atau golongan.
Diantaranya sebagai berikut :
Kelompok yang setuju atas pengangkatan Ali menjadi khalifah.
Kelompok yang pada awalnya patuh dan setuju, tetapi kemudian setelah
terjadi perpecahan, menjadi golongan yang netral. Mereka berpendidikan, tidak
mau mengikuti taat pada Ali, tidak pula memusuhinya Ali. Karena mereka
berkeyakinan bahwa keberpihakan kepada salah satu dari dua golongan tersebut
tidak berakibat baik.
Kelompok yang jelas-jelas menentang Ali secara terbuka, yaitu Thalhah bin
Abdullah, Zubir bin Awam, Aisyah binti Abu Bakar. Semuanya ini bersatu dan
sepakat menjadikan Aisyah sebagai komandan untuk menggulingkan khalifah Ali.
Mereka menyusun tentara, lalu menduduki Basrah. Pegawai-pegawai Ali di Basrah
dibunuh, perbendaharaan dirampas. Sebab itu Ali pun dengan membawa pasukan
yang dipimpinnya sendiri menuju Basrah, dan akhirnya terjadilah pertempuran
hebat. Thalhah dan Zubir terbunuh. Aisyah tertangkap dan dipulangkan ke
Madinah. Peperangan ini dinamai peperangan Jamal (unta), sebab Aisyah
memimpin pertempuran itu dari atas unta. Dari tentara Aisyah banyak yang
melarikan diri dan menggabungkan diri dengan tentara Mu’awiyah di Syam, yang
same-sama menentang Ali. Terjadinya peperangan antara Mu’awiyah dan Ali,
hingga pertempuran Shiffin, yaitu perang terakhir antara Ali dan Mu’awiyah.
Ada golongan umat Islam yang memisahkan diri dari tentara Ali. Golongan
ini yang kita kenal dengan kaum Khawarij, mereka tidak setuju dengan gencatan
senjata dan perundingan antara Ali dengan Mu’awiyah. Mereka ini dihancurkan
pula
oleh Ali, sehingga cerai-berai. Sebenarnya Khawarij ini pada mulanya sungguh-
sungguh membela kepentingan agama. Mereka menuduh Ali tidak tegas dalam
mempertahankan kebenaran, sedang Mu’awiyah adalah penentang kebenaran, jadi
mereka memisahkan diri dari kedua-dua kelompok tersebut. Ia merasa mempunyai
hak untuk menentang pemerintahan mana saja yang tidak jujur. Dengan alasan-
alasan itulah, Khawarij menentang Ali dan Mu’awiyah.
Demikianlah golongan-golongan politik yang timbul di masa Khalifah AIi-
Kemudian sesudah Ali, timbullah beberapa kelompok atau aliran ilmu kalam
(aliran tentang aqidah) yang diakibatkan oleh timbulnya golongan-golongan politik
tersebar di atas, yaitu:
1. Syi’ah
Golongan ini sangat fanatik kepada, khalifah Ali bin Abi Thalib dan,
keturunannya. Mereka berkeyakinan tidak seorangpun yang berhak memegang,
menduduki jabatan kekhalifahan kecuali dari keturunan Ali. Jika orang yang
mengakui khalifah bukan dari keturunan Ali, berarti merampas hak kekuasaan
dan kekhalifahannya tidak syah. Tetapi akhirnya golongan ini dimasuki pula
oleh unsur-unsur yang menyimpang dari pokok-pokok agama Islam.
2. Qadariyah
Golongan Qodariyah, pokok pemikirannya adalah bahwa usaha dan
gerak perbuatan manusia ditimbulkan sendiri, bukan dari Allah. Faham ini,
mula-mula dianjurkan oleh Ma’bad Al-Juhainy, Ghailan al-Dimasyqi dan Al-
Ja’du bin Dirham. Ketiga tokoh ini hidup pada zaman Daulah Umaiyah dan
ketiganya mati terbunuh.
3. Jabariyah
Golongan ini muncul di Khurasan, yang dipelopori oleh Al-Jaham bin
Shafwan la berpendapat bahwa hidup manusia ini sudah ditentukan oleh Allah
Ta’ala. Segala gerak-geriknya dijadikan Tuhan semata-mata, manusia tidak
dapat berusaha dan menggerakkan dirinya. Mereka juga meniadakan sifat-sifat
Allah Ta’ala. “Kita tidak boleh menyifati Allah Ta’ala, dengan suatu sifat yang
bersamaan dengan sifat-sifat yang terdapat pada makhluknya”. Pemimpin
golongan ini, akhirnya terbunuh juga di Khurasan.
4. Murjiah
Golongan Murji’ah berpendapat, bahwa kemaksiatan tidaklah
menghilangkan keimanan atau tidak memberi bekas terhadap keimanan
seseorang, sebagaimana ketaatan, tidak memberi pengaruh kepada orang yang
kafir.
5. Karamiyah
Golongan ini berpendapat, bahwa yang diwajibkan kepada setiap
muslim hanyalah pengakuan lisan saja atas kebenaran rasul. Artinya cukuplah
seseorang dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja, sekalipun tanpa
amal dan tanpa tashdiq di hati.
6. Khawarij
Golongan ini pada mulanya adalah pengikut setia Khalifah Ali, namun
mereka memisahkan diri akibat tidak setuju dengan kebijakan khalifah
menerima perdamian dengan Mu’awiyah pada saat perang Siffin. Mereka
berpendapat bahwa orang yang mengerjakan dosa besar, atau meninggalkan
kewajiban-kewajiban yang sampai mati belum sempat tobat, maka orang itu
dihukumkan keluar dari Islam dan menjadi kafir. Jadi mereka abadi dalam
neraka.
7. Mu’tazilah
Golongan Mu’tazilah ini salah satu pokok pikirannya adalah, bahwa
orang Islam yang mengerjakan dosa besar, atau meninggalkan kewajiban-
kewajiban, yang sampai matinya belum sempat bertobat, maka orang itu
dihukum keluar dari Islam, tetapi tidak menjadi kafir, hanya fasiq saja, namun
menurutnya orang fasiq akan abadi di neraka.
8. Ahli Sunah wal Jama’ah
Kelompok ini biasa menyebut dirinya Islama Aswaja.
Pemahaman mereka ialah bahwa yang dihukumkan dengan orang Islam, ialah
orang yang memenuhi tiga syarat, yaitu : menuturkan dua kalimat syahadat
dengan lisan, dan diikuti dengan kepercayaan hati dan buktikan dengan amal.
Menurut Ahli Sunah wal Jama’ah, bahwa orang yang mengerjakan dosa besar
atau mengingkari kewajiban-kewajiban yang diperihtahkan Allah sampai mati
tidak sempat tobat, dihukumkan sebagai mukmin “yang melakukan maksiat.
Hukumnya di akhirat kelak, bila tidak memperoleh ampunan dari Allah akan
masuk neraka untuk menjalani hukumannya. Sesudah menjalani azab dan
hukumnya itu, ada harapan mendapat kebebasan dan masuk surga.

B. Aliran-Aliran Dalam Ilmu Kalam


Sebagaimana kita bahas di atas, bahwa pada masa akhir pemerintahan
Khulafa al-Rasyidin muncul aliran kalam yang popular dengan nama Khawarij,
kemudian diikuti oleh Murji’ah, Qadariyah dan Jabariyah, Mu’tazilah dan
Asy’ariyah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Marl kita telisik satu persatu sehingga
kita dapat memahami pandangan-pandangan mereka dengan benar.
1. Aliran Syi’ah
Syi’ah adalah golongan yang menyanjung dan memuji Sayyidina Ali
secara berlebih-lebihan. Karena mereka beranggapan bahwa Ali yang lebih
berhak menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW, berdasarkan
wasiatnya. Sedangkan khalifah-khalifah seperti Abu Bakar As Shiddiq, Umar
Bin Khattab dan Utsman Bin Affan dianggap sebagai penggasab atau
perampas khilafah.
Sebagaimana dimaklumi bahwa mulai timbulnya fitnah di kalangan
ummat Islam biang keladinya adalah Abdullah Bin Saba’, seorang Yahudi yang
pura-pura masuk Islam. Pitnah tereebut cukup berhasil, dengan terpecah-
belahnya persatuan ummat, dan timbullah Syi’ah sebagai firqoh pertama :
Sebenarnya Syi’ah bermula dari perjuangan politik yaitu khilafah,
kemudian berkembang menjadi agama. Adapun dasar pokok Syi’ah ialah
tentang Khalifah, atau sebagaimana mereka menamakannya Imam. Maka
Sayyidina Ali adalah iman sesudah Nabi Muhammad SAW. Kemudian
sambung-bersambung Imam itu menurut urutan dari Allah. Beriman kepada
imam, dan taat kepadanya merupakan sebagian dari iman. Iman menurut
pandangan Syi’ah bukan seperi. pandangan Golongan Ahlus Sunnah. Menurut
golongan Ahlus Sunnah, khalifah atau imam adalah wakil pembawa syari’at
(Nabi) dalam menjaga agama. Dia mendorong manusia untuk beramal apa yang
diperintahkan Allah. Dia adalah pemimpin kekuasaan peradilan, pemerintahan
dan peperangan. Akan tetapi baginya tidak ada kekuasaan di bidang syari’at,
kecuali menafsirkan sesuatu atau berijtihad tentang sesuatu yang tidak ada
nashnya.
Adapun menurut golongan Syi’ah, imam itu mempunyai pengertian
yang lain, dia adalah guru yang paling besar. Imam pertama telah mewarisi
macam-macam ilmu Nabi SAW. Imam bukan manusia biasa, tetapi manusia
luar biasa, karena dia ma’shum dari berbuat salah. Di sini ada dua macam ilmu
yang dimiliki imam yaitu; ilmu lahir dan ilmu batin. Sungguh Nabi SAW telah
mengajarkan Al- Qur’an dengan makna batin dan makna lahir, mengajarkannya
rahasia-rahasia alam dan masalah-masalah ghaib. Tiap imam mewariskan
perbendaharaan ilmu- ilmu kepada imam sesudahnya. Tiap imam mengajar
manusia pada waktunya sesuatu rahasia-rahasia (asrar) yang mereka mampu
memahaminya. Oleh karena itulah imam merupakan guru yang paling besar.
Orang-orang Syi’ah tidak percaya kepada ilmu dan hadits, kecuali yang
diriwayatkan dari imam-imam golongan Syi’ah sendiri.
Apabila berpadu pada kekuasaan khalifah urusan agama dan politik.
maka perselisihan antara golongan Syi’ah dengan golongan-golongan lainnya
adalah bercorak agama dan politik. Inti ajaran Syi’ah adalah berkisar masalah
khilafah. Jadi masalah politik, yang akhirnya berkembang dan bercampur
dengan
masalah-masalah agama. Ajaran-ajarannya. yang terpenting yang berkaitan
dengan khilafah ialah Al’ Ishmah, Al Mahdi, At Taqiyyah dan Ar Raj’ah.
Menurut keyakinan golongan Syi’ah bahwa imam-imam mereka itu
sebagaimana para nabi adalah bersifat Al Ishmah atau ma’shum dalam segala
tindak lakunya, tidak pernah berbuat dosa besar maupun kecil, tidak ada tanda
berlaku maksiat, tidak boleh berbuat salah ataupun lupa. Hal itu didasarkan :
a. Apabila imam boleh berbuat salah, maka akan membutuhkan kepada imam
lain untuk memberikan petunjuk, demikian seterusnya. Oleh karena itu
imam tidak boleh salah, dengan perkataan lain hams ma’shum. Lawan-
lawan golongan Syi’ah menolak ajaran tersebut dengan alasan bahwa
kebutuhan terhadap imam itu bukan karena kemungkinan masyarakat
berbuat salah, akan tetapi karena fungsi imam itu sendiri sebagai pelaksana
hukum, menolak kerusakan dan memelihara kesucian agama. Tidak ada
kebutuhan dalam tugas itu tentang ma’shumnya imam, tetapi cukup dengan
ijtihad dan berlaku adil.
b. Imam itu adalah pemelihara syari’at, oleh karena imam harus ma’shum.
Kalau tidak demikian maka niscaya membutuhkan pemelihara yang lain.
Lawan-lawan mereka menoiaknya dengan alasan bahwa imam itu bukan
pemelihara syari’at, tetapi sebagai pelaksana syari’at. Adapun pemelihara
syari’at ialah para ulama.
Aliran-aliran Syi’ah ada yang moderat dan ada yang radikal. Zaidiyah
merupakan aliran yang paling dekat Sunni, bahkan menolak faham Al-
Mahdi dan Ar Raj’ah yang menjadi keparcayaan umum aliran-aliran Syi’ah.
Syi’ah Az Zaidiyah adalah pengikut Zaid Bin Ali Bin Husain Bin Ali
Bin Abi Thalib. Syi’ah Az Zaidiyah ini adalah firqoh Syi’ah yang paling dekat
(tidak banyak menyimpang) kepada Aldus Sunnah dan yang paling lurus. la
tidak mengangkat imam-imamnya sampai pada martabat kenabian, bahkan juga
tidak mengangkatnya ke martabat yang mendekatinya, tetapi mereka
menganggap imam-imam seperti manusia pada umumnya. Hanya saja mereka
adalah seutama-utama orang sesudah Rasulullah SAW. Mereka tidak
mengkafirkan seorang pun di antara sahabat-sahabat Nabi dan terutama orang
(Abu Bakar, Umar dan Utsman, pen) yang dibai’at oleh Ali dan mengakui
keimanannya.
Aliran Zaidiyyah menolak faham Al Mahdi : “Aliran Zaidiyyah adalah
sebagian dari aliran-aliran dalam Syi’ah, yang sangat terpengaruh oleh ajaran-
ajaran Mu’tazilah, karena Zaid pemimpin aliran Zaidiyyah ini pernah berguru
kepada Washil Bin Atho’, pemimpin Mu’tazilah. Mereka sangat mengingkari
sekali terhadap faham Al Mahdi dan Raj’ah, dan dalam kitab-kitabnya mereka
menolak hadits-hadits dan cerita-cerita yang berhubungan dengan hal tersebut.
Syi’ah Ghaliyah atau Ashabu I-Ghulat, golongan Syi’ah yang ajaran-
ajarannya telah melampaui batas (ekstrim). Mereka ada yang berpendapat
bahwa imam-imam mereka mempunyai unsur-unsur ketuhanan. Ada pula yang
menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Kepercayaan tersebut adalah
pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan inkarnasi, reinkamasi, ajaran-ajaran
Yahudi dan Kristen. Agama Yahudi menyerupakan Tuhan dengan makhluk-
Nya, sedangkan agama Kristen menyerupakan makhluk dengan Tuhannya.
Di antara aliran-aliran Al Ghaliyah yang keterlaluan ialah As Saba’iyah,
Al ‘Al’Alba’iyah dan Al Khattabiyah. Aliran As Sabai’yah adalah pengikut
Abdullah Bin Saba’, orang Yahudi dari Yaman, yang pura-pura masuk Islam.
Aliran Saba’iyah inilah yang pertama kali menyatakan ajaran tentang gaibnya
imam, raj’ah, menitis (hulul)-nya sifat ketuhanan kepada imam, dan berpindah
(tanasukh)-nya sifat ketuhanan dari seorang imam kepada imam berikutnya.
Aliran Al Khattabiyah, pengikut Abil Khattab Muhammad Bin Abi
Zainab Bani Asad. Setelah dia meninggal, diganti Mu’amar mempunyai ajaran-
ajaran yang berlebih-lebihan. Mereka beranggapan bahwa dunia itu tidak akan
rusak. Sesungguhnya surga ialah keadaan yang manusia mendapatkan
kebaikan, kenikmatan dan kesehatan. Dan sesungguhnya neraka ialah keadaan
yang manusia mendapatkan keburukan, kesulitan dan bencana. Mereka
menghalalkan khamer, zina, dan semua hal yang diharamkan. Dan mereka
selalu meninggalkan shalat dan fardlu-fardlu lainnya.
Kini, Syi’ah dengan berbagai bentuk alirannya, masih tersebar cukup
luas. Di Iran, Syi’ah merupakan mazhab resmi negara. Di samping itu, Syi’ah
terdapat juga di Irak, Pakistan, India dan Yaman. Monument yang tidak boleh
dilupakan yang merupakan jasa Syi’ah, ialah Universitas Al Azhar Mesir,
didirikan pada tahun 359 H = 970 M, oleh Khalifah Al Muiz Lidinillah, dari
Bani Fathimiyah. Semula, di Universitas Al Azhar ini adalah untuk mencetak
kader-kader Syi’ah, pejabat-pejabat penting pemerintah. Namun, bersamaan
dengan runtuhnya kekuasaan Bani Fathimiyah dengan khalifah terakhirnya Al
‘Azid Lidinillah pada tahun 555 H = 1160 M, maka corak Universitas Al Azhar
yang semula berfaham Syi’ah, berganti berfahamSunni sampai sekarang.
2. Lahirnya Aliran Khawarij
Khawarij ini merupakan suatu aliran dalam kalam yang bermula dari
sebuah kekuatan politik. Dikatakan khawarij (orang-orang yang keluar) karena
mereka keluar dari barisan pasukan Ali saat mereka pulang dari perang Siffin,
yang dimenangkan oleh Mu’awiyah melalui tipu daya perdamaian. Gerakan
exodus itu, mereka lakukan karena tidak puas dengan sikap Ali menghentikan
peperangan, padahal mereka hampir memperoleh kemenangan. Sikap Ali
menghentikan peperangan tersebut, menurut mereka, merupakan suatu
kesalahan besar karena Mu’awiyah adalah pembangkang, sama halnya dengan
Thalhah dan Zutair. Oleh sebab itu tidak perlu ada perundingan lagi dengan
mereka. dan Ali semestinya meneruskan peperangan sampai para pembangkang
itu hancur dan tunduk.
Kemudian orang-orang Khawarij mulai mengafirkan siapa saja yang
dianggap melakukan kesalahan, seperti Utsman bin Affan yang melakukan
kesalahan karena mengubah sistem politiknya sehingga menimbulkan huru-
hara. Kemudian Thalhah. Zubair dan Mu’awiyah yang melakukan
pembangkangan terhadap Ali bin Abi Thalih sebagai khalifah yang sah. Dan
Ali bin Abi Thalib sendiri yang melakukan kesalahan karena menghentikan
pertempuran dalam perang Siffin, ketika menaklukkan mu’awiyah yang tidak
mau bai’at kepadanya.
Pada awalnya tuduhan kafir tersebut dilontarkan mereka kepada
Mu’awiyah, Amru bin Ash, Ali bin Abi Thalib dan Abu Musa al-Asy’ari, yang
keempatnya ini pelaku utama proses tahkim (damai) untuk mengakhiri
peperangan. Namun, tahkim tersebut menurut orang-orang khawarij tidak
sesuai dengan ketentuan ajaran agama, karena Mu’awiyah adalah
pembangkang yang seharusnya diperangi sampai hancur dan tunduk. Dengan
demikian, jalan terakhir tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum Allah,
dan barang siapa menetapkan sesuatu dengan ketentuan yang tidak sesuai
dengan hukum Allah tergolong orang-orang kafir, sebagaimana dikemukakan
dalam surah al-Maidah ayat 44 yang
Artinya:
“Barang siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan
oleh Allah adalah kafir”.
Kemudian sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa pada
akhirnya mereka mengafirkan orang-orang yang melakukan kesalahan (dosa)
besar, karena tidak mengikuti hukum Allah juga termasuk suatu kesalahan
besar. Kendati semua yang mereka kafirkan itu adalah para pelaku pilitik yang
menuntut pandangannya melakukan kesalahan besar dengan tidak mengikuti
norma agama sesuai Al-Qur’an, namun demikian mereka juga mengafirkan
para pelaku dosa besar di luar politik, bahkan lebih jauh mereka mengafirkan
orang-orang yang tidak sependapat dan tidak sealiran dengan mereka. Akhirnya
semakin banyak konflik dan pertempuran akibat pemikiran teologinya itu,
sehingga Ali bin Abi Thalib penguasa sah saat itu menyerang mereka dan
menghancurkannya tahun 37 H. Akan tetapi salah seorang dari mereka ada yang
selamat dan membunuh Ali bin Abi Thalib tahun ke-40 H.
Walaupun telah dihancurkan Ali bin Abi Thalib tahun ke-37 H, namun
sisa-sisa kekuatan mereka masih terus bergerak dan berhasil menghimpun
kekuatan lagi, sehingga terus melakukan gerakan oposisi terhadap daulah
Umayah. Akan tetapi, kelompok ini rentan sekali sehingga mudah pecah, dapat
dihancurkan kembali oleh Banu Umayah pada tahun 70 H. Sisa-sisanya dari
sub sekte Ibadiyah (sebutan sub sekte Khawarij yang sangat moderat) sampai
kink masih ada di Sahara Al-Jazair, Tunisia, PulauZebra, Zanzibar, Omman
dan Arabia Selatan, dan tidak melakukan perlawanan politik apa-apa terhadap
penguasa yang sah.
Sesuai dengan uraian diatas, make pemikiran kalam aliran khawarij
yang paling menonjol adalah tentang pelaku dosa besar yang menurut mereka
tergolong orang kafir, dan termasuk pada kategori dosa besar adalah sikap
menentang terhadap pemikiran khawarij sehingga orang-orang yang tidak
sepaham dengan mereka tergolong kafir.
Di samping itu, mereka mempunyai pemikiran yang khas tentang
definisi iman. Yakni menurut mereka iman itu adalah meyakini dengan hati,
mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Sejalan
dengan definisinya ini, maka orang-orang yang tidak mengamalkan ajaran
agamanya, atau melakukan pelanggaran dalam kategori dosa besar, termasuk
kufur, karena amal mempengaruhi iman.
Dengan demikian pokok-pokok pikiran aliran ilmu kalam mereka dapat
disimpulkan sbb :
a. Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah termasuk Kafir
b. Orang yang terlibat perang Jamal yakni perang antara Ali dan Aisyah dan
pelaku arbitrase antara Ali dan Mua’awiyah dihukum Kafir
c. Kholifah menurut mereka tidak harus keturunan Nabi atau suku quraisy
Mempercayai bahwa muhamad bin hanafiah sebagai pemimpin setelah
husein Ali wafat
a. Nama kausaniyah diambil dari nama kaisan yaitu nama budak Ali Bin
Abuthilib. Mesikpun sekte(organisasi) ini punah, cerita kebesaran
muhamad bin hanafiah dapat di jumpai dalam cerita rakyat, hikayat ini
terkenal sejak abad 15 M di malaka.
b. Saidiyah : Yaitu sekte ini mengakui ke kalifahan Abu bakar & Umar sekte
syi’ah mempercayai bahwa Zaed Bin Ali Bin Husein Zaenal Abidin
merupakan peimpin setelah husein bin Ali wafat. Dalam sekte ini ada 5
syarat untuk dapat di angkat sebagai pemimpin. Yaitu :
1) Berasal dari keturunan Fatimah Binti Muhammad
2) Berpengetahuan luas tentang agama
3) Hidupnya untuk beribadah
4) Jihad di jalan Allah dengan mengangkat senjata
5) Berani
c. Sekte Imamiyah : yaitu sekte Syi’ah yang menunjukan langsung Ali Bin
Abitholib untuk menjadi imam oleh rassulullah Sebagai pengganti beliau.
Sehingga sekte ini tidak mengakui Abu bakar dan Umar.sekte imamyah
pecah menjadi 2 golongan, yang terbesar yaitu:
1) Isna Asy’ariah / Syi’ah dua 12
2) Ismailiyah
3. Lahirnya Aliran Murji’ah
Sejak terjadinya ketegangan politik di akhir pemerintahan Utsman bin
Affan, ada sejumlah sahabat nabi yang tidak mau ikut campur dalam
perselisihan politik. Ketika selanjutnya terjadi salah menyalahkan antara pihak
pendukung Ali dengan pihak penuntut bela kematian Utsman bin Affan, maka
mereka bersikap “irja” yakni menunda putusan tentang siapa yang bersalah.
Menurut mereka, biarlah Allah saja nanti di hari akhirat yang memutuskan siapa
yang bersalah di antara mereka yang tengah berselisih ini.
Selanjutnya mereka kaum khawarij berpendapat bahwa mukmin yang
melakukan dosa besar itu menjadi kafir dan kelak akan kekal dalam neraka,
maka Kaum Murji’ah berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar
tersebut masih tetap mukmin, yaitu mukmin yang berdosa tidak berubah
menjadi kafir. Lalu apakah mereka akan masuk ke dalam neraka atau surga,
atau masuk neraka terlebih dahulu baru kemudian ke dalam surga, ditunda
sampai ada putusan akhir dari Allah. Disamping itu, khusus bagi para pelaku
dosa besar, mereka juga berharap agar mereka mau bertaubat, dan berharap pula
agar taubatnya diterima di sisi Allah SWT.
Karena penundaan semua putusan terhadap Allah, serta senantiasa
berharap Allah akan mengampuni dosa-dosa para pelaku dosa besar tersebut,
maka mereka ini kemudian populer disebut sebagai golongan atau aliran
“murji’ah” (orang yang mendapat putusan para pelaku dosa besar sampai ada
ketetapan dari Allah, sambil berharap bahwa Allah akan mengampuni dosa-
dosa mereka itu).
Pendirian Murji’ah di atas sangat moderat, sehingga menjadi pendirian
umat Islam pada umumnya tentang mukmin yang berbuat dosa besar. Mereka
sendiri kemudian disebut sebagai penganut aliran Murji’ah moderat. Akan
tetapi pada akhir abad pertama dan awal abad kedua hijrah, muncul orang-orang
murji’ah ekstrim yang sangat meremehkan peran amal perbuatan. Mereka
selanjutnya berpendapat bahwa siapa saja yang meyakini keesaan Allah dan ke-
Rasulan Muhammad SAW, adalah orang beriman walaupun selalu melakukan
perbuatan buruk. Bahkan seorang tidak boleh dikatakan kafir kendati sering
melakukan ibadah di dalam gereja, karena keimanan itu ada dalam hati, dan
hanya dapat diketahui oleh Allah. Tokoh-tokoh aliran murji’ah ekstrim ini
adalah Jaham bin Shafwan, Abu Hasan al-Shalih, Muqatil bin Sulaiman dan
Yunus al-Samiri.
Kaum murji’ah ekstrim ini banyak memperoleh kecaman dari para
ulama saat itu, dan tidak memperoleh pengikut, serta akhirnya lenyap. Sedang
murji’ah moderat kemudian menjadi pengikut aliran Ahlus Sunrah wal
Jama’ah.
Pemikiran yang paling menonjol dari aliran ini adalah bahwa pelaku
dosa besar tidak dikategori sebagai orang kafir, karena mereka masih memiliki
keimanan dan keyakinan dalam hati bahwa Tuhan mereka adalah Allah, Rasul-
Nya adalah Muhammad, serta Al-Qur’an sebagai kitab ajarannya serta
meyakini rukun-rukun iman lainnya.
Disamping itu, mereka berpendapat bahwa iman itu adalah mengetahui
dan meyakini atas ke-Tuhanan Allah dan ke-Rasulan Muhammad. Mereka
tidak memasukkan unsur amal dalam iman, sehingga amal tidak mempengaruhi
iman. Oleh sebab itu pulalah mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar
tetap mukmin, dan tidak terkategori sebagai orang kafir sebagaimana
dinyatakan ajaran khawarij. Sedangkan dosanya harus mereka
pertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Dengan demikian pokok-pokok pikiran aliran ilmu kalam mereka dapat
disimpulkan sbb:
a. Pengakuan Iman Islam cukup di dalam hatinya saja dan tidak dituntut
membuktikan keimanan dengan perbuatan.
b. Selama seorang muslim meyakini dua kalimat syahadat apabila ia berbuat
dosa besar maka tidak tergolong kafir dan hukuman mereka ditangguhkan
di
akhirat dan hanya Allah yang berhak menghukum
4. Lahirnya Aliran Qadariyah
Sebagaimana khawarij dan murji’ab, aliran teologi qadariyah juga lahir
dengan dilatarbelakangi oleh kegiatan politik, yakni pada masa pemerintahan
mu’awiyah bin Abu Sufyan, dari Daulah Banu Umayah. Sepeninggal Ali bin
Abi Thalib, tahun 40 H mu’wiyah menjadi penguasa daulah islamiyah. Dan
untuk memperkokoh kekuasaannya itu, dia menggunakan berbagai cara,
khususnya dalam menumpas semua oposisi, bahkan mendiang Ali bin Abi
Thalib dicaci maki dalam setiap kesempatan berpidato termasuk saat
berkhotbah Jum’at.
Para ulama yang shalil banyak yang tidak setuju dengan gaya dan cara
mu’awiyah, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk menutupi
kesalahan itu, mereka mengembalikan semuanya kepada Allah bahwa semua
yang terjadi atas kehendak-Nya. Isu ini kemudian dimanfaatkan pula oleh
mu’awiyah dalam memimpin daulah islamiyah, bahwa semua yang dilakukan
itu atas kehendak Allah.
Dalam suasana inilah muncul Ma’bad al-Jauhani dan Ghailan al-
Damasyqi, dua tokoh pemberani yang melontarkan kritik terhadap mu’awiyah
sekaligus menentang pernyataan teologis yang membenarkan tindakan
politiknya. Menurut keduanya, manusia bertanggung jawab untuk menegakkan
kebenaran dan kebaikan serta menghancurkan kedhaliman. Manusia diberi
Allah daya dan kekuatan untuk melakukan suatu perbuatan. Manusia juga
diberi kebebasan untuk memilih antara melakukan sesuatu kebaikan dan
keburukan, dan mereka harus mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya
kelak di hari akhir.
Bila manusia memilih untuk melakukan perbuatan baik, maka dia akan
memperoleh pahala di sisi Allah dan akan memperoleh kebahagiaan dalam
hidup di akhiratnya kelak. Sedang mereka yang memilih melakukan perbuatan
buruk, akan memperoleh siksa dalam neraka. Manusia tidak boleh berpangku
tangan melihat kedzaliman dan keburukan. Manusia harus berjuang melawan
kedzaliman dan menegakkan kebenaran. Manusia bukanlah majbur (dipaksa
oleh Allah). Karena Ma’bad dan Ghailan ini mengajarkan bahwa manusia
memiliki qudrah untuk mewujudkan suatu perbuatan, maka fahamnya
dinamakan faham “qadariyah”.
Kemudian Ma’bab al-Jauhani ikut menentang kekuasaan Bani Umayah
dengan membantu Abdurrahman ibnu al-Asy’ats, gubernur Syijistan yang
memberontak melawan daulah Banu Umayah. Dalam suatu pertempuran tahun
80H. Ma’bad al-Jauhani mati terbunuh. Sedang temannya Ghailan al-Darmasqi
terus menyirakan faham qadariyah itu, dengan banyak melontarkan kritik
terhadap Banu Umayah, dan sering keluar masuk penjara, dan akhirnya dia
menjalani hukuman mali pada masa pemerintahan Hisyam bin Abd al-Malik
(105-125 H).
Sesuai dengan uraian diatas, pemikiran yang menonjol dari aliran ini
adalah soal perbuatan manusia dan kekuatan Tuhan. Dalam pandangannya,
manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan perbuatannya serta
melakukan perbuatannya itu. Dan di akhirat mereka harus
mempertanggungjawabkan semua perbuatan itu. Sejalan dengan pemikirannya
ini, mereka berpendapat bahwa Tuhan telah memberikan daya kepada manusia,
serta memberikan aturan-aturan hidup yang sangat jelas dengan berbagai
akibatnya. Ada perbuatan-perbuatan baik yang akan memberi mereka imbalan
pahala dan kebahagiaan akhirat, dan ada pula perbuatan-perbuatan jahat dan
ancaman siksaan mereka bagi yang melanggarnya.
Daya yang diberikan Tuhan itu kemudian menjadi milik manusia sendiri
untuk mereka gunakan melakukan berbagai perbuatan. Kalau mereka gunakan
untuk melakukan perbuatan baik sesuai petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah,
maka mereka akan memperoleh kebahagiaan. Dan sebaliknya, kalau mereka
gunakan untuk melakukan perbuatan buruk, maka mereka harus
mempertanggung jawabkan semua
perbuatannya itu. Inilah yang kemudian disebut dengan konsep keadilan
Tuhan.
Pemikiran mereka ini mempunyai landasan yang cukup kuat antara lain
firman Allah dalam Surat Al-Kahfi ayat 29 yang
Artinya : “Barang siapa mengehendaki (untuk menjadi orang berimab) maka
berimanlah, dan barang siapa menghendaki (untuk menjadi orang
kafir) maka kafirlah”.
Ungkapan senada juga dikemukakan Allah dalam Surat Al-Ra’du ayat
ke-11 yang
Artinya:“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu masyarakat
bila mereka sendiri tidak melakukan perubahan apa-apa terhadap
dirinya.
Dengan demikian, aliran qadariyah merupakan suatu aliran ilmu kalam
yang menekankan kebebasan manusia dalam melakukan perbuatannya, dan
mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu di sisi Allah kelak
di hari perhitungan. Mereka yang berprestasi dalam melakukan amal kebajikan
akan memperoleh imbalan pahala di dalam surga, sementara yang justru banyak
melakukan perbuatan jahat, serta kurang berprestasi dalam melakukan
perbuatan baik, akan terkena ancaman siksa di dalam neraka. Posisi manusia di
surga atau neraka tersebut, menurut aliran ini sangat tergantung pada
perbuatannya selama hidup di dunia ini.
Pemikiran-pemikiran qadariyah ini kemudian diikuti den diteruskan
oleh para penganut aliran mu’tazilah, khususnya pada aspek pemikiran mereka
tentang perbuatan manusia, dan kekuasaan mutlak Tuhan. Yakni bahwa
manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan kehendak serta
perbuatannya, namun mereka harus mempertanggungjawabkan semua
perbuatannya di hadapan Tuhan. Aliran mu’tazilah meneruskan pemikiran
qadariyah mi, karena aliran terakhir ini mempunyai kecenderungan yang sama
dalam memahami ajaran-ajaran aqidah, terutama dalam aspek-aspek yang
boleh berbeda pendapat, yaitu pada ajaran-ajaran yang dikemukakan dengan
lafal zhanni Aliran qadariyah dan mu’tazilah sama-sama menganut aliran
rasional dalam pemahaman kalam mereka.
5. Lahirnya Aliran Jabariyah
Kalau qadariyah lahir seiring dengan lontaran-lontaran kritik terhadap
kekejaman Daulah Banu Umayah, maka Jabariyah sebaliknya, aliran ini lahir
bermula dari ketidak berdayaan dalam menghadapi kekejaman mu’awiyah bin
Abu Sufyan, dan mengembalikan semuanya atas kehendak dan kekuasaan
Tuhan. Kemudian isu keagamaan ini dipegang oleh mu’awiyah sendiri untuk
membenarkan perlakuan-perlakuan politiknya itu. Oleh sebab itu masa
kelahirannya sebenarnya berbarengan dengan kelahiran qadariyah. Namun
pada masa munculnya, yang dipelopori oleh Ja’ad bin Dirham, pemikiran
kalam ini belum berkembang. Dan menjadi satu aliran yang punya pengaruh
serta tersebar di masyarakat setelah dikembangkan oleh Jahm bin Shafwan
(W.131 H). Oleh sebab itu, aliran ini sering juga disebut aliran Jahmiyah.
Dilihat dari segi pemikiran kalamnya, aliran Jabariyah bertolak
belakang
dengan qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk
memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia, pada hakikatnya
adalah
dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau
siksa, karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Faham bahwa yang
dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya
pahala dan siksa.
Menurut faham ini, manusia tidak hanya bagaikan wayang, yang
digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sementara nasib mereka di
akhirat sangat ditentukan oleh kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Yakni
posisi mereka ditentukan oleh kekuasaan mutlak Tuhan. Pemikiran-pemikiran
kalam dari aliran Jabariyah ini kemudian banyak diserap oleh aliran Asy’ariyah,
karena keduanya sama-sama memiliki kecenderungan untuk mengikuti aliran
tradisional, yakni aliran ilmu kalam yang kurang menghargai kebebasan
manusia, serta kurang melakukan pendekatan logika nalar dalam pemikiran
kalam mereka.
6. Lahirnya Aliran Mu’tazilah
Lahirnya aliran teologi mu’tazilah tidak terlepas dari perkembangan
pemikiran-pemikiran ilmu kalam yang sudah muncul sebelumnya. Aliran ini
lahir berawal dari tanggapan Washil bin Atha’ salah seorang murid Hasan
Bashri di Bashrah, alas pemikiran yang dilontarkan khawarij tentang pelaku
dosa besar. Ketika Hasan Bashri bertanya tentang tanggapan Washil terhadap
pemikiran khawarij tersebut, dia menjawab bahwa para pelaku dosa besar
bukan mukmin dan juga bukan kefir. Mereka berada dalam posisi antara
mukmin dan kafir (orang fasik). Kemudian Washil memisahkan diri dari
jamaah Hasan Bashri, dan gurunya itu secara spontan berkata Ttazala ‘anna”
(Washil memisahkan diri dari kita semua). Karena itulah kemudian pemikiran
yang dikembangkan Washil menjadi sebuah aliran yang oleh anggota jamaah
Hasan Bashri dinamai dengan “mu’tazilah”.
Kelompok ini kemudian mengembangkan diri dengan memperkaya
wawasan keilmuannya melalui penelaahan mendalam terhadap literatur-
literatur Yunani yang berada di pusat-pusat studi gereja timur, yaitu Antochia,
Jundisaphur dan Alexandria. Langkah-langkah kieatif tersebut, mereka lakukan
dalam rangka menghadapi serangan-serangan logika kelompok Kristen
terhadap teologi Islam dan kemudian menghasilkan suatu format pemikiran
ilmu kalam yang lebih cenderung menggunakan pendekatan berpikir filsafat,
sehingga aliran ini kemudian terkenal dengan aliran kalam rasional.
Sebenarnya mereka sendiri menanamkan dirinya sebagai ahlu at-tauhid
(menjaga ke-Esa-an Allah) dan ahlu al-’adl (mempercayai dan meyakini penuh
akan keadilan Tuhan), karena rumusan-rumusan pemikiran kalamnya itu benar-
benar menjaga kemurnian tauhid dan prinsip keadilan Tuhan. Dan ajaran-ajaran
pokoknya itu tertuang dalam rumusan “Mabadi al-Khamsah” (lima dasar
ajaran), yaitu al-Tauhid, al-’adlu, al-wa’du wa al-wa’id, al-manzilah baina al-
manzilatain, serta amar ma’ruf nahi munkar.
At-tauhid artinya mengesakan Allah, yakni Allah itu benar-benar Esa
dalam segala-galanyb, tidak ada sesuatu pun yang dapat menandingi ke-Esa-
annya itu. Sehubungan dengan prinsip Tauhidnya itu, mu’tazilah menafikan
sifat, karena merupakan sesuatu yang berada di luar zat. Kalau ada sifat berarti
ada dua yang qadim yaitu zat dan sifat. Untuk menghindari pemikiran yang
akan membawa kepada kemusyrikan tersebut, mereka nafikan sifat Tuhan, dan
seterusnya mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah zat Tuhan sendiri.
Kemudian untuk menjaga prinsip, ketauhidannya itu, Mu’tazilah juga
berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluk, karena kalau bukan makhluk akan
ada qadim lain selain Allah.
Sedangkan al-’adlu adalah suatu prinsip yang mengatakan bahwa Tuhan
itu Maha Adil, Dia akan memberikan imbalan pahala dan jaminan kebahagiaan
bagi orang yang tidak berprestasi dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik.
Dan dia tidak akan, menyiksa orang-orang shahih. Seiring dengan prinsip
keadilannya itu, maka Allah sudah menetapkan janji dan ancaman senada yang
akan dipatuhi-Nya sendiri. Akan tetapi, prestasi keagamaan setiap orang itu
pasti berbeda, bisa saja ada orang mukmin yang kelakuannya seperti orang
kafir. Inilah yang mereka sebut sebagai orang fasik, yang menempati posisi
antara mukmin dan kafir.
Sedang di akhirat nanti mereka akan tetap memperoleh siksa atas
perbuatan-perbuatan dosanya, namun siksanya tidak sama dengan siksaan
orang kafir Untuk menghindari posisi ini, dan agar semua orang menjadi orang
baik, maka mereka mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar sebagai wajib ‘ain.
Dengan demikian kelima dasar ajaran rnu’tazilah ini merupakan suatu
rangkaian logis, yang satu sama lain mempunyai keterkaitan.
Aliran teologi mu’tazilah ini menjadi aliran resmi di Daulah Bani
Abbasiah pada zaman pemerintahan al-Makmun (198-218 H), dan
dua khalifah sesudahnya, Mu’tashim (218-227 H) dan al-Wasiq (227-232 H).
Namun dihancurkan kembali oleh al-Mutawakil pada tahun 234 H, sehingga
kekuatan aliran ini kembali lemah dan diganti kemudian dengan aliran
Asy’ariyah yang lebih terkenal dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah. Kesimpulan
dari pokok-pokok Mu’tazilah adalah sebagai berikut: Aliran Mu’tazilah
memiliki lima ajaran pokok yaitu :
a. Tauhid (Keesaan Allah SWT)
Terkait hal ini mu’tazilah berpendapat, antara lain :
1) Mengingkari sifat-sifat Allah SWT, menurut Kaum Mu’tazilah apa
yang
dikatakan sifat adalah tak lain dari zat-Nya sendiri;
2) Al-Qur’an me.nurutnya adalan makhluk (baru);
3) Allah di akhirat kelak tidak dapat dilihat oleh panca indra manusia,
karena Allah tidak akan terjangkau oleh mata
b. Keadilan Allah SWT
Setiap orang Islam harus percaya akan keadilan Allah, tetapi aliran
mu’tazilah, memperdalam arti keadilan serta menunjukkan batas-batasnya,
sehingga menimbulkan beberapa masalah. Dasar keadilan yang diyakini
oleh kaum Mu’tazilah adalah meletakkan pertanggungjawaban manusia
atas segala perbuatannya. Dalam menafsirkan keadilan tersebut mereka
mengatakan sebagai berikut :
“Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan
perbuatan manusia. Manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-larangan-Nya, dengan kekuasaan yang diciptakan-
Nya terhadap diri manusia. la hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-
Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan
tidak campur tangan dalam keburukan yang dilarang-Nya.
Aliran ini berpendapat bahwa Allah akan memberikan balasan
kepada manusia sesuai dengan apa yang diperbuat manusia. (Mulyadi,
2005, hal. 108)
c. Janji dan Ancaman
Aliran mu’tazilah berpendapat, bahwa Allah tidak akan
mengingkari janji-Nya; memberi pahala kepada orang muslim yang berbuat
baik, dan menimpakan azab kepada yang berbuat dosa (Mulyadi, 2005, hal.
108)
d. Posisi di antara dua posisi (al-manzilatu bainal manzilatain)
Karena prinsip ini, Washil bin ‘Atha memisahkan diri dari majlis
Hajsan Bashri, seperti yang disebutkan di atas. Menurut pendapatnya,,
seseorang muslim yang mengerjakan dosa besar ia tergolong bukan
mukmin tetapi juga tidak kafir, melainkan menjadi orang fasik. Jadi
kefasikan merupakan tempat tersendiri antara “kufur” dan “iman”.
Tingkatan seorang fasik berada di bawah orang mukmin dan diatas orang
kafir.
Jalan tengah ini kemudian berlaku juga dalam bidang-bidang lain.
Jalan tengah ini diambil oleh aliran mu’tazilah dari sumber-sumber agama
Islam, yaitu:
1) Al-Qur’an : banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan dan
memuji untuk mengambil jalan tengah seperti (QS. Al-Isra’: 31)
“Jangan engkau jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu dan
Jangan pula terlalu membeberkannya seluruhnya”. Ia juga
menggunakan argument (QS. Al- Baqarah: 137).
2) Al-Hadits : seperti (sebaik-baiknya perkara ialah yang berada di
tengah- tengah) (Mulyadi, 2005, hal 109)
e. Amar makruf dan nahi mungkar
Ajaran mu’tazilah mengenai tuntutan untuk berbuat baik dan
mencegah segala perbuatan yang tercela ini lebih banyak berkaitan dengan
fiqh.
Kelima prinsip tersebut merupakan dasar utama yang harus
dipegang oleh setiap orang mu’tazilah dan hal ini sudah menjadi
kesepakatan mereka. Akan tetapi mereka berbeda-beda pendapat dalam
soal-soal kecil dan terperinci. ketika memperdalam pembahasan kelima
prinsip tersebut dan menganalisanya dengan didasarkan atas pikiran filsafat
Yunani dan Iain-lain. Karena itu sebenarnya pemikiran aliran mu’tazilah
sangat beragam. sebagaimana halnya dengan bermacam-macam aliran
filsafat, seperti Stoic, Epicure. Phytagoras, Neo-Platonismc dan sebagainya,
yang k9semuanya disebut filsafat Yunani. (Mulyadi, 2005, hal 109)
7. Lahirnya Aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Aliran ini dilahirkan dan dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260-
324 H) pada tahun 300 H di Baghdad. Abu Hasan al-Asy’ari sendiri pada
awalnya adalah seorang pengikut aliran teologi Mu’tazilah, namun dia terus
dilanda keraguan dengan pemikiran-pemikiran kalam mu’taziiah, terutama
karena kaberanian mu’tazilah dalam mena’wilkan ayat-ayat mutasyabihat
untuk mendukung logika teologi mereka, sehingga pemaknaannya berbeda
dengan lafalnya, dan juga karena keberanian mereka dalam membatasi
penggunaan al-Sunnah hanya yang mutawatir saja untuk doktrin-doktrin
aqidahnya.
Karena keraguannya itulah, pada usianya yang ke-40 al-Asy’ari yang
menyatakan keluar dari Mu’tazilah dan mengembangkan pemikiran teologi
sendiri, dengan memperbanyak penggunaan al-Sunnah dan
membatasi penggunaan logika filsafat dalam pemikiran kalamnya itu. Karena
membatasi penggunaan logika filsafat dan memperbanyak penggunaan al-
Sunnah, maka pemikiran-pemikiran kalam Abu Hasan mudah dipahami oleh
orang banyak, dan memperoleh pengikut serta pendukung yang cukup besar.
Sejalan dengan itu, aliran teologinya ini disebut dengan Ahlus Sunah wal
Jama’ahartinya aliran kalam yang banyak menggunakan al-Sunnah dalam
perumusan-perumusan pemikiran kalamnya, dan memperoleh pengikut yang
cukup besar (wal jama’ah) dari kalangan masyarakat, khususnya dari lapisan
yang tidak mampu menjangkau pemikiran kalam rasional yang diperkenalkan
aliran mu’tazilah dan aliran juga sering disebut asy’ariyah karena dinisbitkan
pada tokohnya.
Berbagai pemikiran kalam yang dikemukakan mu’tazilah dia kritisi
habis. Seperti tentang sifat. Dia katakan Tuhan itu mempunyai sifat, karena
kalau sifat-sifat itu dikatakan sebagai zat seperti yang dikemukakan mu’tazilah,
maka akan terjadi kerancuan yang sangat besar. Seperti tentang “ilmu”, kalau
ilmu (pengetahuan) dijadikan sebagai zat dan bukan sebagai sifat, maka Tuhan
itu adalah ilmu atau pengetahuan. Padahal Tuhan adalah Allah Yang Maha
Tahu, bukan ilmu atau pengetahuan itu sendiri.
Demikian pula dengan al-Qur’an, menurutnya kitab suci ini qadim
karena al-Qur’an itu kalam Allah, maka posisinya sama seperti pemilik kalam.
Kalau Allah qadim, maka kalam-Nya pun qadim. Disamping itu, keyakinan
bahwa AI-Qur’an itu makhluk juga akan dihadapkan dengan kerancuan logika
berpikir, karena Allah menciptakan makhluk-Nya ini dengan kata-kata “kun”.
Dan kalau kata “kun” sendiri sudah makhluk make perlu “kun” yang lain untuk
menciptakannya, dan begitulah seterusnya tanpa ada akhir, sehingga terjadi
lingkaran logika yang tidak berujung (tasalsul).
Kemudian ayat-ayat mutajasimah yang dita’wilkan Mu’tazilah, dia
bahwa pada pengertian lafalnya, hanya saja tidak bisa diidentifikasikan seperti
kata Yadullah, yang diartikan mu’tazilah sebagai kekuasaan Allah, Abu Hasan
menafsirkannya dengan tangan Allah. Hanya saja dia tidak bisa
mengidentifikasikan bentuk tangan-Nya itu, sehingga dia mengatakan bahwa
Allah itu bertangan namun tangan-Nya itu tidak bisa
diidentifikasi(layukayyaf). Demikian pula dengan ayat-ayat mutajasimah
lainnya.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, aliran teologi ini, mulai
berkembang tahun 300 H, dan mempunyai pengaruh pada pemerintahan
Abbasiah, bahkan untuk seterusnya sampai kini, pada umumnya umat Islam di
dunia termasuk di Indonesia menganut aliran teologi ini, walaupun sebahagian
kalangan intelektual muslim sudah mudah keluar dari doktrin-doktrin
Asy’ariyah dan memasuki aliran kalam rasional.
Adapun pokok-pokok pikiran golongan ahlu sunnah wal jama’ah dapat
disimpulkan sbb:
a. Sifat Tuhan
Pendapat Al-Asy’ari dalam soal sifat Tuhan terletak di tengah-tengah antara
aliran Mu’tazilah di satu pihak rian aliran Hasywiah dan Mujassimah di lain
pihak. Aliran Mu’tazilah tidak mengakui sifat-sifat wujud, qidam, baqa dan
wahdaniah (Ke-Esa-an). Sifat zat yang lain, seperti sama’, bashar dan lain-
lain tidak lain hanya zat Tuhan sendiri. Golongan Hasywiah dan
Mujassimah mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk.
Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat Allah yang tersebut sesuai dengan zat Allah
sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Jadi, Allah
mendengar tetapi tidak seperti manusia mendengar. Allah dapat melihat
tetapi tidak seperti penglihatan manusia, dan seterusnya.
b. Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
Pendapat Al-asy’ari dalam soal ini juga tengah-tengah antara aliran Jabariah
dan aliran Mu’tazilah. Menurut aliran Mu’tazilah, manusia itulah yang
mengerjakan perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Allah
kepadanya. Menurut aliran Jabariah, manusia tidak berkuasa mengadakan
atau menciptakan sesuatu, tidak memperoleh(kasb) sesuatu bahkan ia
laksana bulu yang bergerak kian kemari menurut arah angin yang
meniupnya. Datanglah Al-Asy’ari dan mengatakan bahwa manusia tidak
berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh
(kasb) sesuatu perbuatan.
c. Melihat Tuhan pada hari Qiyamat
Menurut aliran Mu’tazilah Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala
dan dengan demikian, mereka menakwilkan ayat-ayat yang mengatakan
ru’yat, disamping menolak hadits-hadits Nabi yang menetapkan ru’yat
Karena tingkatan hadits tersebut mereka adalahhadits ahad (hadits
perseorangan). Menurut golongan Musyabihat, Tuhan dapat dilihat dengan
cara tertentu dan pada arah tertentu pula. Dengan menempuh jalan tengah
antara kedua golongan tersebut, Al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan dapat
dilihat di akhirat kelak.
d. Dosa besar
Aliran Mu’tazilah mengatakan, apabila pembcat dosa besar tidak bertobat
dan dosanya itu, meskipun ia mempunyai iman dan kataatan, tidak akan
keluar dari neraka. Aliran Murji’ah mengatakan, siapa yang iman kepada
Tuhan dan mengiklilaskan diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar
dosa yang dikerjakannya, namun tidak akan mempengaruhi imannya,
artinya tetap dipandang sebagai orang mukmin.

TUGAS AQIDAH AKHLAK


ALIRAN & TOKOH ILMU KALAM

Disusun Oleh:
Nama : Mela Fitriyani
No : 21
Kelas : XI IPS 5

KEMENTRIAN AGAMA
MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 SRAGEN
TAHUN PELAJARAN 2016 / 2017

Anda mungkin juga menyukai