Disusun oleh:
Pengelola Modul Keterampilan Medis Dasar 1
BAB V
KETERAMPILAN KOMUNIKASI
5.1 PENDAHULUAN
Komunikasi dokter-pasien merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai dokter.
Kompetensi komunikasi menentukan keberhasilan dalam membantu penyelesaian masalah
kesehatan pasien. Selama ini kompetensi komunikasi dapat dikatakan terabaikan, baik dalam
pendidikan maupun dalam praktik kedokteran.
Komunikasi yang baik antara dokter dan pasien/keluarga pasien akan melahirkan suatu
hubungan yang baik pula. Kita harus menempatkan pasien sebagai orang yang paling penting
dalam ruangan pemeriksaan sehingga harus betul-betul diperhatikan dan didengarkan.
Kerahasiaan dan privacy pasien baik data-data yang dikatakan maupun didapatkan dari
pemeriksaan pasien harus benr-benar dijaga. Untuk pasien tertentu terutama yang akan
dilakukan suatu pemeriksaan fisik yang lebih detail sebaiknya pada saat pemeriksaan
didampingi oleh perawat atau orang lain yang memang berkompeten. Perawat atau orang
yang mendampingi sebisa mungkin berjenis kelamin yang sama dengan pasien terutama jika
pasien perempuan. Untuk itu, kondisi yang membuat pasien merasa nyaman harus diciptakan
agar dia memberikan keterangan yang akurat sesuai dengan yang diharapkan dokter atau
pemeriksa.
Dalam berkomunikasi pergunakan bahasa yang lazim digunakan di daerah tersebut atau
bahasa yang paling difahami oleh pasien, kalau perlu dapat menggunakan penterjemah.
Selain itu, harus dihindari sesuatu yag bisa menjadi penghalang misalnya meja yang terlalu
besar atau monitor komputer yang akan menghalangi kelancaran komunikasi antara dokter
dan pasien. Kontak mata dilakukan pada awal anamnesis dan kemudian dilakukan pada
interval-interval tertentu. Jangan melakukan kontak mata terus-menerus, karena pasien
mungkin akan merasa terganggu atau terintimidasi. Mempertahankan kontak mata dengan
pasien, untuk menunjukkan bahwa dokter memberikan perhatian penuh kepada pasien.
Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan olehkedua
pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwamengembangkan komunikasi dengan
pasien hanya akan menyita waktu dokter,tampaknya harus diluruskan. Bila dokter dapat
membangunhubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal
negatifdapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dankeluarganya
dan pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter.
5.2 TUJUAN
2
Setelah mengikuti kegiatan ini mahasiswa diharap mampu melakukan komunikasi
yang efektif.
Empati
3
Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan melahirkan
kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata
tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat dikembangkan apabila dokter
memiliki ketrampilan mendengar dan berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih.
Carma L. Bylund & Gregory Makoul dalam tulisannya tentang Emphatic
Communication in Physician-Patient Encounter (2002), menyatakan betapa pentingnya
empati ini dikomunikasikan. Dalam konteks ini empati disusun dalam batasan definisi
berikut:
(1) kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan pasien (a physician
cognitive capacity to understand patients needs),
(2) menunjukkan afektifitas/sensitifitas dokter terhadap perasaan pasien (an affective
sensitivity to patients feelings),
(3) kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan/menyampaikan empatinya kepada
pasien (a behavioral ability to convey empathy to patient).
Sementara, Bylund & Makoul (2002) mengembangkan 6 tingkat empati yang
dikodekan dalam suatu sistem (The Empathy Communication Coding System (ECCS) Levels).
Berikut adalah contoh aplikasi empati tersebut:
Level 0: Dokter menolak sudut pandang pasien
Anda bilang Anda sangat stres datang ke sini? Apa Anda mau menceritakan
lebih jauh apa yang membuat Anda stres?
4
Anda sepertinya sangat sibuk, saya mengerti seberapa besar usaha Anda untuk
menyempatkan berolah raga
Level 5: Dokter berbagi perasaan dan pengalaman (sharing feelings and experience) dengan
pasien.
Ya, saya mengerti hal ini dapat mengkhawatirkan Anda berdua. Beberapa
pasien pernah mengalami aborsi spontan, kemudian setelah kehamilan
berikutnya mereka sangat, sangat, khawatir
Empati pada level 3 sampai 5 merupakan pengenalan dokter terhadap sudut pandang pasien
tentang penyakitnya, secara eksplisit.
Empati dapat juga diartikan seseorang menghargai, mengerti, dan menerima situasi
emosional seseorang tanpa ikut terlibat dalam perasaan atau suasana emosi seseorang.
Komunikasi yang dibangun dengan saling pengertian akan sangat membantu dan sangat
berarti dalam komunikasi antara dokter dan pasien. Perilaku nonverbal seperti mimik wajah
terkadang mengkomunikasikan empati lebih efektif daripada kata-kata. Terdapat dua
komponen komunikaasi empatik yaitu refleksi dan legitimasi. Refleksi berarti dokter
menggambarkan atau mampu merasakan ekspresi emosi pasien misalnya dengan berkata
pada pasien yang kelihatan sedih : Anda terlihat sangat sedih atau Saya tahu masalah ini
berat bagi Anda. Legitimasi atau validasi (sahih) lebih menunjukkan bahwa dokter
memberikan suatu keyakinan bahwa emosi pasien dapat diterima dan dimengerti oleh dokter.
Dalam hal ini mengindikasikan adanya suatu intervensi yang secara spesifik mengungkapkan
penerimaan dan penghargaan atau respek pada pengalaman emosional pasien. Ini dapat
digambarkan dengan pernyataan validasi seperti :
Dokter : Saya sangat mengerti mengapa Anda merasa cemas atas rasa sakit pada dada
sebelah kiri Anda atau Siapapun juga akan merasakan hal yang sama jika menghadapi
kondisi seperti yang Anda alami.
Contoh sikap empati seorang dokter dapat juga ditunjukkan ketika menerima pasien:
- Menilai suasana hati lawan bicara apakah sedang marah, sedih, gembira, atau gelisah.
- Memperhatikan sikap non-verbal (raut wajah/mimik, gerak/bahasa tubuh) pasien pada saat
berbicara.
- Menatap mata pasien secara profesional yang lebih terkait dengan makna menunjukkan
perhatian dan kesungguhan mendengarkan.
- Memperhatikan keluhan yang disampaikan tanpa melakukan interupsi yang tidak perlu.
5
- Apabila pasien marah, menangis, takut, dan sebagainya maka dokter tetap menunjukkan
raut wajah dan sikap yang tenang.
- Melibatkan pasien dalam rencana tindakan medis selanjutnya atau pengambilan
keputusan.
c. Umpan Balik
Teknik bertanya, mendengar, dan memberikan balikan (feed back) merupakan salah
satu sesi yang penting. Di dalam komunikasi dokter-pasien, ada dua sesi yaitu pengumpulan
informasi yang di dalamnya terdapat proses anamnesis, dan sesi penyampaian informasi. Sesi
anamnesis dan sesi penyampaian informasi akan dipelajari dalam keterampilan semester
berikut. Teknik bertanya dan mendengarkan serta memberikan balikan (feedback) merupakan
bagian dari sesi penggalian informasi. Tanpa penggalian informasi yang akurat, dokter dapat
terjerumus ke dalam sesi penyampaian informasi (termasuk nasihat, sugesti atau motivasi dan
konseling) secara prematur. Akibatnya pasien tidak melakukan sesuai anjuran dokter.
Dalam dunia kedokteran, model proses komunikasi pada sesi penggalian informasi
telah dikembangkan oleh Van Dalen (2005) dan digambarkan dalam sebuah model yang
sangat sederhana dan aplikatif.
6
menjadi pendengar yang aktif (active listerner). Pendengar yang aktif adalah fasilitator
yang baik sehingga pasien dapat mengungkapkan kepentingan, harapan, kecemasannya
secara terbuka dan jujur. Hal ini akan membantu dokter dalam menggali riwayat
kesehatannya yang merupakan data-data penting untuk menegakkan diagnosis.
2. Penggalian riwayat penyakit (Van Thiel, 2000)
Penggalian riwayat penyakit (anamnesis) dapat dilakukan melalui pertanyaan-
pertanyaan terbuka dahulu, yang kemudian diikuti pertanyaan tertutup yang membutuhkan
jawaban ya atau tidak. Inilah yang dimaksud dalam kotak kedua dalam model Van Dalen
(2005). Dokter sebagai seorang yang ahli, akan menggali riwayat kesehatan pasien sesuai
kepentingan medis (disease perspective).
Selama proses ini, fasilitasi terus dilakukan agar pasien mengungkapkan keluhannya
dengan terbuka, serta proses negosiasi saat dokter hendak melakukan komunikasi satu arah
maupun rencana tindakan medis.
Pertanyaan-pertanyaan terbuka yang dapat ditanyakan :
- Bagaimana pusing tersebut Anda rasakan, dapat diceritakan lebih jauh?
- Menurut Anda pusing tersebut reda bila Anda melakukan sesuatu, meminum obat
tertentu, atau bagaimana menurut Anda?
Sedangkan pertanyaan tertutup yang merupakan inti dari anamnesis meliputi:
- Eksplorasi terhadap riwayat penyakit dahulu
- Eksplorasi terhadap riwayat penyakit keluarga
- Eksplorasi terhadap riwayat penyakit sekarang, contoh menggunakan pedoman
Macleods clinical examination seperti disebutkan dalam Kurtz (1998)
Macleods clinical examination:
- Sampai di bagian tubuh mana hal tersebut dirasakan? (radiation)
- Bagaimana karakteristik dari nyerinya, berdenyut-denyut? Hilang timbul? Nyeri terus
menerus? (character)
- Nyeri? Amat nyeri? Sampai tidak dapat melakukan kegiatan mengajar? (severity)
- Berapa lama nyeri berlangsung? Sebentar? Berjam-jam? Berhari-hari? (duration)
- Setiap waktu tertentu nyeri tersebut dirasakan? Berulang-ulang? Tidak tentu?
(frequency)
- Apa yang membuatnya reda? Apa yang membuatnya kumat? Saat istirahat? Ketika
kerja? Sewaktu minum obat tertentu? (aggravating and relieving factors)
- Adakah keluhan lain yang menyertainya? (associated phenomenon)
3. Sesi Mendengarkan
7
Dalam hal mendengarkan apa-apa yang disampaikan pasien selama anamnesis atau
sesi penggalian informasi dari pasien maka hal-hal yang diperhatikan dan dilakukan adalah :
- Merperhatikan gaya komunikasi pasien; ada yang senang bicara sedikit dan lebih banyak
menjadi pendengar; hanya bicara bila ditanya; disertai humor (suka melucu); meledak-
ledak (penuh semangat, bersuara keras); bersuara pelan; malu berbicara di depan publik
(demam panggung); pintar (banyak teori); komentator (suka 'nyeletuk'); suka mengejek;
praktis (tidak suka teori); negatif (pesimis); optimis.
- Menggunakan beberapa macam teknik mendengarkan yang disesuaikan dengan gaya
komunikasi pasien yaitu :
- Membahasakan Kembali (Paraphrasing) untuk menenangkan dan membuat pasien
paham bahwa ucapannya dimengerti orang lain, Terutama digunakan untuk menanggapi
jawaban yang berbelit dan membingungkan.
- Menarik Keluar (Drawing people out) untuk jawaban warga kurang lengkap dan bila
pasien mengalami kesulitan menjelaskan gagasan atau keluhannya.
- Memantulkan (Mirroring) dengan mengulang pernyataan pasien untuk meyakinkan
pasien bahwa dokter mendengarkan ucapannya.
- Mengembalikan arah pembicaraan jika pasien menjelaskan terlalu melenceng dari
masalah.
- Membuka ruangan atau kesempatan bagi pasien untuk mengungkapkan masalahnya
seluas-luasnya.
- Diam Sejenak (Intentional Silence) dengan berhenti bicara selama beberapa detik. Dan
menunggu sejenak agar pasien menemukan apa yang ingin ia katakan.
- Menemukan kesamaan pemikiran dasar antara pasien dan dokter sehingga terbentuk
persepsi yang sama antara dokter dan pasien tentang masalah yang dihadapi pasien.
- Perhatikan seluruh hal yang dikatakan oleh pasien dengan seksama dan serius dan menjadi
pendengar yang baik terhadap keluhan pasien.
- Menunjukkan ekspresi atau empati terhadap masalah yang dihadapi pasien.
- Tidak mengerjakan hal-hal lain seperti menelpon saat anamnesis.
- Dokter diharapkan bisa memilah informasi yang penting dan mencatat hal-hal tersebut
untuk kemudian dibuat suatu resume nantinya.
- Tidak melakukan interupsi jika tidak diperlukan.
- Sekali-sekali dapat memberikan tanggapan atau komentar jika dirasa perlu atau untuk
lebih memperjelas keterangan yang diberikan pasien.
4. Sesi Memberikan Balikan (Feedback)
8
Memberikan balikan merupakan suatu proses yang menjadi bagian dari proses
mendengarkan. Memberikan balikan dengan baik baru dapat terlaksana jika dokter
memdengarkan dan memperhatikan apa-apa yang disampaikan oleh pasien maupun sikap dan
bahasa nonverbal pasien. Memberikan balikan dapat dilakukan dengan cara menguatkan
pernyataan pasien (positive feedback) atau membantah pasien (negative feedback). Dalam
proses ini perlu diperhatikan beberapa hal :
- Dalam memberikan balikan harus menggunakan bahasa yang halus dan tidak
menimbulkan perasaan dihakimi bagi pasien.
- Dilakukan setelah pasien selesai menyampaikan pendapat dan tidak menginterupsi
pernyataan pasien.
- Tidak berlebih-lebihan.
- Memberikan tanggapan yang dapat dimengerti pasien.
- Dilakukan dengan jujur dan diharapkan dapat memberikan rasa nyaman dan pengertian
yang lebih dari pasien tentang kondisinya.
9
3. Mendengarkan secara aktif, misalnya dengan memberikan respon verbal (Ya, saya
mengerti. atau Ooo, begitu. atau Ya, anda benar.) atau non-verbal (menganggukkan
kepala).
4. Memberikan kesempatan pasien untuk menyampaikan keluhan dan tidak memotong
pembicaraan pasien. Adakalanya pasien berbicara terus-menerus sampai kepada hal-hal
yang tidak berhubungan dengan penyakitnya, pada saat seperti ini dokter harus
mengalihkan kembali pasien ke topik pembicaraan yang berkaitan dengan keluhannya.
5. Menggunakan bahasa yang bisa dipahami pasien. Bahasa yang digunakan disesuaikan
dengan usia, bahasa ibu, dan tingkat pendidikan pasien. Jangan menggunakan istilah-
istilah medis, gunakanlah istilah-istilah padanannya dalam bahasa sehari-hari.
6. Mempertahankan kontak mata dengan pasien, untuk menunjukkan bahwa dokter
memberikan perhatian penuh kepada pasien. Kontak mata dilakukan pada awal anamnesis
dan kemudian dilakukan pada interval-interval tertentu. Jangan melakukan kontak mata
terus-menerus, karena pasien mungkin akan merasa terganggu atau terintimidasi.
7. Menunjukkan empati, dengan
A. ANAMNESIS
Anamnesis adalah wawancara yang dilakukan terhadap seseorang atau sekelompok
orang dengan tujuan mengumpulkan data. Anamnesis dapat dilakukan oleh dokter kepada
pasiennya, perawat pada pasiennya, petugas kesehatan lain terhadap pasien/klien, ataupun
psikolog terhadap kliennya. Anamnesis dapat dilakukan pada orang yang bersangkutan
(anamnesis) ataupun pada keluarga/teman dekat/orang yang mengetahui keadaan pasien
tersebut (hetero/alloanamnesis).
B. ANAMNESIS IDENTITAS
Identitas pasien yang perlu dianamnesis adalah:
1. Nama lengkap.
Nama sangat penting agar menghindari tertukar dengan orang lain, terutama dalam
pencatatan (medical record). Melalui medical record, kita bisa melihat riwayat penyakit
yang pernah diderita pasien sebelumnya dan riwayat pengobatannya.
Selain itu, mengetahui nama bisa digunakan untuk membuat suasana anamnesis lebih
akrab, yaitu dengan memanggilnya dengan sebutan Bu Anna, atau Pak Amin, atau
Iwan, dan sebagainya.
10
Nama juga bisa menunjukkan kaitannya dengan suku atau agama tertentu. Nama
Hasibuan berkaitan dengan suku Batak, nama Cut biasanya adalah orang Aceh, nama
Joyohadikusumo berkaitan dengan suku Jawa, dan sebagainya. Nama Nurul Hidayah
biasanya beragama Islam, Nama Magaretha Kristiani biasanya beragama Kristen, nama
I Wayan Sukarsa biasanya beragama Hindu, dan sebagainya.
2. Umur pasien.
Selain untuk kelengkapan identitas, umur juga bisa digunakan untuk memikirkan
kecenderungan penyakit pada usia tersebut. Ada penyakit yang cenderung mengenai bayi
baru lahir (neonatus), ada yang cenderung mengenai balita, ada yang cenderung mengenai
orang lanjut usia, dan sebagainya. Misalnya tetanus neonatorum adalah penyakit yang
hanya menyerang neonatus.Cacar air, difteri, dan campak cenderung mengenai anak-anak.
Hipertensi dan stroke cenderung menyerang orang lanjut usia.
3. Jenis kelamin.
Selain untuk kelengkapan identitas, jenis kelamin dapat dikaitkan dengan penyakit
tertentu.Penyakit yang berkaitan dengan haid dan kehamilan hanya dapat diderita
wanita.Kelainan pada prostat dan testis hanya bisa diderita oleh pria.
4. Alamat (kalau bisa dengan nomor telpon).
Selain untuk kelengkapan identitas, alamat bisa digunakan untuk menghubungi pasien
apabila ada yang harus dipastikan lebih lanjut.Alamat juga bisa dijadikan gambaran
tentang kondisi lingkungan pasien, yang berkaitan dengan higiene, sanitasi, dan kepadatan
penduduk.Alamat juga dapat membedakan kelas ekonomi penghuninya.
5. Pekerjaan.
Selain untuk kelengkapan identitas, pekerjaan dapat memberikan informasi tentang status
sosial-ekonomi seseorang.Pekerjaan juga bisa dikaitkan dengan tingkat pendidikan
seseorang.Selain itu, pekerjaan dapat menjadi risiko penyakit tertentu, misalnya orang
yang bekerja di pabrik yang bising cenderung menderita gangguan pendengaran.
Untuk heteroanamnesis, juga tanyakan nama, umur, pekerjaan, alamat, dan hubungan
pengantar dengan penderita.
Pada dasarnya, tubuh manusia dibagi menjadi beberapa sistem. Berikut ini adalah
sistem pada tubuh dan keluhan yang biasa disampaikan pasien berkaitan dengan sistemnya:
1. Sistem kulit: bercak-bercak putih, bercak-bercak merah, koreng, benjolan.
2. Sistem respirasi: batuk, pilek, sesak nafas.
3. Sistem pencernaan: mual, muntah, sembelit, diare, mulas, kembung.
4. Sistem kardiovaskuler: berdebar, lemah.
5. Sistem otot, tulang dan sendi: pegal, keseleo, linu, sakit berjalan.
6. Sistem urogenital: kencing merah, keputihan, haid terlambat.
7. Sistem saraf dan indera: sakit kepala, cemas, pusing, tremor.
8. Sistem endokrin: banyak makan, banyak kencing, gangguan haid.
14
1 Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2 Mendengarkan secara aktif
3 Tidak memotong pembicaraan pasien selama masih
relevan
4 Menggunakan bahasa yang bisa dipahami pasien
5 Mempertahankan kontak mata dengan pasien
6 Menunjukkan empati
B. Aspek anamnesis
1 Menanyakan identitas pasien: nama, umur, jenis kelamin,
alamat, pekerjaan
2 Menanyakan keluhan utama
3 Menggali riwayat penyakit sekarang:
Onset
Frekuensi
Sifat munculnya keluhan
Durasi
Sifat sakit
Lokasi
Hubungan dengan fungsi fisiologis
Akibat yang timbul terhadap aktivitas sehari-hari
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi keluhan
4 Menggali riwayat penyakit dahulu:
Ada tidaknya penyakit seperti ini sebelumnya
Penyakit lain yang pernah diderita
5 Menggali riwayat penyakit keluarga
Ada tidaknya penyakit serupa
6 Menanyakan keluhan penyerta (berdasarkan sistem)
7 Membuat resume anamnesis
C. Keterampilan Empati
1 Memperhatikan sikap non verbal pasien saat berbicara
2 Menatap mata pasien untuk menunjukkan perhatian dan
kesungguhan mendengarkan
3 Memperhatikan keluhan yang disampaikan tanpa
melakukan interupsi yang tidak perlu
4 Tetap menunjukkan raut wajah dan sikap dan tenang
apabila pasien menunjukkan sikap marah, sedih,
menangis, takut, dan sebagainya
5 Memberikan komentar atau kata-kata yang menunjukkan
dokter mampu merasakan suasana emosi/perasaan pasien
6 Memberikan komentar atau kata-kata yang menunjukkan
dokter mampu memahami dan menghargai perasaan
pasien
7 Mengenali sudut pandang pasien secara implisit
8 Menghargai pendapat pasien dengan tidak menolak
pendapat tersebut
15
9 Mengkonfirmasi kepada pasien tentang suasana
perasaannya
10 Berbagi perasaan dan pengalaman tentang masalah yang
dihadapi
D. Keterampilan Bertanya
1 Menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka dalam
menggali informasi tentang keluhan pasien
2 Menggunakan pertanyaan-pertanyaan tertutup dalam
menggali informasi tentang riwayat penyakit terdahulu
3 Menggunakan pertanyaan-pertanyaan tertutup dalam
menggali informasi tentang riwayat penyakit keluarga
4 Menggunakan pedoman Macleods clinical examination
dalam menggali informasi tentang riwayat penyakit saat
ini
E. Keterampilan Mendengarkan
1 Perhatikan seluruh hal yang dikatakan oleh pasien dengan
seksama dan serius dan menjadi pendengar yang baik
terhadap keluhan pasien.
2 Menunjukkan ekspresi atau empati terhadap masalah
yang dihadapi pasien.
3 Tidak mengerjakan hal-hal lain seperti menelpon saat
anamnesis
4 Dokter diharapkan bisa memilah informasi yang penting
dan mencatat hal-hal tersebut untuk kemudian dibuat
suatu resume nantinya.
5 Tidak melakukan interupsi jika tidak diperlukan
6 Sekali-sekali dapat memberikan tanggapan atau komentar
jika dirasa perlu atau untuk lebih memperjelas keterangan
yang diberikan pasien.
F. Memberikan Feedback
1 Memberikan balikan dengan cara menguatkan pernyataan
pasien (positive feedback) atau membantah pasien
(negative feedback).
2 Menggunakan bahasa yang halus dan tidak menimbulkan
perasaan dihakimi bagi pasien.
3 Dilakukan setelah pasien selesai menyampaikan pendapat
dan tidak menginterupsi pernyataan pasien.
4 Tidak berlebih-lebihan.
5 Memberikan tanggapan yang dapat dimengerti pasien.
6 Dilakukan dengan jujur dan diharapkan dapat
memberikan rasa nyaman dan pengertian yang lebih dari
pasien tentang kondisinya.
Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi kurang benar
2 = dilakukan dengan benar
BAB VI
16
6.1 PENDAHULUAN
Pemeriksaan tanda vital pada pasien merupakan suatu pemeriksaan yang sangat
penting peranannya di dalam penegakkan diagnosa, penatalaksanaan sampai pada
prognosis.Pemeriksaan tanda vital juga sering digunakan untuk menentukan apakah
seseorang sudah meninggal atau masih hidup.Sebenarnya pemeriksaan tanda vital tidak
hanya diperlukan untuk orang yang menderita penyakit tetapi juga pada orang sehat yang
melakukan aktivitas tertentu misalnya atlit, pekerja berat, operator alat-alat vital dan lain-
lain.Dengan demikian maka pemeriksaan tanda vital menjadi pemeriksaan rutin yang tidak
boleh dianggap remeh dan ditinggalkan.Tanda vital yang diperiksa meliputi suhu badan,
frekuensi nafas, frekuensi nadi dan tekanan darah.
Suhu badan
Suhu badan diperiksa dengan termometer badan, dapat berupa termometer air raksa
atau termometer elektrik.Pemeriksaan dapat dilakukan pada mulut, aksila dan
rektum.Pengukuran suhu melalui mulut biasanya lebih mudah dan hasilnya lebih tepat
dibandingkan melalui rektum, tetapi air raksa dengan kaca tidak seyogyanya dipakai untuk
mulut, pada penderita yang tidak sadar, gelisah atau tidak dapat menutup mulutnya.
Pemeriksaan secara rektum biasanya memberikan hasil pemeriksaan yang lebih tinggi sebesar
0,4-0,5 derajat dibandingkan lewat mulut.
Denyut nadi
Jantung bekerja memompa darah ke sirkulasi tubuh (oleh ventrikel kiri) dan paru
(oleh ventrikel kanan).Melalui ventrikel kiri, disemburkan darah ke aorta dan kemudian
diteruskan ke arteri seluruh tubuh.Sebagai akibatnya, timbullah suatu gelombang
tekananyang bergerak cepat pada arteri dan dapat dirasakan sebagai denyut nadi.Dengan
menghitung frekuensi denyut nadi, dapat diketahui frekuensi denyut jantung dalam satu
menit.
Tekanan darah
Tekanan darah pada sistem arteri bervariasi sesuai dengan siklus jantung yaitu
memuncak pada waktu sistole dan sedikit menurun pada waktu diastole.Beda antara tekanan
sistole dan diastole disebut tekanan nadi. Pada waktu ventrikel berkontraksi, darah akan
dipompakan ke seluruh tubuh. Keadaan ini disebut keadaan sistole, dan tekanan aliran darah
pada saat itu disebut tekanan darah sistole.Pada saat ventrikel sedang rileks, darah dari atrium
masuk ke ventrikel, tekanan aliran darah pada waktu ventrikel sedang relaks tersebut disebut
tekanan darah diastole.Tingginya tekanan darah dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya
aktivitas fisik, keadaan emosi, rasa sakit, suhu sekitar, penggunaan kopi, temabakau adn lain-
lain.
Pernafasan
Bernafas adalah suatu tindakan yang tidak disadari, diatur oleh batang otak dan
dilakukan dengan bantuan otot-otot pernafasan.Pada waktu inspirasi, diafragma dan otot-otot
interkostalis berkontraksi, memperluas rongga toraks dan memekarkan paru-paru. Dinding
dada akan bergerak ke atas, ke depan, dan ke lateral, sedangkan diafragma bergerak ke
bawah. Setelah inspirasi berhenti, paru-paru akan mengkerut, diafragma akan naik secara
pasif dan dinding dada akan kembali ke posisi semula.
17
Alat yang diperlukan : termometer air raksa ukuran dewasa dan anak bayi
a. Pemeriksaan pada mulut (oral)
Apabila penderita baru minum dingin atau panas, pemeriksaan dengan cara ini
harus ditunda selama 10-15 menit dulu agar minuman tidak mempengaruhi hasil
pengukuran.
b. Pemeriksaan pada rektum
2. Tempatkan ujung termometer yang berisi air raksa pada apex fossa axillaris
kirid engan sendi bahu adduksi maksimal
Catatan : pada prakteknya untuk menghemat waktu pada saat menunggu pengukuran suhu
juga dibarengi dengan pemeriksaan nadi dan frekuensi nafas.
2. Cara pemeriksaan frekuensi nadi
a. Penderita dapat dalam posisi duduk ataupun berbaring. Lengan dalam posisi bebas
(relaks), perhiasan dan jam tangan dilepas
b. Periksalah denyut nadi pergelangan tangan dengan menggunakan jari telunjuk dan
jari tengah anda, pada sisi fleksor bagian lateral dari tangan penderita, tepat pada
a. Radialis
c. Hitunglah berapa denyutan dalam satu menit dengan cara menghitung denyutan
dalam 15 detik, kemudian hasilnya dikalikan dengan empat. Takikardia (>100
kali/menit); bradikardia (<60 kali/menit)
18
3. Pemeriksaan frekuensi nafas
c. Lengan dalam keadaan bebas dan relaks, bebaskan dari tekanan oleh karena
pakaian
d. Pasang manset sedemikian rupa sehingga melingkari lengan secara rapi dan tidak
terlalu ketat, kira-kira 2,5 5 cm di atas siku
g. Dengan satu jari meraba arteri brachialis, pompa manset dengan cepat sampai
kira-kira 30 mmHg di atas tekanan ketika pulsasi arteri brachialis menghilang
19
k. Kemudian secara perlahan turunkan tekanan manset dengan kecepatan kira-kira 2-
3 cm Hg perdetik. Perhatikan saat dimana denyutan a. Brachialis terdengar. Inilah
tekanan sistolik. Lanjutkanlah penurunan tekanan manset sampai suara denyutan
melemah dan kemudian menghilang. Tekanan pada saat itu adalah tekanan
diastolik.
CHECK LIST
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN TANDA VITAL
NAMA : NIM :
20
dengan cepat memompa manset sampai 30 mmHg
di atas hilangnya pulsasi/ ingat dan laporkan
hasilnya
10. Menurunkan tekanan manset perlahan-lahan sampai
pulsasi arteria teraba kembali dan melaporkan hasil
ini sebagai tekanan sistolik palpatoir
11. Mengambil stetoskop dan memasang corong bel
pada tempat perabaan pulsasi
12. Memompa kembali manset sampai 30 mmHg di
atas tekanan sistolik palpatoir
13. Mendengarkan melalui stetoskop, sambil
menurunkan perlahan-lahan (3 mmHg) perdetik dan
melaporkan saat mana mendengar bising pertama
sebagai tekanan sistolik
14. Melanjutkan penurunan tekanan manset sampai
suara bising yang terakhir sehingga setelah itu tidak
terdengar bising lagi (sebagai tekanan diastolik)
15. Mencatat dan melaporkan hasil tekanan sistolik
dan diastolik
C. PEMERIKSAAN NADI
21
4 Menghitung frekuensi denyut nadi minimal 15 detik
5. Mencatat dan melaporkan hasil frekuensi nadi
dalam satu menit, irama dan kualitas denyutan
Akhir pemeriksaan :
No. KRITERIA SKOR
0 1 2
1. Memberikan informasi hasil pemeriksaan yang
telah dilakukan kepada pasien
22
BAB VII
7.1 PENDAHULUAN
Anamnesis dan pemeriksaan neurologi yang dilakukan dengan akurat mampu
menentukan lokasi lesi sepanjang aksis saraf. Aksis saraf terbentang mulai dari korteks otak
sampai bagian efektor otot yang mempunyai fungsi khusus. Secara fungsional sistem saraf
terdiri dari sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Susunan saraf pusat terdiri dari otak
dan medula spinalis yang berfungsi menganalisis, mensintesis, dan mengintegrasikan
berbagai masukan dari saraf sensorik maupun dari bangunan lain yang terdapat di otak dan
medulla spinalis. Susunan saraf perifer meliputi organ sensoris dan efektor Pemeriksaan
neurologi bertujuan menjelaskan adanya disfungsi susunan saraf dan menilai kemampuan
fungsi susunan saraf yang masih ada. Pemeriksaan juga bertujuan menentukan kemungkinan
lokasi anatomis dari lesi. Apakah masalah disebabkan oleh lesi pada otak, medula spinalis,
saraf perifer, atau otot?
Pada umumnya pemeriksaan neurologi harus merupakan pemeriksaan fisik secara
umum, dimana fungsi susunan saraf mendapat perhatian khusus. Urutan pemeriksaan
neurologi terdiri dari penilaian umum terhadap fungsi serebral, pemeriksaan saraf otak,
penilaian fungsi motorik, dan penilaian fungsi sensorik.
23
Pemeriksaan neurologi bertujuan menjelaskan adanya disfungsi susunan saraf dan
menilai kemampuan fungsi susunan saraf yang masih ada. Pemeriksaan juga bertujuan
menentukan kemungkinan lokasi anatomis dari lesi. Apakah masalah disebabkan oleh lesi
pada otak, medula spinalis, saraf perifer, atau otot.
Refleks biseps
Lengan penderita dibengkokkan pada siku. Lantas palu refleks kita ketokkan pada
tendon otot biseps sedikit di bawah lipatan siku. Bila positif, maka akan tampak kontraksi
otot biseps.
24
Gambar 1. Refleks biceps Gambar 2. Refleks triceps
Refleks triseps
Kedudukan lengan adalah sama dengan waktu kita memeriksa refleks biseps. Apabila telah
dipastikan bahwa lengan penderita sudah benar-benar relaksasi pukullah tendo yang lewat
fosa olekrani. Refleks positif ditandai dengan kontraksi sedikit menyentak, gerakan ini dapat
dilihat dan sekaligus dirasakan oleh lengan pemeriksa yang menopang lengan penderita.
Refleks lutut
Refleks ini dikenal juga sebagai Refleks Westphal atau lebih populer dengan nama
singkatan K.P.R (knee pees refleks). Refleks ini dapat dilakukan dalam keadaan duduk atau
berbaring. Pada penderita yang duduk, kaki yang hendak diperiksa hendaknya diletakkan di
atas lutut kaki yang satu lagi. Pada penderita yang berbaring terlentang, pemeriksa harus
meletakkan tangannya di bawah lutut penderita, sehingga kaki yang hendak diperiksa berada
dalam keadaan fleksi, namun harus dijaga supaya tumit kaki itu masih tetap berada
(menyentuh) di atas tempat tidur. Setelah itu, dilakukan perkusi pada ligamentum patella.
Untuk mengetahui apakah K.P.R. tersebut positif atau tidak, hendaklah kita perhatikan
apakah ada atau tidak ada kontraksi dari otot kuadriseps femoris. K.P.R dikatakan positif bila
terlihat ada kontraksi dari otot kuadriseps femoris yaitu terjadi ekstensi tungkai bawah.
25
Refleks Achilles
Refleks ini di klinik lebih terkenal dengan singkatan A.P.R. (Achilles pees refles).
Pada penderita yang duduk, kita suruh berlutut di atas tempat tidur. Berlutut ini hendaknyalah
sedemikian rupa, sehingga kedua kakinya menonjol melewati pinggir dari tempat tidur
tersebut.
26
7.3 PENILAIAN FUNGSI MOTORIS
A. Tonus
Untuk menilai keadaan tonus suatu otot dapat dilakukan dengan cara melakukan
fleksi dan ekstensi pada sendi yang digerakkan oleh otot tersebut, seperti misalnya untuk
menilai tonus otot biseps kita lakukan fleksi dan ekstensi pada sendi siku. Gerakan-gerakan
ini dapat pula kita lakukan pada sendi-sendi yang lain seperti misalnya sendi lutut, sendi
pergelangan tangan, pergelangan kaki dan lain-lain. Gerakan fleksi dan ekstensi itu kita
lakukan dengan kecepatan yang berbeda-beda. Sementara kita melakukan gerakan-gerakan
itu penderita harus dalam keadaan santai. Sebaiknya kita beritahu padanya, supaya ia
melemaskan tungkai atau lengan yang akan diperiksa.
Tonus yang menurun dinamakan hipotoni, dan yang lenyap sama sekali dinamakan
atoni. Bi1a ada kelumpuhan otot yang dibarengi oleh tonus yang menurun maka kita katakan
bahwa penderita memperlihatkan paralisis flaksid. Tonus yang meningkat dinamakan
hipertoni. Bila ada kelumpuhan otot yang dibarengi oleh tonus yang meningkat maka kita
katakan bahwa penderita itu rnemperlihatkan paralisis spastik.
Tonus yang meningkat dibedakan dalam dua macam, yaitu :
27
Untuk memperlihatkan spastisitas tersebut, kita lakukan fleksi pada tungkai tersebut. Bila
tahanan yang kita rasakan lenyap dengan sekonyong-konyong maka kita katakan bahwa pada
tungkai tersebut terdapat fenomena pisau lipat.
b. Rigiditas
Rigiditas merupakan manifestasi gangguan tonus otot dimana pada penilaian tonus otot
dirasakan adanya tahanan yang hilang timbul secara berselingan. Sewaktu kita melakukan
fleksi atau ekstensi pada suatu anggota tubuh (lengan atau tungkai) maka kita
akan rasakan adanya suatu tahanan. Bila kita lawan tahanan tersebut, maka akan kita rasakan
bahwa tahanan tersebut akan mengalah sebentar. Tetapi segera akan kita rasakan, bahwa ada
tahanan baru. Jadi, sewaktu melakukan fleksi atau ekstensi pada anggota tubuh kita rasakan
adanya tahanan yang tersendat-sendat. Ini dinamakan fenomen roda-bergigi atau cog-wheel
phenomenon. Tonus yang menurun Pada keadaan tonus otot yang menurun dirasakan kendor
pada palpasi, anggota gerak dapat digoyang-goyang dengan mudah, dan tidak ada tahanan
sewaktu dilakukan fleksi atau ekstensi.
B. Tenaga otot
Tenaga atau kekuatan otot itu dapat dinilai menurut skala MRC :
Derajat 0: Paralisis total
Derajat 1: Masih terlihat kontraksi
Derajat 2: Gerak aktif tanpa gravitasi
Derajat 3: Bergerak melawan gravitasi
Derajat 4: Bergerak melawan tahanan
Derajat 5: Kekuatan otot normal
Gambar 7. Penilaian tenaga otot latissimus dorsi Gambar 8. Penilaian tenaga otot biseps
brakhii
28
Gambar 9. Penilaian tenaga otot brakhioradialis Gambar 10. Penilaian tenaga otot triseps
brakhii
Gambar 11. Penilaian tenaga otot iliopsoas Gambar 12. Penilaian tenaga otot
gluteus maksimus
7.4 PEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIS
Gangguan pada otak, medula spinalis, dan saraf tepi dapat menimbulkan gangguan
sensoris. Gangguan ini tidak tampak seperti halnya pada gangguan motorik maupun trofi otot.
Gangguan sensoris dapat menimbulkan perasaan semutan atau baal (parestesia), kebas, atau
mati rasa, dan ada pula yang sangat sensitif (hiperestesi).
29
Gambar 13. Pemeriksaan rasa raba
30
Perasaan gerak adalah perasaan gerak pasif dimana gerakan anggota gerak pasien dilakukan
oleh pemeriksa.
31
Gambar 17. Pemeriksaan getar pada ujung ibu jari kaki
32
atau huruf yang ditulis pada kulit penderita.Perasaan diskriminasi spasial Perasaan
diskriminasi spasial atau diskriminasi dua titik merupakan daya untuk mengenali dan
mengetahui dua jenis sensibilitas hasil dua macam perangsangan pada dua tempat.
c. Diskriminasi Spasial
Perasaan diskriminasi spasial atau diskriminasi dua titik merupakan daya untuk mengenali
dan mengetahui dua jenis sensibilitas hasil dua macam perangsangan pada dua tempat yang
berbeda.
33
DAFTAR TILIK
1. PEMERIKSAAN REFLEKS
Score
No Aspek yang Dinilai
0 1 2
Meminta izin kepada penderita, mempersilakan berbaring/duduk
1.
dengan rileks
2. Refleks Biceps
Memfleksikan lengan penderita pada sendi
Siku
Meletakkan ibu jari pada tendo achilles kemudian
mengetuknya dengan palu refleks
Mendeskripsikan respons positif dari refleks biseps
3. Refleks Triceps
menopang lengan penderita yang berada dalam keadaan
abduksi dengan lengan bawah yang tergantung bebas
mengetuk tendo m. Triseps
34
Mengetuk tendon patela dengan palu refleks
Mendeskripsikan respon positif dari pemeriksaan refleks
tendon lutut
5. Refleks Achilles (A.P.R)
Melakukan dorsofleksi pada kaki penderita dengan
menggunakan tangan pemeriksa
Mengetuk tendon Achilles
Mendeskripsikan respon positif dari pemeriksaan refleks
Achilles
6. Refleks Dinding Abdomen
35
Memposisikan lengan atas hingga sejajar bahu dalam keadaan
fleksi pada sendi siku
Melakukan gerakan ekstensi di sendi siku penderita dan
penderita diminta melawan dengan melakukan gerakan fleksi
Memberikan penilaian tenaga otot biseps brakhii penderita
36
0 1 2
Meminta izin kepada penderita, mempersilakan penderita berbaring
1.
dengan rileks
2. Pemeriksaan Sensibilitas Ekteroseptif
37
stiloideus radii dan ulnae dan pada kondilus humeri
Jika penderita merasa adanya getaran, maka ia diminta
mengatakan "getar." Bila penderita tidak merasa adanya
getaran, ia diminta mengatakan "tidak getar."
4. Pemeriksaan sensibilitas diskriminatif
a. Stereognosis
b. Graphestesia
c. Diskriminasi spasial
38
BAB VIII
8.1 PENDAHULUAN
Pemeriksaan saraf-saraf kranial merupakan salah satu dari rangkaian pemeriksaan
neurologis yang terdiri dari status mental, tingkat kesadaran, fungsi saraf kranial, fungsi
motorik, refleks, koordinasi dan gaya berjalan, serta fungsi sensorik. Seperti halnya
pemeriksaan neurologi pada umumnya, pemeriksaan ini juga bertujuan untuk membantu
dalam penegakkan diagnosis neurologis yang meliputi diagnosis anatomis (letak lesi) dan
patologis (proses penyakit).
Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak melalui
lubang-lubang pada tulang yang dinamakan foramina. Ada 12 pasang saraf kranial yang
dinyatakan dengan nama atau dengan angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah olfaktorius
(I), optikus (II), Okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abdusens (VI), fasialis
(VII), vestibula koklearis (VIII), glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus
(XII).
Pemeriksaan saraf kranial memerlukan kerjasama yang baik antara pemeriksa dan
penderita selama pemeriksaan. Penderita seringkali diminta kesediaannya untuk melakukan
39
suatu tindakan yang mungkin oleh penderita dianggap tidak masuk akal atau menggelikan.
Sebelum mulai diperiksa, kegelisahan penderita harus dihilangkan dan penderita harus diberi
penjelasan mengenai pentingnya pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis.
Memberikan penjelasan mengenai lamanya pemeriksaan, cara yang dilakukan dan nyeri yang
mungkin timbul dapat membantu memupuk kepercayaan penderita pada pemeriksa. Penderita
diminta untuk menjawab semua pertanyaan sejelas mungkin dan mengikuti semua petunjuk
sebaik mungkin
40
Aroma yang dipilih dapat berupa minyak aromatik (misalnya lavender, pepermin),
kopi, teh, atau tembakau yang mampu menstimulasi nervus olfaktorius. Bahan iritan seperti
amonia dapat merangsang cabang nervus trigeminus di mukosa nasal sehingga tidak
dianjurkan sebagai bahan pada pemeriksaan sarap olfaktorius ini. Pasien yang telah
kehilangan indra penghidu akan bereaksi terhadap ammonia melalui jaras alternative ini.
Penderita yang normosmia akan dapat mengenal bau yang di hidunya dengan baik.
Kehilangan daya penghidu dinamai anosmia. Berkurangnya daya penghidu dinamai
hiposmia. Anosmia dan hiposmia akan mengganggu pula daya pengecap, sehingga tidak
jarang kita lihat, bahwa penderita dengan anosmia pula memperlihatkan anoreksia. Parosmia
adalah keadaan di mana penghiduan penderita adalah tidak sesuai dengan jenis bau yang
sebenarnya, misalnya bau minyak wangi di kiranya bau terasi. Daya penghidu yang
berlebihan disebut hiperosmia yang dapat ditemukan pada penderita dengan neurosis.
Penderita ini di mana-mana mengeluh tentang bau yang kurang enak. Penderita neurosis
dengan kakosmia, di mana-mana mencium bau busuk.
Anosmia, terutama jika unilateral, mengindikasikan adanya tumor yang melibatkan
sulkus olfaktorius (tumor ini dapat juga mempengaruhi penglihatan). Akan tetapi, penyebab
anosmia yang lebih sering adalah infeksi saluran pernafasan atas berulang yang akan merusak
mukosa olfaktorius dan cedera kepala.
42
Gambar 3. Pola karakteristik lapangan pandang
Sebagian besar kelainan lapang pandang dapat dinilai dengan tes konfrontasi. Akan
tetapi , kadang-kadang diperlukan pemeriksaan lebih teliti (dalam hal ukuran dan warna
benda) dan peta lapang pandang (misalnya menggunakan layer Bjerrum), perimeter kubah
(Goldmann) atau peralatan otomatis (Humphrey)). Teknik-teknik ini berguna terutama untuk
skotoma kecil seperti pada penyakit retina, dan untuk memonitior perkembangan terapi dan
penyakit.
Penglihatan warna
Pemeriksaan klinis penglihatan warna biasanya menggunakan gambar Ishihara. Tes
ini terdiri dari titik-titik berwarna yang tersusun sehingga individu dengan penglihatan warna
yang normal dapat membaca sebuah angka yang tersembunyi dalam pola titik-titik tersebut.
Gangguan penglihatan warna dapat diturunkan gen resesif terkait seks.
Gangguan bisa juga didapat, terutama pada penyakit nervus optikus. Jadi, desaturasi
warna (terutama warna merah) merupakan gambaran awal semua penyakit nervus optikus.
Gangguan sentral (yaitu serebral) penglihatan warna yang lebih ringan biasanya disebabkan
oleh penyakit di region oksipitotemporal, dan seringkali melibatkan kedua hemisfer, yang
membutuhkan tes yang lebih canggih.
Funduskopi
43
Funduskopi dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut oftalmoskop.
Kegunaan utama oftalmoskop adalah untuk melakukan inspeksi diskus optikus, sehingga
sewaktu melakukan funduskopi kita perhatikan keadaan pupil, makula, dan retina mata yang
sedang diperiksa. Penilaian terhadap struktur-struktur tersebut membantu deteksi efek yang
timbul akibat penyakit tertentu seperti hipertensi dan diabetes serta gangguan oftalmologis
yang berhubungan dengan penyakit neurologis misalnya retinitis pigmentosa.
Pemeriksaan mata kanan dilakukan dengan memegang alat oftalmoskop dengan
tangan kanan, sedangkan mata dokter yang mengintip di belakang oftalmoskop tersebut
adalah mata yang kanan. Sebaliknya untuk mata kiri penderita dapat dilakukan dengan
mengintip melalui mata kirinya melalui oftalmoskop yang digenggam dengan tangan kirinya.
Putar lensa ke arah O dioptri maka fokus dapat diarahkan kepada fundus, kekeruhan lensa
(katarak) dapat mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina sudah terfokus carilah terlebih
dahulu diskus optikus. Caranya adalah dengan mengikuti perjalanan vena retinalis yang besar
ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari diskus optikus.
44
memotong iris lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal
ke belakang / ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara
kronik pula, maka dicurigai adanya suatu ptosis.
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah
medial, atas, dan bawah, sekaligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan
dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan
diam) sudah harus dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate divergen ke satu
sisi.
Pemeriksaan pupil untuk nervus III adalah pemeriksaan refleks akomodasi
(konvergensi). Pupil juga akan berkonstriksi jika fokus suatu benda dipindahkan dari jarak
jauh ke jarak dekat. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menyuruh penderita memandang
jauh dan selanjutnya disuruh memandang jari telunjuk kita yang berada agak jauh dari
penderita. Kemudian perintahkan terus memandang jari telunjuk kita sembari kita
menggerakan jari mendekati hidung penderita. Perhatikan kontraksi pupil penderita yang
terjadi. Biasanya akan tampak bahwa kedua bola mata penderita akan bergerak ke medial dan
pupil akan menyempit.
Refleks Pupil
Komponen aferen lengkung refleks yang mengatur konstriksi pupil terhadap rangsang
cahaya atau refleks akomodasi pada penglihatan dekat adalah nervus optikus. Saraf eferen
merupakan bagian dari sistem saraf parasimpatis dan mencapai serabut otot polos konstriktor
pupil melalui nervus okulomotorius (III). Saraf simpatis memersarafi serabut otot dilator
pupil, yang mencapai mata dari ganglion sevikal superior melalui pleksus simpatis pada
dinding arteri karotis interna.
Inspeksi pupil dilakukan pada pupil istirahat yaitu dengan melihat ukuran diameter
pupil (dalam satuan milimeter), bentuk lingkaran pupil (regularitas), dan deviasi pupil
(eksentrisitas) pupil. Selanjutnya dilakukan penilaian respons pupil terhadap cahaya dan
akomodasi. Respon cahaya langsung dilakukan dengan menggunakan sumber cahaya (senter
kecil) yang diarahkan dari samping sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya dan tidak
berakomodasi. Inspeksi kedua pupil dan ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan
normal pupil yang disinari akan mengecil. Respon cahaya konsensual terjadi jika pada pupil
yang satu disinari maka secara simultan pupil lainnya memberikan respon identik dengan
mengecil dengan ukuran yang sama.
Lebarnya pupil sangat tergantung dari penerangan di dalam kamar periksa. Pada
penerangan yang sedang, biasanya lebar pupil itu adalah 4-5 mm. Bila lebarnya adalah
45
kurang dari 2 mm, maka keadaan itu kita namakan miosis. Bila lebar pupil lebih dari 5 mm,
maka keadaan itu kita namakan midriasis. Bila pupil itu sangat kecil maka keadaan itu kita
namakan pinpoint pupil. Bila pupil kanan dan kiri sama lebarnya, maka kita katakan, bahwa
pupil penderita itu adalah isokor. Anisokor adalah keadaan di mana satu pupil lebih lebar dari
pada pupil yang lain.
47
pemeriksa diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon normal akan negatif yaitu tidak
ada penutupan mulut atau positif lemah yaitu penutupan mulut ringan. Sebaliknya pada lesi
UMN akan terlihat penutupan mulut yang kuat dan cepat.
49
udara dengan ujung garpu yang bergetar diletakkan di depan telinga, dibandingkan dengan
konduksi tulang dengan cara meletakkan tangkai garpu tala pada prosesus mastoideus
(dibelakang telinga) dan bila bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar
dengan meatus akustikus oksterna. Normalnya, konduksi udara lebih cepat dibandingkan
dengan konduksi tulang yang ditandai dengan garpu tala masih terdengar pada meatus
akustikus eksternus (Rinne +). Akan tetapi, pada tuli konduktif konduksi tulang lebih cepat
dibandingkan konduksi udara yang ditandai dengan garpu tala tidak terdengar lagi (Rinne -).
Pada tuli sensorineural, konduksi tulang juga lebih cepat dibandingkan dengan konduksi
udara, tetapi keduanya akan berkurang jika dibandingkan dengan telinga normal.
Pada tes weber, dasar tangkai garpu tala diletakkan pada verteks. Dalam keadaan
normal, bunyi akan terdengar sama keras pada kedua telinga. Pada tuli sensorineural akan
terjadi lateralisasi bunyi kearah telinga yang normal, sedangkan pada tuli konduktif akan
terjadi lateralisasi ke arah telinga yang sakit.
Pada Tes Schwabach, setelah garpu tala dibunyikan langsung diletakkan pada telinga
pasien, pasien diminta untuk memberi tahu bila bunyi garpu tala berhenti. Setelah itu,
pemeriksa menempatkan garpu tala di dekat lubang telinga dirinya. Bila pemeriksa masih
dapat menangkap bunyi garpu tala maka pendengaran pasien berkurang.
Pemeriksaan komponen keseimbangan dapat dilakukan dengan tes Romberg atau
memerhatikan nistagmus. Pada tes Romberg penderita diminta berdiri tegak lurus dengan
kaki dirapatkan serta kedua mata di pejamkan. Tes Romberg positif apabila pada mata
tertutup tidak bisa berdiri tegak lurus dengan kaki dirapatkan dan apabila mata terbuka
probandus dapat beridir dengan kedua tungkai dirapatkan. Tes ini baik untuk menggambarkan
gannguan keseimbangan karena gangguan penghantaran impuls proprioseptik (serebelum).
Nistagmus adalah gerakan osilasi ritmis involunter mata yang dapat terjadi pada
lirikan dalam arah horizontal atau vertikal yang disengaja, atau kadang pada posisi primer.
Nistagmus vestibuler memiliki gerakan dua arah dengan kecepatan yang sama (nistagmus
pendulum), tetapi seringkali terdapat fase lambat pada satu arah (pergeseran kembali ke
posisi primer dari arah lirikan yang disengaja) yang bergantian dengan fase korektif cepat ke
arah sebaliknya (jerk nystagmus) sebagai usaha kompensasi terhadap proses patologis
komponen lambat. Jerk nystagmus dapat dikalsifikasikan menjadi pertama, terjadi hanya jika
pasien melihat kearah komponen fase cepat; kedua, terjadi persisten pada posisi primer
pandangan (menatap lurus ke depan); ketiga, terjadi juga bahkan pada saat mata melihat
kearah komponen fase lambat.mengarah dengan komponen cepatnya ke sisi kontralateral
terhadap lesi.
50
8.10 PEMERIKSAAN NERVUS GLOSOFARINGEUS (N. IX) dan PEMERIKSAAN
NERVUS VAGUS (N. X)
Nervus Glosofaringeus dan nervus vagus merupakan saraf kranial yang sangat
berhubungan erat dan mempunyai fungsi yang mirip, sehingga pemeriksaan nervus IX dan
nervus X tidak dapat diteliti sendiri-sendiri, kecuali mengenai bagian pemeriksaan otot-otot
larings. Nervus Glosofaringeus menerima gabungan dari saraf vagus dan asesorius pada
waktu meninggalkan kranium melalui foramen tersebut. Saraf glosofaringeus mempunyai dua
ganglion, yaitu ganglion intrakranialis superior dan ekstrakranialis inferior. Setelah melewati
foramen, saraf berlanjut antara arteri karotis interna dan vena jugularis interna ke otot
stilofaringeus. Di antara otot ini dan otot stiloglosus, saraf berlanjut ke basis lidah dan
mempersarafi mukosa faring, tonsil, dan sepertiga posterior lidah.
Pemeriksaan fungsi motorik nervus IX dilakukan dengan menyuruh probandus
membuka mulutnya dan mengucapkan: "ah-ah-ah" yang panjang. Maka tampaklah, bahwa
langit-langit yang sehat akan bergerak ke atas. Apabila ada kelumpuhan nervus IX, maka
lengkung langit-langit di sisi yang sakit tidak akan serta bergerak ke atas. Biasanya menelan
dan fonasi tidak akan terganggu. Walaupun sewaktu-waktu ada pula penderita dengan lesi
satu nervus IX yang juga memperlihatkan gangguan menelan dan fonasi. Tetapi bila kedua
nervus IX yang lumpuh maka dapat timbul gangguan menelan (misalnya air yang diminum
keluar dari hidung apalagi bila ia minum air tergesa-gesa) serta gangguan fonasi, yaitu
suaranya kedengaran "sengau." Suara "sengau" itu lenyap, bila hidungnya ditutup.
51
Nervus vagus juga mempunyai dua ganglion yaitu ganglion superior (jugulare) dan
ganglion inferior (nodosum), keduanya terletak pada daerah foramen jugularis. Nervus vagus
mempersarafi semua visera toraks dan abdomen dan menghantarkan impuls dari dinding
usus, jantung dan paru-paru.
Apabila satu nervus rekurentes terganggu, maka akan tampak kelumpuhan dari satu
pita suara di sisi yang sakit. Sisi yang lumpuh itu tidak akan tampak bergerak sewaktu fonasi
dan sewaktu inspirasi pula pita itu akan menjadi atonis dan lama kelamaan menjadi atrofis.
Suara penderita akan menjadi parau. Bila kedua nervus rekurens kanan dan kiri mengalami
kelumpuhan, maka pita suara itu akan berada di garis tengah dan pula tidak bergerak sama
sekali, dan akan terdengarlah suara yang afonis dan stridor inspirasi.
52
kita suruh untuk mengangkat bahunya kedua-duanya maka akan tampak di sisi yang sakit
gerakan tersebut tidak dapat dilakukannya dengan baik.
53
DAFTAR TILIK PEMERIKSAAN NERVUS KRANIAL
54
digerakkan tersebut, dengan
mengatakan ya jika melihat dan tidak
jika tidak melihat.
4. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
3 Nervus Pemeriksaan refleks pupil.
Okulomotorius 1. Mempersiapkan alat dan bahan
(III), nervus pemeriksaan
Troklearis (IV), 2. Meminta izin kepada probandus
dan sembari mempersilakan probandus
nervus Abdusen untuk duduk atau berbaring
(VI) 3. Menyinari mata yang akan diperiksa
dengan senter dari arah samping
4. Memperhatikan reaksi pupil yang
disinari (refleks pupil langsung)
maupun reaksi pupil yang tidak
disinari (refleks pupil konsensual)
5. Memberikan penilaian
Pemeriksaan gerak bola mata
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Menempatkan diri di depan probandus
sekitar 1 meter
4. Memerintah kepada probandus untuk
melihat dan mengikuti gerakan jari
tangan pemeriksa yang membentuk
gambaran X, H, dan +
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
4 Nervus Fungsi Motoris
Trigeminal Nerve 1. Mempersiapakan alat dan bahan
(V) pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Memerintahkan probandus untuk
mengatupkan giginya dan
mempertahankannya
4. Melakukan palpasi otot temporalis dan
masseter
5. Memerintahkan probandus untuk
membuka mulut dan
mempertahankannya sembari dilakukan
tahanan dengan tangan pemeriksa
6. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
Fungsi sensoris
55
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Memerintahkan probandus untuk
memejamkan matanya
4. Memberikan sensasi tajam dengan
jarum pada daerah dahi, pipi, dan dagu
serta memerintahkan probandus untuk
mengatakan ya apabila merasakan
sensasi
56
mengerutkan dahi, menutup mata,
meringis, meniup
(menggembungkan pipi), bersiul,
dan tersenyum dan mengamati
adanya asimetri wajah probandus
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
Fungsi sensoris (opsional)
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk
3. Meminta probandus untuk
menjulurkan lidahnya, menutup
kedua matanya yang selanjutnya
berikan secukupnya salah satu
bahan berikut garam (asin), gula
(manis), mangga muda (asam?), pil
(pahit?)
4. Meminta kepada probandus untuk
menyebutkan apa yang dia rasakan
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
6 Nervus Komponen Koklear (opsional)
Vestibulokoklearis Tes Whisper
(N. VIII) 1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Menutup telinga kontralateral
dengan kapas
4. Memposisikan diri sekitar 1 meter
dari sisi telinga yang akan diperiksa
dan membisikkan angka (1, 2, 3, 5)
sembari memerintahkan kepada
probandus untuk mengulangi
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
Tes Rinne
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Menggetarkan garpu tala dan
meletakkannya pada prosesus
mastoideus pada sisi telinga yang
dinilai sampai getaran garpu tala
57
tidak terdengar lagi oleh probandus
4. Memindahkan garpu tala ke depan
liang telinga pada sisi yang
diperiksa (apabila masih terdengar
Rinne +, bila tidak terdengar
Rinne -)
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil
Tes Weber
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk
3. Menggetarkan garpu tala dan
meletakkannya pada pertengahan
dahi probandus
4. Menanyakan kepada probandus
apakah bunyi terdengar di tengah
atau mengalami lateralisasi
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
Komponen vestibular (opsional)
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Memerhatikan adanya nistagmus saat
terjadi gerakan bola mata
4. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
58
pencatatan hasil pemeriksaan
8 Nervus Asesorius Otot Trapezius
(XI) 1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk
3. Melakukan inspeksi pada bahu
probandus lalu perhatikan apakah
asimetris atau tidak
4. Memerintahkan probandus untuk
mengangkat kedua bahu dan perhatikan
apakah dapat dilakukan atau tidak
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
Otot Sternokleidomastodius
1. Mempersiapakan alat dan bahan
pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk
3. Memerintahkan probandus memutar
kepalanya ke arah sisi yang sehat, lalu
meraba otot sternokleidomastoideus
4. Menilai otot sternokleidomastoideus
apakah menegang atau tidak (dalam
kondisi normal otot
sternokleidomastoideus menegang)
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
9 Nervus 1. Mempersiapakan alat dan bahan
Hipoglossus (XII) pemeriksaan
2. Meminta izin kepada probandus
sembari mempersilakan probandus
untuk duduk atau berbaring
3. Melakukan inspeksi lidah apakah
simteri, atropi, atau fasikulasi
4. Memerintahkan probandus untuk
menjulurkan, menarik atau mengangkat
lidahnya (lesi unilateral akan
menyebabkan lidah membelok ke arah
sisi yang sakit saat dijulurkan dan lidah
membelok ke sisi yang sehat saat
istirahat di dalam mulut)
5. Memberikan penilaian dan
pencatatan hasil pemeriksaan
Keterangan:
0=tidak dilakukan; 1=dilakukan tapi tidak benar; 2=dilakukan dengan benar
59
BAB IX
A. PERSIAPAN PASIEN
Faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan hematologi :
1. Makan : 800 kalori akan meningkatkan volume plasma
2. Merokok :
a. meningkatkan jumlah eritrosit, leukosit dan kadar hemoglobin
b. menurunkan jumlah eosinofil
3. Exercise berat :
a. Menurunkan jumlah eritrosit, kadar haptoglobin
b. Meningkatkan kadar hemoglobin
4. Kehamilan : hemodilusi
5. Obat :
a. Steroid : menurunkan eosinofil dan limfosit, meningkatkan neutrofil
b. Adrenalin : meningkatkan leukosit dan trombosit
6. Transfusi & donor darah : mengubah susunan darah dan plasma
7. Variasi diurnal : SI tinggi pagi hari, eosinofil lebih rendah pagi hari
8. Variasi biologik
a. in vitro : stabilitas bahan pemeriksaan
b. in vivo : hiperlipidemia, krioglobulinemia, hiperglikemia berat, eritrosit
berinti, agregasi trombosit
9. Suhu pemeriksaan : LED (18 - 25C)
60
7. Minta pasien menarik nafas, lalu segera tusuk jarum dengan lubang jarum mengarah
ke atas hingga masuk ke dalam lumen vena.
8. Kendurkankan torniquet dan buka kepalan lalu isap darah secukupnya.
9. Taruh kapas beralkohol 70% yang diperas hingga kering di atas tusukan dan cabut
jarum.
10. Minta pada pasien untuk menekan kapas tadi selama beberapa menit atau direkatkan
dengan plester/tensoplas.
11. Angkat jarum dari semprit atau jika memakai tabung vakum tusuk jarum ke tutup
tabung dan alirkan darah melalui dinding tabung.
61
Gambar 3. Cara penusukan jarum yang tepat
B C
D E
Penampung darah untuk pemeriksaan hemostasis gunakan tabung berisi antikoagulan sitrat.
Yang termasuk pemeriksaan hemostasis : PT, APTT, fibrinogen, TT
Darah yang diperlukan sebanyak 3 mL
Syarat : - Volume darah dan sitrat harus sesuai
- tidak boleh lisis
- tidak boleh ada bekuan
- 3 hari sebelumnya tidak memakai obat seperti aspirin
Penampung darah untuk pemeriksaan kimia darah dan serologigunakan tabung tanpa
antikoagulan.Yang termasuk pemeriksaan kimia darah :Gula darah, ureum, kreatinin,
bilirubin, SGOT, SGPT, -GT, ALP, albumin, globulin, LDH, kolesterol, trigliserida, CKMB,
asam urat, elektrolit
Yang termasuk pemeriksaan serologi :Widal, HBsAg, anti HCV, anti HAV, HIV, CRP, VDRL,
TPHA, ASTO, RF, tes kehamilan, tes narkoba.
63
Plasma 30%
Plasma 75%
Plasma 55%
normal polisitemia
anemia
64
Tabel 1. Pengambilan darah sesuai berat badan
Berat (kg) Max. volum sekali Max. volume sebulan
2,7 3,6 2,5 23
3,6 4,5 3,5 30
4,5 6,8 5 40
7,3 9,1 10 60
9,5 11,4 10 70
11,8 13,6 10 80
14,1 -15,9 10 100
16,4 18,2 10 130
18,6 20,5 20 140
20,9 22,7 20 160
23,2 25,0 20 180
25,5 27,3 20 200
27,7 29,5 25 220
30,0 31,8 30 240
32,3 34,1 30 250
34,5 36,4 30 270
36,8 38,6 30 290
39,1 40,9 30 310
41,4 43,2 30 330
43,6 45,5 30 350
65
9.2 PEMBUATAN SEDIAAN HAPUS DARAH TEPI
1. Pilihlah kaca obyek yang tepinya rata untuk digunakan sebagai kaca pemulas (spreader).
Pada sisi pendek kedua sudut diamplas secara diagonal atau dapat digunakan ka
2. ca tutup sehingga sediaan yang dihasilkan tidak sampai ke tepi kaca obyek.
3. Ambil kaca obyek lainnya yang bersih dan bebas lemak lalu letakkan setetes darah utuh
dengan batang gelas pengaduk kira-kira 1 cm dari ujung kaca. Letakkan kaca obyek
tersebut ditempat yang rata dengan tetesan darah di sebelah kanan.
4. Peganglah sisi kiri kaca obyek dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Kaca pemulas
dipegang dengan tangan kanan dan letakkan di depan tetesan darah yang dengan kaca
obyek membentuk sudut kira-kira 250 membuka ke kanan.
5. Kaca pemulas digeser ke arah kanan sehingga menyinggung tetesan darah. Darah tersebut
akan segera menyebar sepanjang sisi kaca pemulas.
6. Jagalah agar sudut kedua kaca obyek tetap 300. Kemudian doronglah kaca pemulas
dengan mantap sepanjang kaca obyek. Ulangilah untuk beberapa sediaan. Keringkan di
udara, setelah kering siap untuk diwarnai.
Pewarnaan Wright :
1. Letakkan sediaan di rak pengecatan dengan sediaan menghadap sebelah atas.
2. Genangi sediaan dengan cat Wright biarkan + 1 menit kemudian tambahkan larutan
penyangga sama banyak tanpa tumpah (luber) kemudian biarkan selama 15 menit.
66
3. Jika waktunya sudah tercapai cucilah sediaan di bawah air kran yang mengalir pelan dan
jika sudah bersih segera keringkan dengan mendiamkannya disuhu ruang dengan posisi
miring.
Cara pemeriksaan.
1. Periksalah sediaan apus di bawah mikroskop dengan perbesaran lemah (obyektif 10 x).
a. Leukosit sebaiknya merata penyebarannya.
b. Taksirlah kesan jumlah leukosit (jumlahnya per sejumlah eritrosit). Apakah sesuai
dengan hitung leukosit, bila tidak sesuai dengan jumlah hitung leukosit maka harus
diulang.
c. Periksalah sediaan dari daerah kepala sampai ekor. Umumnya bagian ekor selnya
lebih besar, seperti monosit, neutrofil. Sel yang lebih kecil seperti limfosit ada di
bagian kepala/badan.
d. Pada pengamatan sepintas catatlah bila dijumpai kelainan.
e. Pilihlah sediaan di bagian yang eritrositnya tidak saling menumpuk.
2. Hitunglah macam bentuk leukosit per 100 sel leukosit, laporkan hasilnya dalam %.
3. Cara menghitung bentuk leukosit menggunakan alat yang disebut Differential Cell
Counter.
Bila tidak tersedia buatlah kolom seperti berikut :
Sumber kesalahan :
1. Kesalahan tehnis sediaan apus :
a. Tetesan darah terlalu banyak/sedikit.
b. Cara mendorong kaca pemulas tersendat-sendat.
c. Kaca pemulas tidak menempel dengan tepat pada kaca benda.
d. Sudut antara kaca pemulas dan kaca obyek tidak tepat 25 0, sehingga sediaan terlalu
tebal dan sebaliknya.
e. Setelah sediaan kering harus segera difiksasi, bila ditunda mengakibatkan perubahan
morfologi eritrosit.
2. Kesalahan tehnik pengecatan :
a. Bila terlalu asam hasilnya terlalu merah, dan sebaliknya bila terlalu basa hasilnya biru
(pH larutan penyangga sangat kritis, penting diperhatikan).
b. Rak pengecatan harus tepat dan benar.
c. Pembilasan yang tidak bersih.
d. Sisa air dalam sediaan mengakibatkan warnanya pucat.
67
9.3 MENENTUKAN GOLONGAN DARAH ABO DAN RH MENGGUNAKAN
DARAH KAPILER ATAU DARAH EDTA
Pendahuluan.
Sejak penemuan Landsteiner (1901) sampai sekarang telah ditemukan lebih dari 100
antigen golongan darah. Untuk kegunaan klinis yang terpenting adalah sistem golongan darah
ABO dan Rh.
Pada sistem golongan darah ABO dapat dibedakan menjadi 4 golongan darah yaitu : A,
B, AB, dan O. Penggolongan darah tersebut didasarkan pada adanya antigen-A atau antigen-
B pada permukaan membran eritrosit. Orang dengan golongan darah O tidak memiliki
antigen-A dan antigen-B, golongan darah A hanya memiliki antigen A, golongan darah B
hanya memiliki antigen-B dan golongan darah AB memiliki antigen-A maupun antigen-B
pada permukaan membran eritrosit. Orang dengan golongan darah O memiliki antibodi-A dan
antibodi-B, golongan darah A hanya memiliki antibodi-B, golongan darah B hanya memiliki
antibodi-A dan golongan AB tidak memiliki antibodi-A maupun antibodi-B dalam
serumnya.
Sistem Rh untuk kepentingan klinik cukup menentukan, golongan darah Rh dibedakan
menjadi golongan darah dengan Rh-positif atau Rh-negatif. Tes ini memeriksa reaksi sel
eritrosit terhadap antibodi Rh yang dikenal dengan nama anti-D. Oleh karena proses
aglutinasi yang terjadi adalah reaksi antara antigen-antibodi maka antigen (Ag) disebut juga
aglutinogen dan antibodi (Ab) disebut aglutinin.
Dasar
Penentuan golongan darah didasarkan pada reaksi antigen-antibodi yaitu suspensi
eritrosit atau whole blood direaksikan dengan antibodi yang telah diketahui. Golongan darah
ditentukan sesuai dengan antigen yang dimiliki oleh permukaan membran eritrosit,
ditunjukkan dengan adanya aglutinasi. Bila antigen ada dalam eritrosit seseorang maka
serumnya tidak mengandung antibodinya seperti terlihat pada tabel berikut ini :
Spesimen
Suspensi eritrosit yang akan diperiksa dari whole blood (darah utuh) atau darah EDTA
(atau darah antikoagulan lainnya yang dicuci dengan saline 0.85% 3x, lalu eritrosit yang telah
dicuci diencerkan dengan saline yaitu 0.3 mL eritrosit yang telah dicuci ditambah degan 0.3
mL saline = suspensi 50%).
68
1. Pada sebuah kaca obyek teteskan 1 tetes serum anti-A di sebelah kiri, 1 tetes serum
anti-B di tengah dan 1 tetes serum anti-AB di sebelah kanan. Pada kaca obyek yang
lain teteskan 1 tetes serum anti-D di sebelah kiri, 1 tetes serum yang diperiksa
(kontrol) disebelah kanan.
2. Pada masing-masing serum teteskan 2 tetes whole blood EDTA atau darah kapiler,
campurkan dengan cara menggoyangkan ke depan dan ke belakang, sambil diamati
aglutinasi yang terjadi. Pengamatan dilakukan dalam waktu 2 menit setelah
pencampuran serum dan whoole blood.
Cara penilaian :
Serum kontrol pada penilaian ini boleh terjadi aglutinasi, bila terjadi aglutinasi dan tidak
ada kesalahan maka kemungkinan mempunyai antibodi (aglutinin) dingin/panas, perlu
pemeriksaan lebih lanjut.
Menghindari kesalahan :
1. Masing-masing tidak boleh tercemar oleh serum yang lain.
2. Kalau hasil pengamatan aglutinasi meragukan, maka dapat diamati di bawah mikroskop.
(hati-hati jangan sampai keliru dengan rouleaux).
69
DAFTAR TILIK TEKNIK PENGAMBILAN DARAH VENA PERIFER
SKOR
NO. ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1. Menyiapkan peralatan :
Tabung penampung darah vacutainer
Spuit injeksi + jarum steril
Kapas alkohol
Torniquet
Plester
Memasang sarung tangan
2. Memberikan penjelasan kepada pasien tentang fungsi
pengambilan darah vena
- Diperagakan dengan memberikan penjelasan pada pasien
3. Memberikan penjelasan kepada pasien berapa volume darah
yang diambil
- Diperagakan dengan menunjukkan batas tinggi darah
pada tabung vacutainer
4. Menyiapkan pasien untuk proses pengambilan darah :
a. Melakukan perabaan pada vena yang akan ditusuk
b. Melakukan desinfeksi dengan kapas alkohol yang sudah
diperas kering
c. Memasang torniquet setinggi 2 jari di atas lipat siku
5. Melakukan penusukan jarum ke vena terpilih :
a. Tusuk jarum ke dalam vena terpilih dengan bagian mulut
jarum menghadap ke atas
b. Mengamati apakah darah sudah masuk ke pangkal jarum
c. Jika darah sudah tampak tekan pangkal jarum dengan
halus, lalu hisap darah sampai volume yang diinginkan
6. Melakukan penarikan jarum dan penutupan luka akibat
jarum :
a. Peras kapas alkohol hingga kering lalu letakkan di atas
kulit yang ditusuk jarum
b. Tekan dengan lembut kapas tersebut kemudian minta
pada pasien untuk menarik nafas sambil menarik jarum
ke luar
c. Letakkan spuit di atas meja lalu tekan kapas alkohol
kemudian rekatkan dengan plester
7. Memasukkan darah dari spuit ke dalam tabung vacutainer :
a. Ambil tabung lalu tusuklah tutup tabung dengan jarum
yang berisi darah
b. Biarkan darah mengalir hingga berhenti sendiri
c. Cabut jarum lalu tutup dengan penutup jarum
menggunakan satu tangan
d. Buang jarum dan spuit di tempat pembuangan biohazard
8. Membersihkan dan merapikan alat-alat yang telah
digunakan
70
DAFTAR TILIKTEKNIK PEMBUATAN HAPUSAN DARAH TEPI
SKOR
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1 Pemeriksa mengenakan sarung tangan
Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan untuk pembuatan
2
sediaan apus
3 Memilih kaca objek yang tepinya rata untuk kaca pemulas
Meletakkan setetes plasma darah pada kaca objek lain dengan
4 batang gelas pengaduk pada kira-kira 1 cm dari ujung kaca dan
ditengah-tengah dari kedua sisi panjang
Meletakkan kaca objek tersebut ditempat yang rata dengan tetesan
5
darah di sebelah kanan
Memegang sisi kiri kaca objek dengan ibu jari dan telunjuk tangan
6
kiri.
Memegang kaca pemulas dengan tangan kanan dan meletakkannya
7 didepan tetesan darah membentuk sudut kira-kira 25o membuka ke
kanan.
Menggeser kaca pemulas ke kanan sehingga menyinggung tetesan
8
darah.
9 Menjaga agar sudut kedua kaca objek tetap 25o 30o
Mendorong kaca pemulas dengan mantap dan cepat sepanjang kaca
10
objek
11 Mengeringkan sediaan di udara
PEWARNAAN WRIGHT
Meletakkan sediaan pada rak pengecatan dengan arah menghadap
1
ke sebelah atas
2 Menggenangi sediaan dengan cat Wright selama 1 menit
Menambahkan larutan penyangga sama banyak tanpa tumpah dan
3
mendiamkan selama 15 menit.
Mencuci sediaan di bawah air kran atau aquadest lalu mengeringkan
4
di udara.
CARA PEMERIKSAAN
Memeriksa sediaan apus dibawah mikroskop dengan perbesaran
lemah (obyektif 10 x)
- Memeriksa penyebaran leukosit
- Menaksir kesan jumlah leukosit (jumlahnya per
1 sejumlah eritrosit
- Memeriksa sediaan dari daerah kepala sampai ekor
- Mencatat adanya kelainan
- Memilih sediaan di bagian eritrosit yang tidak
menumpuk
2 Menghitung jenis dan bentuk leukosit per 100 sel leukosit
3 Membersihkan alat-alat yang telah digunakan
71
DAFTAR TILIKPEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH
SKOR
NO. ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1. Menyiapkan peralatan :
a. Mengambil reagen golongan darah 4 botol
b. Mengambil objek glass 2 buah
c. Mengambil batang pengaduk atau kaca tutup
d. Mengambil tabung vakutainer berisi darah
e. Memakai sarung tangan
2. Melakukan pemeriksaan golongan darah
a. Meneteskan setetes darah (20 uL) masing-
masing di sisi kiri dan kanan ke 2 kaca objek
b. Lalu aduk dengan kaca pengaduk atau ujung
kaca tutup yang berbeda
3. Menganalisa hasil pemeriksaan golongan darah
a. Setelah diaduk lalu goyang sedemikian rupa
sambil diamati perubahan yang terjadi
b. Amati apakah ada aglutinasi atau tidak, jenis
golongan darah sesuai dengan adanya aglutinasi
4. Membuat laporan hasil pemeriksaan golongan darah
a. Golongan darah A/B/AB/O
b. Rhesus + / -
5. Membersihkan peralatan yang digunakan dan simpan
kembali reagen pada suhu 2-8C
Keterangan :
0 : tidak dilakukan
1 : dilakukan tapi tidak benar
2 : dilakukan dengan benar
72
BAB X
10.1 PENDAHULUAN
Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting dalam penetapan diagnosis penyakit
muskuloskeletal. Dalam diagnosis sistem ini, 70% ditentukan oleh anamnesis, 20%
ditentukan oleh pemeriksaan fisik, dan 10% leh pemeriksaan laboratorium. Pada ketrampilan
ini, hanya akan dibahas tentang pemeriksaan fisik pada sistem muskuloskeletal.
Ketrampilan pemeriksaan muskuloskeletal mencakup:
1. Inspeksi postur dan gerakan tubuh
2. Inspeksi dan palpasi tulang dan sendi, serta penilaian range of motion sendi
3. Pemeriksaan tenaga, tonus, dan trofik otot
4. Ketrampilan komunikasi dalam pemeriksaan muskuloskeletal
10.3 Inspeksi dan palpasi tulang dan sendi, serta penilaian range of motion sendi
Pemeriksaan muskuloskeletal sebagian besar terdiri dari inspeksi dan palpasi sendi.
Point kunci yang perlu diperhatikan dalam inspeksi dan palpasi adalah pembengkakan
(swelling/S), nyeri tekan (tenderness/T), dan pembatasan gerakan (loss of motion/L). S, T,
dan L bisa dinilai dalam range 0-4. Secara umum, 0 berarti normal, 1 berarti kelainan ringan,
2 berarti kelainan moderat, 3 berarti kelainan bermakna, 4 berarti kelainan maksimal. Tanda-
tanda fisik lain seperti suhu, perubahan warna pada sendi, krepitasi, dan deformitas bisa
ditambahkan. Krepitasi adalah sensasi grating (seperti bunyi kapur digesekkan ke bidang
yang kasar) atau crunching (seperti bunyi gigi mengunyah) yang bisa diraba atau didengar
akibat gerakan sendi atau tendon.
73
Adanya kifosis ringan pada vertebra thorakalis sering menyertai osteoporosis pada
proses penuaan. Sikap bahu yang buruk dengan bahu yang turun juga dapat
menimbulkan kifosis.
Lordosis yang berlebihan pada vertebra lumbalis ditandai oleh adanya alur yang dalam
di antara otot-otot paraspinalis lumbalis dan perut yang gendut. Kehamilan, kontraktur
fleksi pada pinggul, dan tendon Achilles yang pendek dapat menyebabkan lordosis.
Scoliosis adalah lengkungan vertebra ke arah lateral. Scoliosis ringan hanya akan
diketahui dengan meraba processus spinosus. Apabila ada scoliosis, tentukan lokasi,
tempat lengkungan utama, dan bentuk lengkungannya. Kalau scoliosisnya struktural,
selalu ada rotasi. Minta pasien untuk membungkuk ke depan dan menyentuh jari
kakinya. Scoliosis postural (tidak berotasi) akan menghilang, sedangkan scoliosis
struktural tetap ada.
Lakukan juga inspeksi apakah ada benjolan, bekas trauma atau pembedahan pada
bagian kulit di atas tulang belakang.
Palpasi.
Lakukan palpasi prosessus spinosus vertebralis untuk melihat adanya nyeri tekan.
Kalau menemukan nyeri tekan, tentukan lokasi tiap vertebra dengan jari dan ketuk jari
dengan palu perkusi. Perkusi dapat menentukan vertebra yang terganggu. Minta pasien
untuk menunjukkan tempat yang tepat dimana rasa nyeri terasa paling hebat.
Palpasi kelompok otot paraspinal pada kedua sisi tulang belakang. Palpasi apakah ada
spasme otot, perbedaan tonus otot, dan benjolan.
Minta pasien meletakkan satu kaki pada kursi, kemudian palpasi tuberositas
ischiadicus, sulcus ischiadicus, dan trochanter mayor, dengan cara meletakkan ibu jari
pada trochanter mayor dan telunjuk pada tuberositas ischiadicus. Dengan tekanan yang
kuat, palpasi sulcus ischiadicus di antara kedua tempat tersebut. Nyeri yang timbul pada
palpasi sulcus ischiadicus menunjukkan adanya iritasi nervus ischiadicus.
Pemeriksaan rentang gerakan (ROM).
Range of motion (ROM) adalah pengukuran fleksibilitas sendi dengan mengobservasi
besar derajat suatus endi dapat bergerak dari suatu posisi netral. Alat pengukur ROM
disebut goniometer. Goniometer diletakkan pada sendi dan dua lengannya disejajarkan
dengan tulang-tulang yang dihubungkan dengan sendi. ROM yang terbatas bisa
74
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kelemahan otot, kerusakan saraf, kerusakan
tulang belakang, dan artritis.
Ada 2 jenis pengukuranm yaitu active ROM dan passive ROM. Pada active ROM,
pasien diminta menggerakkan sendinya, dan pasien diobservasi untuk adanya
penurunan atau peningkatan gerakan sendi dibanding sendi normal ataupun sendi
kontralateral. Perhatikan juga apakah adanya sendi pada waktu digerakkan, dan apakah
ada bunyi krepitus (popping). Pada passive ROM, sendi digerakkan secara pasif atau
digerakkan oleh pemeriksa, dan perhatikan lagi apakah ada penurunan atau peningkatan
gerakan sendi dibanding sendi normal ataupun sendi kontralateral, nyeri waktu
digerakkan dan adanya krepitus.
Gerakkan sendi pasien dalam suatu rentang gerakan (range of motion/ROM), yaitu
membungkuk ke depan (antefleksi), ekstensi ke belakang (retrofelksi), memiringkan
tubuh ke lateral (laterofleksi), dan rotasi. Pada saat rotasi, pinggul harus distabilkan
dengan tangan pemeriksa atau dengan menyuruh pasien duduk di meja.
Apabila ada keluhan nyeri punggung, terdapat lima pemeriksaan yang memperjelas
penyebabnya. Pertama, tes mengangkat tungkai dalam keadaan lurus. Pasien diminta
berbaring telentang untuk melakukan tes ini. Dengan satu tangan di belakang
pergelangan kaki dan lutut diekstensikan, angkat seluruh ekstremitas inferior secara
perlahan sampai pasien merasakan nyeri pada punggung bawah. Catat sudut yang tepat
dimana nyeri mulai timbul. Ulangi tes sampai titik tepat sebelum nyeri timbul dan
dorsofleksikan kaki. Ini akan menyebablan traksi pada nervus ischiadicus. Adanya
nyeri memastikan adanya iritasi nervus ischiadicus. Nyeri ischiadicus paling sering
timbul pada elevasi 40-60. Nyeri sacroiliaca, bila ada, hanya akan timbul pada elevasi
penuh.
Pemeriksaan kedua adalah untuk menunjukkan gangguan pada sendi sacroiliaca.
Letakkan satu tangan pada bahu pasien, lalu dengan tangan lainnya, dorong lutut yang
difleksikan ke arah bahu kontralateral. Ini akan meregangkan sendi sacroiliaca dan
memperberat nyeri pada sendi tersebut.
Pemeriksaan ketiga adalah untuk membedakan nyeri yang berasal dari vertebra.
Letakkan lutut pasien pada dadanya dalam posisi fetus. Secara individual, fleksikan tiap
lutut dan pinggul dengan mendorong lutut ke dinding dada. Tindakan ini akan
meregangkan sendi lumbosacral. Pasien yang menderita nyeri pada sendi lumbosacral
sering menolak untuk berbaring telentang, mereka cenderung untuk memfleksikan lutut
dan pinggul.
Pemeriksaan keempat adalah dengan meminta pasien menyilangkan kedua tangannya di
dada dan mulai melakukan sit-up. Di sini dapat ditentukan segmen musculus rectus
yang lemah akibat gangguan saraf karena kelainan di tulang belakang.
Pemeriksaan kelima adalah dengan meminta pasien tiarap, kemudian angkat satu paha
dari meja sehingga tungkai mengalami hiperekstensi. Hiperekstensi tungkai ini dapat
memperberat nyeri akibat herniasi discus, sacroiliitis, dan sprain lumbosacral.
2. Panggul/pelvis
Karena pelvis merupakan salah satu sendi penyangga berat badan, pemeriksaan fungsi
yang dilakukan adalah pada saat berdiri dan berjalan. Pada pemeriksaan otot, otot-otot
utama pada panggul dikelompokkan dalam 4 sektor, yaitu otot fleksor panggul yang
terletak di anterior, otot abduktor medial yang terletak di medial, otot abduktor lateral
yang terletak di lateral trochanter, dan otot ekstensor panggul yang terletak di posterior.
Inspeksi.
Dalam posisi berdiri, pasien dengan artritis pinggul akan menyokong sebagian besar
berat badannya pada sisi yang tidak sakit. Carilah adanya fleksi ringan lutut pada sisi
yang sakit. Otot gluteus maximus sisi yang sakit mungkin akan mengalami atrofi.
75
Perhatikan adanya pembengkakan, bekas trauma, atau bekas pembedahan pada daerah
panggul.
Palpasi.
Dalam keadaan berdiri menghadap pasien, periksa apakah ada pelvic tilt, yaitu dengan
meletakkan ibu jari tangan pada spina iliaca anterior superior dan jari tengah pada
trochanter mayor femur. Jika spina iliaca lebih tinggi pada satu sisi dan trochanter
mayor juga lebih tinggi, kemungkinan tungkai yang berlawanan lebih pendek atau
mengalami fleksi kontraktur yang menetap. Jika spina iliaca lebih rendah, tapi
trochanter mayor sejajar dengan trochanter di sisi kontralateral, mungkin terjadi
pemendekan caput femoralis. Dalam keadaan ini, otot gluteus medius sisi yang sakit
akan teraba lemah, lunak, dan mudah ditekan sampai cekung.
Minta pasien berdiri di atas satu tungkai. Otot gluteus medius pada sisi yang disangga
akan berkontraksi dan mempertahankan tinggi pelvis. Cekungan di atas spina iliaca
posterior superior dapat ditandai dengan pena. Kalau gluteus berkontraksi, biasanya
otot tersebut akan menaikkan pelvis sisi yang tidak disangga dan cekungan tersebut
akan naik. Hal ini disebut dengan tes Trendelenburg negatif atau normal. Jika otot
gluteus medius pada sisi yang disangga lemah atau tidak berfungsi, pelvis dan
cekungan pada sisi yang tidak disangga akan tetap pada ketinggian yang sama atau
malah turun.
Kemudian lakukan palpasi keempat sektor otot. Dengan menghadap pasien, ibu jari
diletakkan di spina iliaca anterior superior, dan palpasi tuberculum iliaca dan crista
iliaca. Gerakkan tangan ke bawah dan palpasi trochanter mayor dengan ibu jari
terletak di tuberculum pubis. Di bagian posterior, palpasi spina iliaca posterior
superior, processus spinosus, dan sacrum. Periksa apakah ada atrofi, hipertrofi,
spasme otot, dan nyeri tekan.
Minta pasien berbaring pada satu sisi, dan kaki sebelah atas difleksikan pada sendi
panggul dan sendi lutut. Palpasi tuberositas ischii, kemudian di sebelah titik ini
lakukan palpasi nervus ischiadicus yang terletak di antara tuberositas ischii dan
trochanter mayor. Palpasi otot-otot dan jaringan lunak di daerah trigonum femoralis,
trochanter mayor, crista iliaca, dan punggung bawah, untuk memeriksa adanya atrofi,
hipertrofi, spasme, dan nyeri tekan.
Minta pasien berbaring telentang, lalu minta pasien mengangkat tungkai dengan lurus.
Jika terasa tidak nyaman, minta pasien memfleksikan lutut pada sisi yang tidak sakit
ke arah dada, apabila tungkai yang sakit naik, maka derajat kenaikannya menunjukkan
besarnya kontraktur fleksi yang terjadi. Ini disebut dengan tanda Thomas.
Pemeriksaan ROM.
Dengan tungkai diluruskan ke bawah, abduksikan tungkai ke lateral sampai
membentuk sudut 45, lalu adduksikan dengan jarak yang sama, sehingga total
membentuk sudut 90. Pada adduksi normal, sepertiga medial paha yang berlawanan
dapat disilangkan.
Fleksi penuh (115-137) harus dapat membawa tungkai sampai ke dada.
Periksa gerakan rotasi dengan memfleksikan lutut dan menggerakkan kaki ke luar
untuk memeriksa endorotasi dan gerakkan kaki ke dalam untuk memeriksa eksorotasi.
Dalam keadaan normal, endorotasi adalah 35, dan eksorotasi adalah 45. Minta
pasien untuk tiarap, lalu letakkan satu tangan pada bokong dan angkat tungkai untuk
memeriksa ekstensi, biasanya sekitar 40-45.
76
3. Lutut
Inspeksi.
Perhatikan apakah ada pembengkakan pada sendi lutut. Perhatikan juga apakah
kontur otot simetris pada kedua sisi. Juga inspeksi apakah ada bekas trauma atau
pembedahan pada lutut.
Palpasi.
Lutut lebih mudah dipalpasi apabila difleksikan 90. Minta pasien duduk di tepi
meja periksa. Letakkan tangan pada lutut sehingga jari tangan pemeriksa
membentuk lengkungan di sekitar poplitea posterior. Palpasi otot, tendo, jaringan
lunak dan tulang di anterior dengan ibu jari tangan. Endorotasikan tibia agar dapat
mempalpasi meniscus medialis. Untuk mempalpasi meniscus lateralis, kaki
difleksikan sedikit. Di posterior, palpasi tendon, otot, dan arteri pada fossa
poplitea.
Untuk memeriksa adanya efusi pada lutut, lakukan ballotement patella, dengan
menekan patella dengan satu tangan, bila ada cairan akan terdengar bunyi klik
ketika patella memukul femur. Kemudian dengan hati-hati lakukan pengurutan
kantong suprapatella ke bawah, dan bila ada efusi akan terbentuk tonjolan pada
kedua sisi patella.
Gambar 16.16 A, ballotement patella; B, pengurutan kantong suprapatella
Pemeriksaan ballotement juga bisa dilakukan dengan menekan bagian atas lutut
untuk mendorong cairan ke belakang patella, lalu patella diketuk, apabila patella
mengalami rebound ke jari pemeriksa, berarti ada cairan.
Pemeriksaan ROM.
Minta pasien duduk di meja periksa, lalu lakukan fleksi dan ekstensi tungkai.
Ekstensi lutut dapat terjadi sampai 0, fleksi sampai 135, endorotasi dan
eksorotasi masing-masing 10.
4. Kaki
Inspeksi.
Perhatikan apakah ada pes planus/kaki datar, dimana arcus longitudinalis medialis
kaki menghilang. Kaki pasien nampak datar, dan biasanya timbul kalus pada caput
talus. Claw toes menunjukkan adanya fleksi pada sendi interfalang proksimal dan
distal, serta hiperekstensi pada sendi metatarsofalangeal. Hammer toes ditunjukkan
77
oleh adanya hiperekstensi sendi metatarsofalangeal dan interfalangeal distal serta
fleksi sendi interfalangeal proksimal.
Inspeksi juga apakah terdapat pembengkakan, asimetri, dan bekas trauma atau
pembedahan pada kaki.
Palpasi.
Palpasi seluruh kaki, terutama di sekitar malleolus, kaput metatarsal, talus,
kalkaneus, dan tendon Achilles. Perhatikan tonjolan tulang, otot, dan jaringan
lunak pada kaki, apakah ada nyeri dan pembengkakan, serta dan bandungkan
dengan sisi kontralateral
Pemeriksaan ROM.
Lakukan pemeriksaan ROM secara pasif dengan mengekstensikan lutut dan
mendorsofleksikan kaki (20), lalu lakukan fleksi plantar (50). Lakukan inversi
dengan memutar telapak kaki ke dalam, dan eversi dengan memutar telapak kaki
ke luar, masing-masing sampai 15.
Pemeriksaan ROM secara aktif bisa dilakukan dengan meminta pasien berjalan di
atas jari kaki (memeriksa fleksi plantar dan gerakan jari kaki), berjalan di atas
tumit (memeriksa dorsofleksi), berjalan dengan tepi lateral kaki (memeriksa
inversi), dan berjalan dengan tepi medial kaki (memeriksa eversi).
5. Bahu
Inspeksi.
Lakukan inspeksi bahu dari depan dan belakang, dengan membandingkan tiap
daerah dengan sisi kontralateralnya. Perhatikan kesimetrisannya, dan pusatkan
perhatian pada clavicula, sendi acromioclavicular dan sendi claviculosternal,
sulcus dan otot deltoid-pectoralis, serta scapula. Perhatikan adanya perubahan
anatomis, pembengkakan, bekas trauma, atrofi dan bekas pembedahan.
Palpasi.
Lakukan palpasi anatomi bahu dari belakang pasien. Palpasi clavicula, sendi
acromioclavicular dan sendi claviculosternal, acromion, processus coracoid, otot
deltoid, otot pectoralis, otot trapezius, tuberositas mayor humeri, scapula, dan
axilla. Minta pasien memfleksikan dan mengabduksikan bahu beberapa kali saat
memeriksa sendi acromioclavicular, dan rasakan gerakan sendi dengan jari, untuk
mengetahui apakah ada nyeri tekan dan krepitus. Rotator cuff dapat dipalpasi
dengan memegang lengan pasien di atas siku dan mengangkat siku ke posterior.
Rotator cuff bisa dipalpasi di anterior inferior acromion. Sulcus bicipital dapat
dipalpasi jika lengan difleksikan dan dirotasikan ke medial dan lateral secara
berulang-ulang, sehingga sulcus tersebut bisa dikenali di antara kedua tuberositas
humeri. Rotasi eksternal membuat sulcus tersebut lebih mudah dipalpasi.
Pemeriksaan ROM.
Untuk memeriksa abduksi, minta pasien menggerakkan lengan ke luar dan ke atas
seperti burung mengepakkan sayap. Scapula mulai berotasi pada sudut 30.
Lakukan fiksasi scapula dengan tangan dan pasien harus dapat mengabduksikan
bahu sampai 90. Jika ini dapat dilakukan, kemudian mengangkat lengannya di
atas kepala (180), bisa dipastikan tidak ada gangguan anatomis atau cedera yang
berat.
Adduksi dilakukan dengan meminta pasien meletakkan tangannya di puncak bahu
kontralateral, dengan siku di atas sternum (135). Antefleksi dapat dilakukan
sampai 180.
Endorotasi diperiksa dengan meminta pasien menggaruk punggungnya di bagian
antara batas bawah bahu dengan ibu jarinya. Eksorotasi diperiksa dengan
78
melakukan ayunan ke belakang untuk melakukan pukulan tenis. Dengan siku
difleksikan secara parsial, tangan didorong ke belakang sejauh mungkin.
Endorotasi normal sampai 55, eksorotasi sampai 40-45.
Endorotasi Eksorotasi
Tes Speed dapat mengenali adanya tendonitis bisipital, yang dapat dilakukan
dengan meminta pasien mengekstensikan lengan dengan telapak tangan
menghadap ke atas, lalu lakukan tekanan ke bawah pada telapak tangan, dan minta
pasien menahannya. Bila terdapat nyeri saat menahan tekanan, diduga ada
peradangan tendo kaput langum otot biseps brachii.
6. Siku
Inspeksi.
Inspeksi sudut angkat siku dan bagian-bagian siku. Lakukan ekstensi lengan
sepenuhnya di sisi tubuh. Sudut angkat normal membuat siku dapat dimasukkan ke
cekungan pinggang di atas crista iliaca. Sudut angkat siku yang normal pada pria
adalah 5-10, dan pada wanita adalah 10-20.
Bandingkan segitiga yang terbentuk antara epicondylus medialis dan lateralis
dengan ujung olecranon antara kedua sisi (kanan dan kiri), pada waktu siku fleksi
90, dan segitiga itu akan menjadi lurus saat siku diekstensikan.
Lakukan juga inspeksi adanya pembengkakan, kemerahan, deformitas, atrofi,
bekas trauma atau pembedahan pada daerah siku.
Palpasi.
Dengan satu tangan di sekitar biseps pasien, lakukan abduksi dan ekstensi lengan,
dan minta pasien memfleksikan siku kira-kira 90. Kemudian lakukan palpasi
semua tonjolan anatomis pada siku (epicondylus medialis dan lateralis, olecranon,
fossa olecrani, caput radii), apakah ada nyeri tekan, panas, benjolan, atau
79
pembengkakan. Kedua epicondylus dan apex olecrani membentuk segitiga sama
sisi ketika siku fleksi 90 dan menjadi garis lurus bila siku diekstensikan. Caput
radii dipalpasi dengan satu jari saat pronasi dan supinasi.
Pemeriksaan ROM.
Mintapasien melakukan fleksi siku, normalnya menyisakan jarak 30 antara lengan
atas dan lengan bawah.
Ekstensi penuh harus membuat lengan atas dan bawah membentuk garis lurus.
Pronasi dan supinasi lengan bawah dapat dilakukan pada siku atau bahu dengan
abduksi dan adduksi. Untuk memeriksa siku, siku harus difiksasi pada sisi tubuh
dan minta pasien melakukan pronasi dan supinasi pada lengan bawah. Pronasi
sedikit kurang dari 90, dan supinasi 90 penuh.
7. Tangan/pergelangan tangan
Inspeksi.
Lakukan inspeksi pada sendi pergelangan tangan dan tangan, apakah terdapat
pembengkakan, kemerahan, deformitas, asimetri, bekas trauma ataupun
pembedahan. Mallet finger terjadi bila terdapat ruptur tendon ekstensor pada
insersionya di falang distal, sehingga terjadi fleksi paksa dan ketidakmampuan
mengekstensikan sendi interfalang distal, sedangkan sendi interfalang proksimal
masih bisa ekstensi normal. Jersey finger terjadi bila terjadi avulsi tendon fleksor
digitorum profundus pada insersionya di falang distal, sehingga terjadi fleksi paksa
bila ada resistensi, dan tidak bisa memfleksikan sendi interfalang distal, sedangkan
sendi interfalang proksimal masih bisa fleksi.
Palpasi.
Lakukan palpasi pada sendi falang, sendi metakarpofalang, tulang-tulang karpal,
radius/ulna. Periksa apakah ada nyeri tekan, pembengkakan, dan tonjolan tulang
tambahan.
Lakukan pemeriksaan tendon muskulus flexor digitorum profundus dengan
menekan pada falang media, dan meminta pasien memfelksikan falang distalnya.
Lakukan pemeriksaan tendon muskulus flexor digitorum superficialis pemeriksan
menekan/mengekstensikan semua jari lain dan meminta pasien hanya
memfleksikan jari yang diperiksa.
80
Lakukan pemeriksaan tendon ekstensor dengan meminta pasien mengekstensikan
sendi metakarpofalang melawan tahanan dengan sendi interfalang difleksikan.
Pemeriksaan ROM.
Pergelangan tangan mampu melakukan ekstensi dorsal (35-60) dan fleksi palmar
(50-60), deviasi radial (20), deviasi ulnar (40), supinasi (90) dan pronasi
(90).
Sendi metakarpofalang dapat melakukan ekstensi (10-30) dan fleksi (90), sendi
interfalang proksimal dapat melakukan esktensi (0) dan fleksi (100), sendi
interfalang distal dapat melakukan ekstensi (0) dan fleksi (90), serta dapat
melakukan abduksi jari (20) dan aduksi jari (20).
Khusus untuk ibu jari, sendi metakarpofalang dapat melakukan ekstensi (0) dan
fleksi (50), sendi interfalang dapat melakukan esktensi (20) dan fleksi (90),
abduksi jari (45) dan aduksi jari (0), serta anteversi (45) dan retroversi (0).
1. Tenaga otot
Bila kita dapatkan bahwa tenaga atau kekuatan otot suatu anggota tubuh menurun,
maka dikatakan terdapat paresis pada anggota tubuh tersebut. Bila tenaga pada
anggota tubuh tersebut hilang sama sekali, maka dikatakan terdapat paralisis pada
anggota tubuh tersebut.Kelumpuhan total yang mengenai separuh tubuh (di sisi kanan
atau kiri) dinamakan hemiparalisis atau hemiplegia.Bila tidak terjadi kelumpuhan
total, tetapi tenaga itu hanya menurun saja, maka keadaan ini kita namakan
hemiparesis.
81
Pada ekstremitas superior
a. Sendi bahu
82
Penilaian tenaga otot deltoideus
83
Penilaian tenaga otot latissimus dorsi
b. Sendi siku
84
Penilaian tenaga otot brakhioradialis
85
Penilaian tenaga ekstensor jari I
86
Penilaian tenaga otot abduktor jari V
87
Pada ekstremitas inferior
a. Sendi panggul
88
Penilaian tenaga otot sartorius
c. Sendi kaki
89
Penilaian tenaga otot fleksor digitorum longus
2. Tonus otot
Pada setiap otot skelet, beberapa unit motorik (satu unit motorik adalah serabut-
serabut otot yang dikendalikan oleh satu neuron motorik) selalu dalam keadaan aktif,
bahkan saat otot tersebut tidak berkontraksi. Kontraksi unit-unit motorik ini tidak
menghasilkan cukup tegangan untuk menyebabkan adanya gerakan, tetapi cukup
mampu menegangkan otot. Tegangan saat istirahat pada otot skelet ini disebut dengan
tonus otot.
Untuk menilai keadaan tonus suatu otot, dapat dilakukan dengan cara melakukan
fleksi dan ekstensi pada sendi yang digerakkan oleh otot tersebut, misalnya untuk
menilai tonus otot biseps, kita lakukan fleksi dan ekstensi pada sendi siku.Gerakan-
gerakan ini dapat pula kita lakukan pada sendi-sendi yang lain, seperti misalnya sendi
lutut, sendi pergelangan tangan, sendi pergelangan kaki, dan lain-lain.Gerakan fleksi
dan ekstensi itu kita lakukan dengan kecepatan yang berbeda-beda.Sementara kita
melakukan gerakan-gerakan itu, penderita harus dalam keadaan santai. Sebaiknya kita
beritahu pada penderitaagar melemaskan tungkai atau lengan yang akan diperiksa.
Tonus otot yang menurun disebut hipotoni, dan tonus otot yang hilang sama sekali
disebut atoni. Bi1a terdapat kelumpuhan otot yang diikuti oleh tonus yang
menurun,dikatakan bahwa penderita memperlihatkan paralisis flaksid. Tonus yang
meningkat disebut hipertoni.Bila terdapat kelumpuhan otot yang diikuti oleh tonus
yang meningkat, dikatakan bahwa penderita itu rnemperlihatkan paralisis spastik.
90
Pemeriksaan tonus otot
91
Pemeriksaan tonus beberapa otot yang menunjukan hipotoni
3. Trofik otot
Saat memeriksa penderita, diperhatikan juga bentuk otot-ototnya, khususnya di
tempat-tempat di mana penderita merasakan tenaganya menurun. Kadang tidak cukup
bila pemeriksaan itu hanya dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi saja, tetapi
sering anggota tubuh yang dirasakan lemah itu perlu diukur dengan pita pengukur.
Dengan cara ini, trofik anggota tubuh kanan dan kiri dapat dibandingkan satu sama
lain. Otot dapat mengalami atrofi atau hipertrofi. Pengecilan bentuk otot yang
disebabkan oleh musnahnya serabut otot disebut atrofi atau hipotrofi otot.Bila kita
melihat bahwa tampak otot-otot yang mengecil, perlu kita perhatikan apakah
mengecilnya otot-otot itu simetris atau tidak. Pada penyakit otot herediter, pengecilan
otot sering terjadi secara simetris. Keadaan ini dinamakan distrofi. Apabila anggota
tubuh lama tidak digerakkan, dapat terjadi atrofi yang disebut disuse atrophy. Atrofi
ini tidak disebabkan oleh musnahnya serabut otot, melainkan karena sarkoplasma
serabut otot berkurang. Pembesaran otot atau hipertrofi dapat terjadi akibat kontraksi
otot yang berlangsung berulang-ulang dan terjadi terus menerus. Apabila pembesaran
otot disebabkan oleh bertambahnya jaringan lemak dan jaringan ikat, maka disebut
pseudohipertrofi.
Putusnya hubungan pusat trofik (medulla spinalis kornu anterior) dan otot disebut
denervasi. Pada kondisi ini dapat ditemukan gejala-gejala seperti tenaga yang
menurun, tonus yang menurun, dan trofik yang lama-kelamaan akan terganggu, serta
menimbulkan atrofi.Serabut-serabut otot yang terputus hubungannya dengan pusat
trofik akan menjadi peka (hipersensitif) terhadap asetilkolin yang beredar di dalam
darah, menimbulkan kontraksi pada serat-serat otot tersebut. Gerakan involunter pada
suatu fasikulus otot, yang timbul secara berulang-ulang tersebut dinamakan
fasikulasi. Fasikulasi ini tidak dapat menggerakkan suatu sendi, tetapi gerakan
involunter itu sendiri dapat dilihat pada permukaan kulit.Kadang-kadang fasikulasi itu
dapat pula kita timbulkan bila kita mengetok (perkusi) otot-otot yang atrofi, maka
akan timbul suatu cekungan miotonik atau myotonic dimpling.
92
e. Berbicara dengan pasien selama pemeriksaan dengan menjelaskan apa yang akan
dilakukan sambil melakukannya. Ini akan membuat hubungan lebih dekat antara dokter
dan pasien, dan memberi kesempatan pada pasien untuk memberikan respon atau
f. memberitahu lokasi yang nyeri.
g. Menunjukkan sensitivitas pada kebutuhan pasien dan berespon pada rasa tidak nyaman
pada pasien. Apabila pasien merasa tidak nyaman atau nyeri pada pemeriksaan,
pemeriksaan bisa diteruskan ke tempat yang tidak nyeri terlebih dahulu, baru kemudian
difokuskan kembali ke lokasi nyeri. Sebaiknya pemeriksaan pada lokasi dilakukan dengan
cepat dan efisien, agar tidak terlalu lama menyebabkan rasa tidka nyaman kepada pasien.
h. Memberitahu pasien tentang hasil pemeriksaan. Hasil pemeriksaan dicatat dengan baik,
dan disampaikan secara garis besar kepada pasien dengan menggunakan bahasa yang
dipahami pasien.
93
CHECKLIST
94
Pemeriksaan Panggul
N Nilai
Aspek yang dinilai
o 0 1 2
1 Inspeksi
a. Asimetri
b. Atrofi
c. Pembengkakan/bekas trauma/pembedahan
2 Palpasi
a. Pelvic tilt
b. Tes Trendelenburg
c. Palpasi 4 sektor otot: atrofi/hipertrofi/spasme/nyeri
tekan
d. Palpasi nervus ischiadicus dan jaringan lunak
e. Tanda Thomas
3 Pemeriksaan ROM
a. Abduksi (45)
b. Adduksi (total 90)
c. Fleksi (115-137)
d. Endorotasi (35)
e. Eksorotasi (45)
f. Ekstensi (40-45)
4 Tenaga otot
a. Otot iliopsoas
b. Otot gluteus maximus
c. Otot gluteus medius dan minimus
d. Otot adduktor tungkai
e. Otot abduktor tungkai
5 Tonus otot
6 Trofik otot
95
Pemeriksaan Lutut
N Nilai
Aspek yang dinilai
o 0 1 2
1 Inspeksi
a. Asimetri
b. Pembengkakan/bekas trauma/pembedahan
2 Palpasi
a. Otot, tendon, jaringan lunak & tulang anterior
b. Otot, tendon, arteri di fossa poplitea
c. Ballotement patella
3 Pemeriksaan ROM
a. Fleksi (135)
b. Ekstensi (0)
c. Eksorotasi (10)
d. Endorotasi (10)
4 Tenaga otot
a. Otot sartorius
b. Otot biseps femoris
5 Tonus otot
6 Trofik otot
Pemeriksaan Kaki
N Nilai
Aspek yang dinilai
o 0 1 2
1 Inspeksi
a. Pes planus/claw toes/hammer toes
b. Asimetri
c. Pembengkakan/bekas trauma/pembedahan
2 Palpasi
a. Otot, tendon, jaringan lunak & tulang kaki
3 Pemeriksaan ROM
a. Dorsofleksi (20)
b. Fleksi plantar (50)
c. Inversi (15)
d. Eversi (15)
4 Tenaga otot
a. Otot gastrocnemius
b. Otot peroneus longus & brevis
c. Otot tibialis anterior
d. Otot flexor digitorum longus
5 Tonus otot
6 Trofik otot
96
Pemeriksaan Bahu
N Nilai
Aspek yang dinilai
o 0 1 2
1 Inspeksi
a. Asimetri
b. Atrofi
c. Pembengkakan/bekas trauma/pembedahan
2 Palpasi
a. Otot, tendon, jaringan lunak & tulang
b. Rotator cuff
c. Sulcus bicipital
3 Pemeriksaan ROM
a. Abduksi terfiksasi (90)
b. Abduksi total (180)
c. Adduksi (135)
d. Antefleksi (180)
e. Endorotasi (55)
f. Eksorotasi (40-45)
g. Speed test
4 Tenaga otot
c. Otot trapezius atas dan bawah
d. Otot deltoideus
e. Otot supraspinatus
f. Otot infraspinatus
g. Otot pektoralis mayor
h. Otot latissimus dorsi
i. Otot serratus anterior
5 Tonus otot
6 Trofik otot
97
Pemeriksaan Siku
N Nilai
Aspek yang dinilai
o 0 1 2
1 Inspeksi
a. Sudut angkat siku
b. Segitiga epicondylus dan olecranon
c. Pembengkakan/kemerahan/bekas
trauma/pembedahan
2 Palpasi
a. Tonjolan tulang (epicondylus medialis dan lateralis,
olecranon, fossa olecrani, caput radii)
3 Pemeriksaan ROM
a. Fleksi (jarak 30 antara lengan atas dan bawah)
b. Ekstensi (180)
c. Pronasi (90)
d. Supinasi (90)
4 Tenaga otot
a. Otot biseps brachii
b. Otot brachioradialis
c. Otot triceps brachii
5 Tonus otot
6 Trofik otot
98
Pemeriksaan Tangan
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
1 Inspeksi
a. Deformitas: mallet finger, jersey finger, dan lain-lain
b. Pembengkakan/kemerahan/bekas trauma/pembedahan
2 Palpasi
a. Sendi falang, sendi metakarpofalang, tulang-tulang karpal,
radius/ulna
b. Palpasi fungsi tendon muskulus flexor digitorum profundus
c. Palpasi fungsi tendon muskulus flexor digitorum superficialis
d. Palpasi fungsi tendon muskulus ekstensor
3 Pemeriksaan ROM
a. Pergelangan tangan
ekstensi dorsal (35-60)
fleksi palmar (50-60)
deviasi radial (20)
deviasi ulnar (40)
supinasi (90)
pronasi (90).
b. Jari II-IV
ekstensi sendi metakarpofalang (10-30)
fleksi sendi metakarpofalang (90)
esktensi sendi interfalang proksimal (0)
fleksi sendi interfalang proksimal (100)
ekstensi sendi interfalang distal (0)
fleksi sendi interfalang distal (90)
abduksi jari (20)
aduksi jari (20)
c. Jari I
ekstensi sendi metakarpofalang (0)
fleksi sendi metakarpofalang (50)
esktensi sendi interfalang (20)
fleksi sendi interfalang (90)
abduksi jari (45)
aduksi jari (0)
anteversi (45)
retroversi (0)
4 Tenaga otot
a. Otot ekstensor carpi radialis
b. Mengepal
c. Otot ekstensor jari
d. Otot abduktor jari
e. Otot adduktor jari
f. Otot fleksor jari
g. Otot interossei dorsalis
h. Otot interossei palmaris
5 Tonus otot
6 Trofik otot
Keterangan:
0 = tidak dilakukan, atau dilakukan tetapi menyebabkan hilangnya keadaan aseptik/
menambah mikroorganisme
1 = dilakukan, tetapi tidak benar/tidak lengkap
99
2 = dilakukan dengan benar
BAB XI
11.1 PENDAHULUAN
Penilaian status gizi dapat dilakukan melalui antropometri. Antropometri berasal dari
kata anthtopos dan metros. Anthtopos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi,
antropometri adalah ukuran dari tubuh.
Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh
antara lain: berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak dibawah kulit.
Antropometri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidak
seimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola
pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam
tubuh.
11.2 TUJUAN
Setelah mengikuti kegiatan ini mahasiswa diharap mampu melakukan penilaian status
gizi.
11.3 PARAMETER
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa
parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: umur, berat
badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan
tebal lemak di bawah kulit.
A. UMUR
Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan
menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat
badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang
tepat.
Menurut Puslitbang Gizi Bogor (1980), batasan umur digunakan adalah tahun umur
penuh (Completed Year) dan untuk anak umur 0 -2 tahun digunakan bulan usia penuh
(Completed Year).
Contoh : Tahun usia penuh (Completed Year)
Umur: 7 tahun 2 bulan, dihitung 7 tahun
6 tahun 11 bulan, dihitung 6 tahun
Contoh: Bulan Usia Penuh (Completed Year)
Bulan: 4 bulan 5 hari, dihitung 4 bulan
3 bulan 27 hari, dihitung 3 bulan
B. BERAT BADAN
Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering
digunakan pada bayi baru lahir (Neonatus). Berat badan digunakan untuk mendiagnosa bayi
normal atau BBLR. Dikatakan BBLR apabila berat bayi lahir di bawah 2500 gram atau di
bawah 2,5 Kg. Pada masa bayi-balita, berat badan dapat dipergunakan untuk melihat laju
pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali terdapat kelainan klinis seperti dehidrasi,
100
asites, edema dan adanya tumor. Di samping itu pula, berat badan dapat dipergunakan sebagai
dasar perhitungan dosis obat dan makanan.
Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral pada tulang.
Pada remaja, lemak tubuh cenderung meningkat, dan protein otot menurun. Pada orang yang
edema dan asites terjadi penambahan cairan dalam tubuh. Adanya tumor dapat menurunkan
jaringan lemak dan otot, khususnya terjadi pada orang kekurangan gizi.
Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang. Alat yang digunakan
dilapangan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan:
1. Mudah digunakan dan dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain.
2. Mudah diperoleh dan relatif murah harganya
3. Ketelitian penimbangan sebaiknya maksimum 0,1 kg
4. Skalanya mudah dibaca
5. Cukup aman untuk menimbang anak balita.
C. TINGGI BADAN
Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan
keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat. Disamping itu, tinggi badan
merupakan ukuran kedua yang penting, karena dengan menghubungan berat badan terhadap
tinggi badan (Quic Stick), faktor umur dapat dikesampingkan.
Pengukuran tinggi badan untuk anak balita yang sudah dapat berdiri dilakukan dengan
alat pengukur tinggi mikrotoa (microtoise) yang mempunyai ketelitian 0,1 cm.
Cara Mengukur:
Tempelkan dengan paku mikrotoa tersebut pada dinding yang lurus datar setinggi tepat 2
meter. Angka 0 (nol) pada lantai yang datar rata.
Lepaskan sepatu atau sandal.
Orang yang diukur harus berdiri tegak seperti sikap siap sempurna dalam baris berbaris,
kaki lurus, tumit, pantat, punggung, dan kepala bagian belakang harus menempel pada
dinding dan muka menghadap lurus dengan pandangan ke depan.
Turunkan mikrotoa sampai rapat pada kepala bagian atas, siku-siku harus lurus menempel
pada dinding.
Baca angka pada skala yang nampak pada lubang dalam gulungan mikrotoa. Angka
tersebut menunjukkan tinggi orang yang diukur.
101
E. JARINGAN LUNAK
Otak, hati, jantung, dan organ dalam lainnya merupakan bagian yang cukup besar dari
berat badan, tetapi relative tidak berubah beratnya pada anak malnutrisi. Otot dan lemak
merupakan jaringan lunak yang sangat bervariasi pada penderita KEP. Antropometri jaringan
dapat dilakukan pada kedua jaringan tersebut dalam pengukuran status gizi di masyarakat.
Antropometri fisik yang paling sering atau praktis digunakan di lapangan. Bermacam-
macam skin-fold calipers ditemukan, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa alat tersebut
mempunyai standard atau jangkauan jepitan (20-40 mm 2), dengan ketelitian 0,1 mm, tekanan
yang konstan 10 gram/mm2. Jenis alat yang sering digunakan adalah Harpenden Calipers.
Alat itu memungkinkan jarum diputar ke titik nol apabila terjadi penyimpangan.
Teknik Pengukuran
Mengukur lipatan kulit (skin-fold) terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan kulit dan lemak
sub-kutan. Untuk tempat pengukuran tergantung dari tujuan penelitian, umur yang akan
diperiksa (distribusi lemak berbeda menurut umur), seks, ketelitian daerah yang akan diukur,
ketebalannya relative sama dari lapisan kulit dan lemak, mudah dilaksanakan dan sopan,
sebaiknya diukur bagian-bagian tubuh bagian kiri.
Dalam survey yang berskala besar disarankan bahwa total lemak dalam tubuh dapat
diukur dari pengukuran beberapa tempat sepertui trisep, bisep dan subskapular serta
suprailiaka.
Masalah yang dihadapi adalah peningkatan atau penurunan penyimpanan lemak di
jaringan sub-kutan tidak sama pada seluruh permukaan tubuh. Oleh karena itu, kita harus
memilih daerah yang praktis dan dapat memberikan petunjuk tentang persediaan energi.
Untuk tujuan tersebut, baik orang kurus maupun orang gemuk, pengukuran pada trisep adalah
yang paling praktis untuk semua umur. Pengukuran trisep tidak hanya berguna untuk
menghitung indeks persediaan energi, tetapi memungkinkan sebagai dasar untuk menghitung
ketebalan otot pada lingkar lengan atas.
Pengukuran sebaiknya dilakukan tiga kali dan hasilnya dibuat rata-rata. Ketelitian sulit
didapat karena peningkatan kepadatan dan edema. Untuk lebih jelasnya tentang pengukuran,
dapat dilihat pada Gambar 3.
102
Langkah 1 Langkah 2 Langkah 3
Tabel 1. Penggolongan keadaan gizi menurut Indeks Antropometri (Sumber: Puslitbang Gizi.
1980. Pedoman Ringkas Cara Pengukuran Antropometri dan Penentuan Gizi. Bogor)
Status Gizi Ambang batas baku untuk keadaan gizi berdasarkan indeks
BB/U TB/U BB/TB LLA/U LLA/TB
Gizi baik > 80% > 85% > 90% > 85% > 85%
Gizi Kurang 61-80% 71-85% 81-90% 71-85% 76-85%
Gizi buruk 60% 70% 80% 70% 75%
Dalam pengukuran indeks antropometri sering terjadi kerancuan, hal ini akan
mempengaruhi interpretasi status gizi yang keliru. Masih banyak diantara pakar yang
berkecimpung dibidang gizi belum mengerti makna dari beberapa indeks antropometri.
Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Berat Badan menurut Umur
(BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan
(BB/TB). Perbedaan penggunaan indeks tersebut akan memberikan gambaran prevalensi
status gizi yang berbeda. Sering muncul pertanyaan, kapan kita menggunakan indeks tersebut
dan mana yang lebih sensitif. Oleh karena itu dibawah ini akan diuraikan tentang berbagai
indeks antropometri.
103
badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini
(current nutritional status).
104
Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaaan
normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan
kecepatan tertentu. Jelliffe pada tahun 1966 telah memperkenalkan indeks ini untuk
mengidentifikasi status gizi. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai
status gizi saat kini(sekarang), Indeks BB/TB adalah merupakan indeks yang independen
terhadap umur.
105
Alat ukur murah, sangat ringan, dan dapat dibuat sendiri
Alat dapat diberi kode warna untuk menentukan tingkat keadaan gizi,sehingga dapat
digunakan oleh yang tidak dapat membaca dan menulis.
atau
106
Berat badan (dalam kilogram) dibagi kuadrat tinggi badan (dalam meter)
Dalam hal ini Eva termasuk kategori kekurangan berat badan atau Kurang Energi Kronis
(KEK) ringan. Oleh karena itu, Eva harus menaikkan berat badannya sehingga mencapai
40 Kg sampai dengan 54 Kg.
2. Dwita dengan berat badan 72 Kg dan tinggi 160 cm.
72 72
IMT Dwita = --------------- = ------------ = 28,12
(1,6)x(1,6) 2,56
Dalam hal ini Dwita termasuk/kelebihan berat badan tingkat berat. Oleh karena itu, Dwita
harus dapat menurunkan berat badannya agar mencapai 48 Kg sampai dengan 64 Kg.
Berat badan normal adalah idaman bagi setiap orang agar mencapai tingkat kesehatan
yang optimal. Keuntungan apabila berat badan normal adalah penampilan baik, lincah dan
risiko sakit rendah. Berat badan yang kurang dan berlebihan akan menimbulkann risiko
terhadap berbagai macam penyakit. Kerugian dari keadaan berat badan kurang dan kelebihan
dapat dilihat pada Tabel 3.
Suyono S dan SamsuridjalDJ. Pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1993
mengungkapkan tingkat risiko berbagaikategori dari IMT. Risiko penyakit jantung dengan
kelompok IMT dapat dilihat pada Tabel 3-5.
107
lengan bawah (forearm), tulang belikat (subscapular), ditengah garis ketiak (midaxillary), sisi
dada (pectoral), perut (abdominal), suprailiaka, paha, tempurung lutut (suprapatellar), dan
pertengahan tungkai bawah (medical calf).
Lemak tubuh dapat diukur secara absolut dinyatakan dalam Kilogram maupun secara
relatif dinyatakan dalam persen terhadap berat tubuh total. Jumlah lemak tubuh sangat
bervariasi tergantung jenis kelamin dan umur. Umumnya lemak bawah kulit untuk pria 3,1
Kg dan wanita 5,1 Kg.
108
dapat disajikan ke dalamtiga cara yaitu, persen terhadap median, persentil, dan standar
deviasi unit.
Persentil
Cara lain untuk menentukan ambang batas selain persen terhadap median adalah
persentil. Para pakar merasa kurang puas dengan menggunakan persen terhadap median
untuk menentukan ambang batas. Akhirnya mereka memilih cara persentil. Persentil 50 sama
dengan median atau nilai tengah dari jumlah populasi berada diatasnya dan setengahnya
berada dibawahnya. Sebagai contoh, ada 100 anak yang diukur tingginya. Kemudian
diurutkan dari terkecil sampai yang terbesar. Seorang anak yang bernama Ali, berada pada
urutan yang ke 15 berarti persentil 15. Hal ini berarti 14 anak berada dibawahnya dan 85 anak
berada diatasnya.
National Center for Health Statistics (NCHC) merekomendasikan persentil ke 5 sebagai
batas gizi baik dan kurang, serta persentil 95 sebagai batas gizi lebih dan gizi baik.
109
Contoh 1: 1 SD unit = 11-12% unit dari median BB/U, misalnya seorang anak berada pada
75% median BB/U, berarti 25% unit dibawah median atau -2.
Contoh 2: 1 SD unit = 4-5% dari median TB/U. Jika seorang anak 85% dari median BB/TB,
maka 15% unit di bawah median atau 1,5% SD unit.
Contoh 3: 1 SD unit = 1 SD unit 4-5% unit dari median TB/U. Jika seorang anak 105% dari
median TB/U, maka ia 5% unit di atas median atau +1 SD unit.
Pertumbuhan nasional untuk suatu populasi dinyatakan dalam positif dan negatif 2 SD unit
(Z-Skor) dari median, yang termasuk hampir 98% dari orang-orang yang diukur yang berasal
dari referensi populasi. Di bawah median -2 SD unit dinyatakan sebagai kurang gizi yang
equivalen dengan :
78% dari median untuk BB/U (3 persentil)
80% median untuk BB/TB
90% median untuk TB/U
Pemilihan sistem klasifikasi sangat tergantung pada tujuan program, dan tenaga yang tersedia
dan kebutuhan cut off points yang dapat dijangkau. Setelah semiloka antropometri tahun
1991, dewasa ini di Indonesia banyak menggunakan cara persen terhadap median seperti
yang dilaksanakan pada pemantauan status gizi (PSG) tahun 1999.
110
- Alat dapat diberi kodewarna untuk menentukan - Sulit menentukan ambang
tingkat keadaan gizi, sehingga dapat digunakan oleh batas
orang yang tidak dapat baca tulis
111
Tabel 17. Klasifikasi status gizi masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI
tahun 1999
Kategori Cut of Point *)
Gizi lebih > 120% Median BB/U baku WHO-NCHS, 1983
Gizi baik 80% - 120% Median BB/U baku WHO-NCHS 1983
Gizi sedang 70% - 79,9% Median BB/U baku WHO-NCHS, 1983
Gizi kurang 60% - 69,9% Median BB/U baku WHO-NCHS, 1983
Gizi buruk < 60% Median BB/U baku WHO-NCHS, 1983
Tabel 18. Klasifikasi menurut Cara WHO (Sumber: Deswarni Idrus & Gatot Kunanto, 1990.
Epodemologi I, Pusdiknakes. Jakarta.hlm.31)
BB/TB BB/U TB/U Status Gizi
Normal Rendah Rendah Baik, pernah kurang
Normal Normal Normal Baik
Normal Tinggi Tinggi Jangkung, masih baik
Rendah Rendah Tinggi Buruk
Rendah Rendah Normal Buruk, kurang
Rendah Normal Tinggi Kurang
Tinggi Tinggi Rendah Lebih, obesitas
Tinggi Tinggi Normal Lebih, tidak obesitas
Tinggi Normal Rendah Lebih, pernah kurang
Sumber : Supariasa, Bakri B, Fajar I. Penilaian Status Gizi. Penerbit EGC. Jakarta 2002:26-
86
112
DAFTAR TILIK
PENGUKURAN ANTROPOMETRI
113
PENGUKURAN LINGKAR LENGAN ATAS
Skor
No. Unsur yang dinilai
0 1 2
01. Mempersiapkan alat-alat yang diperlukan
02. Tetapkan posisi bahu dan siku (untuk pasien dengan
ketangankananan dilakukan pada lengan kiri dan
sebaliknya)
03. Lengan pasien harus dalam keadaan bebas lengan
baju dan otot lengan dalam keadaan tidak tegang atau
kencang
04. Meletakkan pita antara bahu dan siku
05. Menentukan titik tengah lengan berdasarkan hasil
pengukuran no.3
06. Melingkarkan pita LLA pada tengah lengan dengan
tepat (tidak terlalu longgar maupun terlalu ketat)
07. Membaca angka pada skala yang ditunjukkan pada
pita dengan benar
08. Mencatat hasil pengukuran
Hasil Pengukuran :
Lingkar lengan atas =
Interpretasi =
114
BAB XII
PENUTUP
115
116