BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah agama Islam telah tercatat adanya firqah-firqah (golongan) di
lingkungan umat Islam, yang antara satu sama lain bertentangan pahamnya secara
tajam yang sulit untuk diperdamaikan, apalagi untuk dipersatukan.
Hal ini sudah menjadi fakta dalam sejarah yang tidak bisa dirubah lagi, dan sudah
menjadi ilmu pengetahuan yang termaktub dalam kitab-kitab agama, terutama
dalam kitab-kitab ushuluddin.
Barang siapa yang membaca kitab-kitab ushuluddin akan menjumpai
didalamnya perkataan-perkataan: Syiah, Khawarij, Qodariah, Jabariah, Sunny
(Ahlussunnah Wal Jamaaah), Asy-Ariah, Maturidiah, dan lain-lain.
Umat Islam, khususnya yang berpengetahuan agama tidak heran melihat
membaca hal ini karena Nabi Muhammad SAW sudah juga mengabarkan pada
masa hidup beliau.
Pada Islam zaman klasik terjadi peperangan antara kaum Ali bin Abi Thalib
dan Muawiyah, yang mana peperangan ini dilatar belakangi oleh pemilihan
khilafah dan difitnahnya sahabat Ali telah membunuh sahabat Usman bin Affan
Peperangan terjadi begitu sengit, hingga akhirnya Ali bin Abi Thalib dan
kaumnya hampir memenangkan peperangan. Akan tetapi ditengah-tengah
peperangan salah satu dari kaum Muawiyah mengangkat Al-Qur’an, mengajak Ali
bin Abi Thalib menyelesaikan peperangan dengan cara tahkim, dan Alipun
menerimnya.
Dari sinilah awal mula muncul aliran-aliran dalam Islam yang mana pada
awal kemunculannya mereka membahas tentang politik, hingga akhirnya mereka
membahas tentang siapa yang kafir dan siapa yang mukmin.
Dari kejadian diatas muncul beberapa aliran dalam Islam dan setiap aliran memiliki
pemikiran-pemikirannya sendiri. Dalam makalah ini akan dibahas secara singkat
tentang perbedaan pemikiran aliran-aliran dalam islam tentang pelaku dosa besar.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya aliran-aliran dalam Islam ?
2. Apa saja aliran-aliran dalam Islam ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah munculnya aliran-aliran dalam Islam.
2. Untuk mengatahui apa saja aliran dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2
antara ke dua belah pihak. Golongan Khawarij adalah pengikut Ali, yang tidak
setuju dengan adannya genjatan senjata dan perundingan itu. Mereka memisahkan
diri dari pihak Ali, dan jadilah penentang Ali dan Mu’awiyah. Mereka mengatakan
Ali tidak konsekuen dalam membela kebenaran.
Golongan dan aliran ini berkembang dan tersebar keseluruh alam Islam
pada masa itu. Mereka menjadi adopsi berat pemerintahan Umayyah, hingga
kemudian menyebabkan runtuhnya Daulah Umayyah bagian timur. Seorang yang
bernama Abu Muslim Al-Khurasani, dapat mempengaruhi golongan ini untuk
menggulingkan pemerintah Mu’awiyyah di Parsi. Setelah Khawarij ini berkembang
selama dua abad. Di dalam masa kejayaannya, dalam aliran ini timbulnya beberapa
perpecahan-perpecahan. Tetapi dalam garis pokknya, tetap pada persamaan
pendirian, yaitu :
a. Ali, Usman dan orang-orang yang turut dalam peperangan Jamal, dan orang-
orang yang setuju adanya perundingan antara Ali dan Mu’awiyyah, semua
dihukumkan org-orang kafir.
b. Setiap ummat Muhammad yang terus-menerus membuat dosa besar, hingga
matinya belum taubat, orang itu dihukumkan kafir dan akan kekal di neraka. Di
samping itu, ada golongan yang menyebut dirinya golongan Najahat yaitu mereka
tidak menghukumkan orang-orang yang demikian kafir total, hanya kafie terhadap
nikmat tuhan.
c. Boleh keluar atau tidak menaati aturan-aturan kepala negara bila ternyata
kepala negara itu seorang yang zalim atau khianat.
a. Pada mulanya golongan Khawarij sesuai dan mengakui ke-tiga dasar pokok itu.
Tetapi setelah adanya perpecahan-perpecahan menjadi golongan-golongan yang
banyak sekali, tiap-tiap golongan menambahi dan melampaui pokok-pokok ketiga
itu.3[3]
3. Aliran Murjiah
Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama hijrah. Dinamakan
Murjiah, karena lafaz itu berarti menunda atau mengembaikan. Mereka berpendapat
bahwa orang-orang yang sudah mukmin yang berbuat dosa besar, hingga matinya
tidak juga taubat, orang itu belum dapat kita hukum sekarang. Terserah atau di
3
tunda serta dikembalikan saja urusanya kepada Allah kelak setelah hari kiamat. Jadi
pendapat ini adalah kebalikan dari faham Khawarij.
Sebagian dari ajaranya adalah tidak akan member bekas dan memudaratkan
perbuatan maksiat itu terhadap keimanan. Demikian juga kebalikanya: tidaklah
akan member manfa’at dan member faedah ketaatan seseorang terhadap
kekafiranya. Artinya adalah tidak akan berguna dan tidaklah akan diberi pahala
perbuatan baik yang dilakukan oleh orang kafi. Oleh sebab itu golongan ini sekali-
sekali tidak mau mengkafirkan seseorang yang tellah Islam, sekalipun bagaimana
besarnya maksiat yang di perbuatanya, asal ia menganut agama Islam dan
mengucapkan dua kalimah syahadat. Perbutan maksiat dan dosa-dosa yang
dikerjakan itu, terserah hukum-nya kepada Allah SWT.4[4]
4. Aliran Jabariyah
Aliran Jabariyah adalah gerakan yang menentang Qadariah. Pembangunya
adalah Jaham bin Shafwan. Aliran ini juga disebut golongan Jabariyah. Jaham-lah
yang pertama mengatakan bahwa manusia adalah dalam keadaan terpaksa, tidak
bebas dan tidak mempunyai kekuasaan sedikit juga untuk bertindak dalam
mengerjakan sesuatu. Allah –lah yang menentukan sesuatu itu sesuatu itu kepada
seseorang, apa yang akan dikerjakannya, baik di kehendaki oleh manusia itu
ataupun tidak, jadi Allah SWT yang memperbuat segala pekerjaan manusia.
Jaham itu selain penggerak gerakan Jabariyah, juga seorang gerakan yang
mengatakan bahwa Allah Ta’ala itu tiada mempunyai sifat-sifat. Menurut Jaham,
hanya Tuhanlah mempunyai zat. Walaupun terdapat ayat yang menyebutkan sifat-
sifat Tuhan seperti Sama’ Bashar, kalam dan sebagainya yang harus ditakwilkan.
Mengartikan secara lahir saja, tentulah mengakibatkan pengertian serupanya Allah
SWT dengan makhluknya. Keadaan demikian, mustahil disisi Allah SWT oleh
karena itu wajiblah ditakwilkan memahamkannya.
Jaham berkata : “Tidak layak Tuhan itu disifati dengan sifat yang dipakai untuk
mensifati makhluknya”. Perkataan yang mengatakan bahwa Allah itu mempunyai
sifat-sifat yang Qadim, akan menunjukkan bahwa Allah itu berbilang-bilang.
Padahal Allah adalah Maha Esa, tiada yang menyekutui-Nya baik dari jurusan
4
manapun. Dan tidaklah sekali-kali zatnya itu banyak atau terbilang. Allah tidak
seperti apapun. Allah tidak berjisim, tidak bersifat, dan tidak berunsur .
Manusia dengan akalnya dapat mengetahui yang baik dan yang buruk
sekalipun tidak diberitahukan oleh syara’. Misalnya mengetahui baiknya bersyukur
kepada Allah, atau kebaikan keadilan dan kejahatan kezaliman.
Mengenai janji dan ancaman artinya Allah tidak akan mengampuni dosa,
orang yang berbuat dosa besar, kecuali dengan taubat. Allah SWT benar dan
menepati janjinya dan ancamanya. Janji dan ancamanya tidak akan dapat berubah
karena sesuatu apapun.5[5]
5. Aliran Mu’tazilah
Menurut pendapat Mu’tazilah, Imam atau kepala negara itu adalah dipilih
dari ummat. Karena Allah tidak ada menashkan (menetapkan dengan jelas ) kepada
seseorang yang tertentu. Dan dipilihan itu, terserahlah kepada ummat siapa yang
dipilihnya yang sanggup menjalankan hukum-hukum Allah , baik dari orang
Quraisy ataupun yang lain.
Asal saja orang yang beragama Islam. Adil dan beriman. Tidak dipandang
bangsa, keturunanya dan sebagainya. Demikianlah cara-cara yang wajib dilakukan
dan diperhatikan setiap masa. Pendapat ini disepakati oleh golongan Zaidyah,
kebanyakan Khawarij dan kebanyakan Ahli Sunnah. Mereka berdasarkan dalil,
perbuatan yang dilakukan oleh Saydina Umar bin Khattab, yang menyerahkan
pemerintahan kepala majelis permusyawaratan. Kalau yang demikian itu tidak
boleh dilakukan oleh orang Islam, tentu Umar tidak menyerahkan hal itu kepada
mejelis permusyawarahan.6[6]
6. Aliran Qadariyah
Pada akhir abad pertama Hijrah, diantara golongan Islam timbul suatu
mazhab yang disebut Qadariyah yang dipelapori oleh seorang bernama Ma’bah Al-
Jauhani Al-Bishri di tanah Iraq. Ia sebagai seorang yang alim juga tentang Qur’an
dan Hadist, tetapi kemudian ia menjadi sesat damn membuat pendapat-pendapat
yang salah serta batal. Sungguhpun demikian ada pula orang yang menjadi
6
pengikutnya. Akan tetapi setelah diketahui oleh pemerintah di waktu itu, lalu ia
dibunuh oleh Abdul Malik bin Marwah dan disulakan di Damsyik tahun 80 Hijrah.
Pendapatnya bahwasanya Allah SWT tidak mengetahui serta mewujudkan
segala yang di perbuat oleh manusia, dan tidak pula yang diperbuat oleh manusia
itu dengan qudrat dan iradatnya Allah SWT. Bahkan manusialah yang mengetahui
serta mewujudkan segala yang diamalkan itu dan semuanya dengan qodrat iradat
manusia sendiri. Tuhan sama sekali tidak campur tangan di dalam membuktikan
amalan-amalan itu.
Kaum muslimin sudah semufakat seluruhnya menghukumi golongan
Qodariyah ini termasuk golongan kafir. Alasan mengapa golongan ini dinamakan
golongan qadariyah padahal ia menafikan qadar Allah. Sebab ia menafikan qudrat
dan iradat Allah tetapi dipaki dan ditetapkan qudrat dan iradat itu untuk manusia,
bearti yang mewujudkan dan menetukan segala sesuatu yang dikerjakn manusia itu
adalah qudrat dan iradat manusi sendiri, sedang Allah tidak campur tangan dan
tidak mengetahuinya. Imam Nawawi mengatakan bahwa mazhab yang serupa itu
pada saat ini sudah lenyap sama sekali dari kalangan ummat Islam.7[7]
7. Aliran Ahli Sunnah
Aliran ini adalah golongan terbesar ummat Islam yang terkenal dengan sebutan
Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Dalam pengertian umum berarti golongan yang
bertentangan atau bersebrangan dengan golongan syi’ah. Aliran ini dipelapori oleh
Abu Hasan Al-Asy’ari. Kata al-sunnah mengandung dua makna, pertama berate
thariqah atau cara, yaitu cara yang ditembuh para sahabat dalam menerima ayat-
ayat mutasyabihat, dengan menyerahkan sepenuhnya maksud ayat-ayat itu kepada
Allah tampa berusaha menakwilkan. Kedua bearti al-hadist, sehingga yang
dimaksud adalah mereka percaya dan menerima hadist shahih tanpa menggali
maksudnya secara mendalam seperti yang dilakukan mu’tazilah.
Selanjutnya istilah ahli sunnah wal jamaah secara resmi dan baku dipakai sebagai
nama golongan umat islam yang mencakup empat Imam mazhab yaitu Abu
Hanifah, Malik, Syafi’I, dan ibnu Hanbali. Menurut ibnu Taimiyah mazhab ini
adalah mazhab para sahabat yang mereka dari nabi, dan orang yang berbeda dengan
mazhab ini adalah mengada-ada. Di samping itu, ahli sunnah sepakat bahwa ijma’
yang diterima sebagai hujjah ialah ijma’ sahabat.Imam Ahmad Ibnu Hanbal adalah
tokoh utama dan termashur sebagai imam kelompok ahli sunnah, kata ibnu
Taimiyah.
7
Mereka menetapkan adanya sifat dzatiyyah dab sifat fi’liyah. Mereka tidak
menafikan sifat, seperti halnya Mu’tazilah, bahkan berkeyakinan adanya sifat
tuhan, tetapi tidak sama dengan sifat mahluk-Nya. Karena mereka menetapkan
adanya sifat tuhan, melawan pendapat mu’tazilah yang menafikanya. Sifat itu
sendiri adalah sifat dzat seperti ilmu, qudrah dan hayah, yang mustahil Allah
bersifat sebaliknya.8[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Permusuhan dari perpecahan ummat Islam, boleh dikatakan sejak wafatnya
Nabi, tetapi perpecahan itu mulai reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi
Khalifah. Setelah beberapa lamanya Abu Bakar memegang kekhalifahan, mulai
timbulnya kembali perpecahan. yang dihembuskan oleh orang-orang yang murtad
8
dari Islam dan orang-orang yang mengumumkan dirinya menjadi Nabi seperti
Musailamatul-Kazzab, Thulaihah, Sajah dan Al-Aswad al-Ansy.
Di samping itu ada pula golongan-golongan yang tidak mau membayar
zakat kepada Abu Bakar. Padahal tadinya mereka semua membayar zakat pada
Nabi. Akan tetapi semua perselisihan itu segera dapat diatasi dan di persatukan
kembali, karena kebijakan khalifah Abu Bakar. Maka selamatlah kekuasaan Islam
yang muda itu dari ancaman fitnahan yang akan menghancur-leburkan.
Aliran-aliran dalam Islam :
1. Aliran Syi’ah
2. Aliran Khawarij
3. Aliran Murji’ah
4. Aliran Mu’tajilah
5. Aliran Qodariyah
6. Aliran Jabariyah
7. Aliran Ahli Sunnah
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, semoga makalah ini menjadi salah
satu bahan untuk menambah pengetahuan kita mengenai mempercayai dukun
semoga bermanfaat. Dan kami juga mengharapkan sumbangsih kritik dan saran
yang bersifat membangun guna penyusun makalah berikutnya akan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Mu’in, Taib Thahir Abdul. 1986. ilmu kalam. Jakarta : Widjaya Jakarta
Abbas, Nukman. 2002 Al-Asy’ari. Jakarta : Erlangga