Anda di halaman 1dari 3

NAMA : LAILATUS SYIFA

NIM : 220501051
MATKUL : SEJARAH ISLAM ARAB

PERISTIWA TAHKIM DAN PERPECAHAN UMMAT


Pada masa Nabi Muhammad saw. umat Islam bersatu, mereka dalam satu akidah dan satu
syariat. Jika terdapat hal-hal yang diperselisihkan diantara para sahabat, mereka mengembalikan
persoalannya kepada Nabi. Maka penjelasan beliau itulah yang kemudian menjadi pegangan dan
ditaati oleh para sahabat. Awal mulanya perselisihan dipicu oleh persoalan politik yang ada
kaitannya dengan peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan
Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, juga mengenai ilmu kalam yang muncul
pertama kali adalah persoalan siapa yang disebut keluar dari agama Islam dan siapa yang tetap
beragama Islam.

Dalam sejarah Islam diterangkan bahwa perpecahan golongan itu mulai memuncak
setelah terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, sebagaimana dikatakan oleh Hudhari Bik. Hal
itu yang menjadi sebab perpecahan pendapat kaum muslimin, yaitu satu golongan yang dendam
atas Utsman bin Affan dan mereka adalah orang-orang yang membai’at Ali bin Abu Thalib ra.,
dan satu golongan yang dendam atas terbunuhnya Utsman dan mereka adalah golongan yang
mengikuti Muawiyah bin Abu Sufyan ra.

Setelah peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, perpecahan semakin


memuncak sehingga terjadilah perang Jamal yaitu perang antara kubu Ali dengan kubu Aisyah
dan perang Shiffin yaitu perang antara kubu Ali dengan kubu Mu’awiyah. Berawal dari itulah
akhirnya timbul berbagai aliran dalam umat islam, masing-masing kelompok juga terpecah belah
menjadi beberapa kelompok, di antaranya yakni Khawarij. Ialah suatu sekte atau aliran pengikut
Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap
keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) dalam perang Shiffin pada tahun 37H/648 M,
dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan mengenai persengketaan
khilafah.
Tahkim itu sendiri bermakna menyerahkan keputusan pada seseorang atau menerima
putusan tersebut. Dengan menggunakan metode tahkim, dua orang atau lebih menyerahkan
urusan atau kepentingan mereka pada seseorang di antara mereka agar diselesaikan sengketanya
dan diterapkan hukum syara’ atas sengketa tersebut.

Peristiwa ini terjadi pada saat perang Shiffin antara kubu Ali r.a yang menjabat sebagai
khalifah resmi dan kubu Muawiyah yang menjadi oposisi dan menentang kebijakan Ali r.a bisa
dikatakan bahwa peristiwa ini adalah puncak rentetan perselisihan yang terjadi di masa
pemerintahan Ali r.a selama menjabat sebagai khalifah.
Pokok persoalannya ialah banyak pihak yang tidak setuju dengan sikap Ali r.a yang tidak
segera menyelesaikan kasus pembunuhan khalifah sebelumnya yaitu Utsman bin ‘Affan r.a.
Kelompok pertama yang melakukan protes ialah Sahabat Talhah r.a, Sahabat Zubair r.a dan
Ibunda Kaum Mukminin Aisyah r.a pada saat itu Ibunda Aisyah menaiki unta (Arab: jamal) dan
perang yang terjadi dikenal dengan nama perang Jamal.
Setelah itu, giliran pasukan Muawiyah yang melakukan konfrontasi terhadap Ali r.a
beserta pasukannya dan dikenal dengan nama perang Shiffin.
Pada saat berkecamuknya perang Shiffin, kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan
perundingan dimana pihak Ali r.a. diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan kubu Muawiyah
diwakili oleh Amr bin Ash. Ada beberapa kelompok yang tidak puas dengan hasil perundingan
tersebut. Salah satunya ialah kelompok yang dikemudian hari dikenal dengan nama Khawarij.
Mereka (Khawarij) menganggap bahwa semua pihak yang terlibat dalam proses perundingan
tersebut telah berdosa dan layak dibunuh karena telah melakukan tahkim yang mereka yakini
sebagai berhukum pada manusia dan bukannya kepada Allah Swt.
Sejak saat itu, banyak sekali perdebatan terkait akidah yang menjadikan umat Islam
terbelah menjadi banyak golongan. Persoalan yang sebenarnya dulu sempat dilarang untuk
dibahas oleh Rasulullah Saw. dimana beliau tidak menghendaki jika ada sahabat yang bertanya
mengenai qadar dan hal semacamnya.
Pasca-munculnya Khawarij yang menyatakan bahwa orang yang berdosa besar layak
dihukumi kafir dan wajib dibunuh serta akan masuk neraka. Muncullah kelompok lain yakni
Syiah yang sangat mencintai Ali r.a. secara membabi buta dan menyimpan duka yang mendalam
melihat Ali Ra terbunuh.
Berikutnya, muncul kelompok Murjiah yang menyatakan bahwa orang yang berbuat dosa
besar tetap mukmin dan tidak kafir. Perkara dosa diserahkan kepada Allah SWT, terserah Dia
mengampuni atau memasukkan pelakunya ke dalam neraka.
Sesudah itu menyusul kelompok Mu'tazilah yang dipimpin oleh Washil bin Atha’, murid
dari Hasan Basri yang menolak dua pendapat di atas. Bagi aliran Mu'tazilah, orang berdosa besar
tidak bisa dianggap kafir, tidak juga orang mukmin. Pendosa besar berada di posisi antara Islam
dan kafir. Mereka menyebutnya dengan al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua
posisi).
Setelah itu muncul pula kelompok Qadariyah dan Jabariyah yang perdebatannya berkutat
pada soal apakah manusia punya kemampuan atau tidak. Qadariyah meyakini bahwa manusia
punya kehendak bebas sementara Jabariyah meyakini bahwa manusia “dipaksa” menuruti
kehendak Tuhan.
Adapun yang masih eksis hingga sekarang adalah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah
yang keduanya disebut Ahlussunnah wal-jama’ah. Memang sebelum Rasulullah saw. meninggal
dunia, beliau telah mengabarkan berita dalam sabdanya bahwa umat Islam akan berpecah-belah.

‫اْلَج َم ا َع ُة َو ِهَي َو اِح َد ًة ِإَّال الَّناِر ِفي ُك ُّلَها ِفْر َقَة َو َس ْبِع ْيَن اْثَنَتْيِن َع َلى َس َتْفَتِر ُق ُأَّمِتي َو ِإَّن ِفْر َقًة‬
‫َو َس ْبِع ْيَن ِإْح َدى َع َلى اْفَتَر َقْت ِإْس َر اِئْيَل ِإَّن َبِني‬.

“Sesungguhnya Bani Israil telah terpecah-belah menjadi 71 golongan, dan umatku akan
terpecah-belah menjadi 72 golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan saja
yang selamat, yaitu golongan al-Jama’ah.” (HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik)

Perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam yang diterangkan dalam hadits tersebut
sebanyak 73 golongan, kemudian satu dari 73 golongan tersebut ialah golongan yang selamat
dari siksaan api neraka, yang disebut golongan Ahlussunnah wal Jama’ah.

Angka 73 tersebut bukan menunjukkan arti bilangan sesungguhnya, tetapi betapa


banyaknya perpecahan-perpecahan itu terjadi, sehingga menimbulkan golongan-golongan yang
sulit dihitung satu per satunya. Contoh: golongan-golongan yang belum disebutkan di atas,
antara lain golongan Ahmadiyah, Baha’iyah, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai