Anda di halaman 1dari 116

MODUL

KETERAMPILAN MEDIS DASAR 1


PEGANGAN DOSEN/TUTOR/FASILITATOR

Disusun oleh:
Pengelola Modul Keterampilan Medis Dasar 1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2015

BAB V
KETERAMPILAN KOMUNIKASI

5.1 PENDAHULUAN
Komunikasi dokter-pasien merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai dokter.
Kompetensi komunikasi menentukan keberhasilan dalam membantu penyelesaian masalah
kesehatan pasien. Selama ini kompetensi komunikasi dapat dikatakan terabaikan, baik dalam
pendidikan maupun dalam praktik kedokteran.
Komunikasi yang baik antara dokter dan pasien/keluarga pasien akan melahirkan suatu
hubungan yang baik pula. Kita harus menempatkan pasien sebagai orang yang paling penting
dalam ruangan pemeriksaan sehingga harus betul-betul diperhatikan dan didengarkan.
Kerahasiaan dan privacy pasien baik data-data yang dikatakan maupun didapatkan dari
pemeriksaan pasien harus benr-benar dijaga. Untuk pasien tertentu terutama yang akan
dilakukan suatu pemeriksaan fisik yang lebih detail sebaiknya pada saat pemeriksaan
didampingi oleh perawat atau orang lain yang memang berkompeten. Perawat atau orang
yang mendampingi sebisa mungkin berjenis kelamin yang sama dengan pasien terutama jika
pasien perempuan. Untuk itu, kondisi yang membuat pasien merasa nyaman harus diciptakan
agar dia memberikan keterangan yang akurat sesuai dengan yang diharapkan dokter atau
pemeriksa.
Dalam berkomunikasi pergunakan bahasa yang lazim digunakan di daerah tersebut atau
bahasa yang paling difahami oleh pasien, kalau perlu dapat menggunakan penterjemah.
Selain itu, harus dihindari sesuatu yag bisa menjadi penghalang misalnya meja yang terlalu
besar atau monitor komputer yang akan menghalangi kelancaran komunikasi antara dokter
dan pasien. Kontak mata dilakukan pada awal anamnesis dan kemudian dilakukan pada
interval-interval tertentu. Jangan melakukan kontak mata terus-menerus, karena pasien
mungkin akan merasa terganggu atau terintimidasi. Mempertahankan kontak mata dengan
pasien, untuk menunjukkan bahwa dokter memberikan perhatian penuh kepada pasien.
Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan olehkedua
pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwamengembangkan komunikasi dengan
pasien hanya akan menyita waktu dokter,tampaknya harus diluruskan. Bila dokter dapat
membangunhubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal
negatifdapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dankeluarganya
dan pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter.
5.2 TUJUAN

2
Setelah mengikuti kegiatan ini mahasiswa diharap mampu melakukan komunikasi
yang efektif.

5.3 KETERAMPILAN KOMUNIKASI (EFEKTIF , FEEDBACK, EMPATI)

a. Memulai Komunikasi Dengan Salam


Dalam memulai komunikasi sebaiknya selalu dimulai dengan salam dan
memperkenalkan diri. Pada saat bertemu dengan pasien atau pada saat seorang pasien masuk
ke ruang praktek atau tempat pemeriksaan, langkah-langkah yang dilakukan adalah :
1. Mempersilahkan masuk atau duduk pada pasien : Silahkan masuk, Pak ! atau
Silahkan duduk, Bu !
2. Setelah pasien masuk/duduk, ucapkan salam dan sebaiknya jabat tangan pasien agar
tercipta suasana akrab dan mengurangi ketegangan. Salam dapat diucapkan dalam
Assalamu alaikum, Pak!, Selamat pagi, Selamat siang, atau Selamat malam
tergantung situasi.
3. Perkenalkan nama dengan jelas Saya Dokter Dewi atau Saya Dokter Muda Andre
(pada saat masih coass). Memperkenalkan nama dapat dilakukan sambil bersalaman
dengan pasien.
4. Merperkenalkan nama dapat juga dengan : Saya Dokter Muda Andre yang ditugaskan
supervisor/pembimbing saya Dokter Maqbul, Sp.PD untuk menanyakan beberapa hal
yang berguna untuk menentukan bagaimana kami bisa membantu Bapak/Ibu kalau
Bapak/Ibu tidak keberatan atau Saya Dokter Anti yang akan merawat Bapak/Ibu
selama disini.
5. Pada saat memperkenalkan diri lakukan dengan berhadapan dan melakukan kontak mata
dengan pasien dan selalu tersenyum serta tidak mengalihkan pandangan ke tempat lain
atau sibuk dengan hal-hal lain.
6. Persiapkan alat-alat atau bahan seperti alat tulis yang akan digunakan untuk mencatat
data-data pasien termasuk identitas, keluhan, serta hal-hal lain yang terkait dengan
pasien.

Empati
3
Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan melahirkan
kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata
tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat dikembangkan apabila dokter
memiliki ketrampilan mendengar dan berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih.
Carma L. Bylund & Gregory Makoul dalam tulisannya tentang Emphatic
Communication in Physician-Patient Encounter (2002), menyatakan betapa pentingnya
empati ini dikomunikasikan. Dalam konteks ini empati disusun dalam batasan definisi
berikut:
(1) kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan pasien (a physician
cognitive capacity to understand patients needs),
(2) menunjukkan afektifitas/sensitifitas dokter terhadap perasaan pasien (an affective
sensitivity to patients feelings),
(3) kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan/menyampaikan empatinya kepada
pasien (a behavioral ability to convey empathy to patient).
Sementara, Bylund & Makoul (2002) mengembangkan 6 tingkat empati yang
dikodekan dalam suatu sistem (The Empathy Communication Coding System (ECCS) Levels).
Berikut adalah contoh aplikasi empati tersebut:
Level 0: Dokter menolak sudut pandang pasien

Mengacuhkan pendapat pasien


Membuat pernyataan yang tidak menyetujui pendapat pasien seperti Kalau
stress ya, mengapa datang ke sini? Atau Ya, lebih baik operasi saja sekarang.

Level 1: Dokter mengenali sudut pandang pasien secara sambil lalu

A ha, tapi dokter mengerjakan hal lain: menulis, membalikkan badan,


menyiapkan alat, dan lain-lain

Level 2: Dokter mengenali sudut pandang pasien secara implisit

Pasien, Pusing saya ini membuat saya sulit bekerja

Dokter, Ya...? Bagaimana bisnis Anda akhir-akhir ini?

Level 3: Dokter menghargai pendapat pasien

Anda bilang Anda sangat stres datang ke sini? Apa Anda mau menceritakan
lebih jauh apa yang membuat Anda stres?

Level 4: Dokter mengkonfirmasi kepada pasien

4
Anda sepertinya sangat sibuk, saya mengerti seberapa besar usaha Anda untuk
menyempatkan berolah raga

Level 5: Dokter berbagi perasaan dan pengalaman (sharing feelings and experience) dengan
pasien.

Ya, saya mengerti hal ini dapat mengkhawatirkan Anda berdua. Beberapa
pasien pernah mengalami aborsi spontan, kemudian setelah kehamilan
berikutnya mereka sangat, sangat, khawatir

Empati pada level 3 sampai 5 merupakan pengenalan dokter terhadap sudut pandang pasien
tentang penyakitnya, secara eksplisit.
Empati dapat juga diartikan seseorang menghargai, mengerti, dan menerima situasi
emosional seseorang tanpa ikut terlibat dalam perasaan atau suasana emosi seseorang.
Komunikasi yang dibangun dengan saling pengertian akan sangat membantu dan sangat
berarti dalam komunikasi antara dokter dan pasien. Perilaku nonverbal seperti mimik wajah
terkadang mengkomunikasikan empati lebih efektif daripada kata-kata. Terdapat dua
komponen komunikaasi empatik yaitu refleksi dan legitimasi. Refleksi berarti dokter
menggambarkan atau mampu merasakan ekspresi emosi pasien misalnya dengan berkata
pada pasien yang kelihatan sedih : Anda terlihat sangat sedih atau Saya tahu masalah ini
berat bagi Anda. Legitimasi atau validasi (sahih) lebih menunjukkan bahwa dokter
memberikan suatu keyakinan bahwa emosi pasien dapat diterima dan dimengerti oleh dokter.
Dalam hal ini mengindikasikan adanya suatu intervensi yang secara spesifik mengungkapkan
penerimaan dan penghargaan atau respek pada pengalaman emosional pasien. Ini dapat
digambarkan dengan pernyataan validasi seperti :
Dokter : Saya sangat mengerti mengapa Anda merasa cemas atas rasa sakit pada dada
sebelah kiri Anda atau Siapapun juga akan merasakan hal yang sama jika menghadapi
kondisi seperti yang Anda alami.

Contoh sikap empati seorang dokter dapat juga ditunjukkan ketika menerima pasien:
- Menilai suasana hati lawan bicara apakah sedang marah, sedih, gembira, atau gelisah.
- Memperhatikan sikap non-verbal (raut wajah/mimik, gerak/bahasa tubuh) pasien pada saat
berbicara.
- Menatap mata pasien secara profesional yang lebih terkait dengan makna menunjukkan
perhatian dan kesungguhan mendengarkan.
- Memperhatikan keluhan yang disampaikan tanpa melakukan interupsi yang tidak perlu.

5
- Apabila pasien marah, menangis, takut, dan sebagainya maka dokter tetap menunjukkan
raut wajah dan sikap yang tenang.
- Melibatkan pasien dalam rencana tindakan medis selanjutnya atau pengambilan
keputusan.

c. Umpan Balik
Teknik bertanya, mendengar, dan memberikan balikan (feed back) merupakan salah
satu sesi yang penting. Di dalam komunikasi dokter-pasien, ada dua sesi yaitu pengumpulan
informasi yang di dalamnya terdapat proses anamnesis, dan sesi penyampaian informasi. Sesi
anamnesis dan sesi penyampaian informasi akan dipelajari dalam keterampilan semester
berikut. Teknik bertanya dan mendengarkan serta memberikan balikan (feedback) merupakan
bagian dari sesi penggalian informasi. Tanpa penggalian informasi yang akurat, dokter dapat
terjerumus ke dalam sesi penyampaian informasi (termasuk nasihat, sugesti atau motivasi dan
konseling) secara prematur. Akibatnya pasien tidak melakukan sesuai anjuran dokter.
Dalam dunia kedokteran, model proses komunikasi pada sesi penggalian informasi
telah dikembangkan oleh Van Dalen (2005) dan digambarkan dalam sebuah model yang
sangat sederhana dan aplikatif.

Kotak 1 : Pasien memimpin pembicaraan melalui pertanyaan terbuka yang dikemukakan


oleh dokter (Patient takes the lead through open ended question by the
doctor)
Kotak 2 : Dokter memimpin pembicaraan melalui pertanyaan tertutup/terstruktur yang telah
disusunnya sendiri (Doctors takes the lead through closed question by the
doctor).
Kotak 3 : Kesepakatan apa yang harus dan akan dilakukan berdasarkan negosiasi kedua
belah pihak (Negotiating agenda by both).
Sesi penggalian informasi terdiri dari:
1. Mengenali alasan kedatangan pasien, dalam hal ini belum tentu keluhan utama secara
medis (Silverman, 1998). Inilah yang disebut dalam kotak pertama model Van Dalen
(2005). Pasien menceritakan keluhan atau apa yang dirasakan sesuai sudut pandangnya
(illness perspective). Pasien berada pada posisi sebagai orang yang paling tahu tentang
dirinya karena mengalaminya sendiri. Sesi ini akan berhasil apabila dokter mampu

6
menjadi pendengar yang aktif (active listerner). Pendengar yang aktif adalah fasilitator
yang baik sehingga pasien dapat mengungkapkan kepentingan, harapan, kecemasannya
secara terbuka dan jujur. Hal ini akan membantu dokter dalam menggali riwayat
kesehatannya yang merupakan data-data penting untuk menegakkan diagnosis.
2. Penggalian riwayat penyakit (Van Thiel, 2000)
Penggalian riwayat penyakit (anamnesis) dapat dilakukan melalui pertanyaan-
pertanyaan terbuka dahulu, yang kemudian diikuti pertanyaan tertutup yang membutuhkan
jawaban ya atau tidak. Inilah yang dimaksud dalam kotak kedua dalam model Van Dalen
(2005). Dokter sebagai seorang yang ahli, akan menggali riwayat kesehatan pasien sesuai
kepentingan medis (disease perspective).
Selama proses ini, fasilitasi terus dilakukan agar pasien mengungkapkan keluhannya
dengan terbuka, serta proses negosiasi saat dokter hendak melakukan komunikasi satu arah
maupun rencana tindakan medis.
Pertanyaan-pertanyaan terbuka yang dapat ditanyakan :
- Bagaimana pusing tersebut Anda rasakan, dapat diceritakan lebih jauh?
- Menurut Anda pusing tersebut reda bila Anda melakukan sesuatu, meminum obat
tertentu, atau bagaimana menurut Anda?
Sedangkan pertanyaan tertutup yang merupakan inti dari anamnesis meliputi:
- Eksplorasi terhadap riwayat penyakit dahulu
- Eksplorasi terhadap riwayat penyakit keluarga
- Eksplorasi terhadap riwayat penyakit sekarang, contoh menggunakan pedoman
Macleods clinical examination seperti disebutkan dalam Kurtz (1998)
Macleods clinical examination:
- Sampai di bagian tubuh mana hal tersebut dirasakan? (radiation)
- Bagaimana karakteristik dari nyerinya, berdenyut-denyut? Hilang timbul? Nyeri terus
menerus? (character)
- Nyeri? Amat nyeri? Sampai tidak dapat melakukan kegiatan mengajar? (severity)
- Berapa lama nyeri berlangsung? Sebentar? Berjam-jam? Berhari-hari? (duration)
- Setiap waktu tertentu nyeri tersebut dirasakan? Berulang-ulang? Tidak tentu?
(frequency)
- Apa yang membuatnya reda? Apa yang membuatnya kumat? Saat istirahat? Ketika
kerja? Sewaktu minum obat tertentu? (aggravating and relieving factors)
- Adakah keluhan lain yang menyertainya? (associated phenomenon)
3. Sesi Mendengarkan
7
Dalam hal mendengarkan apa-apa yang disampaikan pasien selama anamnesis atau
sesi penggalian informasi dari pasien maka hal-hal yang diperhatikan dan dilakukan adalah :
- Merperhatikan gaya komunikasi pasien; ada yang senang bicara sedikit dan lebih banyak
menjadi pendengar; hanya bicara bila ditanya; disertai humor (suka melucu); meledak-
ledak (penuh semangat, bersuara keras); bersuara pelan; malu berbicara di depan publik
(demam panggung); pintar (banyak teori); komentator (suka 'nyeletuk'); suka mengejek;
praktis (tidak suka teori); negatif (pesimis); optimis.
- Menggunakan beberapa macam teknik mendengarkan yang disesuaikan dengan gaya
komunikasi pasien yaitu :
- Membahasakan Kembali (Paraphrasing) untuk menenangkan dan membuat pasien
paham bahwa ucapannya dimengerti orang lain, Terutama digunakan untuk menanggapi
jawaban yang berbelit dan membingungkan.
- Menarik Keluar (Drawing people out) untuk jawaban warga kurang lengkap dan bila
pasien mengalami kesulitan menjelaskan gagasan atau keluhannya.
- Memantulkan (Mirroring) dengan mengulang pernyataan pasien untuk meyakinkan
pasien bahwa dokter mendengarkan ucapannya.
- Mengembalikan arah pembicaraan jika pasien menjelaskan terlalu melenceng dari
masalah.
- Membuka ruangan atau kesempatan bagi pasien untuk mengungkapkan masalahnya
seluas-luasnya.
- Diam Sejenak (Intentional Silence) dengan berhenti bicara selama beberapa detik. Dan
menunggu sejenak agar pasien menemukan apa yang ingin ia katakan.
- Menemukan kesamaan pemikiran dasar antara pasien dan dokter sehingga terbentuk
persepsi yang sama antara dokter dan pasien tentang masalah yang dihadapi pasien.
- Perhatikan seluruh hal yang dikatakan oleh pasien dengan seksama dan serius dan menjadi
pendengar yang baik terhadap keluhan pasien.
- Menunjukkan ekspresi atau empati terhadap masalah yang dihadapi pasien.
- Tidak mengerjakan hal-hal lain seperti menelpon saat anamnesis.
- Dokter diharapkan bisa memilah informasi yang penting dan mencatat hal-hal tersebut
untuk kemudian dibuat suatu resume nantinya.
- Tidak melakukan interupsi jika tidak diperlukan.
- Sekali-sekali dapat memberikan tanggapan atau komentar jika dirasa perlu atau untuk
lebih memperjelas keterangan yang diberikan pasien.
4. Sesi Memberikan Balikan (Feedback)
8
Memberikan balikan merupakan suatu proses yang menjadi bagian dari proses
mendengarkan. Memberikan balikan dengan baik baru dapat terlaksana jika dokter
memdengarkan dan memperhatikan apa-apa yang disampaikan oleh pasien maupun sikap dan
bahasa nonverbal pasien. Memberikan balikan dapat dilakukan dengan cara menguatkan
pernyataan pasien (positive feedback) atau membantah pasien (negative feedback). Dalam
proses ini perlu diperhatikan beberapa hal :
- Dalam memberikan balikan harus menggunakan bahasa yang halus dan tidak
menimbulkan perasaan dihakimi bagi pasien.
- Dilakukan setelah pasien selesai menyampaikan pendapat dan tidak menginterupsi
pernyataan pasien.
- Tidak berlebih-lebihan.
- Memberikan tanggapan yang dapat dimengerti pasien.
- Dilakukan dengan jujur dan diharapkan dapat memberikan rasa nyaman dan pengertian
yang lebih dari pasien tentang kondisinya.

5.4 KETERAMPILAN KOMUNIKASI DALAM ANAMNESIS

Ketrampilan komunikasi merupakan keterampilan yang sangat penting dimiliki oleh


dokter dalam tugasnya mengumpulkan informasi dari pasien atau keluarga pasien. Dengan
komunikasi yang dilakukan dengan cepat, sederhana, dan efektif, akan diperoleh informasi
yang akurat.
Membangun hubungan dokter dan pasien adalah tahap komunikasi yang harus
diciptakan lebih dahulu, agar hal-hal yang menghambat kelancaran proses komunikasi dapat
dihindari. Dengan terciptanya hubungan antara dokter dan pasien/keluarga pasien, maka
pasien/keluarga pasien akan merasa senang dan bebas menjawab pertanyaan yang diajukan
dokter. Pasien/keluarga pasien akan menjawab dengan lancar dan akurat, sehingga diperoleh
informasi yang sebenarnya. Langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh dokter untuk
membangun hubungan dokter-pasien adalah:
1. Mengucapkan salam pada saat pasien masuk ke ruang praktek. Biasanya salam yang
diucapkan berupa Selamat pagi. atau Selamat siang. ataupun Selamat malam,
tergantung situasi.
2. Memperkenalkan diri kepada pasien: Saya Dokter Anna. atau Saya Dokter Tony.

9
3. Mendengarkan secara aktif, misalnya dengan memberikan respon verbal (Ya, saya
mengerti. atau Ooo, begitu. atau Ya, anda benar.) atau non-verbal (menganggukkan
kepala).
4. Memberikan kesempatan pasien untuk menyampaikan keluhan dan tidak memotong
pembicaraan pasien. Adakalanya pasien berbicara terus-menerus sampai kepada hal-hal
yang tidak berhubungan dengan penyakitnya, pada saat seperti ini dokter harus
mengalihkan kembali pasien ke topik pembicaraan yang berkaitan dengan keluhannya.
5. Menggunakan bahasa yang bisa dipahami pasien. Bahasa yang digunakan disesuaikan
dengan usia, bahasa ibu, dan tingkat pendidikan pasien. Jangan menggunakan istilah-
istilah medis, gunakanlah istilah-istilah padanannya dalam bahasa sehari-hari.
6. Mempertahankan kontak mata dengan pasien, untuk menunjukkan bahwa dokter
memberikan perhatian penuh kepada pasien. Kontak mata dilakukan pada awal anamnesis
dan kemudian dilakukan pada interval-interval tertentu. Jangan melakukan kontak mata
terus-menerus, karena pasien mungkin akan merasa terganggu atau terintimidasi.
7. Menunjukkan empati, dengan

A. ANAMNESIS
Anamnesis adalah wawancara yang dilakukan terhadap seseorang atau sekelompok
orang dengan tujuan mengumpulkan data. Anamnesis dapat dilakukan oleh dokter kepada
pasiennya, perawat pada pasiennya, petugas kesehatan lain terhadap pasien/klien, ataupun
psikolog terhadap kliennya. Anamnesis dapat dilakukan pada orang yang bersangkutan
(anamnesis) ataupun pada keluarga/teman dekat/orang yang mengetahui keadaan pasien
tersebut (hetero/alloanamnesis).

B. ANAMNESIS IDENTITAS
Identitas pasien yang perlu dianamnesis adalah:
1. Nama lengkap.
Nama sangat penting agar menghindari tertukar dengan orang lain, terutama dalam
pencatatan (medical record). Melalui medical record, kita bisa melihat riwayat penyakit
yang pernah diderita pasien sebelumnya dan riwayat pengobatannya.
Selain itu, mengetahui nama bisa digunakan untuk membuat suasana anamnesis lebih
akrab, yaitu dengan memanggilnya dengan sebutan Bu Anna, atau Pak Amin, atau
Iwan, dan sebagainya.

10
Nama juga bisa menunjukkan kaitannya dengan suku atau agama tertentu. Nama
Hasibuan berkaitan dengan suku Batak, nama Cut biasanya adalah orang Aceh, nama
Joyohadikusumo berkaitan dengan suku Jawa, dan sebagainya. Nama Nurul Hidayah
biasanya beragama Islam, Nama Magaretha Kristiani biasanya beragama Kristen, nama
I Wayan Sukarsa biasanya beragama Hindu, dan sebagainya.
2. Umur pasien.
Selain untuk kelengkapan identitas, umur juga bisa digunakan untuk memikirkan
kecenderungan penyakit pada usia tersebut. Ada penyakit yang cenderung mengenai bayi
baru lahir (neonatus), ada yang cenderung mengenai balita, ada yang cenderung mengenai
orang lanjut usia, dan sebagainya. Misalnya tetanus neonatorum adalah penyakit yang
hanya menyerang neonatus.Cacar air, difteri, dan campak cenderung mengenai anak-anak.
Hipertensi dan stroke cenderung menyerang orang lanjut usia.
3. Jenis kelamin.
Selain untuk kelengkapan identitas, jenis kelamin dapat dikaitkan dengan penyakit
tertentu.Penyakit yang berkaitan dengan haid dan kehamilan hanya dapat diderita
wanita.Kelainan pada prostat dan testis hanya bisa diderita oleh pria.
4. Alamat (kalau bisa dengan nomor telpon).
Selain untuk kelengkapan identitas, alamat bisa digunakan untuk menghubungi pasien
apabila ada yang harus dipastikan lebih lanjut.Alamat juga bisa dijadikan gambaran
tentang kondisi lingkungan pasien, yang berkaitan dengan higiene, sanitasi, dan kepadatan
penduduk.Alamat juga dapat membedakan kelas ekonomi penghuninya.
5. Pekerjaan.
Selain untuk kelengkapan identitas, pekerjaan dapat memberikan informasi tentang status
sosial-ekonomi seseorang.Pekerjaan juga bisa dikaitkan dengan tingkat pendidikan
seseorang.Selain itu, pekerjaan dapat menjadi risiko penyakit tertentu, misalnya orang
yang bekerja di pabrik yang bising cenderung menderita gangguan pendengaran.

Untuk heteroanamnesis, juga tanyakan nama, umur, pekerjaan, alamat, dan hubungan
pengantar dengan penderita.

C. ANAMNESIS KELUHAN UTAMA


Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan pasien, keluhan yang
menyebabkan pasien datang berobat.Kadang pasien tanpa diminta telah bercerita sendiri.
11
D. ANAMNESIS RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG (RPS)
Berdasarkan keluhan utama, dilakukan penggalian lebih mendalam dengan
menanyakan riwayat penyakit sekarang, mulai dari:
1. Onset: kapan pertama kali muncul keluhan.
2. Frekuensi: berapa sering keluhan muncul.
3. Sifat munculnya keluhan: apakah keluhan muncul secara akut (mendadak), kronis (sudah
lama), atau intermitten (hilang timbul).
4. Durasi: sudah berapa lama menderita keluhan.
5. Sifat sakit: sakitnya seperti apa. Misalnya untuk sakit kepala: apakah sakitnya terus-
menerus, atau hilang-timbul, atau berkaitan dengan denyut nadi, atau bila menunduk, dsb.
6. Lokasi: di mana letak pasti keluhan, apakah tetap, menjalar, atau berpindah-pindah.
7. Hubungan dengan fungsi fisiologis lain: apakah ada gangguan sistem fisiologis yang
diakibatkan oleh keluhan saat ini, misalnya gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, dan
sebagainya.
8. Akibat yang timbul terhadap aktivitas sehari-hari, seperti tidak dapat bekerja, hanya bisa
tiduran, dan sebagainya.
9. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan: pemberian obat, dsb.

E. ANAMNESIS RIWAYAT PENYAKIT DAHULU (RPD)


Ditanyakan riwayat penyakit sebelumnya. Apakah pasien pernah menderita keluhan
yang sama sebelumnya. Apakah pasien pernah harus rawat inap, dan karena apa, serta berapa
lama. Bila pernah mendapat pengobatan, tanyakan riwayat pengobatan yang telah dijalani.

F. ANAMNESIS RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA (RPK)


Beberapa penyakit dapat diturunkan oleh keluarga. Selain itu penyakit menular akan
sangat mungkin ditularkan oleh anggota keluarga. Karena itu, gali kemungkinan adanya
penyakit yang sama yang diderita oleh anggota keluarga yang lain.

G. ANAMNESIS KELUHAN PENYERTA (BERDASARKAN SISTEM)


Untuk menganamnesis keluhan penyerta, agar tidak ada yang terlewatkan, maka
dilakukan anamnesis berdasarkan sistem-sistem yang ada dalam tubuh.Dalam anamnesis
12
sistem, kemampuan eksplorasi dokter terhadap sistem dalam tubuh pasien sangat ditentukan
oleh pemahaman macam-macam keluhan yang ada pada setiap sistem. Lengkap-tidaknya
keluhan yang dapat digali oleh dokter dan pasiennya akan lebih dapat mengarahkan pada
diagnosis yang tepat.

Pada dasarnya, tubuh manusia dibagi menjadi beberapa sistem. Berikut ini adalah
sistem pada tubuh dan keluhan yang biasa disampaikan pasien berkaitan dengan sistemnya:
1. Sistem kulit: bercak-bercak putih, bercak-bercak merah, koreng, benjolan.
2. Sistem respirasi: batuk, pilek, sesak nafas.
3. Sistem pencernaan: mual, muntah, sembelit, diare, mulas, kembung.
4. Sistem kardiovaskuler: berdebar, lemah.
5. Sistem otot, tulang dan sendi: pegal, keseleo, linu, sakit berjalan.
6. Sistem urogenital: kencing merah, keputihan, haid terlambat.
7. Sistem saraf dan indera: sakit kepala, cemas, pusing, tremor.
8. Sistem endokrin: banyak makan, banyak kencing, gangguan haid.

Pertanyaan yang diajukan dapat berupa:


1. Adakah bercak putih? (berhubungan dengan sistem kulit).
2. Apakah ada batuk? (berhubungan dengan sistem respirasi).
3. Apakah ada gangguan nafsu makan? (berhubungan dengan sistem pencernaan).
4. Apakah dada terasa nyeri? (berhubungan dengan sistem kardiovaskuler).
5. Apakah badan terasa pegal? (berhubungan dengan sistem otot, tulang dan sendi).
6. Apakah haid anda terlambat? (berhubungan dengan sistem urogenital).
7. Apakah anda merasa sakit kepala? (berhubungan dengan sistem saraf dan indera).
8. Apakah anda merasa buang air kecil lebih sering? (berhubungan dengan sistem endokrin).

H. MENYUSUN HASIL ANAMNESIS DAN RESUME ANAMNESIS


Merangkai jawaban yang diberikan oleh pasien menjadi suatu alur riwayat penyakit
yang kronologis merupakan ketrampilan yang harus dilatih.Jawaban pasien tidak harus
semuanya ditulis, harus dipilah-pilah yang berguna dalam perencanaan pemeriksaan fisik,
diagnosis, ataupun terapi.
Susunlah hasil anamnesis dimulai dari waktu dan tanggal anamnesis, identitas pasien,
keluhan utama, riwayat penyakit sekarang (RPS), riwayat penyakit dahulu (RPD), riwayat
penyakit keluarga (RPK), dan anamnesis sistem.
13
Hasil anamnesis yang biasanya berupa uraian dapat ditulis dalam resume anamnesis.
Resume anamnesis hanya berisi symptom/keluhan positif untuk penyakit tersebut atau
keluhan yang disangkal bila keluhan/tanda yang ditanyakan tersebut bermanfaat untuk
diagnosis.
Contoh resume anamnesis adalah sebagai berikut:
Anak laki-laki, 3 tahun, diare (+),lendir dalam feces (-),darah dalam feces (-), batuk (-), badan
lemah (-), minum banyak (+), suara parau.
Kesan yang diperoleh dari resume anamnesis tersebut menjadi jelas yaitu anak laki-laki 3
tahun dengan diare tanpa dehidrasi, disertai gejala infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).

DAFTAR TILIK LATIHAN KOMUNIKASI


N Nilai
Aspek yang dinilai
o 0 1 2
A. Aspek komunikasi

14
1 Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2 Mendengarkan secara aktif
3 Tidak memotong pembicaraan pasien selama masih
relevan
4 Menggunakan bahasa yang bisa dipahami pasien
5 Mempertahankan kontak mata dengan pasien
6 Menunjukkan empati

B. Aspek anamnesis
1 Menanyakan identitas pasien: nama, umur, jenis kelamin,
alamat, pekerjaan
2 Menanyakan keluhan utama
3 Menggali riwayat penyakit sekarang:
Onset
Frekuensi
Sifat munculnya keluhan
Durasi
Sifat sakit
Lokasi
Hubungan dengan fungsi fisiologis
Akibat yang timbul terhadap aktivitas sehari-hari
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan
4 Menggali riwayat penyakit dahulu:
Ada tidaknya penyakit seperti ini sebelumnya
Penyakit lain yang pernah diderita
5 Menggali riwayat penyakit keluarga
Ada tidaknya penyakit serupa
6 Menanyakan keluhan penyerta (berdasarkan sistem)
7 Membuat resume anamnesis

C. Keterampilan Empati
1 Memperhatikan sikap non verbal pasien saat berbicara
2 Menatap mata pasien untuk menunjukkan perhatian dan
kesungguhan mendengarkan
3 Memperhatikan keluhan yang disampaikan tanpa
melakukan interupsi yang tidak perlu
4 Tetap menunjukkan raut wajah dan sikap dan tenang
apabila pasien menunjukkan sikap marah, sedih,
menangis, takut, dan sebagainya
5 Memberikan komentar atau kata-kata yang menunjukkan
dokter mampu merasakan suasana emosi/perasaan pasien
6 Memberikan komentar atau kata-kata yang menunjukkan
dokter mampu memahami dan menghargai perasaan
pasien
7 Mengenali sudut pandang pasien secara implisit
8 Menghargai pendapat pasien dengan tidak menolak
pendapat tersebut

15
9 Mengkonfirmasi kepada pasien tentang suasana
perasaannya
10 Berbagi perasaan dan pengalaman tentang masalah yang
dihadapi
D. Keterampilan Bertanya
1 Menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka dalam
menggali informasi tentang keluhan pasien
2 Menggunakan pertanyaan-pertanyaan tertutup dalam
menggali informasi tentang riwayat penyakit terdahulu
3 Menggunakan pertanyaan-pertanyaan tertutup dalam
menggali informasi tentang riwayat penyakit keluarga
4 Menggunakan pedoman Macleods clinical examination
dalam menggali informasi tentang riwayat penyakit saat
ini
E. Keterampilan Mendengarkan
1 Perhatikan seluruh hal yang dikatakan oleh pasien dengan
seksama dan serius dan menjadi pendengar yang baik
terhadap keluhan pasien.
2 Menunjukkan ekspresi atau empati terhadap masalah
yang dihadapi pasien.
3 Tidak mengerjakan hal-hal lain seperti menelpon saat
anamnesis
4 Dokter diharapkan bisa memilah informasi yang penting
dan mencatat hal-hal tersebut untuk kemudian dibuat
suatu resume nantinya.
5 Tidak melakukan interupsi jika tidak diperlukan
6 Sekali-sekali dapat memberikan tanggapan atau komentar
jika dirasa perlu atau untuk lebih memperjelas keterangan
yang diberikan pasien.
F. Memberikan Feedback
1 Memberikan balikan dengan cara menguatkan pernyataan
pasien (positive feedback) atau membantah pasien
(negative feedback).
2 Menggunakan bahasa yang halus dan tidak menimbulkan
perasaan dihakimi bagi pasien.
3 Dilakukan setelah pasien selesai menyampaikan pendapat
dan tidak menginterupsi pernyataan pasien.
4 Tidak berlebih-lebihan.
5 Memberikan tanggapan yang dapat dimengerti pasien.
6 Dilakukan dengan jujur dan diharapkan dapat
memberikan rasa nyaman dan pengertian yang lebih dari
pasien tentang kondisinya.

Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi kurang benar
2 = dilakukan dengan benar
BAB VI

KETERAMPILANPEMERIKSAAN TANDA VITAL

16
6.1 PENDAHULUAN
Pemeriksaan tanda vital pada pasien merupakan suatu pemeriksaan yang sangat
penting peranannya di dalam penegakkan diagnosa, penatalaksanaan sampai pada
prognosis.Pemeriksaan tanda vital juga sering digunakan untuk menentukan apakah
seseorang sudah meninggal atau masih hidup.Sebenarnya pemeriksaan tanda vital tidak
hanya diperlukan untuk orang yang menderita penyakit tetapi juga pada orang sehat yang
melakukan aktivitas tertentu misalnya atlit, pekerja berat, operator alat-alat vital dan lain-
lain.Dengan demikian maka pemeriksaan tanda vital menjadi pemeriksaan rutin yang tidak
boleh dianggap remeh dan ditinggalkan.Tanda vital yang diperiksa meliputi suhu badan,
frekuensi nafas, frekuensi nadi dan tekanan darah.

Suhu badan
Suhu badan diperiksa dengan termometer badan, dapat berupa termometer air raksa
atau termometer elektrik.Pemeriksaan dapat dilakukan pada mulut, aksila dan
rektum.Pengukuran suhu melalui mulut biasanya lebih mudah dan hasilnya lebih tepat
dibandingkan melalui rektum, tetapi air raksa dengan kaca tidak seyogyanya dipakai untuk
mulut, pada penderita yang tidak sadar, gelisah atau tidak dapat menutup mulutnya.
Pemeriksaan secara rektum biasanya memberikan hasil pemeriksaan yang lebih tinggi sebesar
0,4-0,5 derajat dibandingkan lewat mulut.

Denyut nadi
Jantung bekerja memompa darah ke sirkulasi tubuh (oleh ventrikel kiri) dan paru
(oleh ventrikel kanan).Melalui ventrikel kiri, disemburkan darah ke aorta dan kemudian
diteruskan ke arteri seluruh tubuh.Sebagai akibatnya, timbullah suatu gelombang
tekananyang bergerak cepat pada arteri dan dapat dirasakan sebagai denyut nadi.Dengan
menghitung frekuensi denyut nadi, dapat diketahui frekuensi denyut jantung dalam satu
menit.

Tekanan darah
Tekanan darah pada sistem arteri bervariasi sesuai dengan siklus jantung yaitu
memuncak pada waktu sistole dan sedikit menurun pada waktu diastole.Beda antara tekanan
sistole dan diastole disebut tekanan nadi. Pada waktu ventrikel berkontraksi, darah akan
dipompakan ke seluruh tubuh. Keadaan ini disebut keadaan sistole, dan tekanan aliran darah
pada saat itu disebut tekanan darah sistole.Pada saat ventrikel sedang rileks, darah dari atrium
masuk ke ventrikel, tekanan aliran darah pada waktu ventrikel sedang relaks tersebut disebut
tekanan darah diastole.Tingginya tekanan darah dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya
aktivitas fisik, keadaan emosi, rasa sakit, suhu sekitar, penggunaan kopi, temabakau adn lain-
lain.

Pernafasan
Bernafas adalah suatu tindakan yang tidak disadari, diatur oleh batang otak dan
dilakukan dengan bantuan otot-otot pernafasan.Pada waktu inspirasi, diafragma dan otot-otot
interkostalis berkontraksi, memperluas rongga toraks dan memekarkan paru-paru. Dinding
dada akan bergerak ke atas, ke depan, dan ke lateral, sedangkan diafragma bergerak ke
bawah. Setelah inspirasi berhenti, paru-paru akan mengkerut, diafragma akan naik secara
pasif dan dinding dada akan kembali ke posisi semula.

6.2 PELAKSANAAN LATIHAN


1. Cara pemeriksaan suhu badan

17
Alat yang diperlukan : termometer air raksa ukuran dewasa dan anak bayi
a. Pemeriksaan pada mulut (oral)

1. Kibaskan termometer sampai permukaan air raksa menunjuk di bawah 35,5C.

2. Masukkan termometer di bawah lidah penderita. Mintalah penderita untuk


menutup mulut, dan tunggu sampai 3-5 menit.

3. Kemudian bacalah termometer teresebut, pasangkan lagi selama satu menit,


dan baca kembali. Kalau suhu masih naik, ulangi prosedur di atas sampai suhu
tetap (tidak naik lagi)

Apabila penderita baru minum dingin atau panas, pemeriksaan dengan cara ini
harus ditunda selama 10-15 menit dulu agar minuman tidak mempengaruhi hasil
pengukuran.
b. Pemeriksaan pada rektum

Pemeriksaan pada rektum ini biasanya dilakukan terhadap bayi


Pilihlah termometer dengan ujung yang bulat, beri pelumas dan masukkan dalam
anus sedalam 3-4 cm, dengan arah ke umbilikus, cabut dan baca setelah 3 menit.
c. Pemeriksaan pada ketiak

1. Kibaskan termometer sampai permukaan air raksa menunjuk di bawah 35,5C

2. Tempatkan ujung termometer yang berisi air raksa pada apex fossa axillaris
kirid engan sendi bahu adduksi maksimal

3. Tunggu sampai 3-5 menit, kemudian dilakukan pembacaan

Catatan : pada prakteknya untuk menghemat waktu pada saat menunggu pengukuran suhu
juga dibarengi dengan pemeriksaan nadi dan frekuensi nafas.
2. Cara pemeriksaan frekuensi nadi

a. Penderita dapat dalam posisi duduk ataupun berbaring. Lengan dalam posisi bebas
(relaks), perhiasan dan jam tangan dilepas

b. Periksalah denyut nadi pergelangan tangan dengan menggunakan jari telunjuk dan
jari tengah anda, pada sisi fleksor bagian lateral dari tangan penderita, tepat pada
a. Radialis

c. Hitunglah berapa denyutan dalam satu menit dengan cara menghitung denyutan
dalam 15 detik, kemudian hasilnya dikalikan dengan empat. Takikardia (>100
kali/menit); bradikardia (<60 kali/menit)

d. Perhatikan pula irama dan kuantitas denyutannya. Irama (reguler/ireguler),


gelombang (tardus/gelombang nadi rendah; celer /gelombang nadi tinggi), isi
(cukup/besar/kecil/tak teraba).

e. Catatlah hasil pemeriksaan dari lengan kiri dan kanan.

18
3. Pemeriksaan frekuensi nafas

a. Penderita diminta melepas baju

b. Secara inspeksi, perhatikan secara menyeluruh gerakan pernafasan (lakukan ini


tanpa mempengaruhi psikis penderita)

c. Kadang diperlukan cara palpasi, untuk sekalian mendapatkan perbandingan antara


kanan dan kiri

d. Pada inspirasi, perhatikanlah : gerakan ke samping iga, pelebaran sudut


epigastrium dan penambahan besarnya ukuran anteroposterior dada

e. Pada ekspirasi, perhatikanlah : masuknya kembali iga, menyempitnya sudut


epigastrium, dan penurunan besarnya ukuran anteroposterior dada

f. Perhatikan pula adanya penggunaan otot pernafasan pembantu

g. Catatlah irama, frekuensi dan adanya kelainan gerakan

4. Pemeriksaan tekanan darah

Alat : tensimeter dan stetoskop


a. Siapkan alat tensimeter dan stetoskop

b. Penderita dapat dalam keadaan duduk atau berbaring

c. Lengan dalam keadaan bebas dan relaks, bebaskan dari tekanan oleh karena
pakaian

d. Pasang manset sedemikian rupa sehingga melingkari lengan secara rapi dan tidak
terlalu ketat, kira-kira 2,5 5 cm di atas siku

e. Tempatkan lengan penderita sedemikian sehingga siku dalam keadaan sedikit


fleksi

f. Carilah arteri brachialis, biasanya terletak di sebelah medial tendo biseps

g. Dengan satu jari meraba arteri brachialis, pompa manset dengan cepat sampai
kira-kira 30 mmHg di atas tekanan ketika pulsasi arteri brachialis menghilang

h. Turunkan tekanan manset perlahan-lahan sampai denyutan arteri brachialis teraba


kembali. Inilah tekanan sistolik palpatoir

i. Kemudian ambillah stetoskop, pasangkan corong bel stetoskop pada a. brachialis

j. Pompa manset kembali, sampai kurang lebih 30 mm Hg di atas tekanan sistolik


palpatoir

19
k. Kemudian secara perlahan turunkan tekanan manset dengan kecepatan kira-kira 2-
3 cm Hg perdetik. Perhatikan saat dimana denyutan a. Brachialis terdengar. Inilah
tekanan sistolik. Lanjutkanlah penurunan tekanan manset sampai suara denyutan
melemah dan kemudian menghilang. Tekanan pada saat itu adalah tekanan
diastolik.

l. Apabila menggunakan tensimeter air raksa, usahakan agar posisi manometer


selalu vertikal, dan pada waktu membaca hasilnya, mata harus berada segaris
horisontal dengan level air raksa

m. Pengulangan pengukuran dilakukan setelah menunggu beberapa menit setelah


pengukuran pertama.

CHECK LIST
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN TANDA VITAL

NAMA : NIM :

A. PENGUKURAN TEKANAN DARAH


No. KRITERIA SKOR
0 1 2
1. Pemeriksa menempatkan diri di sebelah kanan
pasien
2. Memberi penjelasan pemeriksaan
3. Menempatkan penderita dalam keadaan
duduk/berbaring dengan lengan rileks, sedikit
menekuk pada siku dan bebas dari tekanan pakaian
4. Meminta pasien untuk menyingsingkan lengan baju
atas sehingga tidak menghalangi bagian yang akan
dipasang manset (pemeriksa dapat membantu
pasien menyingsingkan lengan baju)
5. Menempatkan tensimeter dengan membuka aliran
air raksa, mengecek saluran pipa dan meletakkan
manometer vertikal
6. Memeriksa stetoskop dengan corong bel yang
terbuka
7. Memasang manset sedemikian rupa sehingga
melingkari lengan atas secara rapi dan tidak terlalu
ketat (2 cm di atas siku) dan sejajar jantung
8. Dapat meraba pulsasi arteri brachialis di fossa
cubiti sebelah medial
9. Dengan satu jari meraba pulsasi a. Brachialis,

20
dengan cepat memompa manset sampai 30 mmHg
di atas hilangnya pulsasi/ ingat dan laporkan
hasilnya
10. Menurunkan tekanan manset perlahan-lahan sampai
pulsasi arteria teraba kembali dan melaporkan hasil
ini sebagai tekanan sistolik palpatoir
11. Mengambil stetoskop dan memasang corong bel
pada tempat perabaan pulsasi
12. Memompa kembali manset sampai 30 mmHg di
atas tekanan sistolik palpatoir
13. Mendengarkan melalui stetoskop, sambil
menurunkan perlahan-lahan (3 mmHg) perdetik dan
melaporkan saat mana mendengar bising pertama
sebagai tekanan sistolik
14. Melanjutkan penurunan tekanan manset sampai
suara bising yang terakhir sehingga setelah itu tidak
terdengar bising lagi (sebagai tekanan diastolik)
15. Mencatat dan melaporkan hasil tekanan sistolik
dan diastolik

B. PEMERIKSAAN SUHU BADAN

No. KRITERIA SKOR


0 1 2
1. Bersihkan ujung termometer dengan kapas alkohol
2. Kibaskan termometer sampai permukaan air raksa
menunjuk di bawah 35,5C
3. Tempatkan ujung termometer yang berisi air raksa
pada apex fossa axillaris kiri atau kanan dengan
sendi bahu adduksi maksimal dan bebas dari
pakaian
4. Tunggu sampai 3-5 menit, kemudian dilakukan
pembacaan *
5. Setelah digunakan, bersihkan ujung termometer
dengan kapas alkohol
Catatan :sambil menunggu hasil pengukuran suhu dapat melakukan tahapan
pemeriksaan nadi

C. PEMERIKSAAN NADI

No. KRITERIA SKOR


0 1 2
1. Meminta kepada pasien untuk melepaskan
perhiasan yang melekat di tempat yang akan
diperiksa
2. Meletakkan lengan yang akan diperiksa dalam
keadaan rileks
3. Menggunakan jari telunjuk dan jari tengah untuk
meraba a. Radialis

21
4 Menghitung frekuensi denyut nadi minimal 15 detik
5. Mencatat dan melaporkan hasil frekuensi nadi
dalam satu menit, irama dan kualitas denyutan

D. PEMERIKSAAN FREKUENSI NAFAS

No. KRITERIA SKOR


0 1 2
1. Meminta penderita melepas baju (duduk atau tidur)
2. Melakukan inspeksi atau melakukan palpasi dengan
kedua tangan pada punggung/dada untuk
menghitung gerakan pernafasan minimal selama 15
detik
3. Mencatat dan melaporkan hasil frekuensi nafas
permenit

Akhir pemeriksaan :
No. KRITERIA SKOR
0 1 2
1. Memberikan informasi hasil pemeriksaan yang
telah dilakukan kepada pasien

Skor 0 : tidak dilakukan


Skor 1 : dilakukan tetapi tidak sempurna
Skor 2 : dilakukan dengan sempurna

22
BAB VII

KETERAMPILANPEMERIKSAAN REFLEKS, FUNGSI MOTORIS


DAN FUNGSI SENSORIS

7.1 PENDAHULUAN
Anamnesis dan pemeriksaan neurologi yang dilakukan dengan akurat mampu
menentukan lokasi lesi sepanjang aksis saraf. Aksis saraf terbentang mulai dari korteks otak
sampai bagian efektor otot yang mempunyai fungsi khusus. Secara fungsional sistem saraf
terdiri dari sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Susunan saraf pusat terdiri dari otak
dan medula spinalis yang berfungsi menganalisis, mensintesis, dan mengintegrasikan
berbagai masukan dari saraf sensorik maupun dari bangunan lain yang terdapat di otak dan
medulla spinalis. Susunan saraf perifer meliputi organ sensoris dan efektor Pemeriksaan
neurologi bertujuan menjelaskan adanya disfungsi susunan saraf dan menilai kemampuan
fungsi susunan saraf yang masih ada. Pemeriksaan juga bertujuan menentukan kemungkinan
lokasi anatomis dari lesi. Apakah masalah disebabkan oleh lesi pada otak, medula spinalis,
saraf perifer, atau otot?
Pada umumnya pemeriksaan neurologi harus merupakan pemeriksaan fisik secara
umum, dimana fungsi susunan saraf mendapat perhatian khusus. Urutan pemeriksaan
neurologi terdiri dari penilaian umum terhadap fungsi serebral, pemeriksaan saraf otak,
penilaian fungsi motorik, dan penilaian fungsi sensorik.

23
Pemeriksaan neurologi bertujuan menjelaskan adanya disfungsi susunan saraf dan
menilai kemampuan fungsi susunan saraf yang masih ada. Pemeriksaan juga bertujuan
menentukan kemungkinan lokasi anatomis dari lesi. Apakah masalah disebabkan oleh lesi
pada otak, medula spinalis, saraf perifer, atau otot.

7.2 PEMERIKSAAN REFLEKS


Refleks terbagi menjadi 2, yaitu refleks fisiologis dan refleks patologi. Untuk kali ini
kita hanya akan membahas refleks fisiologis. Refleks fisiologis ialah muscle stretch reflexes,
yang muncul sebagai akibat rangsangan terhadap tendo atau periosteum atau kadang-kadang
terhadap tulang, sendi, fascia, atau aponeurosis. Oleh karena rangsangan disalurkan melalui
organ sensorik yang lebih dalam maka ada pula yang menyebutnya sebagai deep tendon
refleks terdiri dari refleks biseps, triseps, brakhioradialis, patella, dan achilles.

Refleks dapat dinilai menggunakan kriteria kuantitatif, sebagai berikut :


0 = negatif
+1 = lemah (dari normal)
+2 = normal
+3 = meninggi, belum patologis
+4 = hiperaktif, sering disertai klonus, merupakan indikator penyakit

Refleks biseps
Lengan penderita dibengkokkan pada siku. Lantas palu refleks kita ketokkan pada
tendon otot biseps sedikit di bawah lipatan siku. Bila positif, maka akan tampak kontraksi
otot biseps.

24
Gambar 1. Refleks biceps Gambar 2. Refleks triceps

Refleks triseps
Kedudukan lengan adalah sama dengan waktu kita memeriksa refleks biseps. Apabila telah
dipastikan bahwa lengan penderita sudah benar-benar relaksasi pukullah tendo yang lewat
fosa olekrani. Refleks positif ditandai dengan kontraksi sedikit menyentak, gerakan ini dapat
dilihat dan sekaligus dirasakan oleh lengan pemeriksa yang menopang lengan penderita.

Refleks lutut
Refleks ini dikenal juga sebagai Refleks Westphal atau lebih populer dengan nama
singkatan K.P.R (knee pees refleks). Refleks ini dapat dilakukan dalam keadaan duduk atau
berbaring. Pada penderita yang duduk, kaki yang hendak diperiksa hendaknya diletakkan di
atas lutut kaki yang satu lagi. Pada penderita yang berbaring terlentang, pemeriksa harus
meletakkan tangannya di bawah lutut penderita, sehingga kaki yang hendak diperiksa berada
dalam keadaan fleksi, namun harus dijaga supaya tumit kaki itu masih tetap berada
(menyentuh) di atas tempat tidur. Setelah itu, dilakukan perkusi pada ligamentum patella.
Untuk mengetahui apakah K.P.R. tersebut positif atau tidak, hendaklah kita perhatikan
apakah ada atau tidak ada kontraksi dari otot kuadriseps femoris. K.P.R dikatakan positif bila
terlihat ada kontraksi dari otot kuadriseps femoris yaitu terjadi ekstensi tungkai bawah.

Gambar 3. Refleks lutut (KPR)

25
Refleks Achilles
Refleks ini di klinik lebih terkenal dengan singkatan A.P.R. (Achilles pees refles).
Pada penderita yang duduk, kita suruh berlutut di atas tempat tidur. Berlutut ini hendaknyalah
sedemikian rupa, sehingga kedua kakinya menonjol melewati pinggir dari tempat tidur
tersebut.

Gambar 4. Refleks achiles

Refleks Superfisial Abdomen (Refleks dinding perut)


Untuk menimbulkan refleks dinding perut ini, penderita harus tidur terlentang dengan kedua
lengan di samping tubuhnya. Ujung gagang palu refleks kita lantas goreskan pada dinding
perut itu. Penggoresan ini kita lakukan dari lateral ke medial, berturut-turut pada perut bagian
atas, tengah, dan bawah. Bila refleks dinding perut ini positif, maka akan timbul kontraksi
dari otot-otot dinding perut.

Gambar 5. Refleks dinding perut

26
7.3 PENILAIAN FUNGSI MOTORIS

A. Tonus

Untuk menilai keadaan tonus suatu otot dapat dilakukan dengan cara melakukan
fleksi dan ekstensi pada sendi yang digerakkan oleh otot tersebut, seperti misalnya untuk
menilai tonus otot biseps kita lakukan fleksi dan ekstensi pada sendi siku. Gerakan-gerakan
ini dapat pula kita lakukan pada sendi-sendi yang lain seperti misalnya sendi lutut, sendi
pergelangan tangan, pergelangan kaki dan lain-lain. Gerakan fleksi dan ekstensi itu kita
lakukan dengan kecepatan yang berbeda-beda. Sementara kita melakukan gerakan-gerakan
itu penderita harus dalam keadaan santai. Sebaiknya kita beritahu padanya, supaya ia
melemaskan tungkai atau lengan yang akan diperiksa.
Tonus yang menurun dinamakan hipotoni, dan yang lenyap sama sekali dinamakan
atoni. Bi1a ada kelumpuhan otot yang dibarengi oleh tonus yang menurun maka kita katakan
bahwa penderita memperlihatkan paralisis flaksid. Tonus yang meningkat dinamakan
hipertoni. Bila ada kelumpuhan otot yang dibarengi oleh tonus yang meningkat maka kita
katakan bahwa penderita itu rnemperlihatkan paralisis spastik.
Tonus yang meningkat dibedakan dalam dua macam, yaitu :

Gambar 6. Pemeriksaan tonus otot


a. Spastisitas
Anggota tubuh misalnya lengan, yang biasanya dalam posisi fleksi, kita lempangkan. Dalam
melakukan ekstensi ini, kita akan merasakan adanya suatu tahanan. Tetapi tahanan ini tiba-
tiba lenyap sehingga sekonyong-konyong gerakan ekstensi yang dilakukan tidak mendapat
perlawanan lagi. Adanya suatu tahanan yang lantas hilang dengan sekonyong-konyong
sewaktu dilakukan ekstensi tersebut dinamai fenomena pisau lipat atau clasp knife
phenomenon. Sementara itu, posisi anggota tubuh bawah biasanya dalarn keadaan ekstensi.

27
Untuk memperlihatkan spastisitas tersebut, kita lakukan fleksi pada tungkai tersebut. Bila
tahanan yang kita rasakan lenyap dengan sekonyong-konyong maka kita katakan bahwa pada
tungkai tersebut terdapat fenomena pisau lipat.

b. Rigiditas
Rigiditas merupakan manifestasi gangguan tonus otot dimana pada penilaian tonus otot
dirasakan adanya tahanan yang hilang timbul secara berselingan. Sewaktu kita melakukan
fleksi atau ekstensi pada suatu anggota tubuh (lengan atau tungkai) maka kita
akan rasakan adanya suatu tahanan. Bila kita lawan tahanan tersebut, maka akan kita rasakan
bahwa tahanan tersebut akan mengalah sebentar. Tetapi segera akan kita rasakan, bahwa ada
tahanan baru. Jadi, sewaktu melakukan fleksi atau ekstensi pada anggota tubuh kita rasakan
adanya tahanan yang tersendat-sendat. Ini dinamakan fenomen roda-bergigi atau cog-wheel
phenomenon. Tonus yang menurun Pada keadaan tonus otot yang menurun dirasakan kendor
pada palpasi, anggota gerak dapat digoyang-goyang dengan mudah, dan tidak ada tahanan
sewaktu dilakukan fleksi atau ekstensi.
B. Tenaga otot

Tenaga atau kekuatan otot itu dapat dinilai menurut skala MRC :
Derajat 0: Paralisis total
Derajat 1: Masih terlihat kontraksi
Derajat 2: Gerak aktif tanpa gravitasi
Derajat 3: Bergerak melawan gravitasi
Derajat 4: Bergerak melawan tahanan
Derajat 5: Kekuatan otot normal

Gambar 7. Penilaian tenaga otot latissimus dorsi Gambar 8. Penilaian tenaga otot biseps
brakhii

28
Gambar 9. Penilaian tenaga otot brakhioradialis Gambar 10. Penilaian tenaga otot triseps
brakhii

Gambar 11. Penilaian tenaga otot iliopsoas Gambar 12. Penilaian tenaga otot
gluteus maksimus
7.4 PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIS
Gangguan pada otak, medula spinalis, dan saraf tepi dapat menimbulkan gangguan
sensoris. Gangguan ini tidak tampak seperti halnya pada gangguan motorik maupun trofi otot.
Gangguan sensoris dapat menimbulkan perasaan semutan atau baal (parestesia), kebas, atau
mati rasa, dan ada pula yang sangat sensitif (hiperestesi).

Pemeriksaan sensibilitas eksteroseptif (protopatik)


a. Pemeriksaan rasa raba
Untuk pemeriksaan ini, kita sentuh kulit penderita dengan kapas. Respons yang kita
harapkan adalah, jawaban "ya", bila kulitnya tersentuh. Sewaktu pemeriksaan kita banding-
bandingkan keadaan perasa raba disisi kanan dengan yang di sisi kiri atau di bagian
proksimal dengan yang di bagian distal. Bila terdapat suatu perbedaan, misalnya di suatu
daerah terasa lebih baik daripada di daerah lainnya, maka pemeriksaan perasa raba di tempat
itu harus dilakukan dengan lebih teliti dan lebih mengkhusus. Bila perasa raba di suatu
tempat adalah terganggu, maka kita katakan bahwa telah terdapat anestesia di daerah tersebut.

29
Gambar 13. Pemeriksaan rasa raba

b. Pemeriksaan rasa nyeri


Untuk pemeriksaan perasa nyeri ini kita pergunakan jarum pentul. Penderita hendaknyalah
dapat membedakan antara "tajam atau tumpul." Bila perasa nyeri itu adalahterganggu, maka
kita katakan bahwa di tempat tersebut terdapat analgesia. Pada pemeriksaan ini dipergunakan
jarum bundel yang digunakan untuk memberikan rangsangan tusuk. Si pemeriksa memegang
jarum itu seperti memeganq pensil. Dengan sekali menusuk jarum itu pada kulit pasien dan
sekali menusuk dengan jari telunjuknya, rangsang tusuk tajam dan tumpul dapat diberikan
secara berselingan.

Gambar 14. Refleks nyeri


c. Pemeriksaan rasa suhu
Untuk pemeriksaan perasa suhu ini kita pergunakan tabung yang berisi air hangat (40-45C)
dan tabung yang berisi air dingin (10-15C). Dengan tabung-tabung ini kita sentuh kulit itu
secara silih-berganti. Respons yang kita harapkan dari penderia adalah : "panas atau dingin."
Bila perasa suhu itu terganggu, maka kita katakan bahwa di tempat tersebut, terdapat
termanestesia.

Pemeriksaan sensibilitas proprioseptif


a. Perasaan gerak (kinestesia)

30
Perasaan gerak adalah perasaan gerak pasif dimana gerakan anggota gerak pasien dilakukan
oleh pemeriksa.

Gambar 15. Pemeriksaan perasa gerak


b. Perasaan getar (palestesia)
Pemeriksaan dilakukan dengan cara menaruh gagang garpu tala kita yang bergetar di atas
tonjolan tulang penderita. Bila penderita merasa adanya getaran, maka ia akan mengatakan:
"getar." Bila penderita tidak merasa adanya getaran, mengatakan "tidak getar." Mula-mula
ujung gagang garpu tala bergetar itu kita letakkan pada bagian dorsal falang terakhir dari ibu
jari kaki, maleolus pada tuberositas tibiae, pada prosessus stiloideus radii dan ulnae dan pada
kondilus humeri.

Gambar 16. Pemeriksaan perasa getar

31
Gambar 17. Pemeriksaan getar pada ujung ibu jari kaki

Pemeriksaan sensibilitas diskriminatif (multimodalitas)


a. Stereognosis
Pemeriksaan stereognosis dapat dilakukan pada penderita dengan meletakan suatu benda
yang dipakainya sehari-hari di tangannya. Dalam keadaan normal, penderita akan dapat
mengenali benda tersebut (misalnya kancing atau uang logam rupiah) dengan mudah. Bila
penderita tidak dapat mengenal benda tersebut maka kita katakan, bahwa ia
memperlihatkan astereognosis. Bila penderita dapat mengenal bentuk dan ukuran benda itu,
tetapi tidak dapat mengatakan nama benda tersebut, maka kita namakan keadaan itu suatu
agnosi taktil.

Gambar 18. Pemeriksaan steregnosis


b. Graphestesia
Perasaan graphestesia merupakan kemampuan untuk mengenali stimulasi berupa angka

32
atau huruf yang ditulis pada kulit penderita.Perasaan diskriminasi spasial Perasaan
diskriminasi spasial atau diskriminasi dua titik merupakan daya untuk mengenali dan
mengetahui dua jenis sensibilitas hasil dua macam perangsangan pada dua tempat.

Gambar 19. Pemeriksaan graphestesia

c. Diskriminasi Spasial
Perasaan diskriminasi spasial atau diskriminasi dua titik merupakan daya untuk mengenali
dan mengetahui dua jenis sensibilitas hasil dua macam perangsangan pada dua tempat yang
berbeda.

Gambar 20. Pemeriksaan diskriminasi spasial

33
DAFTAR TILIK
1. PEMERIKSAAN REFLEKS
Score
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
Meminta izin kepada penderita, mempersilakan berbaring/duduk
1.
dengan rileks
2. Refleks Biceps
Memfleksikan lengan penderita pada sendi
Siku
Meletakkan ibu jari pada tendo achilles kemudian
mengetuknya dengan palu refleks
Mendeskripsikan respons positif dari refleks biseps

3. Refleks Triceps
menopang lengan penderita yang berada dalam keadaan
abduksi dengan lengan bawah yang tergantung bebas
mengetuk tendo m. Triseps

Mendeskripsikan respons positif dari refleks triseps

4. Refleks Lutut (KPR)

Melakukan fleksi pada sendi lutut

34
Mengetuk tendon patela dengan palu refleks
Mendeskripsikan respon positif dari pemeriksaan refleks
tendon lutut
5. Refleks Achilles (A.P.R)
Melakukan dorsofleksi pada kaki penderita dengan
menggunakan tangan pemeriksa
Mengetuk tendon Achilles
Mendeskripsikan respon positif dari pemeriksaan refleks
Achilles
6. Refleks Dinding Abdomen

Meminta pasien tidur


Menggoreskan ujung gagang palu refleks pada dinding perut
dari lateral ke medial
Melakukan tindakan berurutan dari perut atas, tengah dan
bawah
Menilai hasil pemeriksaan
2. PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIK
Score
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
1. Meminta izin kepada penderita, mempersilakan duduk dengan rileks

2. Menilai Tonus otot penderita


Tangan kanan pemeriksa memegang tangan kiri penderita,
tangan kiri memegang sendi siku penderita
Lakukan gerakan fleksi dan ekstensi pada sendi siku

Nilai tonus otot penderita

3. Penilaian tenaga otot pada anggota gerak atas

a. Penilaian tenaga otot latissimus dorsi


Memposisikan lengan atas dalam keadaan fleksi pada sendi
siku hingga sejajar bahu
Melakukan gerakan abduksi lengan atas penderita dan
penderita diminta melawan dengan melakukan gerakan aduksi
Memberikan penilaian tenaga otot latissimus dorsi penderita

b. Penilaian tenaga otot biseps brakhii

35
Memposisikan lengan atas hingga sejajar bahu dalam keadaan
fleksi pada sendi siku
Melakukan gerakan ekstensi di sendi siku penderita dan
penderita diminta melawan dengan melakukan gerakan fleksi
Memberikan penilaian tenaga otot biseps brakhii penderita

c. Penilaian tenaga otot brakhioradialis


Memposisikan lengan atas dalam keadaan fleksi pada sendi
siku
Melakukan gerakan ekstensi di sendi siku penderita dan
penderita diminta melawan dengan melakukan gerakan fleksi
Memberikan penilaian tenaga otot
brakhioradialis penderita
d. Penilaian tenaga otot triseps brakhii
Memposisikan lengan atas dalam keadaan ekstensi pada sendi
siku
Melakukan gerakan fleksi sendi siku penderita dan penderita
diminta melawan dengan melakukan gerakan ekstensi
Memberikan penilaian tenaga otot triseps brakhii penderita

4. Penilaian tenaga otot pada anggota gerak bawah

a. Penilaian tenaga otot iliopsoas

Mempersilahkan penderita untuk berbaring

Memfleksikan sendi panggul dan lutut penderita


Melakukan gerakan ekstensi sendi panggul dan penderita
diminta melawan dengan gerakan fleksi
Memberikan penilaian tenaga otot Iliopsoas penderita

b. Penilaian tenaga otot gluteus maksimus

Mempersilakan penderita untuk tidur tiarap


Memposisikan salah satu tungkai bawah dalam keadaan fleksi
pada sendi lutut
Meminta penderita melakukan gerakan ekstensi sendi panggul
untuk melawan tahanan pemeriksa
Memberikan penilaian tenaga otot gluteus maksimus penderita

3. PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIS


No Aspek yang Dinilai Score

36
0 1 2
Meminta izin kepada penderita, mempersilakan penderita berbaring
1.
dengan rileks
2. Pemeriksaan Sensibilitas Ekteroseptif

Meminta penderita menutup mata

a. Pemeriksaan raba rasa

Menggunakan alat yang benar (kapas)


Menyentuh kulit penderita dengan kapas dan meminta
memberikan respon bila merasa kulitnya tersentuh dengan
jawaban ya
b. Pemeriksaan rasa nyeri
Menggunakan alat yang benar (berujung tajam) dan
memegangnya seperti memegang pensil
Memberikan rangsang tusuk (tajam) dan tumpul (jari telunjuk)
secara bergantian
Meminta penderita memberikan respon terhadap rangsang
yang diberikan berupa jawaban tajam atau tumpul
c. Pemeriksaan rasa suhu
Menggunakan alat yang benar (dua buah tabung kaca yang
berisi cairan dingin/air es dan cairan hangat) dan
memegangnya seperti memegang pensil
Memberikan rangsang dingin dan hangat secara bergantian
(acak)
Meminta penderita memberikan respon terhadap rangsang
yang diberikan berupa jawaban dingin atau hangat
3. Pemeriksaan Sensibilitas Proprioseptif

Meminta izin kepada penderita, Meminta penderita menutup mata


Melakukan pemeriksaan dengan membandingkan ke dua sisi tubuh
kiri dan kanan
a. Perasaan gerak (kinestetik)
Pemeriksa memegang jempol kaki penderita. Pemeriksa
menggerakkan jempol tersebut ke keatas dan kebawah
Penderita diminta memberikan tanggapan berupa keatas atau
kebawah ibu jarinya
b. Perasaan getar (palestesia)

Pemeriksa menggetarkan garpu tala


Meletakkan garpu tala pada bagian dorsal falang terakhir dari
ibu jari kaki, maleolus pada tuberositas tibiae, pada prosessus

37
stiloideus radii dan ulnae dan pada kondilus humeri
Jika penderita merasa adanya getaran, maka ia diminta
mengatakan "getar." Bila penderita tidak merasa adanya
getaran, ia diminta mengatakan "tidak getar."
4. Pemeriksaan sensibilitas diskriminatif

a. Stereognosis

Pemeriksa meletakkan uang logam pada tangan penderita


Pemeriksa meminta penderita untuk menyebutkan benda yang
ia pegang
Menilai hasil pemeriksaan

b. Graphestesia

Pemeriksa memegang telapak tangan penderita


Pemeriksa menuliskan huruf atau angka tertentu pada telapak
tangan penderita
Penderita diminta menyebutkan huruf atau angka yang ditulis
tersebut
Menilai hasil pemeriksaan

c. Diskriminasi spasial

Pemeriksa memegang ibu jari penderita

Pemeriksa menusukkan dua jarum pada ujung jari penderita


Jika penderita merasa adanya dua titik nyeri, maka ia diminta
mengatakan "dua." Bila penderita merasa adanya hanya satu
titik nyeri, ia diminta mengatakan "satu."
Menilai hasil pemeriksaan
Melakukan pemeriksaan dengan membandingkan ke dua sisi tubuh
5.
kiri dan kanan

38
BAB VIII

KETERAMPILANPEMERIKSAAN SARAF KRANIAL

8.1 PENDAHULUAN
Pemeriksaan saraf-saraf kranial merupakan salah satu dari rangkaian pemeriksaan
neurologis yang terdiri dari status mental, tingkat kesadaran, fungsi saraf kranial, fungsi
motorik, refleks, koordinasi dan gaya berjalan, serta fungsi sensorik. Seperti halnya
pemeriksaan neurologi pada umumnya, pemeriksaan ini juga bertujuan untuk membantu
dalam penegakkan diagnosis neurologis yang meliputi diagnosis anatomis (letak lesi) dan
patologis (proses penyakit).
Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak melalui
lubang-lubang pada tulang yang dinamakan foramina. Ada 12 pasang saraf kranial yang
dinyatakan dengan nama atau dengan angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah olfaktorius
(I), optikus (II), Okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abdusens (VI), fasialis
(VII), vestibula koklearis (VIII), glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus
(XII).
Pemeriksaan saraf kranial memerlukan kerjasama yang baik antara pemeriksa dan
penderita selama pemeriksaan. Penderita seringkali diminta kesediaannya untuk melakukan

39
suatu tindakan yang mungkin oleh penderita dianggap tidak masuk akal atau menggelikan.
Sebelum mulai diperiksa, kegelisahan penderita harus dihilangkan dan penderita harus diberi
penjelasan mengenai pentingnya pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis.
Memberikan penjelasan mengenai lamanya pemeriksaan, cara yang dilakukan dan nyeri yang
mungkin timbul dapat membantu memupuk kepercayaan penderita pada pemeriksa. Penderita
diminta untuk menjawab semua pertanyaan sejelas mungkin dan mengikuti semua petunjuk
sebaik mungkin

Gambar 1. Nervus kranial

8.2 PEMERIKSAAN NERVUS OLFAKTORIUS (I)


Pada pemeriksaan rutin nervus kranialis, umumnya cukup ditanyakan apakah pasien
menyadari adanya gangguan penciuman (penghidu). Jika riwayat pasien mengindikasikan
perlunya pemeriksaan lebih lanjut, maka setiap lubang hidung harus diperiksa secara terpisah
dengan menggunakan botol-botol yang berisi berbagai aroma. Pada pemeriksaan ini yang
penting dinilai adalah kemampuan pasien untuk membedakan aroma yang berbeda, bukan
pada kemampuannya untuk menyebutkan aroma apa secara akurat.

Gambar 2. Nervus olfaktorius

40
Aroma yang dipilih dapat berupa minyak aromatik (misalnya lavender, pepermin),
kopi, teh, atau tembakau yang mampu menstimulasi nervus olfaktorius. Bahan iritan seperti
amonia dapat merangsang cabang nervus trigeminus di mukosa nasal sehingga tidak
dianjurkan sebagai bahan pada pemeriksaan sarap olfaktorius ini. Pasien yang telah
kehilangan indra penghidu akan bereaksi terhadap ammonia melalui jaras alternative ini.
Penderita yang normosmia akan dapat mengenal bau yang di hidunya dengan baik.
Kehilangan daya penghidu dinamai anosmia. Berkurangnya daya penghidu dinamai
hiposmia. Anosmia dan hiposmia akan mengganggu pula daya pengecap, sehingga tidak
jarang kita lihat, bahwa penderita dengan anosmia pula memperlihatkan anoreksia. Parosmia
adalah keadaan di mana penghiduan penderita adalah tidak sesuai dengan jenis bau yang
sebenarnya, misalnya bau minyak wangi di kiranya bau terasi. Daya penghidu yang
berlebihan disebut hiperosmia yang dapat ditemukan pada penderita dengan neurosis.
Penderita ini di mana-mana mengeluh tentang bau yang kurang enak. Penderita neurosis
dengan kakosmia, di mana-mana mencium bau busuk.
Anosmia, terutama jika unilateral, mengindikasikan adanya tumor yang melibatkan
sulkus olfaktorius (tumor ini dapat juga mempengaruhi penglihatan). Akan tetapi, penyebab
anosmia yang lebih sering adalah infeksi saluran pernafasan atas berulang yang akan merusak
mukosa olfaktorius dan cedera kepala.

8.3 PEMERIKSAAN NERVUS OPTIKUS (II)


Pemeriksaan Tajam Penglihatan (Visus)
Ketajaman penglihatan paling baik diperiksa dengan menggunakan kartu Snellen,
yaitu dengan membaca deretan huruf dari jarak 6 meter (20 kaki). Setiap mata diperiksa
secara terpisah dan gangguan refraksi dikoreksi dengan menggunakan lensa atau lubang kecil
(pinhole). Ketajaman dinyatakan dalam pecahan dengan penyebut adalah jarak antara pasien
dengan daftar huruf, sementara pembilang adalah deretan huruf terkecil yang dapat dibaca
pasien dengan akurat. Jadi, 6/6 (20/20) adalah normal. Sementara 6/60 (20/200) berarti pasien
hanya dapat membaca huruf terbesar pada deret paling atas daftar. Jika pasien masih tidak
dapat membaca huruf paling atas, maka jarak dapat diperdekat, atau dinilai dengan
kemampuan pasien menghitung jari, mendeteksi gerakan terhadap tangan atau persepsi
terhadap cahaya (dicatat sebagaimana adanya hitung jari, gerakan tangan, dan persepsi
cahaya).
Bila hurup yang terbesar dalam kartu tidak dapat dilihatnya maka kita lanjutkan
pemeriksaan dengan menyuruh penderita menghitung jari kita. Seorang normotrop akan
41
dapat menghitung jari-jari pada jarak 60 meter. Dengan demikian maka seseorang yang hanya
dapat menghitung jari-jari itu dengan baik pada kejauhan 5 meter akan memiliki visus 5/60
(sama dengan seseorang yang dalam jarak 5 metet dapat membaca huruf yang teratas pada
kartu Snellen). Bila seorang penderita hanya dapat menghitung jari kita itu dalam jarak 3
meter maka kita katakan visus penderita adalah 3/60. Bila ia hanya dapat menghitung jari-jari
kita baik pada jarak 1 meter, maka kita katakm visusnya adalah 1/60.
Bila visusnya adalah lebih jelek daripada itu, maka kita suruh ia melihat gerakan
tangan kita (ke atas-bawah/ke kanan-kiri). Seorang yang normotrop akan dapat melihat
tangan kita itu dari jarak 300 meter. Seorang yang hanya dapat melihat gerakan itu pada jarak
3 meter kita katakan telah memiliki visus 3/300. Bila gerakan tangan itu hanya dapat
dilihatnya pada jarak 1 meter maka visus penderita adalah 1/300.
Bila visus penderita adalah kurang dari 1/300 kita periksa penderita dengan lampu
senter. Bila lampu itu baru dapat dilihatnya pada jarak 1 meter maka visusnya = 1/~. Bila
cahaya juga tidak dilihatnya maka visusnya adalah 0.
Pemeriksaan Lapangan Pandang
Lapang pandang pasien dapat diperiksa secara sederhana dengan tes konfrontasi.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menggerakan benda secara tangensial dari atau ke
tengah lapang pandang dalam empat kuadran yaitu medial, lateral, superior, dan inferior
(setiap mata di periksa secara terpisah). Probandus memfiksasikan pandangannya pada pupil
pemeriksa dan diminta mengatakan batas persepsi dari benda yang digerakkan.
Serabut-serabut saraf di jaras penglihatan mempertahankan hubungan spesial yang
kasar satu sama lain, dan merefleksikan asalnya di retina. Fakta ini dari penyilangan parsial
jaras pada kiasma optikum menghasilkan pola karakteristik gangguan lapang pandang, dan
sangat berguna dalam menentukan letak lesi.

42
Gambar 3. Pola karakteristik lapangan pandang
Sebagian besar kelainan lapang pandang dapat dinilai dengan tes konfrontasi. Akan
tetapi , kadang-kadang diperlukan pemeriksaan lebih teliti (dalam hal ukuran dan warna
benda) dan peta lapang pandang (misalnya menggunakan layer Bjerrum), perimeter kubah
(Goldmann) atau peralatan otomatis (Humphrey)). Teknik-teknik ini berguna terutama untuk
skotoma kecil seperti pada penyakit retina, dan untuk memonitior perkembangan terapi dan
penyakit.
Penglihatan warna
Pemeriksaan klinis penglihatan warna biasanya menggunakan gambar Ishihara. Tes
ini terdiri dari titik-titik berwarna yang tersusun sehingga individu dengan penglihatan warna
yang normal dapat membaca sebuah angka yang tersembunyi dalam pola titik-titik tersebut.
Gangguan penglihatan warna dapat diturunkan gen resesif terkait seks.
Gangguan bisa juga didapat, terutama pada penyakit nervus optikus. Jadi, desaturasi
warna (terutama warna merah) merupakan gambaran awal semua penyakit nervus optikus.
Gangguan sentral (yaitu serebral) penglihatan warna yang lebih ringan biasanya disebabkan
oleh penyakit di region oksipitotemporal, dan seringkali melibatkan kedua hemisfer, yang
membutuhkan tes yang lebih canggih.

Funduskopi

43
Funduskopi dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut oftalmoskop.
Kegunaan utama oftalmoskop adalah untuk melakukan inspeksi diskus optikus, sehingga
sewaktu melakukan funduskopi kita perhatikan keadaan pupil, makula, dan retina mata yang
sedang diperiksa. Penilaian terhadap struktur-struktur tersebut membantu deteksi efek yang
timbul akibat penyakit tertentu seperti hipertensi dan diabetes serta gangguan oftalmologis
yang berhubungan dengan penyakit neurologis misalnya retinitis pigmentosa.
Pemeriksaan mata kanan dilakukan dengan memegang alat oftalmoskop dengan
tangan kanan, sedangkan mata dokter yang mengintip di belakang oftalmoskop tersebut
adalah mata yang kanan. Sebaliknya untuk mata kiri penderita dapat dilakukan dengan
mengintip melalui mata kirinya melalui oftalmoskop yang digenggam dengan tangan kirinya.
Putar lensa ke arah O dioptri maka fokus dapat diarahkan kepada fundus, kekeruhan lensa
(katarak) dapat mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina sudah terfokus carilah terlebih
dahulu diskus optikus. Caranya adalah dengan mengikuti perjalanan vena retinalis yang besar
ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari diskus optikus.

8.4 PEMERIKSAAN NERVUS OKULOMOTORIUS (III)


Nervus Okulomotorius (III) termasuk dalam otot yang menggerakkan kedua mata
bersama dengan nervus Trokhlearis (IV) dan nervus Abdusens (VI). Nukleus nervus III
terletak sebagian di depan substansia grisea periakuaduktal (Nukleus motorik) dan sebagian
lagi di dalam substansia grisea (Nukleus otonom). Nukleus motorik bertanggung jawab untuk
persarafan otot-otot rektus medialis, superior, dan inferior, otot oblikus inferior dan otot
levator palpebra superior. Nukleus otonom atau nukleus Edinger-westhpal yang bermielin
sangat sedikit mempersarafi otot-otot mata inferior yaitu spingter pupil dan otot siliaris.

Gambar 4. Otot penggerak bola mata (mata kanan)


Pemeriksaan nervus III meliputi fisura palpebra, gerakan bola mata, dan pupil. Pada
keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak mata atas akan
memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Apabila salah satu kelopak mata

44
memotong iris lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal
ke belakang / ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara
kronik pula, maka dicurigai adanya suatu ptosis.
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah
medial, atas, dan bawah, sekaligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan
dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan
diam) sudah harus dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate divergen ke satu
sisi.
Pemeriksaan pupil untuk nervus III adalah pemeriksaan refleks akomodasi
(konvergensi). Pupil juga akan berkonstriksi jika fokus suatu benda dipindahkan dari jarak
jauh ke jarak dekat. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menyuruh penderita memandang
jauh dan selanjutnya disuruh memandang jari telunjuk kita yang berada agak jauh dari
penderita. Kemudian perintahkan terus memandang jari telunjuk kita sembari kita
menggerakan jari mendekati hidung penderita. Perhatikan kontraksi pupil penderita yang
terjadi. Biasanya akan tampak bahwa kedua bola mata penderita akan bergerak ke medial dan
pupil akan menyempit.
Refleks Pupil
Komponen aferen lengkung refleks yang mengatur konstriksi pupil terhadap rangsang
cahaya atau refleks akomodasi pada penglihatan dekat adalah nervus optikus. Saraf eferen
merupakan bagian dari sistem saraf parasimpatis dan mencapai serabut otot polos konstriktor
pupil melalui nervus okulomotorius (III). Saraf simpatis memersarafi serabut otot dilator
pupil, yang mencapai mata dari ganglion sevikal superior melalui pleksus simpatis pada
dinding arteri karotis interna.
Inspeksi pupil dilakukan pada pupil istirahat yaitu dengan melihat ukuran diameter
pupil (dalam satuan milimeter), bentuk lingkaran pupil (regularitas), dan deviasi pupil
(eksentrisitas) pupil. Selanjutnya dilakukan penilaian respons pupil terhadap cahaya dan
akomodasi. Respon cahaya langsung dilakukan dengan menggunakan sumber cahaya (senter
kecil) yang diarahkan dari samping sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya dan tidak
berakomodasi. Inspeksi kedua pupil dan ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan
normal pupil yang disinari akan mengecil. Respon cahaya konsensual terjadi jika pada pupil
yang satu disinari maka secara simultan pupil lainnya memberikan respon identik dengan
mengecil dengan ukuran yang sama.
Lebarnya pupil sangat tergantung dari penerangan di dalam kamar periksa. Pada
penerangan yang sedang, biasanya lebar pupil itu adalah 4-5 mm. Bila lebarnya adalah
45
kurang dari 2 mm, maka keadaan itu kita namakan miosis. Bila lebar pupil lebih dari 5 mm,
maka keadaan itu kita namakan midriasis. Bila pupil itu sangat kecil maka keadaan itu kita
namakan pinpoint pupil. Bila pupil kanan dan kiri sama lebarnya, maka kita katakan, bahwa
pupil penderita itu adalah isokor. Anisokor adalah keadaan di mana satu pupil lebih lebar dari
pada pupil yang lain.

8.5 PEMERIKSAAN NERVUS TROKLEARIS (IV)


Nukleus saraf troklearis terletak setinggi kolikulus inferior di depan substansia grisea
periakuaduktal dan berada di bawah nukleus okulomotorius. Saraf ini merupakan satu-
satunya saraf kranialis yang keluar dari sisi dorsal batang otak. Saraf troklearis mempersarafi
otot oblikus superior untuk menggerakkan mata bawah, sedikit ke temporal dan abduksi
dalam derajat kecil.
Pemeriksaan nervus IV meliputi gerak mata ke medial bawah, strabismus konvergen,
dan diplopia. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah harus
dilihat adanya strabismus (juling). Probandus diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan
jari atau ballpoint ke arah medial bawah, sekaligus ditanyakan adanya penglihatan ganda
(diplopia).
8.6 PEMERIKSAAN NERVUS TRIGEMINUS (V)
Saraf trigeminus bersifat campuran terdiri dari serabut-serabut motorik dan serabut-
serabut sensorik. Serabut motorik mempersarafi otot masseter dan otot temporalis. Serabut-
serabut sensorik saraf trigeminus dibagi menjadi tiga cabang utama yatu saraf oftalmikus,
maksilaris, dan mandibularis. Daerah sensoriknya mencakup daerah kulit, dahi, wajah,
mukosa mulut, hidung, sinus. Gigi maksilar dan mandibula, dura dalam fosa kranii anterior
dan tengah bagian anterior telinga luar dan kanalis auditorius serta bagian membran timpani.
Pemeriksaan fungsi motoris dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot
temporalis dan masseter. Kemudian pasien disuruh mengatupkan giginya dan lakukan palpasi
adanya kontraksi masseter diatas mandibula. Kemudian pasien disuruh membuka mulutnya
(otot-otot pterigoideus) dan pertahankan tetap terbuka sedangkan pemeriksa berusaha
menutupnya. Lesi unilateral dari cabang motorik menyebabkan rahang berdeviasi kearah sisi
yang lemah (yang terkena).
Pemeriksaan fungsi sensorik mengikuti cabang sensorik nervus trigeminus, yaitu
oftalmik, maksila, mandibula. Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut
dengan membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain. Mula-mula tes dengan ujung
yang tajam dari sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua matanya dan jarum
46
ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya apakah terasa tajam atau tumpul.
Hilangnya sensasi nyeri akan menyebabkan tusukan terasa tumpul. Daerah yang
menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan pemeriksaan harus di lakukan dari
daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga dilakukan dari daerah yang
terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi
menuju belakang melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena sensasi akan
timbul kembali bila mencapai dermatom C2. Temperatur tidak diperiksa secara rutin kecuali
mencurigai siringobulbia, karena hilangnya sensasi temperatur terjadi pada keadaan
hilangnya sensasi nyeri, pasien tetap menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba
halus dengan kapas yang baru dengan cara yang sama. Pasien disuruh mengatakan ya
setiap kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya.

Gambar 5. Cabang sensoris nervus Trigeminus


Pemeriksaan refleks meliputi refleks kornea dan refleks masseter. Pada pemeriksaan
refleks kornea langsung, probandus diminta melirik ke arah laterosuperior, kemudian dari
arah lain kapas disentuhkan pada kornea mata, misal pasien diminta melirik kearah kanan
atas maka kapas disentuhkan pada kornea mata kiri dan lakukan sebaliknya pada mata yang
lain. Kemudian bandingkan kekuatan dan kecepatan refleks tersebut kanan dan kiri saraf
aferen berasal dari N. V tetapi serabut eferan (berkedip) berasal dari N.VII.
Pemeriksaan refleks kornea tak langsung (konsensual), sentuhan kapas pada kornea
mata kanan akan menimbulkan refleks menutup mata pada mata kiri dan sebaliknya,
kegunaan pemeriksaan refleks kornea konsensual ini sama dengan refleks cahaya konsensual,
yaitu untuk melihat lintasan mana yang rusak (aferen atau eferen).
Refleks masseter bertujuan untuk melihat adanya lesi UMN (cortico-bulbar) penderita
membuka mulut secukupnya (jangan terlalu lebar) kemudian dagu diberi alas jari tangan

47
pemeriksa diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon normal akan negatif yaitu tidak
ada penutupan mulut atau positif lemah yaitu penutupan mulut ringan. Sebaliknya pada lesi
UMN akan terlihat penutupan mulut yang kuat dan cepat.

8.7 PEMERIKSAAN NERVUS ABDUSENS (VI)


Nukleus saraf abdusens terletak pada masing-masing sisi pons bagian bawah dekat
medula oblongata dan terletak dibawah ventrikel ke empat saraf abdusens mempersarafi otot
rektus lateralis. Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan
diplopia tanda-tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena dan bayangan
yang timbul letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain.
Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah harus dilihat
adanya strabismus (juling). Probandus diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau
ballpoint ke arah lateral, sekaligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia).

8.8 PEMERIKSAAN NERVUS FASIALIS (N. VII)


Saraf fasialis mempunyai fungsi motorik (somatomotorik dan sekretomotoril) dan
fungsi sensorik. Fungsi motorik berasal dari nukleus motorik yang terletak pada bagian
ventrolateral dari tegmentum pontin bawah dekat medula oblongata. Fungsi sensorik berasal
dari nukleus sensoris yang muncul bersama nukleus motoris dan saraf vestibulokoklearis
yang berjalan ke lateral ke dalam kanalis akustikus interna.
Serabut motoris saraf fasialis mempersarafi otot-otot ekspresi wajah terdiri dari otot
orbikularis okuli, otot buksinator, otot oksipital, otot frontal, otot stapedius, otot stilohioideus,
otot digastriktus posterior serta otot platisma. Serabut sensorik menghantar persepsi
pengecapan bagian anterior lidah.
Otot-otot wajah bagian atas diinervasi kortikal bilateral karena itu terdapat perbedaan
antara gejala kelumpuhan nervus VII jenis sentral dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar
mata dan dahi yang mendapat inervasi dari kortikal bilateral tidak lumpuh, yang lumpuh
adalah otot-otot wajah bagian bawah. Pada lesi nervus VII perifer (gangguan terdapat di
nukleus atau intranucleus), maka semua otot sesisi wajah lumpuh dan mungkin juga termasuk
cabagn saraf untuk pengecapan dan sekresi ludah. Wajah bagian bawah mendapat inervasi
dari korteks motorik kontralateral (unilateral), sedangkan pada wajah bagian atas mendapat
inervasi dari kedua sisi korteks motorik (bilateral). Pemeriksaan saraf fasialis dilakukan saat
pasien diam dan atas perintah (tes kekuatan otot). Saat pasien diam diperhatikan adanya
asimetri wajah. Kelumpuhan nervus VII dapat menyebabkan penurunan sudut mulut
48
unilateral dan kerutan dahi menghilang serta lipatan nasolabial, tetapi pada kelumpuhan
nervus fasialis bilateral wajah masih tampak simetrik. Perhatikan juga gerakan-gerakan
abnormal (tic facialis, grimacing, kejang tetanus/rhisus sardonicus, dan tremor serta ekspresi
muka (sedih, gembira, takut, seperti topeng).
Fungsi motorik dapat dinilai dengan meminta probandus untuk mengerutkan dahi,
menutup mata, meringis, meniup (menggembungkan pipi), bersiul, dan tersenyum. Pada
kelemahan berat otot penutup mata, pasien bisa mengalami kesulitan melindungi kornea.
Pasien tersebut dapat terlihat memutar matanya ke atas di bawah kelopak saat ia diminta
menutup mata, suatu usaha otomatis untuk menutup kornea.

Gambar 6. Fungsi motorik nervus VII: mengerutkan dahi


Pemeriksaan fungsi sensoris nervus VII dinilai dengan memberikan larutan yang
mewakili empat modalitas pengecap dasar (manis, pahit, asam dan asin) yang disentuhkan
pada bagian anterior lidah (2/3anterior).

8.9 PEMERIKSAAN NERVUS VESTIBULOKOKLEARIS (N. VIII)


Saraf vestibulokoklearis terdiri dari dua komponen yaitu serabut-serabut aferen yang
mengurusi pendengaran dan vestibuler yang mengandung serabut-serabut aferen yang
mengurusi keseimbangan. Serabut-serabut untuk pendengaran berasal dari organ corti dan
berjalan menuju inti koklea di pons, dari sini terdapat transmisi bilateral ke korpus
genikulatum medial dan kemudian menuju girus superior lobus temporalis. Serabut-serabut
untuk keseimbangan mulai dari utrikulus dan kanalis semisirkularis dan bergabung dengan
serabut-serabut auditorik di dalam kanalis fasialis. Serabut-serabut ini kemudian memasuki
pons, serabut vestibutor berjalan menyebar melewati batang dan serebelum.
Tes pendengaran sederhana adalah dengan menilai kemampuan pasien mendengar
detik jarum jam yang didekatkan ke telinga, atau dengan membisikkan sejumlah angka pada
satu telinga dengan menutup liang telinga kontralateral pada jarak kira-kira 1 meter dari
telinga, dan meminta pasien mengulanginya (tes Whisper).
Untuk membedakan tuli konduktif (telinga luar dan telinga tengah) atau tuli
sensorineural (telinga dalam), dapat digunakan garpu tala 512 Hz. Pada tes Rinne, konduksi

49
udara dengan ujung garpu yang bergetar diletakkan di depan telinga, dibandingkan dengan
konduksi tulang dengan cara meletakkan tangkai garpu tala pada prosesus mastoideus
(dibelakang telinga) dan bila bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar
dengan meatus akustikus oksterna. Normalnya, konduksi udara lebih cepat dibandingkan
dengan konduksi tulang yang ditandai dengan garpu tala masih terdengar pada meatus
akustikus eksternus (Rinne +). Akan tetapi, pada tuli konduktif konduksi tulang lebih cepat
dibandingkan konduksi udara yang ditandai dengan garpu tala tidak terdengar lagi (Rinne -).
Pada tuli sensorineural, konduksi tulang juga lebih cepat dibandingkan dengan konduksi
udara, tetapi keduanya akan berkurang jika dibandingkan dengan telinga normal.
Pada tes weber, dasar tangkai garpu tala diletakkan pada verteks. Dalam keadaan
normal, bunyi akan terdengar sama keras pada kedua telinga. Pada tuli sensorineural akan
terjadi lateralisasi bunyi kearah telinga yang normal, sedangkan pada tuli konduktif akan
terjadi lateralisasi ke arah telinga yang sakit.
Pada Tes Schwabach, setelah garpu tala dibunyikan langsung diletakkan pada telinga
pasien, pasien diminta untuk memberi tahu bila bunyi garpu tala berhenti. Setelah itu,
pemeriksa menempatkan garpu tala di dekat lubang telinga dirinya. Bila pemeriksa masih
dapat menangkap bunyi garpu tala maka pendengaran pasien berkurang.
Pemeriksaan komponen keseimbangan dapat dilakukan dengan tes Romberg atau
memerhatikan nistagmus. Pada tes Romberg penderita diminta berdiri tegak lurus dengan
kaki dirapatkan serta kedua mata di pejamkan. Tes Romberg positif apabila pada mata
tertutup tidak bisa berdiri tegak lurus dengan kaki dirapatkan dan apabila mata terbuka
probandus dapat beridir dengan kedua tungkai dirapatkan. Tes ini baik untuk menggambarkan
gannguan keseimbangan karena gangguan penghantaran impuls proprioseptik (serebelum).
Nistagmus adalah gerakan osilasi ritmis involunter mata yang dapat terjadi pada
lirikan dalam arah horizontal atau vertikal yang disengaja, atau kadang pada posisi primer.
Nistagmus vestibuler memiliki gerakan dua arah dengan kecepatan yang sama (nistagmus
pendulum), tetapi seringkali terdapat fase lambat pada satu arah (pergeseran kembali ke
posisi primer dari arah lirikan yang disengaja) yang bergantian dengan fase korektif cepat ke
arah sebaliknya (jerk nystagmus) sebagai usaha kompensasi terhadap proses patologis
komponen lambat. Jerk nystagmus dapat dikalsifikasikan menjadi pertama, terjadi hanya jika
pasien melihat kearah komponen fase cepat; kedua, terjadi persisten pada posisi primer
pandangan (menatap lurus ke depan); ketiga, terjadi juga bahkan pada saat mata melihat
kearah komponen fase lambat.mengarah dengan komponen cepatnya ke sisi kontralateral
terhadap lesi.
50
8.10 PEMERIKSAAN NERVUS GLOSOFARINGEUS (N. IX) dan PEMERIKSAAN
NERVUS VAGUS (N. X)
Nervus Glosofaringeus dan nervus vagus merupakan saraf kranial yang sangat
berhubungan erat dan mempunyai fungsi yang mirip, sehingga pemeriksaan nervus IX dan
nervus X tidak dapat diteliti sendiri-sendiri, kecuali mengenai bagian pemeriksaan otot-otot
larings. Nervus Glosofaringeus menerima gabungan dari saraf vagus dan asesorius pada
waktu meninggalkan kranium melalui foramen tersebut. Saraf glosofaringeus mempunyai dua
ganglion, yaitu ganglion intrakranialis superior dan ekstrakranialis inferior. Setelah melewati
foramen, saraf berlanjut antara arteri karotis interna dan vena jugularis interna ke otot
stilofaringeus. Di antara otot ini dan otot stiloglosus, saraf berlanjut ke basis lidah dan
mempersarafi mukosa faring, tonsil, dan sepertiga posterior lidah.
Pemeriksaan fungsi motorik nervus IX dilakukan dengan menyuruh probandus
membuka mulutnya dan mengucapkan: "ah-ah-ah" yang panjang. Maka tampaklah, bahwa
langit-langit yang sehat akan bergerak ke atas. Apabila ada kelumpuhan nervus IX, maka
lengkung langit-langit di sisi yang sakit tidak akan serta bergerak ke atas. Biasanya menelan
dan fonasi tidak akan terganggu. Walaupun sewaktu-waktu ada pula penderita dengan lesi
satu nervus IX yang juga memperlihatkan gangguan menelan dan fonasi. Tetapi bila kedua
nervus IX yang lumpuh maka dapat timbul gangguan menelan (misalnya air yang diminum
keluar dari hidung apalagi bila ia minum air tergesa-gesa) serta gangguan fonasi, yaitu
suaranya kedengaran "sengau." Suara "sengau" itu lenyap, bila hidungnya ditutup.

Gambar 7. Pemeriksaan nervus IX: posisi ovula


Walaupun nervus IX memiliki banyak fungsi, namun asfek klinis yang dinilai rutin
pada pemeriksaan klinis adalah sensasi umum pada dinding posterior faring dan 1/3 posterior
lidah. Stimulus pada regio tersebut dengan menggunakan spatel dapat merangsang refleks
muntah (gag reflex). Lengkung eferen dari refleks muntah ini dihantarkan melalui nervus
vagus.

51
Nervus vagus juga mempunyai dua ganglion yaitu ganglion superior (jugulare) dan
ganglion inferior (nodosum), keduanya terletak pada daerah foramen jugularis. Nervus vagus
mempersarafi semua visera toraks dan abdomen dan menghantarkan impuls dari dinding
usus, jantung dan paru-paru.
Apabila satu nervus rekurentes terganggu, maka akan tampak kelumpuhan dari satu
pita suara di sisi yang sakit. Sisi yang lumpuh itu tidak akan tampak bergerak sewaktu fonasi
dan sewaktu inspirasi pula pita itu akan menjadi atonis dan lama kelamaan menjadi atrofis.
Suara penderita akan menjadi parau. Bila kedua nervus rekurens kanan dan kiri mengalami
kelumpuhan, maka pita suara itu akan berada di garis tengah dan pula tidak bergerak sama
sekali, dan akan terdengarlah suara yang afonis dan stridor inspirasi.

8.11 PEMERIKSAAN NERVUS ASSESORIUS (N. XI)


Saraf asesorius mempunyai radiks spinalis dan kranialis. Radiks kranial adalah akson
dari neuron dalam nukleus ambigus yang terletak dekat neuron dari saraf vagus. Saraf
aksesoris adalah saraf motorik yang mempersarafi otot sternokleidomastoideus dan bagian
atas otot trapezius, otot sternokleidomastoideus berfungsi memutar kepala ke samping dan
otot trapezius memutar skapula bila lengan diangkat ke atas.
Gangguan N. XI mengakibatkan kelemahan otot bahu (otot trapezius) dan otot leher
(otot sterokleidomastoideus). Pasien akan menderita bahu yang turun sebelah serta
kelemahan saat leher berputar ke sisi kontralateral. Kelainan pada nervus asesorius dapat
disebabkan oleh serabut saraf, tumor, dan iskemia akibatnya persarafan ke otot trapezius dan
otot stemokleidomastoideus terganggu.

Gambar 8. Pemeriksaan nervis XI: otot trapezius


Pemeriksaan N. XI dilakukan dengan menyuruh probandus memutar kepalanya ke
arah sisi yang sehat. Selanjutnya, pemeriksa meraba otot sternokleidomastoideus itu kita raba.
Bila terdapat paralisis N. XI di sisi tersebut, maka akan teraba bahwa otot
sternokleidomastoideus itu tidak menegang.
Pemeriksaan otot trapezius dilakukan dengan cara melakukan inspeksi dimana bahu
penderita di sisi yang sakit adalah lebih rendah daripada di sisi yang sehat. Penderita lantas

52
kita suruh untuk mengangkat bahunya kedua-duanya maka akan tampak di sisi yang sakit
gerakan tersebut tidak dapat dilakukannya dengan baik.

8.12 PEMERIKSAAN NERVUS HIPOGLOSSUS (N. XII)


Nukleus saraf hipoglosus terletak pada medula oblongata pada setiap sisi garis tengah
dan depan ventrikel ke empat dimana semua menghasilkan trigonum hipoglosus. Saraf
hipoglosus merupakan saraf motorik untuk lidah dan mempersarafi otot lidah yaitu otot
stiloglosus, hipoglosus, dan genioglosus.

Gambar 9. Pemeriksaan nervus XII: menjulurkan lidah


Lesi nervus XII dapa bersifat supranuklear, misalnya pada lesi di korteks atau kapsula
interna yang biasanya disebabkan karena stroke. Dalam hal ini kelumpuhan otot lidah tanpa
adanya atropi dan fasiculasi (tanda-tanda UMN). Pada lesi infranuklear didapatkan
kelumpuhan otot lidah disertai atropi dan fasiculasi (tanda-tanda UMN). Kerusakan nervus
hipoglossus dapat disebabkan oleh kelainan di batang otak, kelainan pembuluh darah, tumor
dan syringobulbia. Kelainan tersebut dapat menyebabkan gangguan proses pengolahan
makanan dalam mulut, gangguan menelan, gangguan bicara (disatria), dan gangguan jalan
nafas apabila lidah tertarik ke belakang.
Pada kerusakan N. XII pasien tidak dapat menjulurkan, menarik atau mengangkat
lidahnya. Pada lesi unilateral, lidah akan membelok kearah sisi yang sakit saat dijulurkan.
Saat istirahat lidah membelok ke sisi yang sehat di dalam mulut.

53
DAFTAR TILIK PEMERIKSAAN NERVUS KRANIAL

NO ASPEK YANG DINILAI SKOR


0 1 2
1 Nervus Olfaktorius 1. Mempersiapakan alat dan bahan
(I) pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan penderita untuk
duduk atau berbaring
3. Memerintahkan probandus untuk
memejamkan matanya atau menutup
mata probandus dengan kain penutup
4. Melakukan inspeksi lubang hidung
yang akan diperiksa apakah ada pilek,
polip, atau sumbatan lainnya
5. Menutup hidung yang tidak diperiksa
dengan kapas
6. Mendekatkan botol yang telah berisi
bahan beraroma pada hidung yang akan
diperiksa
7. Meminta probandus untuk
menyebutkan aroma apa yang tercium
8. Melakukan pemeriksaan 6 & 7 untuk
aroma yang lain
9. Memberikan penilaian hasil
pemeriksaan
2 Nervus Optikus Pemeriksaan Lapangan pandang (tes
(II) konfrontasi)
1. Probandus diminta menatap mata
pemeriksa (memfiksasikan
pandangannya pada pupil pemeriksa)
2. Pemeriksa kemudian menggerakan
ujung jari dari tengah lapangan pandang
menuju tepi lapangan pandang dengan
arah kesamping kanan dan kiri serta
arah atas dan bawah.
3. Probandus diminta mengatakan batas
persepsi dari jari tangan yang

54
digerakkan tersebut, dengan
mengatakan ya jika melihat dan tidak
jika tidak melihat.
4. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
3 Nervus Pemeriksaan refleks pupil.
Okulomotorius 1. Mempersiapkan alat dan bahan
(III), nervus pemeriksaan
Troklearis (IV), 2. Meminta izin kepada probandus
dan sembari mempersilakan probandus
nervus Abdusen untuk duduk atau berbaring
(VI) 3. Menyinari mata yang akan diperiksa
dengan senter dari arah samping
4. Memperhatikan reaksi pupil yang
disinari (refleks pupil langsung)
maupun reaksi pupil yang tidak
disinari (refleks pupil konsensual)
5. Memberikan penilaian
Pemeriksaan gerak bola mata
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Menempatkan diri di depan probandus
sekitar 1 meter
4. Memerintah kepada probandus untuk
melihat dan mengikuti gerakan jari
tangan pemeriksa yang membentuk
gambaran X, H, dan +
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
4 Nervus Fungsi Motoris
Trigeminal Nerve 1. Mempersiapakan alat dan bahan
(V) pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Memerintahkan probandus untuk
mengatupkan giginya dan
mempertahankannya
4. Melakukan palpasi otot temporalis dan
masseter
5. Memerintahkan probandus untuk
membuka mulut dan
mempertahankannya sembari dilakukan
tahanan dengan tangan pemeriksa
6. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
Fungsi sensoris

55
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Memerintahkan probandus untuk
memejamkan matanya
4. Memberikan sensasi tajam dengan
jarum pada daerah dahi, pipi, dan dagu
serta memerintahkan probandus untuk
mengatakan ya apabila merasakan
sensasi

5. Memberikan sensasi raba halus dengan


kapas pada daerah dahi, pipi, dan dagu
serta memerintahkan probandus untuk
mengatakan ya apabila merasakan
sensasi
6. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
Refleks Kornea
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Memerintahkan probandus untuk
melirikkan matanya ke arah latero-
superior
4. Menyentuhkan kapas pada kornea dari
arah yang lain pada mata yang diperiksa
5. Menilai kekuatan dan kecepatan refleks
yang timbul dalam bentuk kedipan mata
yang diperiksa (refleks kornea
langsung) dan pada mata yang tidak
diperiksa (refleks kornea konsensual)
6. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
5. Nervus Fasialis Fungsi Motoris
(VII) 1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Melakukan inspeksi wajah (lipatan
nasolabial, sudut mulut, serta
kerutan dahi) serta gerakan-
gerakan involunter (tic facialis,
kejang, dan tremor)
4. Meminta kepada probandus untuk

56
mengerutkan dahi, menutup mata,
meringis, meniup
(menggembungkan pipi), bersiul,
dan tersenyum dan mengamati
adanya asimetri wajah probandus
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
Fungsi sensoris (opsional)
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk
3. Meminta probandus untuk
menjulurkan lidahnya, menutup
kedua matanya yang selanjutnya
berikan secukupnya salah satu
bahan berikut garam (asin), gula
(manis), mangga muda (asam?), pil
(pahit?)
4. Meminta kepada probandus untuk
menyebutkan apa yang dia rasakan
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
6 Nervus Komponen Koklear (opsional)
Vestibulokoklearis Tes Whisper
(N. VIII) 1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Menutup telinga kontralateral
dengan kapas
4. Memposisikan diri sekitar 1 meter
dari sisi telinga yang akan diperiksa
dan membisikkan angka (1, 2, 3, 5)
sembari memerintahkan kepada
probandus untuk mengulangi
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
Tes Rinne
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Menggetarkan garpu tala dan
meletakkannya pada prosesus
mastoideus pada sisi telinga yang
dinilai sampai getaran garpu tala

57
tidak terdengar lagi oleh probandus
4. Memindahkan garpu tala ke depan
liang telinga pada sisi yang
diperiksa (apabila masih terdengar
Rinne +, bila tidak terdengar
Rinne -)
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil

Tes Weber
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk
3. Menggetarkan garpu tala dan
meletakkannya pada pertengahan
dahi probandus
4. Menanyakan kepada probandus
apakah bunyi terdengar di tengah
atau mengalami lateralisasi
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
Komponen vestibular (opsional)
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Memerhatikan adanya nistagmus saat
terjadi gerakan bola mata
4. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan

7 Nervus 1. Mempersiapakan alat dan bahan


Glossopharyngeu pemeriksaan
s (IX) dan nervus 2. Meminta izin kepada probandus
Vagus (X) sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Mendengarkan suara yang dikeluarkan
probandus saat berbicara (serak, parau,
sengau)
4. Meminta probandus untuk
mengatakan ah-ah-ah-yang panjang
dan perhatikan posisi palatum mole
5. Menilai refleks muntah (gag reflex)
dengan menyentuhkan spatel pada
kedua sisi palatum mol
6. Memberikan penilaian dan

58
pencatatan hasil pemeriksaan
8 Nervus Asesorius Otot Trapezius
(XI) 1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk
3. Melakukan inspeksi pada bahu
probandus lalu perhatikan apakah
asimetris atau tidak
4. Memerintahkan probandus untuk
mengangkat kedua bahu dan perhatikan
apakah dapat dilakukan atau tidak
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
Otot Sternokleidomastodius
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk
3. Memerintahkan probandus memutar
kepalanya ke arah sisi yang sehat, lalu
meraba otot sternokleidomastoideus
4. Menilai otot sternokleidomastoideus
apakah menegang atau tidak (dalam
kondisi normal otot
sternokleidomastoideus menegang)
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
9 Nervus 1. Mempersiapakan alat dan bahan
Hipoglossus (XII) pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Melakukan inspeksi lidah apakah
simteri, atropi, atau fasikulasi
4. Memerintahkan probandus untuk
menjulurkan, menarik atau mengangkat
lidahnya (lesi unilateral akan
menyebabkan lidah membelok ke arah
sisi yang sakit saat dijulurkan dan lidah
membelok ke sisi yang sehat saat
istirahat di dalam mulut)
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
Keterangan:
0=tidak dilakukan; 1=dilakukan tapi tidak benar; 2=dilakukan dengan benar

59
BAB IX

KETERAMPILANPENGAMBILAN DARAH UNTUK


PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Kontribusi tingkat kesalahan pada pemeriksaan laboratorium darah :


- Tahap praanalitik 59,3%
- Tahap analitik 27,1%
- Tahap pasca analitik 13,6%
Kesalahan praanalitik pada pemeriksaan darah dapat dihindari dengan :
1. Persiapan pasien
2. Pengambilan darah yang benar
3. Penampungan darah yang benar
4. Pengiriman darah yang benar

9.1 PENGAMBILAN DARAH

A. PERSIAPAN PASIEN
Faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan hematologi :
1. Makan : 800 kalori akan meningkatkan volume plasma
2. Merokok :
a. meningkatkan jumlah eritrosit, leukosit dan kadar hemoglobin
b. menurunkan jumlah eosinofil
3. Exercise berat :
a. Menurunkan jumlah eritrosit, kadar haptoglobin
b. Meningkatkan kadar hemoglobin
4. Kehamilan : hemodilusi
5. Obat :
a. Steroid : menurunkan eosinofil dan limfosit, meningkatkan neutrofil
b. Adrenalin : meningkatkan leukosit dan trombosit
6. Transfusi & donor darah : mengubah susunan darah dan plasma
7. Variasi diurnal : SI tinggi pagi hari, eosinofil lebih rendah pagi hari
8. Variasi biologik
a. in vitro : stabilitas bahan pemeriksaan
b. in vivo : hiperlipidemia, krioglobulinemia, hiperglikemia berat, eritrosit
berinti, agregasi trombosit
9. Suhu pemeriksaan : LED (18 - 25C)

Urutan pengambilan darah vena


1. Siapkan semua peralatan (tabung darah, semprit + jarum, kapas alkohol, torniquet,
plester/ tensoplast)
2. Beri salam pada pasien, pastikan identitas pasien benar
3. Beri label pada tabung sesuai identitas pasien.
4. Bersihkan area tusukan dengan alkohol 70%, biarkan hingga kering
5. Jika memakai vena daerah fossa cubiti, pasang torniquet ke arah proksimal tetapi
jangan terlalu kencang. Lalu minta pasien mengepal dan membuka kepalan berkali
kali hingga vena jelas terlihat
6. Regangkan kulit diatas vena dengan jari supaya vena tidak bergerak

60
7. Minta pasien menarik nafas, lalu segera tusuk jarum dengan lubang jarum mengarah
ke atas hingga masuk ke dalam lumen vena.
8. Kendurkankan torniquet dan buka kepalan lalu isap darah secukupnya.
9. Taruh kapas beralkohol 70% yang diperas hingga kering di atas tusukan dan cabut
jarum.
10. Minta pada pasien untuk menekan kapas tadi selama beberapa menit atau direkatkan
dengan plester/tensoplas.
11. Angkat jarum dari semprit atau jika memakai tabung vakum tusuk jarum ke tutup
tabung dan alirkan darah melalui dinding tabung.

Gambar 1. Lokasi pengambilan darah vena

Gambar 2. Pola tindakan aseptik

61
Gambar 3. Cara penusukan jarum yang tepat

B C

D E

Gambar 4. Beberapa kesulitan/kesalahan sehingga darah sukar di dapat


Cara memasangan torniquet yang benar :
a. ikat 7 10 cm di atas tempat punksi vena
b. < 1 menit
c. < 60 mmHg
Bendungan yang lama dan kencang menimbulkan hemokonsentrasi. Akibatnya hasil
pemeriksaan hematologi meningkat, kerusakan vena atau jaringan karena hipoksia
Akibatnya: kadar kalium
LDH
CPK meningkat
Tromboplastin jaringan

Penampung darah untuk pemeriksaan hematologi menggunakan tabung berisi antikoagulan


EDTA
K3EDTA : pH 7,4 mendekati pH darah
Proporsi /perbandingannya adalah 1 mg EDTA untuk 1 mL darah
Proporsi darah dan EDTA harus tepat, karena jika :
a. Kurang, maka darah membeku
b. Berlebihan : ertirosit mengerut yang berakibat :
Hematokrit rendah
Anemia palsu
62
Mcv mengecil
Mchc meningkat
Yang termasuk pemeriksaan hematologi antara lain :
a. Darah lengkap otomatis (Hb, leuko, trombo, Ht)
b. Retikulosit
c. LED
d. Aktivitas G6PD
e. Resistensi osmotik
f. Sitokimia
g. Parasit
h. Hapusan darah tepi (HDT)

Perubahan Kuantitatif Parameter Hematologi Pada Suhu Kamar Dan Lemari Es


Menggunakan Antikoagulan K3EDTA
Parameter 20 25oC 4 8oC
Jumlah leukosit 4 jam 24 jam
Jumlah eritrosit 12 jam 24 jam
Hemoglobin 24 jam 24 jam
Hematokrit 6 jam 24 jam
VER 6 jam 24 jam
HER 12 jam 24 jam
KHER 12 jam 24 jam
RDW 20 menit 24 jam
Jumlah trombosit 24 jam 24 jam
MPV 20 menit 20 menit
PDW 20 menit 20 menit

Penampung darah untuk pemeriksaan hemostasis gunakan tabung berisi antikoagulan sitrat.
Yang termasuk pemeriksaan hemostasis : PT, APTT, fibrinogen, TT
Darah yang diperlukan sebanyak 3 mL
Syarat : - Volume darah dan sitrat harus sesuai
- tidak boleh lisis
- tidak boleh ada bekuan
- 3 hari sebelumnya tidak memakai obat seperti aspirin

Penampung darah untuk pemeriksaan kimia darah dan serologigunakan tabung tanpa
antikoagulan.Yang termasuk pemeriksaan kimia darah :Gula darah, ureum, kreatinin,
bilirubin, SGOT, SGPT, -GT, ALP, albumin, globulin, LDH, kolesterol, trigliserida, CKMB,
asam urat, elektrolit
Yang termasuk pemeriksaan serologi :Widal, HBsAg, anti HCV, anti HAV, HIV, CRP, VDRL,
TPHA, ASTO, RF, tes kehamilan, tes narkoba.

63
Plasma 30%
Plasma 75%
Plasma 55%

normal polisitemia
anemia

Perkiraan banyaknya perolehan serum

Gambar 5. Perkiraan banyaknya perolehan serum

A. Dengan antikoagulan B. Tanpa koagulan


Gambar 6. Perbedaan plasma (A) dan serum (B)

64
Tabel 1. Pengambilan darah sesuai berat badan
Berat (kg) Max. volum sekali Max. volume sebulan
2,7 3,6 2,5 23
3,6 4,5 3,5 30
4,5 6,8 5 40
7,3 9,1 10 60
9,5 11,4 10 70
11,8 13,6 10 80
14,1 -15,9 10 100
16,4 18,2 10 130
18,6 20,5 20 140
20,9 22,7 20 160
23,2 25,0 20 180
25,5 27,3 20 200
27,7 29,5 25 220
30,0 31,8 30 240
32,3 34,1 30 250
34,5 36,4 30 270
36,8 38,6 30 290
39,1 40,9 30 310
41,4 43,2 30 330
43,6 45,5 30 350

Dalam pengiriman dan penerimaan darah perhatikan apakah spesimen memenuhi


syarat :
1. Apakah penampung kadaluarsa ?
2. Apakah label masih ada dan baik ?
3. Apakah darah yang diperoleh telah rusak ?
4. Apakah darah mengalami hemolisis ?
5. Apakah ada bekuan bila menggunakan antikoagulan ?
6. Apakah pengiriman memenuhi syarat lama, suhu ?
7. Apakah volume darah telah sesuai ?
8. Apakah antikoagulan yang digunakan telah sesuai ?
9. Apakah darah tercampur bahan infus ?

65
9.2 PEMBUATAN SEDIAAN HAPUS DARAH TEPI

1. Pilihlah kaca obyek yang tepinya rata untuk digunakan sebagai kaca pemulas (spreader).
Pada sisi pendek kedua sudut diamplas secara diagonal atau dapat digunakan ka
2. ca tutup sehingga sediaan yang dihasilkan tidak sampai ke tepi kaca obyek.
3. Ambil kaca obyek lainnya yang bersih dan bebas lemak lalu letakkan setetes darah utuh
dengan batang gelas pengaduk kira-kira 1 cm dari ujung kaca. Letakkan kaca obyek
tersebut ditempat yang rata dengan tetesan darah di sebelah kanan.
4. Peganglah sisi kiri kaca obyek dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Kaca pemulas
dipegang dengan tangan kanan dan letakkan di depan tetesan darah yang dengan kaca
obyek membentuk sudut kira-kira 250 membuka ke kanan.
5. Kaca pemulas digeser ke arah kanan sehingga menyinggung tetesan darah. Darah tersebut
akan segera menyebar sepanjang sisi kaca pemulas.
6. Jagalah agar sudut kedua kaca obyek tetap 300. Kemudian doronglah kaca pemulas
dengan mantap sepanjang kaca obyek. Ulangilah untuk beberapa sediaan. Keringkan di
udara, setelah kering siap untuk diwarnai.

Pewarnaan sediaan apus


Untuk mendapatkan hasil pewarnaan yang baik, sediaan sudah harus dicat dalam waktu
1 jam sesudah dibuat. Bila pengecatan ditunda, sediaan apus harus difiksasi dahulu dengan
methanol.

Pewarnaan Wright :
1. Letakkan sediaan di rak pengecatan dengan sediaan menghadap sebelah atas.
2. Genangi sediaan dengan cat Wright biarkan + 1 menit kemudian tambahkan larutan
penyangga sama banyak tanpa tumpah (luber) kemudian biarkan selama 15 menit.

66
3. Jika waktunya sudah tercapai cucilah sediaan di bawah air kran yang mengalir pelan dan
jika sudah bersih segera keringkan dengan mendiamkannya disuhu ruang dengan posisi
miring.
Cara pemeriksaan.
1. Periksalah sediaan apus di bawah mikroskop dengan perbesaran lemah (obyektif 10 x).
a. Leukosit sebaiknya merata penyebarannya.
b. Taksirlah kesan jumlah leukosit (jumlahnya per sejumlah eritrosit). Apakah sesuai
dengan hitung leukosit, bila tidak sesuai dengan jumlah hitung leukosit maka harus
diulang.
c. Periksalah sediaan dari daerah kepala sampai ekor. Umumnya bagian ekor selnya
lebih besar, seperti monosit, neutrofil. Sel yang lebih kecil seperti limfosit ada di
bagian kepala/badan.
d. Pada pengamatan sepintas catatlah bila dijumpai kelainan.
e. Pilihlah sediaan di bagian yang eritrositnya tidak saling menumpuk.
2. Hitunglah macam bentuk leukosit per 100 sel leukosit, laporkan hasilnya dalam %.
3. Cara menghitung bentuk leukosit menggunakan alat yang disebut Differential Cell
Counter.
Bila tidak tersedia buatlah kolom seperti berikut :

Jenis sel Kolom Jumlah


VII
I II III IV V VI VII IX X
I
Basofil -
Eosinofil II I I I 4
Batang I I I I 4
Segmen IIII IIII IIII IIII IIII
IIII IIII IIII IIII II 55
I I II II I
Limfosit IIII
II III II III IIII IIII IIII II II 34
II
Monosit I I I 3
Jumlah 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 100

Sumber kesalahan :
1. Kesalahan tehnis sediaan apus :
a. Tetesan darah terlalu banyak/sedikit.
b. Cara mendorong kaca pemulas tersendat-sendat.
c. Kaca pemulas tidak menempel dengan tepat pada kaca benda.
d. Sudut antara kaca pemulas dan kaca obyek tidak tepat 25 0, sehingga sediaan terlalu
tebal dan sebaliknya.
e. Setelah sediaan kering harus segera difiksasi, bila ditunda mengakibatkan perubahan
morfologi eritrosit.
2. Kesalahan tehnik pengecatan :
a. Bila terlalu asam hasilnya terlalu merah, dan sebaliknya bila terlalu basa hasilnya biru
(pH larutan penyangga sangat kritis, penting diperhatikan).
b. Rak pengecatan harus tepat dan benar.
c. Pembilasan yang tidak bersih.
d. Sisa air dalam sediaan mengakibatkan warnanya pucat.

67
9.3 MENENTUKAN GOLONGAN DARAH ABO DAN RH MENGGUNAKAN
DARAH KAPILER ATAU DARAH EDTA

Pendahuluan.
Sejak penemuan Landsteiner (1901) sampai sekarang telah ditemukan lebih dari 100
antigen golongan darah. Untuk kegunaan klinis yang terpenting adalah sistem golongan darah
ABO dan Rh.
Pada sistem golongan darah ABO dapat dibedakan menjadi 4 golongan darah yaitu : A,
B, AB, dan O. Penggolongan darah tersebut didasarkan pada adanya antigen-A atau antigen-
B pada permukaan membran eritrosit. Orang dengan golongan darah O tidak memiliki
antigen-A dan antigen-B, golongan darah A hanya memiliki antigen A, golongan darah B
hanya memiliki antigen-B dan golongan darah AB memiliki antigen-A maupun antigen-B
pada permukaan membran eritrosit. Orang dengan golongan darah O memiliki antibodi-A dan
antibodi-B, golongan darah A hanya memiliki antibodi-B, golongan darah B hanya memiliki
antibodi-A dan golongan AB tidak memiliki antibodi-A maupun antibodi-B dalam
serumnya.
Sistem Rh untuk kepentingan klinik cukup menentukan, golongan darah Rh dibedakan
menjadi golongan darah dengan Rh-positif atau Rh-negatif. Tes ini memeriksa reaksi sel
eritrosit terhadap antibodi Rh yang dikenal dengan nama anti-D. Oleh karena proses
aglutinasi yang terjadi adalah reaksi antara antigen-antibodi maka antigen (Ag) disebut juga
aglutinogen dan antibodi (Ab) disebut aglutinin.

Dasar
Penentuan golongan darah didasarkan pada reaksi antigen-antibodi yaitu suspensi
eritrosit atau whole blood direaksikan dengan antibodi yang telah diketahui. Golongan darah
ditentukan sesuai dengan antigen yang dimiliki oleh permukaan membran eritrosit,
ditunjukkan dengan adanya aglutinasi. Bila antigen ada dalam eritrosit seseorang maka
serumnya tidak mengandung antibodinya seperti terlihat pada tabel berikut ini :

Golongan Darah Antigen dalam Eritrosit Antibodi dalam Serum


O Nihil Anti-A dan anti-B
A A Anti-B
B B Anti-A
AB AB Nihil

Spesimen
Suspensi eritrosit yang akan diperiksa dari whole blood (darah utuh) atau darah EDTA
(atau darah antikoagulan lainnya yang dicuci dengan saline 0.85% 3x, lalu eritrosit yang telah
dicuci diencerkan dengan saline yaitu 0.3 mL eritrosit yang telah dicuci ditambah degan 0.3
mL saline = suspensi 50%).

Peralatan dan reagen :


1. Suatu panel reagen yang terdiri atas :
a. Serum anti-A biasanya berwarna biru atau hijau
b. Serum anti-B biasanya berwarna kuning
c. Serum anti-AB biasanya berwarna merah muda/tidak berwarna
2. Larutan saline 0.85%
3. Pipet Pasteur, sentrifus dan mikroskop.
Cara kerja .
Menggunakan metode kaca obyek :

68
1. Pada sebuah kaca obyek teteskan 1 tetes serum anti-A di sebelah kiri, 1 tetes serum
anti-B di tengah dan 1 tetes serum anti-AB di sebelah kanan. Pada kaca obyek yang
lain teteskan 1 tetes serum anti-D di sebelah kiri, 1 tetes serum yang diperiksa
(kontrol) disebelah kanan.
2. Pada masing-masing serum teteskan 2 tetes whole blood EDTA atau darah kapiler,
campurkan dengan cara menggoyangkan ke depan dan ke belakang, sambil diamati
aglutinasi yang terjadi. Pengamatan dilakukan dalam waktu 2 menit setelah
pencampuran serum dan whoole blood.

Cara penilaian :

Aglutinasi terjadi pada Penilaian


Anti-A Anti-B Anti-AB Anti-D Golongan Rh
darah
+ - + - A Negatif
- + + - B Negatif
+ + + - AB Negatif
- - - - O Negatif

Serum kontrol pada penilaian ini boleh terjadi aglutinasi, bila terjadi aglutinasi dan tidak
ada kesalahan maka kemungkinan mempunyai antibodi (aglutinin) dingin/panas, perlu
pemeriksaan lebih lanjut.
Menghindari kesalahan :
1. Masing-masing tidak boleh tercemar oleh serum yang lain.
2. Kalau hasil pengamatan aglutinasi meragukan, maka dapat diamati di bawah mikroskop.
(hati-hati jangan sampai keliru dengan rouleaux).

69
DAFTAR TILIK TEKNIK PENGAMBILAN DARAH VENA PERIFER
SKOR
NO. ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1. Menyiapkan peralatan :
Tabung penampung darah vacutainer
Spuit injeksi + jarum steril
Kapas alkohol
Torniquet
Plester
Memasang sarung tangan
2. Memberikan penjelasan kepada pasien tentang fungsi
pengambilan darah vena
- Diperagakan dengan memberikan penjelasan pada pasien
3. Memberikan penjelasan kepada pasien berapa volume darah
yang diambil
- Diperagakan dengan menunjukkan batas tinggi darah
pada tabung vacutainer
4. Menyiapkan pasien untuk proses pengambilan darah :
a. Melakukan perabaan pada vena yang akan ditusuk
b. Melakukan desinfeksi dengan kapas alkohol yang sudah
diperas kering
c. Memasang torniquet setinggi 2 jari di atas lipat siku
5. Melakukan penusukan jarum ke vena terpilih :
a. Tusuk jarum ke dalam vena terpilih dengan bagian mulut
jarum menghadap ke atas
b. Mengamati apakah darah sudah masuk ke pangkal jarum
c. Jika darah sudah tampak tekan pangkal jarum dengan
halus, lalu hisap darah sampai volume yang diinginkan
6. Melakukan penarikan jarum dan penutupan luka akibat
jarum :
a. Peras kapas alkohol hingga kering lalu letakkan di atas
kulit yang ditusuk jarum
b. Tekan dengan lembut kapas tersebut kemudian minta
pada pasien untuk menarik nafas sambil menarik jarum
ke luar
c. Letakkan spuit di atas meja lalu tekan kapas alkohol
kemudian rekatkan dengan plester
7. Memasukkan darah dari spuit ke dalam tabung vacutainer :
a. Ambil tabung lalu tusuklah tutup tabung dengan jarum
yang berisi darah
b. Biarkan darah mengalir hingga berhenti sendiri
c. Cabut jarum lalu tutup dengan penutup jarum
menggunakan satu tangan
d. Buang jarum dan spuit di tempat pembuangan biohazard
8. Membersihkan dan merapikan alat-alat yang telah
digunakan

70
DAFTAR TILIKTEKNIK PEMBUATAN HAPUSAN DARAH TEPI

SKOR
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1 Pemeriksa mengenakan sarung tangan
Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan untuk pembuatan
2
sediaan apus
3 Memilih kaca objek yang tepinya rata untuk kaca pemulas
Meletakkan setetes plasma darah pada kaca objek lain dengan
4 batang gelas pengaduk pada kira-kira 1 cm dari ujung kaca dan
ditengah-tengah dari kedua sisi panjang
Meletakkan kaca objek tersebut ditempat yang rata dengan tetesan
5
darah di sebelah kanan
Memegang sisi kiri kaca objek dengan ibu jari dan telunjuk tangan
6
kiri.
Memegang kaca pemulas dengan tangan kanan dan meletakkannya
7 didepan tetesan darah membentuk sudut kira-kira 25o membuka ke
kanan.
Menggeser kaca pemulas ke kanan sehingga menyinggung tetesan
8
darah.
9 Menjaga agar sudut kedua kaca objek tetap 25o 30o
Mendorong kaca pemulas dengan mantap dan cepat sepanjang kaca
10
objek
11 Mengeringkan sediaan di udara
PEWARNAAN WRIGHT
Meletakkan sediaan pada rak pengecatan dengan arah menghadap
1
ke sebelah atas
2 Menggenangi sediaan dengan cat Wright selama 1 menit
Menambahkan larutan penyangga sama banyak tanpa tumpah dan
3
mendiamkan selama 15 menit.
Mencuci sediaan di bawah air kran atau aquadest lalu mengeringkan
4
di udara.
CARA PEMERIKSAAN
Memeriksa sediaan apus dibawah mikroskop dengan perbesaran
lemah (obyektif 10 x)
- Memeriksa penyebaran leukosit
- Menaksir kesan jumlah leukosit (jumlahnya per
1 sejumlah eritrosit
- Memeriksa sediaan dari daerah kepala sampai ekor
- Mencatat adanya kelainan
- Memilih sediaan di bagian eritrosit yang tidak
menumpuk
2 Menghitung jenis dan bentuk leukosit per 100 sel leukosit
3 Membersihkan alat-alat yang telah digunakan

71
DAFTAR TILIKPEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH

SKOR
NO. ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1. Menyiapkan peralatan :
a. Mengambil reagen golongan darah 4 botol
b. Mengambil objek glass 2 buah
c. Mengambil batang pengaduk atau kaca tutup
d. Mengambil tabung vakutainer berisi darah
e. Memakai sarung tangan
2. Melakukan pemeriksaan golongan darah
a. Meneteskan setetes darah (20 uL) masing-
masing di sisi kiri dan kanan ke 2 kaca objek
b. Lalu aduk dengan kaca pengaduk atau ujung
kaca tutup yang berbeda
3. Menganalisa hasil pemeriksaan golongan darah
a. Setelah diaduk lalu goyang sedemikian rupa
sambil diamati perubahan yang terjadi
b. Amati apakah ada aglutinasi atau tidak, jenis
golongan darah sesuai dengan adanya aglutinasi
4. Membuat laporan hasil pemeriksaan golongan darah
a. Golongan darah A/B/AB/O
b. Rhesus + / -
5. Membersihkan peralatan yang digunakan dan simpan
kembali reagen pada suhu 2-8C

Keterangan :
0 : tidak dilakukan
1 : dilakukan tapi tidak benar
2 : dilakukan dengan benar

72
BAB X

KETRAMPILAN PEMERIKSAAN MUSKULOSKELETAL

10.1 PENDAHULUAN
Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting dalam penetapan diagnosis penyakit
muskuloskeletal. Dalam diagnosis sistem ini, 70% ditentukan oleh anamnesis, 20%
ditentukan oleh pemeriksaan fisik, dan 10% leh pemeriksaan laboratorium. Pada ketrampilan
ini, hanya akan dibahas tentang pemeriksaan fisik pada sistem muskuloskeletal.
Ketrampilan pemeriksaan muskuloskeletal mencakup:
1. Inspeksi postur dan gerakan tubuh
2. Inspeksi dan palpasi tulang dan sendi, serta penilaian range of motion sendi
3. Pemeriksaan tenaga, tonus, dan trofik otot
4. Ketrampilan komunikasi dalam pemeriksaan muskuloskeletal

10.2 Inspeksi postur dan gerakan tubuh


Manusia adalah makhluk dengan belahan tubuh yang persis sama (simetris).
Ketidaksesuaian ukuran tubuh biasanya terlihat dengan jelas. Bila ditemukan adanya
ketidaksesuaian ukuran tubuh, tentukan apakah kelainan tersebut disebabkan oleh
pembesaran ukuran/hipertrofi, atau disfungsi dan kemudian diikuti pengecilan ukuran/atrofi.
Perhatikan proporsi rentang lengan dan sumbu tulang rangka. Pada dewasa normal, ukuran
keduanya sama dan rasio segmen-segmen tersebut adalah 1 : 1. Jarak antara ujung jari kanan
dan kiri dengan lengan yang direntangkan sama dengan tinggi badan. Jarak simfisis pubis ke
ujung kepala dan dari simfisis pubis ke lantai biasanya sama. Pada anak sampai usia 10
tahun, batang tubuhnya lebih panjang daripada tungkainya dengan rasio 1,7 : 1.
Perhatikan gaya berjalan pada saat pasien memasuki kamar periksa. Ayunan
ekstensi/fleksi lutut harus halus dan mantap. Lutut yang difleksikan pada satu sisi
menunjukkan adanya proses patologis pada sisi tersebut. Pincang atau gaya berjalan
abnormal sering disebabkan oleh nyeri atau kelemahan otot. Pasien dengan spondilitis
ankilosa yang berat biasanya datang dengan kepala membungkuk ke depan, punggung lurus
dan tidak mobil, perut menonjol, berjalan dengan kedua kaki lebar, dan pada saat bertatap
mata dengan dokter dia harus memiringkan tubuhnya ke belakang.

10.3 Inspeksi dan palpasi tulang dan sendi, serta penilaian range of motion sendi
Pemeriksaan muskuloskeletal sebagian besar terdiri dari inspeksi dan palpasi sendi.
Point kunci yang perlu diperhatikan dalam inspeksi dan palpasi adalah pembengkakan
(swelling/S), nyeri tekan (tenderness/T), dan pembatasan gerakan (loss of motion/L). S, T,
dan L bisa dinilai dalam range 0-4. Secara umum, 0 berarti normal, 1 berarti kelainan ringan,
2 berarti kelainan moderat, 3 berarti kelainan bermakna, 4 berarti kelainan maksimal. Tanda-
tanda fisik lain seperti suhu, perubahan warna pada sendi, krepitasi, dan deformitas bisa
ditambahkan. Krepitasi adalah sensasi grating (seperti bunyi kapur digesekkan ke bidang
yang kasar) atau crunching (seperti bunyi gigi mengunyah) yang bisa diraba atau didengar
akibat gerakan sendi atau tendon.

1. Leher dan tulang belakang


Inspeksi.
Inspeksi dilakukan dalam keadaan pasien berdiri. Perhatikan adanya lengkungan keluar
vertebra thorakalis yang dimulai dari vertebra prominens. Ini diikuti dengan
lengkungan vertebra lumbalis ke dalam, dan kemudian lengkungan sakrum ke arah luar.

73
Adanya kifosis ringan pada vertebra thorakalis sering menyertai osteoporosis pada
proses penuaan. Sikap bahu yang buruk dengan bahu yang turun juga dapat
menimbulkan kifosis.
Lordosis yang berlebihan pada vertebra lumbalis ditandai oleh adanya alur yang dalam
di antara otot-otot paraspinalis lumbalis dan perut yang gendut. Kehamilan, kontraktur
fleksi pada pinggul, dan tendon Achilles yang pendek dapat menyebabkan lordosis.
Scoliosis adalah lengkungan vertebra ke arah lateral. Scoliosis ringan hanya akan
diketahui dengan meraba processus spinosus. Apabila ada scoliosis, tentukan lokasi,
tempat lengkungan utama, dan bentuk lengkungannya. Kalau scoliosisnya struktural,
selalu ada rotasi. Minta pasien untuk membungkuk ke depan dan menyentuh jari
kakinya. Scoliosis postural (tidak berotasi) akan menghilang, sedangkan scoliosis
struktural tetap ada.

Lakukan juga inspeksi apakah ada benjolan, bekas trauma atau pembedahan pada
bagian kulit di atas tulang belakang.
Palpasi.
Lakukan palpasi prosessus spinosus vertebralis untuk melihat adanya nyeri tekan.
Kalau menemukan nyeri tekan, tentukan lokasi tiap vertebra dengan jari dan ketuk jari
dengan palu perkusi. Perkusi dapat menentukan vertebra yang terganggu. Minta pasien
untuk menunjukkan tempat yang tepat dimana rasa nyeri terasa paling hebat.
Palpasi kelompok otot paraspinal pada kedua sisi tulang belakang. Palpasi apakah ada
spasme otot, perbedaan tonus otot, dan benjolan.
Minta pasien meletakkan satu kaki pada kursi, kemudian palpasi tuberositas
ischiadicus, sulcus ischiadicus, dan trochanter mayor, dengan cara meletakkan ibu jari
pada trochanter mayor dan telunjuk pada tuberositas ischiadicus. Dengan tekanan yang
kuat, palpasi sulcus ischiadicus di antara kedua tempat tersebut. Nyeri yang timbul pada
palpasi sulcus ischiadicus menunjukkan adanya iritasi nervus ischiadicus.
Pemeriksaan rentang gerakan (ROM).
Range of motion (ROM) adalah pengukuran fleksibilitas sendi dengan mengobservasi
besar derajat suatus endi dapat bergerak dari suatu posisi netral. Alat pengukur ROM
disebut goniometer. Goniometer diletakkan pada sendi dan dua lengannya disejajarkan
dengan tulang-tulang yang dihubungkan dengan sendi. ROM yang terbatas bisa

74
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kelemahan otot, kerusakan saraf, kerusakan
tulang belakang, dan artritis.
Ada 2 jenis pengukuranm yaitu active ROM dan passive ROM. Pada active ROM,
pasien diminta menggerakkan sendinya, dan pasien diobservasi untuk adanya
penurunan atau peningkatan gerakan sendi dibanding sendi normal ataupun sendi
kontralateral. Perhatikan juga apakah adanya sendi pada waktu digerakkan, dan apakah
ada bunyi krepitus (popping). Pada passive ROM, sendi digerakkan secara pasif atau
digerakkan oleh pemeriksa, dan perhatikan lagi apakah ada penurunan atau peningkatan
gerakan sendi dibanding sendi normal ataupun sendi kontralateral, nyeri waktu
digerakkan dan adanya krepitus.
Gerakkan sendi pasien dalam suatu rentang gerakan (range of motion/ROM), yaitu
membungkuk ke depan (antefleksi), ekstensi ke belakang (retrofelksi), memiringkan
tubuh ke lateral (laterofleksi), dan rotasi. Pada saat rotasi, pinggul harus distabilkan
dengan tangan pemeriksa atau dengan menyuruh pasien duduk di meja.
Apabila ada keluhan nyeri punggung, terdapat lima pemeriksaan yang memperjelas
penyebabnya. Pertama, tes mengangkat tungkai dalam keadaan lurus. Pasien diminta
berbaring telentang untuk melakukan tes ini. Dengan satu tangan di belakang
pergelangan kaki dan lutut diekstensikan, angkat seluruh ekstremitas inferior secara
perlahan sampai pasien merasakan nyeri pada punggung bawah. Catat sudut yang tepat
dimana nyeri mulai timbul. Ulangi tes sampai titik tepat sebelum nyeri timbul dan
dorsofleksikan kaki. Ini akan menyebablan traksi pada nervus ischiadicus. Adanya
nyeri memastikan adanya iritasi nervus ischiadicus. Nyeri ischiadicus paling sering
timbul pada elevasi 40-60. Nyeri sacroiliaca, bila ada, hanya akan timbul pada elevasi
penuh.
Pemeriksaan kedua adalah untuk menunjukkan gangguan pada sendi sacroiliaca.
Letakkan satu tangan pada bahu pasien, lalu dengan tangan lainnya, dorong lutut yang
difleksikan ke arah bahu kontralateral. Ini akan meregangkan sendi sacroiliaca dan
memperberat nyeri pada sendi tersebut.
Pemeriksaan ketiga adalah untuk membedakan nyeri yang berasal dari vertebra.
Letakkan lutut pasien pada dadanya dalam posisi fetus. Secara individual, fleksikan tiap
lutut dan pinggul dengan mendorong lutut ke dinding dada. Tindakan ini akan
meregangkan sendi lumbosacral. Pasien yang menderita nyeri pada sendi lumbosacral
sering menolak untuk berbaring telentang, mereka cenderung untuk memfleksikan lutut
dan pinggul.
Pemeriksaan keempat adalah dengan meminta pasien menyilangkan kedua tangannya di
dada dan mulai melakukan sit-up. Di sini dapat ditentukan segmen musculus rectus
yang lemah akibat gangguan saraf karena kelainan di tulang belakang.
Pemeriksaan kelima adalah dengan meminta pasien tiarap, kemudian angkat satu paha
dari meja sehingga tungkai mengalami hiperekstensi. Hiperekstensi tungkai ini dapat
memperberat nyeri akibat herniasi discus, sacroiliitis, dan sprain lumbosacral.
2. Panggul/pelvis
Karena pelvis merupakan salah satu sendi penyangga berat badan, pemeriksaan fungsi
yang dilakukan adalah pada saat berdiri dan berjalan. Pada pemeriksaan otot, otot-otot
utama pada panggul dikelompokkan dalam 4 sektor, yaitu otot fleksor panggul yang
terletak di anterior, otot abduktor medial yang terletak di medial, otot abduktor lateral
yang terletak di lateral trochanter, dan otot ekstensor panggul yang terletak di posterior.
Inspeksi.
Dalam posisi berdiri, pasien dengan artritis pinggul akan menyokong sebagian besar
berat badannya pada sisi yang tidak sakit. Carilah adanya fleksi ringan lutut pada sisi
yang sakit. Otot gluteus maximus sisi yang sakit mungkin akan mengalami atrofi.

75
Perhatikan adanya pembengkakan, bekas trauma, atau bekas pembedahan pada daerah
panggul.
Palpasi.
Dalam keadaan berdiri menghadap pasien, periksa apakah ada pelvic tilt, yaitu dengan
meletakkan ibu jari tangan pada spina iliaca anterior superior dan jari tengah pada
trochanter mayor femur. Jika spina iliaca lebih tinggi pada satu sisi dan trochanter
mayor juga lebih tinggi, kemungkinan tungkai yang berlawanan lebih pendek atau
mengalami fleksi kontraktur yang menetap. Jika spina iliaca lebih rendah, tapi
trochanter mayor sejajar dengan trochanter di sisi kontralateral, mungkin terjadi
pemendekan caput femoralis. Dalam keadaan ini, otot gluteus medius sisi yang sakit
akan teraba lemah, lunak, dan mudah ditekan sampai cekung.
Minta pasien berdiri di atas satu tungkai. Otot gluteus medius pada sisi yang disangga
akan berkontraksi dan mempertahankan tinggi pelvis. Cekungan di atas spina iliaca
posterior superior dapat ditandai dengan pena. Kalau gluteus berkontraksi, biasanya
otot tersebut akan menaikkan pelvis sisi yang tidak disangga dan cekungan tersebut
akan naik. Hal ini disebut dengan tes Trendelenburg negatif atau normal. Jika otot
gluteus medius pada sisi yang disangga lemah atau tidak berfungsi, pelvis dan
cekungan pada sisi yang tidak disangga akan tetap pada ketinggian yang sama atau
malah turun.
Kemudian lakukan palpasi keempat sektor otot. Dengan menghadap pasien, ibu jari
diletakkan di spina iliaca anterior superior, dan palpasi tuberculum iliaca dan crista
iliaca. Gerakkan tangan ke bawah dan palpasi trochanter mayor dengan ibu jari
terletak di tuberculum pubis. Di bagian posterior, palpasi spina iliaca posterior
superior, processus spinosus, dan sacrum. Periksa apakah ada atrofi, hipertrofi,
spasme otot, dan nyeri tekan.
Minta pasien berbaring pada satu sisi, dan kaki sebelah atas difleksikan pada sendi
panggul dan sendi lutut. Palpasi tuberositas ischii, kemudian di sebelah titik ini
lakukan palpasi nervus ischiadicus yang terletak di antara tuberositas ischii dan
trochanter mayor. Palpasi otot-otot dan jaringan lunak di daerah trigonum femoralis,
trochanter mayor, crista iliaca, dan punggung bawah, untuk memeriksa adanya atrofi,
hipertrofi, spasme, dan nyeri tekan.
Minta pasien berbaring telentang, lalu minta pasien mengangkat tungkai dengan lurus.
Jika terasa tidak nyaman, minta pasien memfleksikan lutut pada sisi yang tidak sakit
ke arah dada, apabila tungkai yang sakit naik, maka derajat kenaikannya menunjukkan
besarnya kontraktur fleksi yang terjadi. Ini disebut dengan tanda Thomas.
Pemeriksaan ROM.
Dengan tungkai diluruskan ke bawah, abduksikan tungkai ke lateral sampai
membentuk sudut 45, lalu adduksikan dengan jarak yang sama, sehingga total
membentuk sudut 90. Pada adduksi normal, sepertiga medial paha yang berlawanan
dapat disilangkan.
Fleksi penuh (115-137) harus dapat membawa tungkai sampai ke dada.
Periksa gerakan rotasi dengan memfleksikan lutut dan menggerakkan kaki ke luar
untuk memeriksa endorotasi dan gerakkan kaki ke dalam untuk memeriksa eksorotasi.
Dalam keadaan normal, endorotasi adalah 35, dan eksorotasi adalah 45. Minta
pasien untuk tiarap, lalu letakkan satu tangan pada bokong dan angkat tungkai untuk
memeriksa ekstensi, biasanya sekitar 40-45.

76
3. Lutut
Inspeksi.
Perhatikan apakah ada pembengkakan pada sendi lutut. Perhatikan juga apakah
kontur otot simetris pada kedua sisi. Juga inspeksi apakah ada bekas trauma atau
pembedahan pada lutut.
Palpasi.
Lutut lebih mudah dipalpasi apabila difleksikan 90. Minta pasien duduk di tepi
meja periksa. Letakkan tangan pada lutut sehingga jari tangan pemeriksa
membentuk lengkungan di sekitar poplitea posterior. Palpasi otot, tendo, jaringan
lunak dan tulang di anterior dengan ibu jari tangan. Endorotasikan tibia agar dapat
mempalpasi meniscus medialis. Untuk mempalpasi meniscus lateralis, kaki
difleksikan sedikit. Di posterior, palpasi tendon, otot, dan arteri pada fossa
poplitea.
Untuk memeriksa adanya efusi pada lutut, lakukan ballotement patella, dengan
menekan patella dengan satu tangan, bila ada cairan akan terdengar bunyi klik
ketika patella memukul femur. Kemudian dengan hati-hati lakukan pengurutan
kantong suprapatella ke bawah, dan bila ada efusi akan terbentuk tonjolan pada
kedua sisi patella.
Gambar 16.16 A, ballotement patella; B, pengurutan kantong suprapatella
Pemeriksaan ballotement juga bisa dilakukan dengan menekan bagian atas lutut
untuk mendorong cairan ke belakang patella, lalu patella diketuk, apabila patella
mengalami rebound ke jari pemeriksa, berarti ada cairan.

Pemeriksaan ROM.
Minta pasien duduk di meja periksa, lalu lakukan fleksi dan ekstensi tungkai.
Ekstensi lutut dapat terjadi sampai 0, fleksi sampai 135, endorotasi dan
eksorotasi masing-masing 10.
4. Kaki
Inspeksi.
Perhatikan apakah ada pes planus/kaki datar, dimana arcus longitudinalis medialis
kaki menghilang. Kaki pasien nampak datar, dan biasanya timbul kalus pada caput
talus. Claw toes menunjukkan adanya fleksi pada sendi interfalang proksimal dan
distal, serta hiperekstensi pada sendi metatarsofalangeal. Hammer toes ditunjukkan

77
oleh adanya hiperekstensi sendi metatarsofalangeal dan interfalangeal distal serta
fleksi sendi interfalangeal proksimal.
Inspeksi juga apakah terdapat pembengkakan, asimetri, dan bekas trauma atau
pembedahan pada kaki.
Palpasi.
Palpasi seluruh kaki, terutama di sekitar malleolus, kaput metatarsal, talus,
kalkaneus, dan tendon Achilles. Perhatikan tonjolan tulang, otot, dan jaringan
lunak pada kaki, apakah ada nyeri dan pembengkakan, serta dan bandungkan
dengan sisi kontralateral
Pemeriksaan ROM.
Lakukan pemeriksaan ROM secara pasif dengan mengekstensikan lutut dan
mendorsofleksikan kaki (20), lalu lakukan fleksi plantar (50). Lakukan inversi
dengan memutar telapak kaki ke dalam, dan eversi dengan memutar telapak kaki
ke luar, masing-masing sampai 15.
Pemeriksaan ROM secara aktif bisa dilakukan dengan meminta pasien berjalan di
atas jari kaki (memeriksa fleksi plantar dan gerakan jari kaki), berjalan di atas
tumit (memeriksa dorsofleksi), berjalan dengan tepi lateral kaki (memeriksa
inversi), dan berjalan dengan tepi medial kaki (memeriksa eversi).
5. Bahu
Inspeksi.
Lakukan inspeksi bahu dari depan dan belakang, dengan membandingkan tiap
daerah dengan sisi kontralateralnya. Perhatikan kesimetrisannya, dan pusatkan
perhatian pada clavicula, sendi acromioclavicular dan sendi claviculosternal,
sulcus dan otot deltoid-pectoralis, serta scapula. Perhatikan adanya perubahan
anatomis, pembengkakan, bekas trauma, atrofi dan bekas pembedahan.
Palpasi.
Lakukan palpasi anatomi bahu dari belakang pasien. Palpasi clavicula, sendi
acromioclavicular dan sendi claviculosternal, acromion, processus coracoid, otot
deltoid, otot pectoralis, otot trapezius, tuberositas mayor humeri, scapula, dan
axilla. Minta pasien memfleksikan dan mengabduksikan bahu beberapa kali saat
memeriksa sendi acromioclavicular, dan rasakan gerakan sendi dengan jari, untuk
mengetahui apakah ada nyeri tekan dan krepitus. Rotator cuff dapat dipalpasi
dengan memegang lengan pasien di atas siku dan mengangkat siku ke posterior.
Rotator cuff bisa dipalpasi di anterior inferior acromion. Sulcus bicipital dapat
dipalpasi jika lengan difleksikan dan dirotasikan ke medial dan lateral secara
berulang-ulang, sehingga sulcus tersebut bisa dikenali di antara kedua tuberositas
humeri. Rotasi eksternal membuat sulcus tersebut lebih mudah dipalpasi.
Pemeriksaan ROM.
Untuk memeriksa abduksi, minta pasien menggerakkan lengan ke luar dan ke atas
seperti burung mengepakkan sayap. Scapula mulai berotasi pada sudut 30.
Lakukan fiksasi scapula dengan tangan dan pasien harus dapat mengabduksikan
bahu sampai 90. Jika ini dapat dilakukan, kemudian mengangkat lengannya di
atas kepala (180), bisa dipastikan tidak ada gangguan anatomis atau cedera yang
berat.
Adduksi dilakukan dengan meminta pasien meletakkan tangannya di puncak bahu
kontralateral, dengan siku di atas sternum (135). Antefleksi dapat dilakukan
sampai 180.
Endorotasi diperiksa dengan meminta pasien menggaruk punggungnya di bagian
antara batas bawah bahu dengan ibu jarinya. Eksorotasi diperiksa dengan

78
melakukan ayunan ke belakang untuk melakukan pukulan tenis. Dengan siku
difleksikan secara parsial, tangan didorong ke belakang sejauh mungkin.
Endorotasi normal sampai 55, eksorotasi sampai 40-45.

Endorotasi Eksorotasi
Tes Speed dapat mengenali adanya tendonitis bisipital, yang dapat dilakukan
dengan meminta pasien mengekstensikan lengan dengan telapak tangan
menghadap ke atas, lalu lakukan tekanan ke bawah pada telapak tangan, dan minta
pasien menahannya. Bila terdapat nyeri saat menahan tekanan, diduga ada
peradangan tendo kaput langum otot biseps brachii.

6. Siku
Inspeksi.
Inspeksi sudut angkat siku dan bagian-bagian siku. Lakukan ekstensi lengan
sepenuhnya di sisi tubuh. Sudut angkat normal membuat siku dapat dimasukkan ke
cekungan pinggang di atas crista iliaca. Sudut angkat siku yang normal pada pria
adalah 5-10, dan pada wanita adalah 10-20.
Bandingkan segitiga yang terbentuk antara epicondylus medialis dan lateralis
dengan ujung olecranon antara kedua sisi (kanan dan kiri), pada waktu siku fleksi
90, dan segitiga itu akan menjadi lurus saat siku diekstensikan.
Lakukan juga inspeksi adanya pembengkakan, kemerahan, deformitas, atrofi,
bekas trauma atau pembedahan pada daerah siku.
Palpasi.
Dengan satu tangan di sekitar biseps pasien, lakukan abduksi dan ekstensi lengan,
dan minta pasien memfleksikan siku kira-kira 90. Kemudian lakukan palpasi
semua tonjolan anatomis pada siku (epicondylus medialis dan lateralis, olecranon,
fossa olecrani, caput radii), apakah ada nyeri tekan, panas, benjolan, atau

79
pembengkakan. Kedua epicondylus dan apex olecrani membentuk segitiga sama
sisi ketika siku fleksi 90 dan menjadi garis lurus bila siku diekstensikan. Caput
radii dipalpasi dengan satu jari saat pronasi dan supinasi.

Pemeriksaan ROM.
Mintapasien melakukan fleksi siku, normalnya menyisakan jarak 30 antara lengan
atas dan lengan bawah.
Ekstensi penuh harus membuat lengan atas dan bawah membentuk garis lurus.
Pronasi dan supinasi lengan bawah dapat dilakukan pada siku atau bahu dengan
abduksi dan adduksi. Untuk memeriksa siku, siku harus difiksasi pada sisi tubuh
dan minta pasien melakukan pronasi dan supinasi pada lengan bawah. Pronasi
sedikit kurang dari 90, dan supinasi 90 penuh.

7. Tangan/pergelangan tangan
Inspeksi.
Lakukan inspeksi pada sendi pergelangan tangan dan tangan, apakah terdapat
pembengkakan, kemerahan, deformitas, asimetri, bekas trauma ataupun
pembedahan. Mallet finger terjadi bila terdapat ruptur tendon ekstensor pada
insersionya di falang distal, sehingga terjadi fleksi paksa dan ketidakmampuan
mengekstensikan sendi interfalang distal, sedangkan sendi interfalang proksimal
masih bisa ekstensi normal. Jersey finger terjadi bila terjadi avulsi tendon fleksor
digitorum profundus pada insersionya di falang distal, sehingga terjadi fleksi paksa
bila ada resistensi, dan tidak bisa memfleksikan sendi interfalang distal, sedangkan
sendi interfalang proksimal masih bisa fleksi.
Palpasi.
Lakukan palpasi pada sendi falang, sendi metakarpofalang, tulang-tulang karpal,
radius/ulna. Periksa apakah ada nyeri tekan, pembengkakan, dan tonjolan tulang
tambahan.
Lakukan pemeriksaan tendon muskulus flexor digitorum profundus dengan
menekan pada falang media, dan meminta pasien memfelksikan falang distalnya.
Lakukan pemeriksaan tendon muskulus flexor digitorum superficialis pemeriksan
menekan/mengekstensikan semua jari lain dan meminta pasien hanya
memfleksikan jari yang diperiksa.

80
Lakukan pemeriksaan tendon ekstensor dengan meminta pasien mengekstensikan
sendi metakarpofalang melawan tahanan dengan sendi interfalang difleksikan.
Pemeriksaan ROM.
Pergelangan tangan mampu melakukan ekstensi dorsal (35-60) dan fleksi palmar
(50-60), deviasi radial (20), deviasi ulnar (40), supinasi (90) dan pronasi
(90).
Sendi metakarpofalang dapat melakukan ekstensi (10-30) dan fleksi (90), sendi
interfalang proksimal dapat melakukan esktensi (0) dan fleksi (100), sendi
interfalang distal dapat melakukan ekstensi (0) dan fleksi (90), serta dapat
melakukan abduksi jari (20) dan aduksi jari (20).
Khusus untuk ibu jari, sendi metakarpofalang dapat melakukan ekstensi (0) dan
fleksi (50), sendi interfalang dapat melakukan esktensi (20) dan fleksi (90),
abduksi jari (45) dan aduksi jari (0), serta anteversi (45) dan retroversi (0).

A. Pemeriksaan tenaga, tonus, dan trofik otot

1. Tenaga otot

Bila kita dapatkan bahwa tenaga atau kekuatan otot suatu anggota tubuh menurun,
maka dikatakan terdapat paresis pada anggota tubuh tersebut. Bila tenaga pada
anggota tubuh tersebut hilang sama sekali, maka dikatakan terdapat paralisis pada
anggota tubuh tersebut.Kelumpuhan total yang mengenai separuh tubuh (di sisi kanan
atau kiri) dinamakan hemiparalisis atau hemiplegia.Bila tidak terjadi kelumpuhan
total, tetapi tenaga itu hanya menurun saja, maka keadaan ini kita namakan
hemiparesis.

Tenaga atau kekuatan otot dapat dinilai menurut beberapa derajat:


Derajat 0: paralisis total, atau tidak ada kontraksi sama sekali pada otot tersebut.
Derajat 1: pada palpasi, teraba ada sedikit kontraksi pada otot, tetapi kontraksi ini
tidak menimbulkan gerakan
Derajat 2: otot itu hanya dapat digerakkan bila gravitasi dihilangkan.
Derajat 3: gerakan otot dapat dilakukan melawan gravitasi, tetapi tidak dapat
melawan tahanan ringan dari si pemeriksa.
Derajat 4: gerakan otot dapat dilakukan melawan gravitasi, tahanan ringan dan
tahanan sedang dari si pemeriksa.
Derajat 5: kekuatan otot normal, dimana gerakan otot dapat dilakukan melawan
tahanan maksimal dari si pemeriksa
Untuk dapat menilai tenaga atau kekuatan suatu otot, penderita diminta untuk
melakukan suatu gerakan tertentu pada satu sendi. Sementara gerakan itu dilakukan,
dengan tangan kita berusaha menahan gerakan tersebut.Dari tenaga yang perlu kita
keluarkan untuk rnenahan gerakan tersebut, dapat dinilai kekuatan otot penderita.
Contoh-contoh pemeriksaan gerakan otot dapat dilihat pada gambar-gambar berikut.

81
Pada ekstremitas superior

a. Sendi bahu

Penilaian tenaga otot trapezius bagian bawah

Penilaian tenaga otot trapezius bagian atas

82
Penilaian tenaga otot deltoideus

Penilaian tenaga otot supraspinatus

Penilaian tenaga otot infraspinatus

Penilaian tenaga otot pektoralis mayor

83
Penilaian tenaga otot latissimus dorsi

Penilaian tenaga otot serratus anterior

b. Sendi siku

Penilaian tenaga otot biseps brakhii

84
Penilaian tenaga otot brakhioradialis

Penilaian tenaga otot triseps brakhii

c. Sendi pergelangan tangan

Penilaian tenaga otot ekstensor karpi radialis

Penilaian tenaga otot fleksor karpi radialis


d. Mengepal (berjabat tangan) dan menggerakkan jari-jari tangan

Penilaian tenaga otot ektensor jari

85
Penilaian tenaga ekstensor jari I

Penilaian tenaga abduktor jari I

Penilaian tenaga fleksor jari I

Penilaian tenaga otot fleksor jari I

Penilaian tenaga otot onterossei dorsalis

Penilaian tenaga otot interossei palmaris

86
Penilaian tenaga otot abduktor jari V

Penilaian tenaga otot aduktor jari I

Penilaian tenaga otot lumbrikalis jari II

Penilaian tenaga otot fleksor digitorum profundus

Penilaian tenaga otot fleksor digitorum sublimis

87
Pada ekstremitas inferior
a. Sendi panggul

Penilaian tenaga otot iliopsoas

Penilaian tenaga otot gluteus maksimus

Penilaian tenaga otot gluteus medius dan minimus

Penilaian tenaga otot aduktor dan abduktor tungkai


b. Sendi lutut

88
Penilaian tenaga otot sartorius

Penilaian tenaga otot biseps femoris

c. Sendi kaki

Penilaian tenaga otot gastroknemius

Penilaian tenaga otot peroneus longus dan brevis

Penilaian tenaga otot tibilis anterior

89
Penilaian tenaga otot fleksor digitorum longus

2. Tonus otot
Pada setiap otot skelet, beberapa unit motorik (satu unit motorik adalah serabut-
serabut otot yang dikendalikan oleh satu neuron motorik) selalu dalam keadaan aktif,
bahkan saat otot tersebut tidak berkontraksi. Kontraksi unit-unit motorik ini tidak
menghasilkan cukup tegangan untuk menyebabkan adanya gerakan, tetapi cukup
mampu menegangkan otot. Tegangan saat istirahat pada otot skelet ini disebut dengan
tonus otot.

Untuk menilai keadaan tonus suatu otot, dapat dilakukan dengan cara melakukan
fleksi dan ekstensi pada sendi yang digerakkan oleh otot tersebut, misalnya untuk
menilai tonus otot biseps, kita lakukan fleksi dan ekstensi pada sendi siku.Gerakan-
gerakan ini dapat pula kita lakukan pada sendi-sendi yang lain, seperti misalnya sendi
lutut, sendi pergelangan tangan, sendi pergelangan kaki, dan lain-lain.Gerakan fleksi
dan ekstensi itu kita lakukan dengan kecepatan yang berbeda-beda.Sementara kita
melakukan gerakan-gerakan itu, penderita harus dalam keadaan santai. Sebaiknya kita
beritahu pada penderitaagar melemaskan tungkai atau lengan yang akan diperiksa.

Tonus otot yang menurun disebut hipotoni, dan tonus otot yang hilang sama sekali
disebut atoni. Bi1a terdapat kelumpuhan otot yang diikuti oleh tonus yang
menurun,dikatakan bahwa penderita memperlihatkan paralisis flaksid. Tonus yang
meningkat disebut hipertoni.Bila terdapat kelumpuhan otot yang diikuti oleh tonus
yang meningkat, dikatakan bahwa penderita itu rnemperlihatkan paralisis spastik.

Tonus yang meningkat dibedakan menjadi dua, yaitu:


a. Spastisitas (peningkatan tonus otot dengan peningkatan refleks tendon)
Spastisitas dapat kita perlihatkan seperti berikut: Anggota tubuh, misalnya lengan,
yang biasanya dalam posisi fleksi, kita luruskan.Dalam melakukan ekstensi ini, kita
akan merasakan adanya suatu tahanan. Tetapi tahanan ini tiba-tiba lenyap, sehingga
mendadak gerakan ekstensi yang dilakukan tidak mendapat perlawanan lagi. Adanya
suatu tahanan yang hilang dengan mendadak ketika dilakukan ekstensi tersebut
disebut fenomena pisau lipat atau clasp knife phenomenon. Sementara itu, posisi
anggota tubuh bawah biasanya dalarn keadaan ekstensi. Untuk memperlihatkan
spastisitas tersebut, kita lakukan fleksi pada tungkai tersebut. Bila tahanan yang kita
rasakan hilang dengan mendadak, kita katakan bahwa pada tungkai tersebut terdapat
fenomena pisau lipat.

90
Pemeriksaan tonus otot

b. Rigiditas (peningkatan tonus otot tanpa peningkatan refleks tendon)


Rigiditas merupakan manifestasi gangguan tonus otot dimana pada penilaian tonus
otot dirasakan adanya tahanan yang hilang timbul secara berselingan. Sewaktu kita
melakukan fleksi atau ekstensi pada suatu anggota tubuh (lengan atau tungkai), kita
akan rasakan adanya suatu tahanan. Bila kita lawan tahanan tersebut, akan kita
rasakan bahwa tahanan tersebut akan mengalah sebentar. Tetapi segera akan kita
rasakan bahwa ada tahanan baru. Jadi, sewaktu melakukan fleksi atau ekstensi pada
anggota tubuh kita rasakan adanya tahanan yang tersendat-sendat. Ini disebutn
fenomen roda-bergigi atau cog-wheel phenomenon.
Pada keadaan tonus otot yang menurun, dirasakan kendor pada palpasi, anggota gerak
dapat digoyang-goyang dengan mudah, dan tidak ada tahanan sewaktu dilakukan
fleksi atau ekstensi.

91
Pemeriksaan tonus beberapa otot yang menunjukan hipotoni

3. Trofik otot
Saat memeriksa penderita, diperhatikan juga bentuk otot-ototnya, khususnya di
tempat-tempat di mana penderita merasakan tenaganya menurun. Kadang tidak cukup
bila pemeriksaan itu hanya dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi saja, tetapi
sering anggota tubuh yang dirasakan lemah itu perlu diukur dengan pita pengukur.
Dengan cara ini, trofik anggota tubuh kanan dan kiri dapat dibandingkan satu sama
lain. Otot dapat mengalami atrofi atau hipertrofi. Pengecilan bentuk otot yang
disebabkan oleh musnahnya serabut otot disebut atrofi atau hipotrofi otot.Bila kita
melihat bahwa tampak otot-otot yang mengecil, perlu kita perhatikan apakah
mengecilnya otot-otot itu simetris atau tidak. Pada penyakit otot herediter, pengecilan
otot sering terjadi secara simetris. Keadaan ini dinamakan distrofi. Apabila anggota
tubuh lama tidak digerakkan, dapat terjadi atrofi yang disebut disuse atrophy. Atrofi
ini tidak disebabkan oleh musnahnya serabut otot, melainkan karena sarkoplasma
serabut otot berkurang. Pembesaran otot atau hipertrofi dapat terjadi akibat kontraksi
otot yang berlangsung berulang-ulang dan terjadi terus menerus. Apabila pembesaran
otot disebabkan oleh bertambahnya jaringan lemak dan jaringan ikat, maka disebut
pseudohipertrofi.

Putusnya hubungan pusat trofik (medulla spinalis kornu anterior) dan otot disebut
denervasi. Pada kondisi ini dapat ditemukan gejala-gejala seperti tenaga yang
menurun, tonus yang menurun, dan trofik yang lama-kelamaan akan terganggu, serta
menimbulkan atrofi.Serabut-serabut otot yang terputus hubungannya dengan pusat
trofik akan menjadi peka (hipersensitif) terhadap asetilkolin yang beredar di dalam
darah, menimbulkan kontraksi pada serat-serat otot tersebut. Gerakan involunter pada
suatu fasikulus otot, yang timbul secara berulang-ulang tersebut dinamakan
fasikulasi. Fasikulasi ini tidak dapat menggerakkan suatu sendi, tetapi gerakan
involunter itu sendiri dapat dilihat pada permukaan kulit.Kadang-kadang fasikulasi itu
dapat pula kita timbulkan bila kita mengetok (perkusi) otot-otot yang atrofi, maka
akan timbul suatu cekungan miotonik atau myotonic dimpling.

E. Ketrampilan komunikasi dalam pemeriksaan muskuskeletal


Pada penyakit muskuloskeletal, kadang dalam pemeriksaan fisik muskuloskeletal
menimbulkan rasa nyeri, sehingga membuat pasien enggan atau sulit diperiksa. Untuk
menghindari hal tersebut, pemeriksa harus melakukan komunikasi sebelumnya dengan pasien
tentang prosedur yang akan dilakukan.
Aspek-aspek komunikasi yang harus diperhatikan saat melakukan pemeriksaan
muskuloskeletal adalah:
a. Menggunakan bahasa yang jelas dan bisa dipahami pasien.
b. Menjelaskan semua prosedur yang akan dilakukan pada pasien. Selain itu, karena
prosedur pemeriksaan muskuloskeletal umumnya memerlukan pemeriksaan menyeluruh
dari kepala sampai kaki, pasien perlu membuka seluruh pakaiannya. Hal ini perlu
dijelaskan kepada pasien terlebih dahulu.
c. Menjelaskan bagian-bagian pemeriksaan yang berpotensi menimbulkan rasa tidak
nyaman atau nyeri. Hal ini akan mempersiapkan pasien sebelumnya, sehingga
kemungkinan pasien tidak mau diperiksa karena pemeriksaan yang dilakukan
menimbulkan nyeri akan lebih kecil.
d. Meminta izin sebelum melakukan pemeriksaan.

92
e. Berbicara dengan pasien selama pemeriksaan dengan menjelaskan apa yang akan
dilakukan sambil melakukannya. Ini akan membuat hubungan lebih dekat antara dokter
dan pasien, dan memberi kesempatan pada pasien untuk memberikan respon atau
f. memberitahu lokasi yang nyeri.
g. Menunjukkan sensitivitas pada kebutuhan pasien dan berespon pada rasa tidak nyaman
pada pasien. Apabila pasien merasa tidak nyaman atau nyeri pada pemeriksaan,
pemeriksaan bisa diteruskan ke tempat yang tidak nyeri terlebih dahulu, baru kemudian
difokuskan kembali ke lokasi nyeri. Sebaiknya pemeriksaan pada lokasi dilakukan dengan
cepat dan efisien, agar tidak terlalu lama menyebabkan rasa tidka nyaman kepada pasien.
h. Memberitahu pasien tentang hasil pemeriksaan. Hasil pemeriksaan dicatat dengan baik,
dan disampaikan secara garis besar kepada pasien dengan menggunakan bahasa yang
dipahami pasien.

93
CHECKLIST

Ketrampilan Komunikasi pada Pemeriksaan Muskuloskeletal


N Nilai
Aspek yang dinilai
o 0 1 2
1 Menggunakan bahasa yang jelas dan bisa dipahami
pasien
2 Menjelaskan semua prosedur yang akan dilakukan pada
pasien
3 Menjelaskan bagian-bagian pemeriksaan yang
berpotensi menimbulkan rasa tidak nyaman atau nyeri
4 Meminta izin sebelum melakukan pemeriksaan
5 Berbicara dengan pasien selama pemeriksaan dengan
menjelaskan apa yang akan dilakukan sambil
melakukannya
6 Menunjukkan sensitivitas pada kebutuhan pasien dan
berespon pada rasa tidak nyaman pada pasien
7 Memberitahu pasien tentang hasil pemeriksaan

Pemeriksaan Umum, Leher dan Tulang Belakang


N Nilai
Aspek yang dinilai
o 0 1 2
1 Inspeksi:
a. Inspeksi postur dan gerakan tubuh
b. Adanya kifosis/lordosis/skoliosis
c. Adanya benjolan/trauma/bekas pembedahan
2 Palpasi
a. Palpasi prosessus spinosus
b. Palpasi otot paraspinal
c. Palpasi sulcus ischiadicus
3 Pemeriksaan ROM
a. Antefleksi
b. Retrofleksi
c. Laterofleksi
d. Rotasi
e. Pemeriksaan nyeri punggung:
Mengangkat tungkai dalam keadaan lurus
Pemeriksaan gangguan pada sendi sacroiliaca
Pemeriksaan gangguan pada sendi lumbosacral
Tes sit-up
Hiperekstensi tungkai

94
Pemeriksaan Panggul
N Nilai
Aspek yang dinilai
o 0 1 2
1 Inspeksi
a. Asimetri
b. Atrofi
c. Pembengkakan/bekas trauma/pembedahan
2 Palpasi
a. Pelvic tilt
b. Tes Trendelenburg
c. Palpasi 4 sektor otot: atrofi/hipertrofi/spasme/nyeri
tekan
d. Palpasi nervus ischiadicus dan jaringan lunak
e. Tanda Thomas
3 Pemeriksaan ROM
a. Abduksi (45)
b. Adduksi (total 90)
c. Fleksi (115-137)
d. Endorotasi (35)
e. Eksorotasi (45)
f. Ekstensi (40-45)
4 Tenaga otot
a. Otot iliopsoas
b. Otot gluteus maximus
c. Otot gluteus medius dan minimus
d. Otot adduktor tungkai
e. Otot abduktor tungkai
5 Tonus otot
6 Trofik otot

95
Pemeriksaan Lutut
N Nilai
Aspek yang dinilai
o 0 1 2
1 Inspeksi
a. Asimetri
b. Pembengkakan/bekas trauma/pembedahan
2 Palpasi
a. Otot, tendon, jaringan lunak & tulang anterior
b. Otot, tendon, arteri di fossa poplitea
c. Ballotement patella
3 Pemeriksaan ROM
a. Fleksi (135)
b. Ekstensi (0)
c. Eksorotasi (10)
d. Endorotasi (10)
4 Tenaga otot
a. Otot sartorius
b. Otot biseps femoris
5 Tonus otot
6 Trofik otot

Pemeriksaan Kaki
N Nilai
Aspek yang dinilai
o 0 1 2
1 Inspeksi
a. Pes planus/claw toes/hammer toes
b. Asimetri
c. Pembengkakan/bekas trauma/pembedahan
2 Palpasi
a. Otot, tendon, jaringan lunak & tulang kaki
3 Pemeriksaan ROM
a. Dorsofleksi (20)
b. Fleksi plantar (50)
c. Inversi (15)
d. Eversi (15)
4 Tenaga otot
a. Otot gastrocnemius
b. Otot peroneus longus & brevis
c. Otot tibialis anterior
d. Otot flexor digitorum longus
5 Tonus otot
6 Trofik otot

96
Pemeriksaan Bahu
N Nilai
Aspek yang dinilai
o 0 1 2
1 Inspeksi
a. Asimetri
b. Atrofi
c. Pembengkakan/bekas trauma/pembedahan
2 Palpasi
a. Otot, tendon, jaringan lunak & tulang
b. Rotator cuff
c. Sulcus bicipital
3 Pemeriksaan ROM
a. Abduksi terfiksasi (90)
b. Abduksi total (180)
c. Adduksi (135)
d. Antefleksi (180)
e. Endorotasi (55)
f. Eksorotasi (40-45)
g. Speed test
4 Tenaga otot
c. Otot trapezius atas dan bawah
d. Otot deltoideus
e. Otot supraspinatus
f. Otot infraspinatus
g. Otot pektoralis mayor
h. Otot latissimus dorsi
i. Otot serratus anterior
5 Tonus otot
6 Trofik otot

97
Pemeriksaan Siku
N Nilai
Aspek yang dinilai
o 0 1 2
1 Inspeksi
a. Sudut angkat siku
b. Segitiga epicondylus dan olecranon
c. Pembengkakan/kemerahan/bekas
trauma/pembedahan
2 Palpasi
a. Tonjolan tulang (epicondylus medialis dan lateralis,
olecranon, fossa olecrani, caput radii)
3 Pemeriksaan ROM
a. Fleksi (jarak 30 antara lengan atas dan bawah)
b. Ekstensi (180)
c. Pronasi (90)
d. Supinasi (90)
4 Tenaga otot
a. Otot biseps brachii
b. Otot brachioradialis
c. Otot triceps brachii
5 Tonus otot
6 Trofik otot

98
Pemeriksaan Tangan
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Inspeksi
a. Deformitas: mallet finger, jersey finger, dan lain-lain
b. Pembengkakan/kemerahan/bekas trauma/pembedahan
2 Palpasi
a. Sendi falang, sendi metakarpofalang, tulang-tulang karpal,
radius/ulna
b. Palpasi fungsi tendon muskulus flexor digitorum profundus
c. Palpasi fungsi tendon muskulus flexor digitorum superficialis
d. Palpasi fungsi tendon muskulus ekstensor
3 Pemeriksaan ROM
a. Pergelangan tangan
ekstensi dorsal (35-60)
fleksi palmar (50-60)
deviasi radial (20)
deviasi ulnar (40)
supinasi (90)
pronasi (90).
b. Jari II-IV
ekstensi sendi metakarpofalang (10-30)
fleksi sendi metakarpofalang (90)
esktensi sendi interfalang proksimal (0)
fleksi sendi interfalang proksimal (100)
ekstensi sendi interfalang distal (0)
fleksi sendi interfalang distal (90)
abduksi jari (20)
aduksi jari (20)
c. Jari I
ekstensi sendi metakarpofalang (0)
fleksi sendi metakarpofalang (50)
esktensi sendi interfalang (20)
fleksi sendi interfalang (90)
abduksi jari (45)
aduksi jari (0)
anteversi (45)
retroversi (0)
4 Tenaga otot
a. Otot ekstensor carpi radialis
b. Mengepal
c. Otot ekstensor jari
d. Otot abduktor jari
e. Otot adduktor jari
f. Otot fleksor jari
g. Otot interossei dorsalis
h. Otot interossei palmaris
5 Tonus otot
6 Trofik otot

Keterangan:
0 = tidak dilakukan, atau dilakukan tetapi menyebabkan hilangnya keadaan aseptik/
menambah mikroorganisme
1 = dilakukan, tetapi tidak benar/tidak lengkap

99
2 = dilakukan dengan benar

BAB XI

KETERAMPILAN PENILAIAN STATUS GIZI

11.1 PENDAHULUAN
Penilaian status gizi dapat dilakukan melalui antropometri. Antropometri berasal dari
kata anthtopos dan metros. Anthtopos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi,
antropometri adalah ukuran dari tubuh.
Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh
antara lain: berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak dibawah kulit.
Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidak
seimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola
pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam
tubuh.

11.2 TUJUAN
Setelah mengikuti kegiatan ini mahasiswa diharap mampu melakukan penilaian status
gizi.

11.3 PARAMETER
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa
parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: umur, berat
badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan
tebal lemak di bawah kulit.
A. UMUR
Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan
menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat
badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang
tepat.
Menurut Puslitbang Gizi Bogor (1980), batasan umur digunakan adalah tahun umur
penuh (Completed Year) dan untuk anak umur 0 -2 tahun digunakan bulan usia penuh
(Completed Year).
Contoh : Tahun usia penuh (Completed Year)
Umur: 7 tahun 2 bulan, dihitung 7 tahun
6 tahun 11 bulan, dihitung 6 tahun
Contoh: Bulan Usia Penuh (Completed Year)
Bulan: 4 bulan 5 hari, dihitung 4 bulan
3 bulan 27 hari, dihitung 3 bulan

B. BERAT BADAN
Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering
digunakan pada bayi baru lahir (Neonatus). Berat badan digunakan untuk mendiagnosa bayi
normal atau BBLR. Dikatakan BBLR apabila berat bayi lahir di bawah 2500 gram atau di
bawah 2,5 Kg. Pada masa bayi-balita, berat badan dapat dipergunakan untuk melihat laju
pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali terdapat kelainan klinis seperti dehidrasi,

100
asites, edema dan adanya tumor. Di samping itu pula, berat badan dapat dipergunakan sebagai
dasar perhitungan dosis obat dan makanan.
Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral pada tulang.
Pada remaja, lemak tubuh cenderung meningkat, dan protein otot menurun. Pada orang yang
edema dan asites terjadi penambahan cairan dalam tubuh. Adanya tumor dapat menurunkan
jaringan lemak dan otot, khususnya terjadi pada orang kekurangan gizi.
Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang. Alat yang digunakan
dilapangan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan:
1. Mudah digunakan dan dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain.
2. Mudah diperoleh dan relatif murah harganya
3. Ketelitian penimbangan sebaiknya maksimum 0,1 kg
4. Skalanya mudah dibaca
5. Cukup aman untuk menimbang anak balita.

C. TINGGI BADAN
Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan
keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat. Disamping itu, tinggi badan
merupakan ukuran kedua yang penting, karena dengan menghubungan berat badan terhadap
tinggi badan (Quic Stick), faktor umur dapat dikesampingkan.
Pengukuran tinggi badan untuk anak balita yang sudah dapat berdiri dilakukan dengan
alat pengukur tinggi mikrotoa (microtoise) yang mempunyai ketelitian 0,1 cm.
Cara Mengukur:
Tempelkan dengan paku mikrotoa tersebut pada dinding yang lurus datar setinggi tepat 2
meter. Angka 0 (nol) pada lantai yang datar rata.
Lepaskan sepatu atau sandal.
Orang yang diukur harus berdiri tegak seperti sikap siap sempurna dalam baris berbaris,
kaki lurus, tumit, pantat, punggung, dan kepala bagian belakang harus menempel pada
dinding dan muka menghadap lurus dengan pandangan ke depan.
Turunkan mikrotoa sampai rapat pada kepala bagian atas, siku-siku harus lurus menempel
pada dinding.
Baca angka pada skala yang nampak pada lubang dalam gulungan mikrotoa. Angka
tersebut menunjukkan tinggi orang yang diukur.

D. LINGKAR LENGAN ATAS


Lingkar lengan atas (LLA) adalah salah satu pilihan untuk penentuan status gizi, karena
mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat yang sulit diperoleh dengan harga yang
lebih murah. Alat yang digunakan merupakan suatu pita pengukur yang terbuat dari
fiberglass atau jenis kertas tertentu berlapis plastik.

Cara Mengukur LLA


Pengukuran LLA dilakukan melalui urutan-urutan yang telah ditetapkan. Ada 7 urutan
pengukuran LLA, yaitu:
1). Tetapkan posisi bahu dan siku
2). Letakkan pita antara bahu dan siku
3). Tentukan titik tengah lengan
4). Lingkarkan pita LLA pada tengah lengan
5). Pita jangan terlalu ketat
6). Pita jangan terlalu longgar
7). Cara pembacaan skala yang benar.

101
E. JARINGAN LUNAK
Otak, hati, jantung, dan organ dalam lainnya merupakan bagian yang cukup besar dari
berat badan, tetapi relative tidak berubah beratnya pada anak malnutrisi. Otot dan lemak
merupakan jaringan lunak yang sangat bervariasi pada penderita KEP. Antropometri jaringan
dapat dilakukan pada kedua jaringan tersebut dalam pengukuran status gizi di masyarakat.
Antropometri fisik yang paling sering atau praktis digunakan di lapangan. Bermacam-
macam skin-fold calipers ditemukan, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa alat tersebut
mempunyai standard atau jangkauan jepitan (20-40 mm 2), dengan ketelitian 0,1 mm, tekanan
yang konstan 10 gram/mm2. Jenis alat yang sering digunakan adalah Harpenden Calipers.
Alat itu memungkinkan jarum diputar ke titik nol apabila terjadi penyimpangan.

Teknik Pengukuran
Mengukur lipatan kulit (skin-fold) terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan kulit dan lemak
sub-kutan. Untuk tempat pengukuran tergantung dari tujuan penelitian, umur yang akan
diperiksa (distribusi lemak berbeda menurut umur), seks, ketelitian daerah yang akan diukur,
ketebalannya relative sama dari lapisan kulit dan lemak, mudah dilaksanakan dan sopan,
sebaiknya diukur bagian-bagian tubuh bagian kiri.
Dalam survey yang berskala besar disarankan bahwa total lemak dalam tubuh dapat
diukur dari pengukuran beberapa tempat sepertui trisep, bisep dan subskapular serta
suprailiaka.
Masalah yang dihadapi adalah peningkatan atau penurunan penyimpanan lemak di
jaringan sub-kutan tidak sama pada seluruh permukaan tubuh. Oleh karena itu, kita harus
memilih daerah yang praktis dan dapat memberikan petunjuk tentang persediaan energi.
Untuk tujuan tersebut, baik orang kurus maupun orang gemuk, pengukuran pada trisep adalah
yang paling praktis untuk semua umur. Pengukuran trisep tidak hanya berguna untuk
menghitung indeks persediaan energi, tetapi memungkinkan sebagai dasar untuk menghitung
ketebalan otot pada lingkar lengan atas.
Pengukuran sebaiknya dilakukan tiga kali dan hasilnya dibuat rata-rata. Ketelitian sulit
didapat karena peningkatan kepadatan dan edema. Untuk lebih jelasnya tentang pengukuran,
dapat dilihat pada Gambar 3.

Trisep B. Bisep C. Subskapula

102
Langkah 1 Langkah 2 Langkah 3

Gambar 3. Cara pengukuran skinfold


INDEKS ANTROPOMETRI
Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara
beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Beberapa indeks telah diperkenalkan
seperti pada hasil seminar antropometri 1975. Di Indonesia ukuran baku hasil pengukuran
dalam negeri belum ada, maka untuk berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) digunakan
baku HARVARD yang disesuaikan untuk Indonesia (100% baku Indonesia = 50 persentile
baku Harvard) dan untuk lingkar lengan atas (LLA) digunakan baku WOLANSKI.
Berdasarkan ukuran baku tersebut, penggolongan status gizi menurut indeks antropometri
adalah seperti tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Penggolongan keadaan gizi menurut Indeks Antropometri (Sumber: Puslitbang Gizi.
1980. Pedoman Ringkas Cara Pengukuran Antropometri dan Penentuan Gizi. Bogor)
Status Gizi Ambang batas baku untuk keadaan gizi berdasarkan indeks
BB/U TB/U BB/TB LLA/U LLA/TB
Gizi baik > 80% > 85% > 90% > 85% > 85%
Gizi Kurang 61-80% 71-85% 81-90% 71-85% 76-85%
Gizi buruk 60% 70% 80% 70% 75%

Dalam pengukuran indeks antropometri sering terjadi kerancuan, hal ini akan
mempengaruhi interpretasi status gizi yang keliru. Masih banyak diantara pakar yang
berkecimpung dibidang gizi belum mengerti makna dari beberapa indeks antropometri.
Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Berat Badan menurut Umur
(BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan
(BB/TB). Perbedaan penggunaan indeks tersebut akan memberikan gambaran prevalensi
status gizi yang berbeda. Sering muncul pertanyaan, kapan kita menggunakan indeks tersebut
dan mana yang lebih sensitif. Oleh karena itu dibawah ini akan diuraikan tentang berbagai
indeks antropometri.

Berat Badan Menurut Umur (BB/U)


Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa
tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena
serangan penyakit infeksi,menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang
dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil.
Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara
konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti
pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat 2 kemungkinan
perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan
normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur
digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat

103
badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini
(current nutritional status).

1. Kelebihan Indeks BB/U


Indeks BB/U mempunyai beberapa kelebihan antara lain:
Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum
Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis
Berat badan dapat berfluktuasi
Sabgat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil
Dapat mendeteksi kegemukan (over weight)

2. Kelemahan Indeks BB/U


Disamping mempunyai kelebihan, indeks BB/U juga mempunyai beberapa kekurangan,
antara lain:
Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat edema maupun
asites.
Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur sering sulit ditaksir
secara tepat karena pencatatan umuryang belum baik.
Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anakdibawah usia lima tahun
Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau gerakan
anak pada saat penimbangan
Secara operasionalsering mengalami hambatan karena masalah sosial budaya
setempat. Dalam hal ini orang tua tidak mau menimbang anaknya, karena di anggap
sebagai barang dagangan, dan sebagainya.

Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan


skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan terhadap
masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap
tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama.
Berdasarkan karakteristik tersebut diatas, maka indeks ini menggambarkan status gizi
masa lalu. Beaton dan Bengoa (1973) menyatakan bahwa indeks TB/Udi samping
memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga erat kaitannya dengan status sosial
ekonomi.
1. Keuntungan Indeks TB/U
Keuntungan dari indeks TB/U, antara lain:
Baik untuk menilai status gizi masa lampau
Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa.

2. Kelemahan Indeks TB/U


Adapun kelemahan indeks TB/U adalah:
Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun
Pengukuran relatif sulit dilakukan, karena anak harus berdiri tegak, sehingga
diperlukan dua orang untuk melakukannya
Ketepatan umur sulit didapat

BERAT BADAN MENURUT TINGGI BADAN (BB/TB)

104
Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaaan
normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan
kecepatan tertentu. Jelliffe pada tahun 1966 telah memperkenalkan indeks ini untuk
mengidentifikasi status gizi. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai
status gizi saat kini(sekarang), Indeks BB/TB adalah merupakan indeks yang independen
terhadap umur.

Berdasarkan sifat-sifat tersebut, indeks BB/TB mempunyai beberapa keuntungan dan


kelemahan, seperti yang diuraikan di bawah ini.
1. Keuntungan indeks BB/TB
Adapun keuntungan indeks ini adalah:
Tidak memerlukan data umur
Dapat membedakan proporsi tubuh (gemuk, normal dan kurus).

2. Kelemahan indeks BB/TB


Kelemahan indeks ini adalah :
Tidak dapat memberikan gambaran, apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi badan,
atau kelebihan tinggi badan menurut umurnya, karena faktor umur tidak
dipertimbangkan.
Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran
panjang/tinggi badan pada kelompok balita.
Membutuhkan dua macam alat ukur
Pengukuran relatif lebih lama
Membutuhkan dua orang untuk melakukannya
Sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran, terutama bila dilakukan
oleh kelompok non-profesional.

Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LLA/U)


Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan
jaringan lemak bwah kulit. Lingkar lengan atas berkorelasi dengan indeks BB/U maupun
BB/TB. Lingkar lengan atas merupakan parameter antropmetri yang sangat sederhana dan
mudah dilakukan oleh tenaga yang bukan profesional. Kader Posyandu dapat melakukan
pengukuran ini.
Lingkar lengan atas sebagaimana dengan berat badan merupakan parameter yang labil,
dapat berubah-ubah dengan cepat. Oleh karena itu, lingkar lengan atas merupakan indeks
status gizi saat ini. Perkembangan lingkar lengan atas yang besarnya hanya terlihat pada
tahun pertama kehidupan (5,4 cm), sedangkan pada umur 2 tahun sampai 5 tahun sangat kecil
yaitu kurang lebih 1,5 cm per tahun dan kurang sensitif untuk usia lanjutnya (Jeffille, 1966).
Indeks lingkar lengan atas sulit digunakan untuk melihat pertumbuhan anak. Pada usia 2
sampai 5 tahun perubahannya tidak nampak secara nyata, oleh karena itu lingkar lengan atas
banyak digunakan untuk tujuan screening individu, tetapi dapat juga digunakan untuk
pengukuran status gizi.
Penggunaan lingkar lengan atas sebagai indikator status gizi, disamping digunakan secara
tunggal, juga dalam bentuk kombinasi dengan parameter lainnya LLA/U dan LLA menurut
tinggi badan yang sering disebut Quick Stick.

1. Keuntungan indeks LLA/U


Ada beberapa keuntungan indeks LLA/U, yaitu:
Indikator yang baik untuk mengukur KEP berat

105
Alat ukur murah, sangat ringan, dan dapat dibuat sendiri
Alat dapat diberi kode warna untuk menentukan tingkat keadaan gizi,sehingga dapat
digunakan oleh yang tidak dapat membaca dan menulis.

2. Kelemahan indeks LLA/U


Adapun kelemahan indeks LLA/U adalah:
Hanya dapat mengidentifikasi anak dengan KEP berat
Sulit untuk menentukan ambang batas
Sulit digunakan untuk melihat pertumbuhan anak terutama anakusia 2 sampai 5 tahun
yang perubahannya tidak nampak nyata.

Indeks Massa Tubuh (IMT)


Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun keatas)
merupakan masalah penting, karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu, juga
dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu
dilakukan secara berkeseinambungan. Salah satu cara adalah dengan mempertahankan berat
badan yang ideal atau normal.
Di Indonesia khususnya, cara pemantauan dan batasan berat badan normal orang dewasa
belum jelas mengacu pada patokan tertentu. Sejak tahun 1958 digunakan cara perhitungan
berat badan normal berdasarkan rumus:
Berat badan normal = (Tinggi badan - 100) - 10% (tinggi badan - 100)
Atau
0,9 x (tinggi badan - 100)
Dengan batasan:
Nilai minimum:0,8 x (tinggi badan - 100 ) dan
Nilai maksimum : 1 1,1 x (tinggi badan - 100 )
Ketentuan ini berlaku umum laki-laki dan perempuan.
Berat badan yang berada di bawah batas minimum dinyatakan sebagai under weight atau
kekurusan, dan berat badan yang berada di atas maksimum dinyatakan over weight atau
kegemukan. Orang-orang yang berada di bawah ukuran berat normal mempunyai risiko
terhadap penyakit infeksi, sementara berada di atas ukuran normal mempunyai risiko tinggi
terhadap penyakit degeneratif.
Laporan FAO/WHO/UNU tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat badan normal
orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai body mass index (BMI). Di Indonesia istilah body
mass index diterjemahkanmenjadiIndeks MasaTubuh (IMT).IMT merupakan alat
sederhanauntuk memantau status gizi orang dewasanya khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal
memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang.
Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun. IMT
tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Disamping itu
pula IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti ada edema,
asites dan hepatomegali.

Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berkut :


Berat badan (kg)
IMT =
Tinggi badan (m) - tinggi badan (m)

atau

106
Berat badan (dalam kilogram) dibagi kuadrat tinggi badan (dalam meter)

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO, yang


membedakan ambang batas untuk laki-laki dan perempuan. Batas ambang normal laki-laki
adalah 20,1 - 25,0 dan untuk perempuan adalah 18,7-23,8. Untuk kepentingan pemantauan
tingkat defisiensi energi dan tingkat kegemukan, lebih lanjut FAO/WHO menyarankan
menggunakan satu batas ambang antara laki-laki dan perempuan. Ketentuan yang digunakan
adalah menggunakan ambang batas laki-laki untuk kategori kurus tingkat berat dan
menggunakan ambang batas perempuan untuk kategori gemuk tingkat berat.
Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi berdasarkan pengalaman
klinis dan hasilpenelitian di beberapa negara berkembang. Akhirnya diambil kesimpulan
ambang batas IMT untuk Indonesia adalah seperti Tabel 2.

Cara menghitung IMT:


1. Eva dengan tinggi badan 147 cm dengan berat badan 39 Kg.
39 39
IMT Eva = ---------------- = ------------- = 18,05
(1,47) x (1,47) 2,16
Tabel 2. Kategori ambang batas IMT untuk Indonesia (Sumber: Depkes, 1994. Pedoman
Praktis Pemantauan Status Gizi Orang Dewasa, Jakarta.hlm. 4)
Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 - 18,5
Normal >18,5 - 25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan > 25,0 - 27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0

Dalam hal ini Eva termasuk kategori kekurangan berat badan atau Kurang Energi Kronis
(KEK) ringan. Oleh karena itu, Eva harus menaikkan berat badannya sehingga mencapai
40 Kg sampai dengan 54 Kg.
2. Dwita dengan berat badan 72 Kg dan tinggi 160 cm.
72 72
IMT Dwita = --------------- = ------------ = 28,12
(1,6)x(1,6) 2,56

Dalam hal ini Dwita termasuk/kelebihan berat badan tingkat berat. Oleh karena itu, Dwita
harus dapat menurunkan berat badannya agar mencapai 48 Kg sampai dengan 64 Kg.
Berat badan normal adalah idaman bagi setiap orang agar mencapai tingkat kesehatan
yang optimal. Keuntungan apabila berat badan normal adalah penampilan baik, lincah dan
risiko sakit rendah. Berat badan yang kurang dan berlebihan akan menimbulkann risiko
terhadap berbagai macam penyakit. Kerugian dari keadaan berat badan kurang dan kelebihan
dapat dilihat pada Tabel 3.
Suyono S dan SamsuridjalDJ. Pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1993
mengungkapkan tingkat risiko berbagaikategori dari IMT. Risiko penyakit jantung dengan
kelompok IMT dapat dilihat pada Tabel 3-5.

Tebal LemakBawah Kulit Menurut Umur


Pengukuran lemak tubuh melalui pengukuran ketebalan lemak bawah kulit (skinfold)
dilakukan pada beberapa bagian tubuh, misalnya pada bagian lengan atas (triceps dan biceps),

107
lengan bawah (forearm), tulang belikat (subscapular), ditengah garis ketiak (midaxillary), sisi
dada (pectoral), perut (abdominal), suprailiaka, paha, tempurung lutut (suprapatellar), dan
pertengahan tungkai bawah (medical calf).
Lemak tubuh dapat diukur secara absolut dinyatakan dalam Kilogram maupun secara
relatif dinyatakan dalam persen terhadap berat tubuh total. Jumlah lemak tubuh sangat
bervariasi tergantung jenis kelamin dan umur. Umumnya lemak bawah kulit untuk pria 3,1
Kg dan wanita 5,1 Kg.

Rasio Lingkar Pinggang dengan Pinggul


Banyaknya lemak dalam perut menunjukkan ada beberapa perubahan metabolisme
termasuk daya tahan terhadap insulin dan meningkatnya produksi asam lemak bebas,
dibandingkan dengan banyaknya lemak bawah kulit atau pada kaki dan tangan. Perubahan
metabolisme ini memberikan gambaran tentang pemeriksaan penyakit yang berhubungan
dengan perbedaan distribusi lemak tubuh. Untuk melihat hal tersebut, ukuran yang telah
umum digunakan adalah rasio pinggang dengan pinggul.
Pengukuran lingkar pinggang dan pinggul harus dilakukan oleh tenaga yang terlatih dan
posisi pengukuran harus tepat. Perbedaan posisi pengukuran akan memberikan hasil hasil
yang berbeda. Seidell, dkk (1987) memberikan petunjuk bahwa rasio lingkaran pinggang dan
pinggul untuk perempuan adalah 0,77 dan 0,90 untuk laki-laki.
Pada studi prospektif menunjukkan bahwa rasio pinggang dan pinggul berhubungan
erat dengan penyakit kardiovaskuler. Rata-rata rasio lingkar pinggang dan pinggul penderita
penyakit kardiovaskuler denganorang yang sehat adalah 0,938 dan 0,925.

11.4 PENGGUNAAN INDEKS ANTROPOMETRI GIZI


Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi adalah berat
badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB). Indeks BB/U adalah pengukuran total berat badan termasuk air,
lemak, tulang dan otot. Indeks tinggi badan menurut umur adalah pertumbuhan linier dan
LLA adalah pengukuran terhadap otot, lemak dan tulang pada area yang diukur.
Hasil pengukuran tissue mass seperti berat badan dan lingkar lengan atas dapat
berubah relatif cepat, naik atau turun, tergantung pada makanan anak dan status kesehatan.
Kedua parameter tersebut, berat badan lebih cepat terpengaruh oleh perbedaan konsumsi
makanan dari pada LLA. Parameter tinggi badan berubah secara lambat dan perlahan-lahan.
Perbedaan tinggi badan dapat diukur setelah beberapa waktu lamanya.
Diantara bermacam-macam indeks antropometri, BB/U merupakan indikator yang
paling umum digunakan sejak tahun 1972 dan dianjurkan juga menggunakan indeks TB/U
dan BB/TB untuk membedakan apakah kekurangan gizi terjadi kronis atau akut. Keadaan
gizi kronis atau akut mengandung arti terjadi keadaan gizi yang dihubungkan dengan masa
lalu dan waktu sekarang. Pada keadaan kuang gizi kronis, BB/U dan TB/U rendah, tetapi
BB/TB normal. Kondisi ini sering disebut dengan stunting.
Pada tahun 1978, WHO lebih menganjurkan penggunaan BB/TB,karena menghilangkan
faktor umur yang menurut pengalaman sulit didapat secara benar, khususnya di daerah
terpencil dimana terdapat masalah tentang pencatatan kelahiran anak. Indeks BB/TB juga
menggambarkan keadaan kurang gizi akut waktu sekarang, walaupun tidak dapat
menggambarkan keadaan gizi waktu lampau. Misalnya dulu pernah menderita kurang gizi
kronis,tetapi sekarang sudah baik. Dengan demikian timbul pertanyaan tentang indikator
mana yang lebih dapat dipercaya? Jawabannya tergantung pada tujuan penelitian atau
program yang akan menggunakan data antropometri tersebut.
Dari berbagai jenis indeks tersebut di atas, untuk menginterpretasikannya dibutuhkan
ambang batas. Penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan Ahli Gizi. Ambang batas

108
dapat disajikan ke dalamtiga cara yaitu, persen terhadap median, persentil, dan standar
deviasi unit.

Persen Terhadap Median


Median adalah nilai tengah dari suatu populasi. Dalam antropometri gizi median sama
dengan persentil 50. Nilai median ini dinyatakan sama dengan 100% (untuk standar). Setelah
itu dihitung persentase terhadap nilai median untuk mendapatkan ambang batas. Yayah K
Husaini (1979) memberikan contoh, andai kata nilai median berat badan anak umur 2 tahun
adalah sebesar 12 Kg, maka 80% median sama dengan 9,6 Kg, dan 60% median sama dengan
7,2 Kg. Kalau 80% dan 60% dianggap ambang batas maka anak yang berumur 2 tahun dan
mempunyai berat badan antara 7,2 Kg sampai 9,6 Kg (antara 60% dan 80% median)
dinyatakan status gizi kurang dan di bawah 7,2 Kg (dibawah 60% median) dinyatakan
berstatus gizi buruk.
Tabel 9. Status gizi berdasarkan indeks antropometri (Sumber: Yayah K Husaini,
Antropometri sebagai indeks gizi dan kesehatan masyarakat. Medika, No. 8 tahun XXIII,
1997. hlm. 269)
Status Gizi Indeks
BB/U TB/U BB/TB
Gizi baik > 80% > 90% > 90%
Gizi sedang 71% - 80% 81% - 90% 81% - 90%
Gizi kurang 61% -70% 71% - 80% 71% -80%
Gizi buruk 60% 70% 70%
Catatan: persen dinyatakan terhadap median baku NCHS
Indeks antropometri lainnya seperti TB/U dan BB/TB dapat pula dihitung berdasarkan persen
terhadap median. Batasan-batasan status gizi dan indeks antropometri dapat dilihat pada
Tabel 9.

Persentil
Cara lain untuk menentukan ambang batas selain persen terhadap median adalah
persentil. Para pakar merasa kurang puas dengan menggunakan persen terhadap median
untuk menentukan ambang batas. Akhirnya mereka memilih cara persentil. Persentil 50 sama
dengan median atau nilai tengah dari jumlah populasi berada diatasnya dan setengahnya
berada dibawahnya. Sebagai contoh, ada 100 anak yang diukur tingginya. Kemudian
diurutkan dari terkecil sampai yang terbesar. Seorang anak yang bernama Ali, berada pada
urutan yang ke 15 berarti persentil 15. Hal ini berarti 14 anak berada dibawahnya dan 85 anak
berada diatasnya.
National Center for Health Statistics (NCHC) merekomendasikan persentil ke 5 sebagai
batas gizi baik dan kurang, serta persentil 95 sebagai batas gizi lebih dan gizi baik.

Standar Deviasi Unit (SD)


Standar deviasi unit disebut juga Z skor. WHO menyarankan menggunakan cara ini untuk
meneliti dan untuk memantau pertumbuhan.
1 SD unit (1 Z Skor) kurang lebih sama dengan 11% dari median BB/U
1 SD unit ((1 Z skor) kira-kira 10% dari median BB/TB
1 SD unit (1 Z Skor) kira-kira 5% dari median TB/U

Waterlow juga merekomendasikan penggunaan SD untuk menyatakan hasil pengukuran


pertumbuhan atau Growth monitoring. WHO memberikan gambaran perhitungan SD unit
terhadap baku NCHS.

109
Contoh 1: 1 SD unit = 11-12% unit dari median BB/U, misalnya seorang anak berada pada
75% median BB/U, berarti 25% unit dibawah median atau -2.
Contoh 2: 1 SD unit = 4-5% dari median TB/U. Jika seorang anak 85% dari median BB/TB,
maka 15% unit di bawah median atau 1,5% SD unit.
Contoh 3: 1 SD unit = 1 SD unit 4-5% unit dari median TB/U. Jika seorang anak 105% dari
median TB/U, maka ia 5% unit di atas median atau +1 SD unit.
Pertumbuhan nasional untuk suatu populasi dinyatakan dalam positif dan negatif 2 SD unit
(Z-Skor) dari median, yang termasuk hampir 98% dari orang-orang yang diukur yang berasal
dari referensi populasi. Di bawah median -2 SD unit dinyatakan sebagai kurang gizi yang
equivalen dengan :
78% dari median untuk BB/U (3 persentil)
80% median untuk BB/TB
90% median untuk TB/U

Rumus perhitunganan Z-Skor adalah:


Nilai individu subyek - nilai median baku rujukan
z-Skor = --------------------------------------------------------------------
Nilai simpang baku rujukan

Pemilihan sistem klasifikasi sangat tergantung pada tujuan program, dan tenaga yang tersedia
dan kebutuhan cut off points yang dapat dijangkau. Setelah semiloka antropometri tahun
1991, dewasa ini di Indonesia banyak menggunakan cara persen terhadap median seperti
yang dilaksanakan pada pemantauan status gizi (PSG) tahun 1999.

Kebaikan dan Kelemahan dari Masing-masing Indeks


Dari masing-masing indeks antropometri (Sumber: Sri Hartati,1983. Study penggunaan
SKDN sebagai alat ukur status gizi balita dalam UPKG Fakultas Kesehatan Masyarakat, UI.
Jakarta. Hlm 18).
Tabel 10. Kebaikan dan kelemahan masing-masing indeks antropometri
Indeks Kebaikan Kelemahan
BB/U - Baik untuk mengukur status gizi akut/kronis - Umur sering sulit ditaksir
- Berat badan dapat berfluktuasi secara tepat
- Sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil
TB/U - Baik untuk menilai gizi masa lampau - Tinggi badan tidak cepat
- Ukuran panjang dapat dibuat sendiri naik,bahkan tidak mungkin
turun
- Pengukuran relatif sulit
dilakukan karena anak harus
berdiri tegak, sehingga
diperlukan 2 orang untuk
melakukannya
- Ketepatan umur sulit
BB/TB - Tidak memerlukan data umur - Membutuhkan 2 macam alat
- Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, ukur
normal, kurus) - Pengukuran relatif lebih
lama
- Membutuhkan 2 orang untuk
melakukannya
LLA/U - Indikator yang baik untuk menilai KEP berat - Hanya dapat
- Alat ukur murah, sangat ringan, dapat dibuat sendiri mengidentifikasi KEP berat

110
- Alat dapat diberi kodewarna untuk menentukan - Sulit menentukan ambang
tingkat keadaan gizi, sehingga dapat digunakan oleh batas
orang yang tidak dapat baca tulis

KLASIFIKASI STATUS GIZI


Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang sering disebut
reference. Baku antropometriyang sekarang digunakan di Indonesian adalah WHO-NCHS.
Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes dalam pemantauan status gizi (PSG) anak balita
tahun 1999 menggunakan baku rujukan World Health Organization-National Centre for
Health Statistics (WHO-NCHS). Pada Loka Karya Antropometri tahun 1975 telah
diperkenalkan baku Harvard, berdasarkan Semi Loka Antropometri, Ciloto, 1991 telah
direkomendasikan penggunaan baku rujukan WHO-NCHS (Gizi Indonesia, Vol. XV No 2
tahun 1990).
Berdasarkan baku harvard status gizi dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Gizi lebih baik untuk over weight, termasuk kegemukan dan obesitas
b. Gizi baik untuk well nourished
c. Gizi kurang untuk under weight yang mencakup mild dan moderate PCM (Protein Calori
Malnutrition)
d. Gizi buruk untuk severe PCM, termasuk marasmus, marasmik-kwasiokor dan kwasiorkor.

Klasifikasi Status Gizi menurut Rekomendasi Lokakarya Antropometri, 1975 serta


Puslitbang Gizi, 1978
Dalm rekomendasi tersebut digunakan lima macam indeks yaitu : BB/U, TB/U, LLA/U,
BB/TB dan LLA/TB.Baku yang digunakan adalah Harvard. Garis baku adalah persentil 50
baku Harvard. Klasifikasi status gizi menurut rekomendasi Loka Karya Antropometri 1975
dan Puslitbang Gizi 1978 dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Klasifikasi status gizi menurut rekomendasi lokakarya Antropometri 1975 dan
Puslitbang Gizi 1978 (Sumber: Djumadias Abunain, Aplikasi Antropometri sebagai alat ukur
status gizi di Indonesia, Gizi Indonesia, Volime XV No.2 1990, hlm.38)
Kategori BB/U *) TB/U *) LLA/U BB/TB *) LLA/TB
Gizi baik 100-80 100-95 100-85 100-90 100-85
Gizi kurang < 80-60 < 95-85 < 85-70 < 90-70 < 85-75
Gizi buruk**) < 60 < 85 < 70 < 70 < 75
*) garis baku adalah persentil 50 Harvard
**) Kategori gizi buruk termasuk marasmus, marasmik-kwashirkordan kwashiorkor

Klasifikasi Menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI Tahun 1999


Dalam buku petunjuk Teknis Pemantauan Status Gizi (PSG) Anak Balita tahun 1999,
klasifikasi status gizi dapat diklasifikasikan menjadi 5, yaitu: gizi lebih, gizi baik,gizi sedang,
gizi kurang dan gizi buruk. Baku rujukan yang digunakan adalah WHO-NCHS, dengan
indeks berat badan menurut umur. Klasifikasi status gizi menurut Direktorat Bina Gizi
Masyarakat Depkes RI tahun 1999 dapat dilihat pada Tabel 17.

Klasifikasi Cara WHO


Pada dasarnya cara penggolongan indeks sama dengan cara Waterlow. Indikator yang
digunakan meliputi BB/TB, BB/U, dan TB/U. Standar yang digunakan adalah NCHS
(National Centre for Health Statistics, USA), dengan klasifikasi seperti terlihat pada Tabel 18.

111
Tabel 17. Klasifikasi status gizi masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI
tahun 1999
Kategori Cut of Point *)
Gizi lebih > 120% Median BB/U baku WHO-NCHS, 1983
Gizi baik 80% - 120% Median BB/U baku WHO-NCHS 1983
Gizi sedang 70% - 79,9% Median BB/U baku WHO-NCHS, 1983
Gizi kurang 60% - 69,9% Median BB/U baku WHO-NCHS, 1983
Gizi buruk < 60% Median BB/U baku WHO-NCHS, 1983

Tabel 18. Klasifikasi menurut Cara WHO (Sumber: Deswarni Idrus & Gatot Kunanto, 1990.
Epodemologi I, Pusdiknakes. Jakarta.hlm.31)
BB/TB BB/U TB/U Status Gizi
Normal Rendah Rendah Baik, pernah kurang
Normal Normal Normal Baik
Normal Tinggi Tinggi Jangkung, masih baik
Rendah Rendah Tinggi Buruk
Rendah Rendah Normal Buruk, kurang
Rendah Normal Tinggi Kurang
Tinggi Tinggi Rendah Lebih, obesitas
Tinggi Tinggi Normal Lebih, tidak obesitas
Tinggi Normal Rendah Lebih, pernah kurang

Sumber : Supariasa, Bakri B, Fajar I. Penilaian Status Gizi. Penerbit EGC. Jakarta 2002:26-
86

112
DAFTAR TILIK
PENGUKURAN ANTROPOMETRI

PENGUKURAN TINGGI BADAN


Skor
No. Unsur yang dinilai
0 1 2
01. Mempersiapkan alat-alat yang diperlukan
02. Menggantungkan microtoa pada dinding yang rata
dengan ketinggian 2 meter dari dasar lantai
03. Menyuruh pasien melepas alas kaki
04. Menyuruh pasien berdiri tegak sikap sempurna, kaki
lurus, tumit, pantat, punggung dan kepala bagian
belakang harus menempel pada dinding dan muka
menghadap lurus dengan pandangan ke depan
05. Menurunkan mikrotoa sampai rapat pada kepala
bagian atas, siku-siku harus lurus menempel pada
dinding
06. Baca angka pada skala yang nampak pada lubang
dalam gulungan mikrotoa. Angka tersebut
menunjukkan tinggi orang yang diukur
07. Mencatat hasil pengukuran

PENIMBANGAN BERAT BADAN


Skor
No. Unsur yang dinilai
0 1 2
01. Mempersiapkan alat-alat yang diperlukan
02. Meletakkan timbangan injak pada lantai yang datar
03. Melakukan standarisasi pada timbangan yang
digunakan dengan meletakkan jarum penunjuk pada
skala nol
04. Menyuruh pasien untuk menggunakan pakaian
seringan mungkin dan melepas alas kaki
05. Menyuruh pasien naik ke atas timbangan dengan
posisi tegak, pandangan lurus ke depan
06. Membaca angka pada skala yang ditunjukkan pada
timbangan tersebut dengan teliti
07. Mengulangi prosedur penimbangan minimal
sebanyak 2 kali
08. Mencatat hasil pengukuran

Interpretasi hasil pengukuran :


BB =
TB =
IMT =
Kategori status gizi :

113
PENGUKURAN LINGKAR LENGAN ATAS
Skor
No. Unsur yang dinilai
0 1 2
01. Mempersiapkan alat-alat yang diperlukan
02. Tetapkan posisi bahu dan siku (untuk pasien dengan
ketangankananan dilakukan pada lengan kiri dan
sebaliknya)
03. Lengan pasien harus dalam keadaan bebas lengan
baju dan otot lengan dalam keadaan tidak tegang atau
kencang
04. Meletakkan pita antara bahu dan siku
05. Menentukan titik tengah lengan berdasarkan hasil
pengukuran no.3
06. Melingkarkan pita LLA pada tengah lengan dengan
tepat (tidak terlalu longgar maupun terlalu ketat)
07. Membaca angka pada skala yang ditunjukkan pada
pita dengan benar
08. Mencatat hasil pengukuran

Hasil Pengukuran :
Lingkar lengan atas =
Interpretasi =

PENGUKURAN TEBAL LEMAK TUBUH DENGAN MENGGUNAKAN METODE


SKINFOLD CALIPER
Skor
No. Unsur yang dinilai
0 1 2
01. Mempersiapkan alat-alat yang diperlukan
02. Memberitahu pasien bahwa pengukuran yang
dilakukan mungkin akan menimbulkan sedikit rasa
sakit dan tujuan pengukuran
03. Menentukan posisi yang tepat bagian yang akan
diukur (trisep, bisep, paha, abdomen dan lain-lain)*
04. Meletakkan alat pengukur pada posisi yang telah
ditentukan dengan tepat
06. Membaca angka pada skala yang ditunjukkan pada
pita dengan benar
07. Mencatat hasil pengukuran

Ket : * dipilih trisep saja

114
BAB XII
PENUTUP

Demikian modul ini disusun sebagai panduan pelaksanaan proses


pembelajaran di Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
UniversitasPalangka Raya. Keberhasilan suatu program akan tercapai jika
terjalin kerjasama dan interaksi yang baik serta harmonis antara
pengelola modul, dosen pengajar (narasumber), mahasiswa dan seluruh
civitas akademika. Semoga setelah mempelajari modul ini mahasiswa
memiliki kemampuan dan kompetensi yang diharapkan.

115
116

Anda mungkin juga menyukai