AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH
(ASWAJA)
Jadi, Aswaja adalah golongan yang yang memiliki keyakinan kuat dalam
mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. serta para sahabatnya. Dengan demikian
Aswaja merupakan ajaran yang sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw. Yakni
ajaran islam yang murni sebagaimana yang diamalkan Rosulullah dan para
sahabatnya. Dilihat dari kacamata sejarah islam, ajaran ini muncul sebagai wacana
tandingan terhadap maraknya madzhab Mu’tazilah di dunia islam pada abad ke 11
H, terutama pada masa pemerintahan Abbasiyah.
Dalam sebuah hadits Riwayat Imam Tirmidzi dari sahabat Abdullah Bin ‘Amru
Bin Ash, Nabi Muhammad saw. mengatakan bahwa umat islam akan terpecah
menjadi 73 golongan dan bakal ada satu diantaranya yang akan selamat. Saat
ditanyakan kepada beliau, siapakah golongan yang akan selamat itu? Nabi
Muhammad saw. menjawab, “Mereka adalah kelompok yang setia mengamalkan
apa yang aku perbuat saat ini dan para sahabatku”.
Lalu siapakah yang dimaksud dengan golongan yang oleh Nabi saw.
dinyatakan selamat, tidak masuk neraka? Menurut Syihab Al-Khafaji dalam Kitab
Nasamur Riyadl bahwa satu golongan yang dinyatakan selamat adalah Ahlussunnah
Waljama’ah. Kemudian siapakah Ahlussunnah Waljama’ah itu? Menurut Al-
Hasyiyah Asy-Syanwani, Ahlussunnah Waljama’ah adalah pengikut Imam Abu Hasan
Al-Asy’ari dan pengikut imam empat madzhab (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Syafi’i, dan Imam Hanbali.
Menurut Al Imam Al ‘Alim Al ‘Alamah Al Sayyid Muhammad Bin Muhammad
Al Husaini yang dikenal dengan Al Syekh Murtadla Al Zabidi (1732-1790 M.) dalam
kitab Al-Ittihaf Al-Sadat Al-Muttaqin mengomentari kitab Ihya’ ulumuddin karya
Imam Al Ghazali dalam pasal ke dua dari Muqoddimah Syarah ‘Aqoid mengatakan
bahwa “Jika diucapkan ahlussunnah waljama’ah, maka yang dikehendaki adalah
golongan Asya’riyah (pengikut Imam Al Asy’riyah) dan Al Maturidiyah (pengikut
Imam Al Maturidi)”.
Kemudian Syekh Ahmad Bin Musa Al Kayali dalam komentarnya atas kitab Al
Aqoid karangan Al Imam Najmuddin Umar Bin Muhammad An Nasafi menuturkan
bahwa “Golongan pengikut imam Abu Hasan Al Asy’ari semuanya merupakan
ahlussunnah waljama’ah. Jika dikatakan ahlussunnah waljama’ah, maka tidak dapat
diartikan selain golongan mereka”.
Karena, merekalah yang ditakdirkan oleh Allah sebagai hujjah atas makhluk-
Nya. Mereka pula yang dimaksud dalam sabda Rosulullah saw. “Sesungguhnya Allah
swt. tidak akan mengumpulkan umatku (para pengikut Al Asy’ari) dalam kesesatan”.
2. SEJARAH ASWAJA
Perihal pendalaman lebih lanjut mengenai paham Aswaja ini, pada periode
masa lalu tentu sudah melalui pengecekan terhadap hadits-hadits yang dinilai dapat
dipertanggung jawabkan (valid). Sebab, tidak ada cara lain untuk dapat memperoleh
gambaran utuh atas paham keagamaan seperti islam, melainkan melalui telaah Al
Quran dan hadits secara mendalam.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. agama islam tersebar luas ke daerah
luar semenanjung Jazirah Arab. Tidak sedikit bangsa yang semula asalnya memiliki
kepercayaan yang bertentangan dengan islam, namun pada akhirnya memeluk
agama islam. Bahkan diantaranya, ada Sebagian golongan yang ingin memasukan
kepercayaan mereka kedalam ajaran agama islam.
Mulanya, hanya muncul perbedaan pandangan tentang politik yang terjadi
pada akhir masa pemerintahan Khalifah Utsman Bin Affan. Kemudian, pada masa
kepemimpinan Khalifah Ali Bib Abi Thalib, muncul dua ajaran yang bertentangan,
yakni aliran Syiah dan aliran Khawarij. Perbedaan keduanya adalah soal sosok
Sayyidina Ali, kelompok Syiah mendukung dan mengagungkan Sayyidina Ali,
sedangkan kelompok Khawarij membencinya. Kemudian muncul lagi aliran Murji’ah
yang mengambil jalan tengah dan tidak melibatkan diri dalam perseteruan dua
kelompok tadi.
Sesudah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, sebagian sahabat membaiat
Ali menjadi Khalifah. Hal ini dikarenakan Ali adalah salah satu dari enam calon yang
ditunjuk oleh Khalifah Umar sebelum wafat dan memperoleh suara yang sama
dengan Utsman. Sayangnya, orang- orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman
juga ikut berbaiat terhadap kekhalifahan Ali. Hal ini menimbulkan fitnah di kalangan
sebagian sahabat. Apalagi sebagian sahabat menghendaki para pelaku pembunuhan
Khalifah Utsman diadili dahulu sebelum pembaiatan khalifah yang baru.
Legitimasi kekhalifahan Ali tidak mencapai seratus persen dari umat Islam
saat itu. Hal ini digunakan oleh orang-orang yang tidak menginginkan persatuan
umat Islam untuk memecah belah umat hingga terjadi Perang Jamal (perang unta).
Parang Jamal adalah perang antara Sayyidina Ali karramallahu wajhah dengan
Sayyidatina Aisyah ummul mukminin radliyallahu ‘anha. Disebut dengan perang
Jamal karena Aisyah mengendarai Unta.
Selain perang Jamal, ada pula Perang Siffin. Perang Siffin adalah perang
antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Mu’awiyyah. Dalam Perang Siffin
tersebut pasukan Ali hampir memenangkan peperangan. Akan tetapi, atas ide Amr
bin Ash, pasukan Mu’awiyah kemudian mengajak melakukan tahkim (damai) dengan
mengangkat mushaf. Atas desakan para qurra’, Khalifah Ali menyetujui tahkim
tersebut. Lalu dilakukanlah pembicaraan oleh kedua pihak. Pihak Mu’awiyah diwakili
oleh Amr bin Ash sedangkan pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari.
Hasil dari pembicaraan dari kedua kubu tersebut adalah peletakan jabatan
dari masing-masing pihak, baik Ali maupun Mu’awiyah. Keduanya pun sepakat untuk
mengumumkan hasil pembicaraan tersebut kepada publik. Amr bin Ash
mempersilakan Abu Musa Al- Asy’ari untuk berbicara terlebih dahulu dengan alasan
Abu Musa Al- Asy’ari lebih tua darinya. Sebagai seorang yang bertakwa dan
konsisten terhadap perjanjian, Abu Musa mengumumkan peletakan kedudukan
Khalifah yang dipegang oleh Ali. Ketika Amr bin Ash mendapat giliran untuk
mengumumkan hasil pembicaraan, ternyata ia mengatakan yang berbeda dari
kesepakatan. Karena Ali meletakkan jabatan, maka Muawiyahlah yang naik jabatan.
Tentu hal ini sangat merugikan pihak Ali. Ali pun enggan melepaskan kedudukannya
hingga terbunuh.
Tahkim Shiffin ini menimbulkan kekecewaan besar di pihak Ali. Bahkan
sebagian pengikut Ali keluar dari barisan Ali. Merekalah yang disebut Khawarij.
Menurut Khawarij, baik Muawiyah maupun Ali keduanya bersalah. Muawiyah
dianggap merampas kedudukan Khalifah yang dimiliki Ali sedangkan Ali bersalah
karena menyetujui tahkim padahal dia di pihak yang benar. Golongan yang kedua
adalah golongan Syi’ah. Golongan syi’ah adalah golongan pendukung Ali.
Pada perkembangan selanjutnya, berbagai pemikiran aliran muncul di
tengah-tengah umat islam. Seperti Jabariyah, Qodariyah dan Muktazilah. Dari ketiga
aliran tersebut, aliran Muktazilah merupakan golongan yang paling memiliki
pengaruh kuat, sebab paham ini mendapatkan dukungan penuh dari Khalifah Al
Makmun dari dinasti Abbasiyah. Bahkan, paham ini digunakan sebagai ideologi
negara, hal ini berdampak bagi umat islam yang dipaksa harus mengikuti paham
tersebut.
Pada saat itulah, hadir dua sosok ulama agung yang mampu mengembalikan
umat islam menuju ajaran yang benar sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw.,
sahabat dan para tabi’in. Beliau adalah Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Manshur
Al Maturidi. Meskipun pada taraf tertentu pemikiran kedua tokoh ini sedikit
ditemukan perbedaan, namun mereka secara bersama-sama bersatu dalam
membendung kuatnya gerakan hegemoni Muktazilah yang dilancarkan para tokoh
Muktazilah dan pengikutnya. Dari kedua pemikir ini selanjutnya lahir kecenderungan
baru yang mewarnai pemikiran umat Islam waktu itu. Bahkan, hal itu menjadi
mainstream (arus utama) pemikiran-pemikiran di dunia Islam yang kemudian
mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran keagamaan sering dinisbatkan
pada sebutan Ahlussunnah Waljama’ah yang kemudian populer dengan sebutan
Aswaja. Hal ini bukan berarti Ahlussunnah Waljama’ah baru ada sesudah Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Pada hakikatnya Ahlussunnah Waljama’ah
sudah ada sebelumnya. Terbukti golongan ini dalam hal fikih berkiblat kepada salah
satu dari keempat imam madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali).
Pada dasarnya, ajaran Rosulullah saw. telah tertuang didalam kitab suci Al
Quran dan hadits Nabi. Akan tetapi, masih belum tertata rapi dan tidak beraturan.
Kemudian oleh dua ulama tersebut, ajaran Nabi dikumpulkan secara rapi lalu
merumuskan aqoid (ajaran tauhid) yang sesuai dengan tuntunan Al Quran, hadits,
ijma’ (kesepakatan ulama), dan qiyas (analogi).
Untuk mengetahui secara mudah tentang ahlussunnah waljama’ah masa kini,
Hadrotussyekh K.H. Hasyim Asy’ari mengatakan pada saat sambutan pembukaan
deklarasi berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), bahwa “Ciri khas ahlussunnah
waljama’ah adalah mereka yang di bidang fikih mengikuti paham Imam Abu Hanifah,
Imam Malik Bin Anas, Imam Muhammad Bin Idris (Imam Syafi’i) atau Imam Ahmad
Bin Hanbal. Dan di bidang tasawuf mengikuti ajaran Syekh Junaid Al Baghdady dan
Imam Ghozali. Dan dalam bidang tauhid mengikuti Imam Abu Hasan Al Asy’ari atau
Imam Abu Manshur Al Maturidi”.
4. PRINSIP-PRINSIP ASWAJA
Paham Ahlussunnah Waljama’ah memiliki empat prinsip, yaitu tawasuth
(pertengahan/jalan tengah), i’tidal (tegak), tawazun (seimbang) dan Tasamuh
(toleran).
Adapun Ahlussunnah Waljama’ah, dalam keyakinan memiliki prinsip dasar
sesuai dengan petunjuk Al Qur’an dan hadits, yakni sebagaimana berikut:
a. Tauhid
Tauhid adalah mempercayai bahwa Allah swt. esa dalam dzatNya, tidak ada
sekutu, maha tunggal, tidak ada yang menyerupai, dibutuhkan oleh semua
makhluk, tidak ada yang bisa melawan kehendakNya, dahulu tanpa
permulaan, wujud sebelum wujudnya alam semesta, wujud tanpa batas
akhir, abadi tanpa hilang, berdiri sendiri, selalu memiliki sifat kesempurnaan
dan keagungan, tidak pernah sirna, maha awal dan maha akhir, maha
mengetahui segala sesuatu apapun.
b. Kesucian Allah swt.
Meyakini bahwa Allah swt. adalah dzat yang suci. Artinya, Allah swt.
merupakan dzat yang bersih dari sifat kurang, tidak berupa jisim, tidak
terbatas oleh dimensi ruang dan waktu, tidak serupa dengan ciptaanNya dan
tidak ada yang menyerupai, bukan merupakan sifat, tidak berubah, dan kelak
di surga dapat dilihat dengan mata oleh orang-orang mukmin.
c. Sifat-sifat Allah swt.
Ahlussunnah Waljama’ah memiliki keyakinan bahwa Allah swt.
mempunyai sifat-sifat yang tidak menyerupai dengan makhlukNya. Iman kepada
Allah swt. artinya meyakini bahwa Allah swt. adalah dzat yang memiliki sifat-sifat
sempurna dan disucikan dari segala macam sifat kurang.
Secara rinci, sifat wajib bagi Allah ada 20, sifat mustahil bagi Allah ada 20
dan sifat jaiz bagi Allah ada satu.
BAB II
SEJARAH LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA
Nahdlatul Ulama atau yang biasa dikenal dengan sebutan NU, merupakan
organisasi Islam terbesar di Indonesia yang berlandaskan ajaran Ahlussunnah
waljama’ah. Sekaligus sebagai organisasi kemasyarakatan yang lebih dikenal dengan
istilah jam’iyah, yang memiliki prinsip moderat (tawassuth) terhadap adat istiadat
dengan toleransinya terhadap masyarakat dan selalu teguh memegang prinsip
Nahdlatul Ulama. NU menjadi salah satu organisasi sosial keagamaan di Indonesia
yang faktor pembentukannya merupakan kelanjutan perjuangan kalangan pesantren
dalam melawan kolonialisme di Indonesia, sekaligus sebagai wadah untuk
memperjuangkan dan meyebarkan wawasan teologi yang diyakini, yakni ajaran
ahlussunnah waljama’ah.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon
kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918
didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan
pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum
santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).
Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya
Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar selain tampil sebagai kelompok studi juga
menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di
beberapa kota. Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional,
maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan
lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah
berkordinasi dengan berbagai kyai dan mengadakan rapat di Kertopaten, Surabaya,
muncul nama Nahdlatul Ulama. Nama tersebut pertama kali diusulkan oleh KH. Mas
Alwi Bin Abdul Aziz. Usulan tersebut pernah disampaikan oleh KH. Abdul Hamid
pengasuh Pondok Pesantren Sedayu, Gresik, dengan nama Nuhudhul Ulama, namun
nama tersebut dirasa kurang pas dan pada akhirnya muncul kesepakatan untuk
membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16
Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari
sebagai Rais Akbar.
Nahdlatul Ulama merupakan gabungan dari dua kata bahasa arab, yaitu
nahdlah dan ulama. Nahdlah artinya kebangkitan, sedangkam ulama bararti pewaris
ilmu para Nabi. Jadi, Nahdlatul Ulama adalah kebangkitan orang-orang yang
mewarisi ilmu para Nabi.
Menurut KH. Abdurrohman Wahid atau Gusdur, istilah nahdlah terinspirasi
dari pesan Syekh Ibn Atha’illah As Sakandari dalam karyanya Syarh Al Hikam:
التصحب من ال ينهضك حاله وال يدلك على هللا مقاله
Artinya: Jangan engkau jadikan teman, orang yang tingkah dan ucapannya
tidak membangkitkan dan menunjukkan kepada Allah swt.
Sedangkan kata ulama diambil dari firman Allah swt:
اِنَّ َما يَ ْخ َشى هّٰللا َ ِم ْن ِعبَا ِد ِه ْال ُعلَمٰۤ ُؤا
Artinya: Sesungguhnya, yang takut kepada Allah diantara hamnya-Nya hanyalah
ulama. (QS. Fathir:28).