Anda di halaman 1dari 18

BAB I

AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH

(ASWAJA)

1. PENGERTIAN AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH


Ahlussunnah Waljama’ah atau yang sering disebut Aswaja merupakan istilah
yang terdiri dari tiga kata, yaitu :
a. Ahlu yang berarti keluarga, pengikut, dan penduduk;
b. Al-sunnah yang bermakna jalan atau langkah. Maksudnya adalah suatu jalan
yang telah ditempuh oleh Rosulullah saw;
c. Al-jama’ah yang artinya adalah perkumpulan. Maksudnya adalah
perkumpulan para sahabat Nabi Muhammad saw. Bisa juga diartikan sebagai
kekompakan atau kebersamaan. Kata Al-jama’ah merupakan kebalikan dari
Al-furqoh yang artinya perpecahan.
Golongan Imam Al-Aya’ari disebut Al-jama’ah dikarenakan golongan ini
konsisten merawat kekompakan atau kebersamaan. Meskipun terjadi
perbedaan pendapat dikalangan sesama, maka perbedaan tersebut tidak
sampai saling menuduh kafir pada golongan yang berbeda selama tidak
menyentuh masalah tauhid.

Jadi, Aswaja adalah golongan yang yang memiliki keyakinan kuat dalam
mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. serta para sahabatnya. Dengan demikian
Aswaja merupakan ajaran yang sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw. Yakni
ajaran islam yang murni sebagaimana yang diamalkan Rosulullah dan para
sahabatnya. Dilihat dari kacamata sejarah islam, ajaran ini muncul sebagai wacana
tandingan terhadap maraknya madzhab Mu’tazilah di dunia islam pada abad ke 11
H, terutama pada masa pemerintahan Abbasiyah.
Dalam sebuah hadits Riwayat Imam Tirmidzi dari sahabat Abdullah Bin ‘Amru
Bin Ash, Nabi Muhammad saw. mengatakan bahwa umat islam akan terpecah
menjadi 73 golongan dan bakal ada satu diantaranya yang akan selamat. Saat
ditanyakan kepada beliau, siapakah golongan yang akan selamat itu? Nabi
Muhammad saw. menjawab, “Mereka adalah kelompok yang setia mengamalkan
apa yang aku perbuat saat ini dan para sahabatku”.
Lalu siapakah yang dimaksud dengan golongan yang oleh Nabi saw.
dinyatakan selamat, tidak masuk neraka? Menurut Syihab Al-Khafaji dalam Kitab
Nasamur Riyadl bahwa satu golongan yang dinyatakan selamat adalah Ahlussunnah
Waljama’ah. Kemudian siapakah Ahlussunnah Waljama’ah itu? Menurut Al-
Hasyiyah Asy-Syanwani, Ahlussunnah Waljama’ah adalah pengikut Imam Abu Hasan
Al-Asy’ari dan pengikut imam empat madzhab (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Syafi’i, dan Imam Hanbali.
Menurut Al Imam Al ‘Alim Al ‘Alamah Al Sayyid Muhammad Bin Muhammad
Al Husaini yang dikenal dengan Al Syekh Murtadla Al Zabidi (1732-1790 M.) dalam
kitab Al-Ittihaf Al-Sadat Al-Muttaqin mengomentari kitab Ihya’ ulumuddin karya
Imam Al Ghazali dalam pasal ke dua dari Muqoddimah Syarah ‘Aqoid mengatakan
bahwa “Jika diucapkan ahlussunnah waljama’ah, maka yang dikehendaki adalah
golongan Asya’riyah (pengikut Imam Al Asy’riyah) dan Al Maturidiyah (pengikut
Imam Al Maturidi)”.
Kemudian Syekh Ahmad Bin Musa Al Kayali dalam komentarnya atas kitab Al
Aqoid karangan Al Imam Najmuddin Umar Bin Muhammad An Nasafi menuturkan
bahwa “Golongan pengikut imam Abu Hasan Al Asy’ari semuanya merupakan
ahlussunnah waljama’ah. Jika dikatakan ahlussunnah waljama’ah, maka tidak dapat
diartikan selain golongan mereka”.
Karena, merekalah yang ditakdirkan oleh Allah sebagai hujjah atas makhluk-
Nya. Mereka pula yang dimaksud dalam sabda Rosulullah saw. “Sesungguhnya Allah
swt. tidak akan mengumpulkan umatku (para pengikut Al Asy’ari) dalam kesesatan”.

2. SEJARAH ASWAJA
Perihal pendalaman lebih lanjut mengenai paham Aswaja ini, pada periode
masa lalu tentu sudah melalui pengecekan terhadap hadits-hadits yang dinilai dapat
dipertanggung jawabkan (valid). Sebab, tidak ada cara lain untuk dapat memperoleh
gambaran utuh atas paham keagamaan seperti islam, melainkan melalui telaah Al
Quran dan hadits secara mendalam.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. agama islam tersebar luas ke daerah
luar semenanjung Jazirah Arab. Tidak sedikit bangsa yang semula asalnya memiliki
kepercayaan yang bertentangan dengan islam, namun pada akhirnya memeluk
agama islam. Bahkan diantaranya, ada Sebagian golongan yang ingin memasukan
kepercayaan mereka kedalam ajaran agama islam.
Mulanya, hanya muncul perbedaan pandangan tentang politik yang terjadi
pada akhir masa pemerintahan Khalifah Utsman Bin Affan. Kemudian, pada masa
kepemimpinan Khalifah Ali Bib Abi Thalib, muncul dua ajaran yang bertentangan,
yakni aliran Syiah dan aliran Khawarij. Perbedaan keduanya adalah soal sosok
Sayyidina Ali, kelompok Syiah mendukung dan mengagungkan Sayyidina Ali,
sedangkan kelompok Khawarij membencinya. Kemudian muncul lagi aliran Murji’ah
yang mengambil jalan tengah dan tidak melibatkan diri dalam perseteruan dua
kelompok tadi.
Sesudah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, sebagian sahabat membaiat
Ali menjadi Khalifah. Hal ini dikarenakan Ali adalah salah satu dari enam calon yang
ditunjuk oleh Khalifah Umar sebelum wafat dan memperoleh suara yang sama
dengan Utsman. Sayangnya, orang- orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman
juga ikut berbaiat terhadap kekhalifahan Ali. Hal ini menimbulkan fitnah di kalangan
sebagian sahabat. Apalagi sebagian sahabat menghendaki para pelaku pembunuhan
Khalifah Utsman diadili dahulu sebelum pembaiatan khalifah yang baru.
Legitimasi kekhalifahan Ali tidak mencapai seratus persen dari umat Islam
saat itu. Hal ini digunakan oleh orang-orang yang tidak menginginkan persatuan
umat Islam untuk memecah belah umat hingga terjadi Perang Jamal (perang unta).
Parang Jamal adalah perang antara Sayyidina Ali karramallahu wajhah dengan
Sayyidatina Aisyah ummul mukminin radliyallahu ‘anha. Disebut dengan perang
Jamal karena Aisyah mengendarai Unta.
Selain perang Jamal, ada pula Perang Siffin. Perang Siffin adalah perang
antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Mu’awiyyah. Dalam Perang Siffin
tersebut pasukan Ali hampir memenangkan peperangan. Akan tetapi, atas ide Amr
bin Ash, pasukan Mu’awiyah kemudian mengajak melakukan tahkim (damai) dengan
mengangkat mushaf. Atas desakan para qurra’, Khalifah Ali menyetujui tahkim
tersebut. Lalu dilakukanlah pembicaraan oleh kedua pihak. Pihak Mu’awiyah diwakili
oleh Amr bin Ash sedangkan pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari.
Hasil dari pembicaraan dari kedua kubu tersebut adalah peletakan jabatan
dari masing-masing pihak, baik Ali maupun Mu’awiyah. Keduanya pun sepakat untuk
mengumumkan hasil pembicaraan tersebut kepada publik. Amr bin Ash
mempersilakan Abu Musa Al- Asy’ari untuk berbicara terlebih dahulu dengan alasan
Abu Musa Al- Asy’ari lebih tua darinya. Sebagai seorang yang bertakwa dan
konsisten terhadap perjanjian, Abu Musa mengumumkan peletakan kedudukan
Khalifah yang dipegang oleh Ali. Ketika Amr bin Ash mendapat giliran untuk
mengumumkan hasil pembicaraan, ternyata ia mengatakan yang berbeda dari
kesepakatan. Karena Ali meletakkan jabatan, maka Muawiyahlah yang naik jabatan.
Tentu hal ini sangat merugikan pihak Ali. Ali pun enggan melepaskan kedudukannya
hingga terbunuh.
Tahkim Shiffin ini menimbulkan kekecewaan besar di pihak Ali. Bahkan
sebagian pengikut Ali keluar dari barisan Ali. Merekalah yang disebut Khawarij.
Menurut Khawarij, baik Muawiyah maupun Ali keduanya bersalah. Muawiyah
dianggap merampas kedudukan Khalifah yang dimiliki Ali sedangkan Ali bersalah
karena menyetujui tahkim padahal dia di pihak yang benar. Golongan yang kedua
adalah golongan Syi’ah. Golongan syi’ah adalah golongan pendukung Ali.
Pada perkembangan selanjutnya, berbagai pemikiran aliran muncul di
tengah-tengah umat islam. Seperti Jabariyah, Qodariyah dan Muktazilah. Dari ketiga
aliran tersebut, aliran Muktazilah merupakan golongan yang paling memiliki
pengaruh kuat, sebab paham ini mendapatkan dukungan penuh dari Khalifah Al
Makmun dari dinasti Abbasiyah. Bahkan, paham ini digunakan sebagai ideologi
negara, hal ini berdampak bagi umat islam yang dipaksa harus mengikuti paham
tersebut.
Pada saat itulah, hadir dua sosok ulama agung yang mampu mengembalikan
umat islam menuju ajaran yang benar sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw.,
sahabat dan para tabi’in. Beliau adalah Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Manshur
Al Maturidi. Meskipun pada taraf tertentu pemikiran kedua tokoh ini sedikit
ditemukan perbedaan, namun mereka secara bersama-sama bersatu dalam
membendung kuatnya gerakan hegemoni Muktazilah yang dilancarkan para tokoh
Muktazilah dan pengikutnya. Dari kedua pemikir ini selanjutnya lahir kecenderungan
baru yang mewarnai pemikiran umat Islam waktu itu. Bahkan, hal itu menjadi
mainstream (arus utama) pemikiran-pemikiran di dunia Islam yang kemudian
mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran keagamaan sering dinisbatkan
pada sebutan Ahlussunnah Waljama’ah yang kemudian populer dengan sebutan
Aswaja. Hal ini bukan berarti Ahlussunnah Waljama’ah baru ada sesudah Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Pada hakikatnya Ahlussunnah Waljama’ah
sudah ada sebelumnya. Terbukti golongan ini dalam hal fikih berkiblat kepada salah
satu dari keempat imam madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali).
Pada dasarnya, ajaran Rosulullah saw. telah tertuang didalam kitab suci Al
Quran dan hadits Nabi. Akan tetapi, masih belum tertata rapi dan tidak beraturan.
Kemudian oleh dua ulama tersebut, ajaran Nabi dikumpulkan secara rapi lalu
merumuskan aqoid (ajaran tauhid) yang sesuai dengan tuntunan Al Quran, hadits,
ijma’ (kesepakatan ulama), dan qiyas (analogi).
Untuk mengetahui secara mudah tentang ahlussunnah waljama’ah masa kini,
Hadrotussyekh K.H. Hasyim Asy’ari mengatakan pada saat sambutan pembukaan
deklarasi berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), bahwa “Ciri khas ahlussunnah
waljama’ah adalah mereka yang di bidang fikih mengikuti paham Imam Abu Hanifah,
Imam Malik Bin Anas, Imam Muhammad Bin Idris (Imam Syafi’i) atau Imam Ahmad
Bin Hanbal. Dan di bidang tasawuf mengikuti ajaran Syekh Junaid Al Baghdady dan
Imam Ghozali. Dan dalam bidang tauhid mengikuti Imam Abu Hasan Al Asy’ari atau
Imam Abu Manshur Al Maturidi”.

3. CIRI-CIRI AKIDAH ASWAJA


Paham akidah ahlussunnah waljama’ah memiliki corak tertentu yang
membedakan dengan paham lainnya. Aswaja memilik ajaran akidah yang moderat.
Artinya tengah-tengah, tidak terlalu ekstrim ke kanan seperti paham Jabbariyah dan
tidak terlalu ekstrim ke kiri seperti Qodariyah. Dibawah ini, disebutkan beberapa ciri-
ciri akidah Aswaja, diantaranya adalah:
a. Aswaja mengakui bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan,

namun manusia memiliki peran juga dalam perbuatannya yang disebut


dengan kasb. Sementara, golongan Jabbariyah menganggap bahwa semua
perbuatan manusia diciptakan oleh Allah dan manusia tidak memiliki andil
sama sekali dalam perbuatannya. Sebaliknya golongan Qodariyah
berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh dirinya sendiri.
Tuhan tidak turut campur dalam perbuatan manusia.
b. Paham Aswaja sangat berhati-hati soal vonis kafir atau munafik pada
golongan atau seorang mukmin yang melakukan dosa atau yang tidak
sepaham. Mukmin yang berdosa, kelak di akhirat akan di hukum sesuai
dengan dosa yang diperbuat saat masih hidup. Golongan manapun tidak
berhak menuduh kafir terhadap golongan lain yang berbeda pandangan.
Karena hal semacam itu ranah Tuhan swt, bukan urusan manusia. Vonis kafir
atau menuduh kepada sesame mukmin adalah hal yang sejak dulu sudah ada.
Nabi dan ulama salaf mewanti-wanti agar tidak menganggap remeh
persoalan ini.
Rosulullah saw. bersabda:

‫ يا كافر فقد باء بها أحدهما‬: ‫إذا قال الرجل ألخيه‬


Artinya: Ketika seseorang mengucapkan kepada saudaranya, “Wahai kafir”,
maka salah satu diantara keduanya telah menjadi kafir.
c. Aswaja berpendapat bahwa kelak di surga orang mukmin bisa melihat Allah
sedangkan di dunia manusia tidak bisa melihat Allah. Pendapat ini berbeda
dengan pendapat Muktazilah yang menyatakan orang mukmin tidak bisa
melihat Allah di dunia dan di akhirat.
d. Aswaja meyakini bahwa Allah swt. itu wujud (ada) tanpa dibatasi oleh ruang
dan waktu.
Allah swt. berfirman:

ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ٖه َش ْي ٌء ۚ َوهُ َو ال َّس ِم ْي ُع ْالب‬


‫ص ْي ُر‬ َ ‫لَي‬
Artinya: Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.
Rosulullah saw. bersabda:
‫ كان هللا ولم يكن شيء‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫عن عمران بن حصين قال‬
‫ رواه البخاري‬.‫غيره‬
Artinya: Imran Bin Hushain berkata: “Rosulullah saw. bersabda: Allah swt.
sudah wujud pada azali (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatu
apapun selain-Nya”.
Maksudnya adalah, Allah swt. tidaklah menyerupai dengan makhluk-Nya
yang harus terikat oleh ruang dan waktu.
e. Dalam hal melihat Allah, Ahlussunnah berpendapat bahwa kelak di surga
orang mukmin bisa melihat Allah sedangkan di dunia manusia tidak bisa
melihat Allah. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Mu’tazilah yang
menyatakan orang mukmin tidak bisa melihat Allah di dunia dan di akhirat.
f. Mengenai Al Qur’an, Ahlussunnah berpendapat bahwa Al Qur’an itu adalah
kalamullah dan bukan makhluk. Berbeda dengan pendapat Mu’tazilah yang
menyatakan bahwa Al Qur’an itu adalah makhluk.

4. PRINSIP-PRINSIP ASWAJA
Paham Ahlussunnah Waljama’ah memiliki empat prinsip, yaitu tawasuth
(pertengahan/jalan tengah), i’tidal (tegak), tawazun (seimbang) dan Tasamuh
(toleran).
Adapun Ahlussunnah Waljama’ah, dalam keyakinan memiliki prinsip dasar
sesuai dengan petunjuk Al Qur’an dan hadits, yakni sebagaimana berikut:
a. Tauhid
Tauhid adalah mempercayai bahwa Allah swt. esa dalam dzatNya, tidak ada
sekutu, maha tunggal, tidak ada yang menyerupai, dibutuhkan oleh semua
makhluk, tidak ada yang bisa melawan kehendakNya, dahulu tanpa
permulaan, wujud sebelum wujudnya alam semesta, wujud tanpa batas
akhir, abadi tanpa hilang, berdiri sendiri, selalu memiliki sifat kesempurnaan
dan keagungan, tidak pernah sirna, maha awal dan maha akhir, maha
mengetahui segala sesuatu apapun.
b. Kesucian Allah swt.
Meyakini bahwa Allah swt. adalah dzat yang suci. Artinya, Allah swt.
merupakan dzat yang bersih dari sifat kurang, tidak berupa jisim, tidak
terbatas oleh dimensi ruang dan waktu, tidak serupa dengan ciptaanNya dan
tidak ada yang menyerupai, bukan merupakan sifat, tidak berubah, dan kelak
di surga dapat dilihat dengan mata oleh orang-orang mukmin.
c. Sifat-sifat Allah swt.
Ahlussunnah Waljama’ah memiliki keyakinan bahwa Allah swt.
mempunyai sifat-sifat yang tidak menyerupai dengan makhlukNya. Iman kepada
Allah swt. artinya meyakini bahwa Allah swt. adalah dzat yang memiliki sifat-sifat
sempurna dan disucikan dari segala macam sifat kurang.
Secara rinci, sifat wajib bagi Allah ada 20, sifat mustahil bagi Allah ada 20
dan sifat jaiz bagi Allah ada satu.

BAB II
SEJARAH LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA

Nahdlatul Ulama atau yang biasa dikenal dengan sebutan NU, merupakan
organisasi Islam terbesar di Indonesia yang berlandaskan ajaran Ahlussunnah
waljama’ah. Sekaligus sebagai organisasi kemasyarakatan yang lebih dikenal dengan
istilah jam’iyah, yang memiliki prinsip moderat (tawassuth) terhadap adat istiadat
dengan toleransinya terhadap masyarakat dan selalu teguh memegang prinsip
Nahdlatul Ulama. NU menjadi salah satu organisasi sosial keagamaan di Indonesia
yang faktor pembentukannya merupakan kelanjutan perjuangan kalangan pesantren
dalam melawan kolonialisme di Indonesia, sekaligus sebagai wadah untuk
memperjuangkan dan meyebarkan wawasan teologi yang diyakini, yakni ajaran
ahlussunnah waljama’ah.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon
kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918
didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan
pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum
santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).
Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya
Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar selain tampil sebagai kelompok studi juga
menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di
beberapa kota. Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional,
maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan
lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah
berkordinasi dengan berbagai kyai dan mengadakan rapat di Kertopaten, Surabaya,
muncul nama Nahdlatul Ulama. Nama tersebut pertama kali diusulkan oleh KH. Mas
Alwi Bin Abdul Aziz. Usulan tersebut pernah disampaikan oleh KH. Abdul Hamid
pengasuh Pondok Pesantren Sedayu, Gresik, dengan nama Nuhudhul Ulama, namun
nama tersebut dirasa kurang pas dan pada akhirnya muncul kesepakatan untuk
membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16
Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari
sebagai Rais Akbar.
Nahdlatul Ulama merupakan gabungan dari dua kata bahasa arab, yaitu
nahdlah dan ulama. Nahdlah artinya kebangkitan, sedangkam ulama bararti pewaris
ilmu para Nabi. Jadi, Nahdlatul Ulama adalah kebangkitan orang-orang yang
mewarisi ilmu para Nabi.
Menurut KH. Abdurrohman Wahid atau Gusdur, istilah nahdlah terinspirasi
dari pesan Syekh Ibn Atha’illah As Sakandari dalam karyanya Syarh Al Hikam:
‫التصحب من ال ينهضك حاله وال يدلك على هللا مقاله‬
Artinya: Jangan engkau jadikan teman, orang yang tingkah dan ucapannya
tidak membangkitkan dan menunjukkan kepada Allah swt.
Sedangkan kata ulama diambil dari firman Allah swt:
‫اِنَّ َما يَ ْخ َشى هّٰللا َ ِم ْن ِعبَا ِد ِه ْال ُعلَمٰۤ ُؤا‬
Artinya: Sesungguhnya, yang takut kepada Allah diantara hamnya-Nya hanyalah
ulama. (QS. Fathir:28).

1. LATAR BELAKANG BERDIRINYA NU


Berdirinya NU dilatar belakangi oleh perkembangan pemikirin ideologi agama
dan sosial politik yeng terjadi pada saat itu. Pada tahun 1924, Syarif Husain, Raja
Hijaz (Mekkah Al Mukarromah) yang berpaham ahlussunnah waljam’ah ditaklukkan
oleh Abdul Aziz Bin Saud uang berpaham Wahabiyah. Sebagaimana diketahui, bahwa
konsep yang diajarkan oleh wahabi Sebagian besar berhenti pada gaya berfikir Ibnu
Taimiyah dan Muhammad Bin Abdul Wahhab yang mengaku hanya kelompok
merekalah yang benar. Sedangkan kelompok yang tidak satu paham dengan
pemikiran mereka dianggap salah dan sesat. Bahkan, pengikutnya sampai terlalu
mudah memvonis kafir terhadap sesama muslim yang berbeda pemikiran dengan
mereka.
Kemudian, muncullah kabar bahwa pemimpin Abdul Aziz Bin Saud selaku
pemimpin baru tanah Hijaz akan melarang segala bentuk ritual yang biasa dilakukan
oleh pengikut ahlussunnah waljama’ah. Padahal, ritual pengikut Aswaja sudah
berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Dan semua itu akan digantikan dengan
model ritual ibadah berpaham wahabi.
Tradisi-tradisi yang sudah mengakar kuat dikalangan umat Islam dan ritual-
ritual ibadah yang sesuai dengan ajaran Nabi akan dihilangkan oleh paham wahabi.
Diantanya ritual ibadah maulidan, tahlilan, ziarah kubur, tawassul, dan sebagainya.
Kontan saja, hal itu menuai protes keras dari berbagai kalangan yang berpaham
Aswaja seluruh dunia. Bahkan, Raja Abdul Aziz Bin Saud juga bermaksud memperluas
pengaruhnya hingga ke seluruh penjuru dunia dengan tipu dayanya demi kajayaan
Islam, ia berencana melanjutkan estafet kekhalifahan Turki yang terputus setelah
runtuhnya Daulah Islamiyah. Demi melancarkan dan mensukseskan misi tersebut, ia
merencanakan sebuah agenda Muktamar Khilafah di kota suci Mekkah. Seluruh
negara Islam di dunia akan diundang untuk ikut serta menghadiri acara Muktamar
tersebut, termasuk negara Indonesia.
Delegasi dari Indonesia yang direkomendasikan untuk menghadiri acara
Muktamar tersebut mulanya adalah KH. Abdul Wahhab Hasbullah mewakili dari
kalangan pesantren, KH. Mas Manshur mewakili Muhammadiyah dan HOS
Cokroaminoto mewakil SI (Serikat Islam). Akan tetapi, nama KH. Abdul Wahhab
Hasbullah dicoret dari daftar delegasi yang akan berangkat, dikarenakan ada oknum
tertentu yang bermain curang sehingga KH. Abdul Wahhab Hasbullah tidak jadi
berangkat dengan alasan tidak mewakili organisasi resmi.
Dari peristiwa tersebutlah, akhirnya para ulama pengasuh pondok pesantren
tersadarkan akan pentingnya organisasi sebagai wadah untuk memperjuangkan
ajaran Aswaja. Dari kejadian itu pula, para ulama merasa sakit hati dan kecewa berat
karena tidak ada yang bisa menyampaikan pandangan terhadap rencana Raja Abdul
Aziz Bin Saud yang akan merubah total model beragama di Mekkah. Para ulama
Indonesia tidak bisa menerima kebijakan Raja Saud yang anti kebebasan
bermadzhab, anti tahlil, anti tawassul, anti mulidan, anti ziarah kubur dan lain-lain.
Lebih dari itu, Raja Saud memiliki rencana untuk akan membongkar makam Nabi
Muhammad saw. Menurut para kyai pesantren, bahwa pembaharuan merupakan
keniscayaan dan keharusan, namun tidak dengan cara menghilangkan prinsip
bermadzhab. KH. Hasyim Asy’ari juga tidak mempermasahkan dan bisa menerima
kaum modernis menghimbau umat Islam untuk Kembali pada ajaran islam yang
murni, akan tetapi beliau tidak bisa menerima jika sampaik meninggalkan prinsip
bermadzhab. Disamping itu, dikarenakan rencana pembaharuan dilakukan dengan
cara yang tidak baik seperti halnya melecehkan, membodoh-bodohkan,
merendahkan bahkan mengkafirkan sesame umat muslim, maka para ulama
pesantren menolaknya dengan keras. Pembaharuan tetap dibutuhkan namun
dengan cara yang bijak, tidak meninggalkan khazanah keilmua yang masih relevan.
Dari peristiwa tersebut, akhirnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dibentuk.
Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang,
Jawa Timur adalah pendiri resmi Nahdlatul Ulama, sedangkan KH. Abdul Wahab
Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, Jawa
Timur bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak NU. Beliau merupakan murid
utama Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari, beliua juga merupakan sosok ulama yang
alim,enerjik, lincah, cekatan dan memiliki banyak gagasan serta berwawasan luas.
Nahdlatul Ulama berdiri dari munculnya Komite Hijaz yang diprakarsai oleh
KH. Abdul Wahab Hasbullah setelah mendapatkan restu dari KH. Hasyim Asy’ari.
Komite ini memilik misi, yakni menggagalkan tujuan dari Raja Ibnu Saud yang ingin
menghilangkan cara bermadzhab di Tanah Suci. Komite Hijaz dibentuk untuk
menghadap Raja Saud secara langsung untuk menyampaikan keberatan atas
kebijakan yang telah dibuat oleh pimpinan tanah Hijaz tersebut. Awalnya, delegasi
para ulama adalah KH. Asnawi dari Kudus, akan tetapi karena Kyai Asnawi
ketinggalan kapal, akhirnya beliau tidak jadi berangkat. Kemudian usulan keberatan
tersebut tetap dikirimkan lewat telegram. Namun, karena telegram itu tidak kunjung
dibalas, akhirnya berangkatlah KH. Wahab Hasbullah bersama Syekh Ghana’im
(Warga negara Mesir yang di kemudian hari di agkat menjadi salah satu anggota
Mustasyar NU pada periode awal) dan KH. Dahlan Abdul Qahhar (Pelajar Indonesia
yang sedang studi di Mekkah) sebagai utusan para ulama Indonesia.
Berikut ini adalah surat balasan dari Raja Abdul Aziz Bin Abdurrahman pada
tanggal 4 Dzulhijjah 1346 H.
ISI SURAT BALASAN RAJA SAUDI ARABIA
Dari Abdul Aziz Bin Abdurrahman, keluarga Faishal, kepada segenap pemuka
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama di Jawa, Syekh Hasyim Asy’ari dan sekretarisnya, As
Syekh Alwi Bin Abdul Aziz, semoga Allah swt. menjaga mereka. Setelah kalian
menuliskan surat yang ditandai pada tanggal 15 Syawal 1346 H. apa yang tertulis
didalamnya sudah kami baca, khususnya tentang keprihatinan kalian terhadap
kondisi penganut Islam. Sedang utusan yang kalian kirimkan, KH. Abdul Wahab,
sebagai sekretaris satu Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dan sebagai Mustasyar As Syekh
Ahmad Ghana’im Al Mishri, mereka sudah bertatap muka dengan kami.
Sesuai dengan ketentuan tanah Hijaz, hal di atas berkaitan erat dengan
hukum kenegaraan untuk memberikan kenyamanan bagi setiap orang yang sedang
melakukan ritual haji di Baitullah dan tidak mencegah setiap orang yang
mengerjakan kebaikan yang sesuai dengan tuntunan Syariat.
Sedang terkait dengan kebebasan setiap orang untuk memilih madzhab yang
ia condongi, alhamdulillah, semua orang Islam bebas untuk beribadah semaunya,
kecuali untuk hal-hal yang diharamkan oleh Allah swt. dan tidak ada yang
menghalalkan ritualnya dari Al Qur’an, hadits, madzhab ulama terdahulu, atau salah
satu dari madzhab empat. Ritual yang sesuai dengan ketentuan di atas tidak akan
kami usik dan akan kami beri kebebasan. Namun untuk kegiatan yang bertentangan
dengan syariat Allah swt., maka tiada ketaatan pada makhluk dalam durhaka kepada
Allah swt. Dan hakikat yang kami tetapkan adalah mengajak seseorang untuk
mengikuti apa yang ada ada didalam Al Qur’an dan hadits Rasulullah saw. dan
alhamdulillah, kami sudah berada di jalur ulama terdahulu, yang awalnya adalah
sahabat Rasulullah dan akhirnya adalah ulama madzhab empat.
Hanya kepada Allah kami meminta petunjuk agar kita sekalian diberi
petunjuk kejalan kebaikan, kebenaran dan akhir yang baik. Inilah yang wajib kami
jelaskan. Semoga kalian mendapatkan perlindungan dari Allah swt.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi wa Barakatuh
Pada akhirnya Raja Abdul Aziz bin Saud menjamin kebebasan beramal dengan
keberagaman sesuai dengan hasil ijtihad para ulama madzhab empat. Dan rencana
penggusuran makam Rosullah saw. dan para sahabat Nabi yang sebelumnya sudah
diagendakan akhirnya dibatalkan.
Setelah tiba di Indonesia, KH. Abdul Wahab Hasbullah bermaksud untuk
membubarkan Komite Hijaz, dengan alasan tugas yang diamanatkan sudah selesai,
namun keinginan tersebut ditolak oleh KH. Hasyim Asy’ari, karena beliau punya
alasan lain. Komite Hijaz itu tetap diteruskan, akan tetapi dalam bentuk yang
berbeda, yakni dengan membentuk organisasi keagamaan yang bernama Nahdlatul
Ulama, sebagaimana petunjuk yang didapat oleh Syaikhona Kholil Bangkalan
Madura. Ketika KH. Abdul Wahab Hasbullah mengumpulkan para ulama di Surabaya,
ternyata intelijen Belanda telah mencium gelagat akan adanya pergerakan besar-
besaran yang dilakukan oleh para ulama Indonesia. Pergerakan tersebut diyakini
oleh Belanda bisa mengganggu sekaligus mengancam kekuasaan mereka. Oleh sebab
itu pemerintahan Belanda tidak setuju dengan agenda yang direncanakan KH.
Wahab.
Karena agenda pertemuan tersebut dirasa sangat penting, maka para kyai
pun tidak kehabisan cara untuk mengelabui Belanda agar pertemuan tetap bisa
dilaksanakan. Dengan alasan akan melakukan tahlilaln untuk memperingati hauk
Syaikhona Kholil Bangkalan, para ulama berkumpul di kediaman KH. Ridwan
Abdullah di Jl. Bubutan VI Surabaya. Para hadirin yang datang membaca tahlil diluar
rumah, sedangkan para kyai yang ada di dalam rumah menggelar pertemuan untuk
musyawarah untuk mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Setelah tahlilan selesai,
tepatnya pada 16 Rajab 1344 H. atau bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M.
lahirlah sebuah organisasi keagamaan yang Bernama Nahdlatul Ulama.
Organisasi Nahdlatul Ulama didirikan dengan tujuan untuk melestarikan,
mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam aswaja dengan menganut salah
satu Madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Bahkan dalam Anggaran
Dasar Pertama (1927), dinyatakan bahwa organisasi tersebut untuk memperkuat
kesetiaan umat islam pada salah satu Madzhab empat.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada saat itu antara lain:
1. Memperkuat persatuan ulama yang masih setia kepada Madzhab emapt.
2. Memberi bimbingan tentang jenis kitab yang diajarkan pada Lembaga Pendidikan
Islam.
3. Penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan Madzhab empat.
4. Memperluas jumlah Madrasah dan memperbaiki organisasinya.
5. Membantu pembangunan masjid, musholla, dan pondok pesantren.
6. Membantu anak yatim piatu dan fakir miskin.

Dalam pasal 3 statuen perkumpulan NU (1933) disebutkan, “Mengadakan


perhubungan diantara ulama-ulama yang bermadzhab, memeriksa kitab-kitab,
apakah itu dari kitab aswaja atau kitab-kitab ahli bid’ah, menyiarkan agama Islam
dengan cara apa saja yang halal, beikhtiar, memperbanyak madrasah, masjid, surau,
dan pondok pesantren. Begitu juga dengan kondisi anak yatim piatu dan orang fakir
miskin, serta memajukan urusan pertanian, perniagaan yang tidak dilarang oleh
syariat agama”.
Sejak didirikannya, NU menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan
(Jam’iyyah Diniyyah). Lebih dari itu, NU menegaskan dirinya sebagai organisasi
keagamaan Islam (Jam’iyyah Diniyyah Al Islamiyah). Bukan hanya organisasi yang
didirikan oleh para pemeluk Islam untuk memperbaiki kedudukannya pada bidang
tertentu, seperti dalam bidang politik, ekonomi, dan lain-lain. NU didirikan untuk
meningkatkan kualitas pribadi muslim yang mampu menyesuaikan kehidupannya
dengan ajaran agama Islam serta mengembangkannya. Sehingga, terwujudlah
peranan agama Islam dan para pemeluknya sebagai rahmat alam semesta.
Sebagai organisasi keagamaan, NU memiliki wawasan-wawasan tersendiri
dalam memahami, menghayati, mengamalkan, dan cara menempatkan diri sebagai
pemeluk agama:
1. Agama sebagai wahyu Allah swt. harus ditempatkan pada kedudukan paling tinggi
dan dijaga keluhurannya dengan mengamalkan yang sesuai dengan kehendak Allah.
2. Agama Islam sebagai wahyu yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Rosulullah saw.
harus dipahami, dihayati, dan diamalkan sesuai dengan petunjuk yang telah
diberikan oleh beliau.
3. Al qur’an dan As sunnnah sebagai sumber ajaran Islam harus dipelajari melalui jalur
yang dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, yaitu melalui jalur khulafa al
rashidin dan generasi sesudahnya.
4. Al qur’an dan As sunnah harus dipahami dengan:
 Cara yang dapat dipertanggungjawabkan kekuatannya, diukur dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam sendiri, dan dengan logika yang benar.
 Dengan bekal perbendaraan ilmu yang cukup, jumlah, dan jenisnya.
 Dengan landasan akhlak dan niat semata-mata mencari kebenaran dari Allah
swt. dan yang diridoi oleh-Nya.
5. Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat, dan sarananya, tersedia cara untuk
dapat memahami Al qur’an dan As sunnah, yaitu dengan mengikuti pendapat hasil
daya piker tokoh-tokoh agama yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.
Dikalangan NU, sudah lama terdapat kesamaan wawasan keagamaan yang
sudah melembaga dan membudaya sehingga merupakan rangkaian karakter.
Bahkan, kesamaan wawasan ini merupakan warisan ulama pendahulunya sejak
beberapa abad yang lalu. Wawasan yang sudah membudaya ini dituangkan kedalam
tubuh NU untuk dipelihara, dikembangkan, dan diamalkan. Inilah yang menjadi
kekuatan yang paling utama bagi NU yang mengguncangkan sejarah. Wawasan ini
disebut Khitthah Nahdliyyah (garis-garis NU).
Corak keagamaan didalam tubuh NU memiliki ciri-ciri tertentu, hal tersebut
tercermin pada beberapa hal, diantaranya:
1. Didirikan karena motif agama, bukan dibentuk berdasarkan unsur politik, ekonomi,
atau lainnya.
2. Berlandaskan keagamaan, sehingga segala sikap, tingkah laku, dan watak
perjuangannya sesuai dengan tuntunan Islam.
3. Bercita-cita memuliakan Islam dan semua pemeluknya menuju rahmatan lil ‘alamin.
4. Kegiatannya fokus pada bidang keagamaan, seperti masalah ubudiyah, dakwah, dan
sebagainya. Sedangkan kegiatan dibidang lain sekedar dukungan dan syarat
perjuangan keagamaan.
Konsep dakwah yang diterapkan NU lebih banyak mengikuti model dakwah
wali songo, yakni menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat dan tidak
masuk, jika tidak bertentangan dengan Islam, maka boleh diteruskan dan
dilestarikan. Sedangkan, budaya yang bertentangan dengan Islam, maka harus
ditinggalkan.
Secara garis besar, konsep pendekatan dakwah NU kepada masyarakat ada
tiga jenis:
1. Tawassuth dan I’tidal, adalah sikap moderat, lunak yang berpijak pada prinsip
keadilan, serta berusaha menghindari segala bentuk kekerasan atau radikalisme.
2. Tasamuh, merupakan sikap toleran yang intinya saling menghargai terhadap
perbedaan pendapat dan keberagaman identitas budaya masyarakat.
3. Tawazun, yaitu sikap seimbang dalam berkhidmat demi terwujudnya keserasian
hubungan antar manusia dengan Allah swt.
Karena konsep dakwah NU sejalan dengan model dakwah wali songo, NU
masyhur sebagai organisasi pelopor Islam yang moderat. Kehadiran NU bisa diterima
oleh semua kalangan masyarakat. Bahkan, NU berperan sangat penting sebagai
garda terdepan membela bangsa dan tanah air.
Sejarah perjalanan NU
NU didirikan di Surabaya pada tahun 1344 H./1926 M. atas nama
perkumpulan para ulama pada masa itu. Perjuangan NU dititikberatkan pada
penguatan paham Aswaja terhadap serangan aliran yang melenceng. Diantara
program kerja NU adalah menyeleksi kitab-kitab yang sesuai dan yang tidak sesuai
dengan ajaran Aswaja. Disamping itu, juga melakukan penguatan persatuan diantara
para kyai dan pengasuh pesantren.
Pada tahun 1937 M, empat orang tokoh pergerakan Islam berkumpul di
Surabaya untuk mendirikan organisasi Islam. Mereka adalah KH. Wahab Hasbullah
dan KH. Dahlan Ahyad (keduanya merupakan delegasi NU), KH. Mas Manshur
(delegasi Muhammadiyah), serta Wondoawisono (delegasi Sarikat Islam). Dalam
pertemuan itu, mereka mendirikan Majlis Islam Ala Indonesia (MIAI).
Dalam perjalanan selanjutnya, KH. Abdul Wahid Hasyim terpilih sebagai ketua
dewan MIAI, jabatan tertinggi dalam organisasi itu. Ketika putra KH. Hasyim Asy’ari
itu mengundurkan diri, posisinya digantikan oleh KH. Dahlan Ahyad yang juga tokoh
NU. Selain mereka, terdapat juga nama KH. Zainul Arifin yang menjabat ketua komisi
pemberantas penghinaan Islam dan KH. Mahfudz Shiddik dalam Komisi Luar Negeri
MIAI. Namun, ketiak Jepang datang pada bulan Maret 1942 M, semua oraganisasi
sosial kemasyarakatan dan organisasi politik di Indonesia dibekukan, termasuk NU
dan MIAI. Bahkan Rais Akbar NU KH. Hasyim Asy’ari dan ketua umum PBNU KH.
Mahfudz Shiddik ditahan oleh Jepang.
Ketika ormas-ormas dibekukan oleh Dai Nippon, perjuangan kyai NU
difokuskan melalui jalur diplomasi. Tahun 1942 M, KH. Wahid Hasyim dan beberapa
kyai lain masuk parlemen buatan Jepang yang Bernama Chuo Shangi-in. Lewat
parlemen itu pula KH. Wahid Hasyim meminta agar pemerintahan Jepang
mengijinkan NU dan Muhammadiyah diaktifkan Kembali. Permintaan baru
dikabulkan pada September 1943 M, sehingga NU dan Muhammadiyah Kembali bisa
bergerak seperti masa penjajahan Belanda. Perjuangan diplomasi terus ditingkatkan.
Hasilnya pada akhir Oktober 1943 M, berdirilah majelis Syura Muslimin Indonesia
(Masyumi) sebagai wadah perjuangan baru bagi umat Islam Indonesia yang dipimpin
oleh KH. Hasyim Asy’ari. Sedangkan, KH. Wahid Hasyim sebagai wakilnya.
Ketika pemerintah Jepang meminta pemuda Islam bergabung mejadi prajutit
pembantu tantara Jepang (Heiho), KH. Wahid Hasym atas nama pemimpin Masyumi
justru meminta agar Jepang agar melatih kemiliteran pemuda Islam secara khusus
dan terpisah. Pada 14 Oktober 1944 M, permintaan itu dikabulkan dengan
dibentuknya Hizbullah. Para santri menjadi prajurit, para putra kyai menjadi
komandannya, sedangkan para kyai menjadi penasehat spirituan sekaligus penentu
kebijakan.
Sementara itu, dibidang politik, selain aktif dalam pucuk kepemimpinan
Masyumi, KH. Wahid Hasyim juga duduk sebagai pemimpin tertinggi Shumubu
(Departemen Agama) menggantikan KH. Hasyim Asy’ari yang berhalangan untuk
berkantor untuk berkantor di Jakarta. Selain itu, KH. Wahid Hasyim duduk sebagi
salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945 M bersama KH. Wahab
Hasbullah, KH. Masjkur, dan KH. Zainul Arifin.
KH. Wahid Hasyim juga bergabung sebagai anggota Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Beliau juga termasuk salah satu perumus dasar
negara dan turut serta dalam penanda tanganan Piagam Jakarta (Jakarta Charter)
bersama delapan orang lainnya.
Disaat datang lagi bersama negara sekutu, Belanda mengancam agar pejuang
Indonesia menyerah. NU mengeluarkan fatwa jihad pada tanggal 22 Oktober 1945.
Fatwa itu dikenal dengan Resolusi Jihad NU. Fatwa itu mampu membakar semangat
para pejuang kaum muslimin. Mereka tidak gentar menghadapi kematian karena
perang itu disebut dengan perang sabil (perang untuk menegakkan agama Allah
swt.)
Inilah isi dari keputusan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama;

Anda mungkin juga menyukai