Anda di halaman 1dari 5

A.

Problematika Pelaksanaan Hukum Waris Islam di Indonesia


Walaupun diketahui dengan pasti bahwa mayoritas masyarakat Indonesia beragam
Islam, namun untuk melaksanakan ketentuan hukum waris dalam Islam bukanlah hal
yang mudah. Dalam pelaksanaan sistem hukum waris Islam yang merupakan aturan
hukum yang mesti di ikuti terhalang oleh beberapa persoalan, sehingga hukum waris
Islam itu sendiri menjadi sulit untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Tidak
mengherankan bila kemudian Daniel S. Lev dalam salah satu tulisannya tentang
problema pelaksanaan hukum waris di Indonesia (dengan agak tidak mengenakkan), ia
menyatakan bahwa untuk mengatakan hukum waris Islam sudah menjadi kebiasaan
yang diterima masyarakat Indonesia, adalah sulit untuk dibuktikan.
Bila kemudian kesulitan masyarakat Islam Indonesia dalam menerapkan sistem hukum
waris Islam dalam pembagian harta pusaka mereka dicermati, maka akan kita dapatkan
bahwa kesulitan penerapan itu karena beberapa hal sebagai berikut:
1. Kecenderungan masyarakat berbagi sama
Dalam Islam, khususnya prihal kebendaan telah ditentukan seperangkat aturan,
bahwa setiap ahli waris memiliki bagian-bagian tertentu (jelas dan tepat), misalnya
anak laki-laki mendapatkan dua kali lipat bagian anak perempuan dalam menerima
harta warisan (QS. al-Nisa’: 11). Ketentuan ini harus diikuti oleh masyarakat bila
terjadi proses pewarisan.
Ketentuan di atas agaknya sulit untuk diterapkan, sebab dalam masyarakat sendiri
telah tumbuh jauh sebelum ketentuan dalam masyarakat sendiri telah tumbuh jauh
sebelum ketentuan waris Islam ada, suatu kecenderungan masyarakat untuk
membagi secara merata harta pusaka mereka.
Oleh karenanya, adanya suatu anggapan bahwa masyarakat Islam Indonesia, dalam
hal pembagian harta warisan tidak jarang melakukan penyimpangan dari ketentuan
hukum waris Islam. Sehingga mengapa kemudian H. Munawir Sadzali menawarkan
reaktualisasi hukum Islam dalam bidang kewarisan, dengan alasan bahwa kepala
keluarga dalam masyarakat terbukti telah menempuh preemptive semasa hidup
mereka telah membagi-bagikan sebagian harta kepada anak tanpa membedakan
jenis kelamin dengan bagian yang sama, sebagai hibah.
2. Berbedanya sistem keluarga yang ada di Indonesia dengan keluarga Bangsa Arab,
dimana hukum waris disusun
Bila kita sepakat dengan satu telaah yang menyatakan bahwa sebelum hukum waris
Islam datang ke Indonesia dan berlaku bagi pemeluknya, sebenarnya telah ada
hukum yang mengatur tentang bgm seharusnya harta pusaka itu dibagi, perangkat
hukum lazim dikenal dengan hukum adat. Dengan demikian, dapat digaris bawahi
bahwa sistem hukum waris yang berlaku sebelum hukum waris Islam adalah hukum
adat. Kondisi masyarakat Indonesia saat itu, sama halnya dengan kondisi Bangsa
Arab, sebelum Islam datang, mereka telah memiliki suatu kebiasaan untuk membegi
harta pusaka kepada ahli waris tunggal dalam urutan keluarga Petrilinial. Setelah
Islam datang kebiasaan ini kemudian di sebut ”ashabah”.
Karena jauh sebelum Islam datang telah berlaku hukum adat yang bertitik tolak dari
bentuk masyarakat yang ada di Indonesia, dan secara kebetulan sifat kekeluargaan
masyarakatnya menganut sistem keturunan. Ia memiliki kekhususan antara satu
dengan lainnya, berbeda dalam pembagian harta pusaka, yaitu:
 Sistem Patrilinial, yaitu sistem kekeluargaan yang menganut atau menarik garis
keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Dalam sistem ini kedudukan dan
pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat dominan, seperti pada
masyarakat Batak, yang menjadi ahli waris hanya akan laki-laki saja sebab anak
perempuan yang telah kawin dengan cara “kawin jujur” akan masuk menjadi
anggota keluarga pihak suami. Selanjutnya ia tidak lagi merupakan ahli waris
orang tuannya yang meninggal dunia.
 Sistem Matrilinial, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari
pihak nenek moyang perempuan. Dalam sistem kekeluargaan ini, pihak laki-laki
tidak menjadi ahli waris dari garis perempuan / ibunya, sedangkan ayahnya
masih merupakan anggota keluarganya sendiri. Sistem ini ada pada masyarakat
Minangkabau.
 Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem yang menarik garis keturunan dua
sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Pada sisi ini, kedudukan anak
laki-laki dan perempuan dalam hukum, laki-laki maupun perempuan merupakan
ahli waris dari harta peninggalan orang tua mereka.
Dari uraian sistem kekeluargaan di atas, dapat dipahami bahwa mengapa sistem
hukum waris Islam sulit untuk diterapkan. Sistem kekeluargaan masyarakat Batak
misalnya, hanya memberikan hak waris terhadap anak laki-laki, sedang anak
perempuan tidak. Dalam daerah Matrilinial (Minangkabau) mungkin tidak ada
tempat bagi hukum waris Islam, kecuali bagi mereka yang berani menghindarkan
diri dari ikatan tradisi keluarga tersebut. Kemudian masyarakat yang susunan
keluarganya berdasarkan Bilateral, seperti Jawa dan Aceh ada kemungkinan
pengaruh hukum Islam lebih besar, karena pengaruh hukum Islam terhadap
“ashabah furudl”, yakni sejalan benar dengan konsep masyarakat Bilateral.
M. Idris Mamulyo dalam bukunya Masalah Harta Bersama Dalam Pemutusan
Hubungan Perkawinan” sebagaimana dikutip oleh Drs. H. Masrani, mengemukakan
tentang kesulitan penerapan hukum waris Islam, karena tidak dikenal adanya harta
bersama, yang ada hanyalah harta suami dan istri. Sedangkan bagi masyarakat
Indonesia dikenal 4 (empat) macam harta dalam sebuah keluarga,[5] yaitu sebagai
berikut:
 Harta yang diperoleh sebelum perkawinan, sebagai hasil usaha masing-masing
menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, harta ini tetap dalam pengawasan
masing-masing.
 Harta yang ada pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua mempelai,
mungkin berupa modal usaha atau perabot rumah tangga.
 Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, baik karena hibah atau
warisan dari orang tua dari keluarga mereka.
 Harta yang diperoleh selama perkawinan atas usaha bersama atau usaha salah
satu dari keduanya.
Selanjutnya, bila salah seorang di antara mereka (suami istri) itu meninggal dunia,
manakah dari harta-harta mereka seperti tersebut di atas yang akan dibagikan
kepada ahli warisnya.

B. Hibah Dengan Maksud Menyamakan Bagian Harta Warisan Anak Laki-laki


Dengan Perempuan
Sebagaimana telah di uraikan, yang menjadi hambatan penerapan hukum waris Islam
dalam masyarakat di Indonesia, salah satu penyebabnya adalah ada kencenderungan
masyarakat untuk membagi harta warisan dengan menyamaratakan, terutama mereka
yang secara kebetulan berada dalam lingkungan masyarakat Parental atau Bilateral.
Walaupun dalam lingkungan masyarakat tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh
Daniel S. Lev, sejalan dengan pengakuan hukum waris Islam tentang “ahli
waris ashabah furudl”, sehingga ada kemungkinan bahwa masyarakat lingkungan
sistem kekeluargaan tersebut akan mudah melaksanakan praktek hukum waris Islam
dalam pelaksanaan pembagian harta pusaka mereka.
Kesulitan pelaksanaan hukum Islam (masalah waris) dalam lingkungan Bilateral ini
dapat dimengerti, sebab mereka yang hidup dalam lingkungan sistem kekeluargaan
Bilateral (adat) melaksanakann praktek warisnya dengan pembagian sama tanpa
membedakan bagian antara ahli waris satu dengan lainnya. Kebalikannya, dalam Islam
sebagaimana dikatakan oleh Hazairin, yang dikutip oleh Eman Suparman, SH., MH.
bahwa sistem kewarisan Islam adalah sistem individual Bilateral.
Dengan pembagian harta pusaka berbeda antara satu ahli waris adat, sebab dalam
hukum pewaris yang masih hidup. Di samping itu, hukum adat pewarisan yang
berlangsung antara orang-orang yang masih hidup dilakukan dengan jalan perbuatan
hukum hibah, bahwa perbuatan hibah yang dilakukan dimaksudkan sungguh-sungguh
merupakan tindakan pewarisan. Nampak dalam realitas masyarakat, bahwa apa yang
sudah dalam bentuk hibah oleh seorang ahli waris, turut diperhitungkan kembali pada
waktu harta peninggalan dari suami dibagi-bagikan di antara pada ahli waris.

C. Beberapa Faktor Pendukung Pelaksanaan Hibah Dengan


Setelah dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan hibah anak, maka sudah
barang tentu perlu juga mengetahui faktor apa saja yang mendorong para orang tua
untuk melaksanakan hibah di atas. Secara teoritis diketahui bahwa setiap perbuatan
hukum manusia pasti sebelumnya memiliki motivasi pendukung
pelaksanaan hibah orang tua, maka hal disebabkan sebagai berikut :
1. Pernyataan rasa kasih sayang pewaris kepada penerima hibah (anak)
Anak adalah curahan kasih sayang dan belahan jiwa (hati) orang tua. Oleh karena
itu, orang tua bisa jadi melakukan apapun demi kepentingan anak mereka. Dengan
demikian, tidak dapat dipersalahkan sebab memberi kasih sayang adalah naluri
normal manusia. Dalam kondisi ini, dimensi pemberian curahan kasih sayang orang
tua satu kepada anak berbeda wujudnya antara orang tua satu dengan lainnya. Ada
kemungkinan yang satu, bagi mereka wujud implementasi kasih sayang cukup
hanya berupa perhatian, tapi lainnya, tidak cukup sampai disitu bagi mereka,
curahan kasih sayang adalah pemberian benda-benda.
2. Mencegah perselisihan/sengketa di antara ahli waris
Di samping kebutuhan pokok manusia dalam memenuhi kebutuhan demi
kelangsungan hidupnya, karena tidak jarang harta kekayaan kerapkali menimbulkan
terpicunya “kecemburuan-kecemburuan” dalam sebuah rumah tangga. Bila
demikian keluarga yang sebelumnya dalam kondisi harmonis, bisa berantakan
karenanya.
Dalam rangka menghindari terjadinya perpecahan antara sesama anggota keluarga
(dalam hal ini anak) maka jauh hari sebelum tiba waktu dimana harus terjadi proses
pewarisan, orang tua telah terlebih dahulu melakukan pembagian harta waris
melalui hibah dengan tanpa membedakan jenis kelamin anak, dengan tujuan untuk
menghindari terjadinya perselisihan/sengketa harta waris antara mereka.
3. Pengaruh hukum adat
Seperti diketahui bahwa sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia tidak satu
melainkan terdiri dari beberapa sistem hukum. Salah satu di antaranya, yaitu hukum
waris yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum waris adat. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa sistem hukum waris adat ini memberikan pengaruh pada
masyarakat (Islam khususnya) dalam hal pemberian harta pusaka mereka. Dalam
lingkungan masyarakat Jawa yang memiliki sistem kekeluargaan Bilateral, bagi
mereka persamaan hak antara ahli waris dalam ciri utamanya, sehingga dalam
proses pengalihan sejumlah harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris itu laki-
laki atupun perempuan.
Berdasarkan kenyataan di atas, dapat dimengerti mengapa para kepala keluarga
cenderung untuk membagikan harta-harta pusaka mereka secara sama kepada ahli
waris, bukan melalui pewarisan sebagaimana adanya. Secara sama rata kepada anak
melalui hibah bukan melalui waris saja, dalam hukum adat dibenarkan membagi
waris saat pewaris masih hidup dapat diketahui bahwa menjadikan sebab
pelaksanaan hibah di atas adalah:
 Untuk menghindari berlakunya sistem hukum waris lain yang berlaku dalam
lingkungan masyarakat
 Untuk menghidari perselisihan antara hak laki-laki dengan perempuan
dikemudian hari harta tersebut diserahkan
Faktor-faktor yang menjadikan hibah di atas, ternyata sejalan dengan tinjauan
sosiologis pelaksanaan perbuatan hibah dilakukan antara orang-orang yang
mempunyai hak saling mewarisi terhadap sistem waris memiliki prinsip sebagai
berikut:
Pada masyarakat Unilateral, yaitu perbuatan hukum hibah itu merupakan tindakan
koreksi terhadap hukum warisnya. Dengan perbuatan hibah, maka seseorang yang
menurut sistem hukum warisnya tidak dapat mewariskan sendiri harta kekayaan
kepada anak-anak mereka, maka dengan perbuatan hibah secara sah ia dapat
memberikan bagian-bagian kepada anak mereka.
Pada masyarakat Bilateral, yaitu perbuatan hibah itu menjamin kepastian hukum
dan mencegah terjadinya pertengkaran ahli waris.
4. Sebagai bekal anak di kemudian hari
Tidak semua anak, entah itu laki-laki maupun perempuan yang sudah berumah
tangga bila kelangsungan hidup secara mandiri, tentunya kondisi pasca nikah, bisa
jadi sesuatu mengkhawatirkan bagi orang tua. Itulah sebabnya mengapa orang tua
sedini mungkin berfikir akan nasib anak-anak mereka kelak, dengan cara memilih-
milih harta kekayaan mereka (khususnya benda-benda yang tidak bergerak) untuk
dihibahkan kepada anak dalam porsi yang sama, dengan suatu pemikiran bahwa
bila anak perempuan dikemudian hari membina suatu rumah tangga (keluarga),
belum tentu suaminya mampu dan atau sebaliknya bila anak laki-lakinya
berkeluarga juga belum tentu dapat segera dijamin, ia telah berpenghasilan itu untuk
kebutuhan pokok keluarga mereka. Jawabannya pasti tidak tentu. Dari sisi itu
pembagian harta adalah porsi sama antara anak laki-laki dan perempuan diharapkan
bisa menjadi semacam “modal awal” menuju sejahtera dalam mengaruhi bahtera
keluarga.

Anda mungkin juga menyukai