Anda di halaman 1dari 4

BAB V

Ahli Sunnah Wal Jama’ah

Latar Belakang Lahirnya Ahli Sunnah Wal Jama’ah

Sebagaimana yang telah diprediksikan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa umatnya akan terpecah
menjadi 73 golongan dan hanya ada 1 golongan saja yang kelak akan selamat. Sedangkan yang lainnya
akan binasa. Ketika beliau ditanya oleh para sahabat: “siapakah mereka yang akan selamat?” Rasululloh
SAW menjawab: “mereka adalah orang-orang yang mengikuti ajaranku dan ajaran para sahabatku”.

Tidaklah cukup bagi seorang hamba mengklaim dirinya sebagai bagian dari Ahli Sunnah Wal Jama’ah
atau bagian fireqoh an-Najihah karena merasa telah mengikuti sunnah Rosululloh SAW. Suatu hal yang
sangat mendasar adalah mengkaji dan memahami apa yang Rosul lakukan dan ucapakan serta
bagaimana para sahabat meriwayatkan dan mensyarahi sebuah hadist tentang suatu perkara. Dalam
makalah ini akan membahas latar belakang lahirnya Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

A. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Ahli Sunnah Wal Jama’ah?

2. Bagaimanakah latar belakang lahirnya Ahli Sunnah Wal Jama’ah?

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

2. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ahli Sunnah Wal Jama’ah

Ahli Sunnah Wal Jama’ah dalam sejarah merupakan istilah yang menjadi nama bagi golongan kaum
Muslimin yang memiliki kesamaan dlam beberapa prinsip dan memiliki kesepakatan dalam beberapa
pandangan. Istilah Ahli Sunnah Wal Jama’ah ini bukan istilah yang datang dari Nabi SAW. Sebagai nama
bagi kelompok tertentu.

Secara kebahasan, Ahli Sunnah Wal Jama’ah adalah istilah yang tersusun dari tiga kata, yaitu:
1. Kata ahl, yang berarti keluarga, pengikut atau golongan.

2. Kata as-sunnah, secara etimologis (bahasa) memiliki arti at-thariqoh (jalan dan perilaku), baik jalan
dan perilaku tersebut benar atau keliru. Sedangkan secara terminology (istilah), para ulama berbeda
pendapat tentang pengertian as-sunnah. Lalu apakah pengertian sunnah yang menjadi maksud dalam
istilah Ahli sunnah Wal Jama’ah berkaitan dengan perpecahan umat islam menjadi beberapa golongan?.
Menjawab pertanyaan ini, al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan bahwa Ahli Sunnah Wal Jama’ah
itu adalah golongan yang mengikuti ajaran Nabi dan ajaran sahabatnya. Pengertian demikian ini
merupakan pengertian yang baku dalam istilah Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

3. Kata jama’ah, secara etimologis ialah orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektifitas
dalam mencapai tujuan. Sedangkan secara terminogis, para ulama berbeda pendapat tentang maksud
al-jama’ah dalam istilah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Ada 5 pendapat tentang pengertian jama’ah, antara
lain:

a. Menurut sahabat Abu Mas’ud al-Anshori dan Abdulloh bin Mas’ud, jama’ah adalah mayoritas
kaum muslimin.

b. Jama’ah adalah para ulama dan imam yang mencapai tingkatan mujtahid.

c. Menurut sahabat Umar bin Abdul ‘Aziz, jama’ah adalah para sahabat Nabi SAW saja bukan
generasi sesudah mereka.

d. Jama’ah adalah ijma’ kaum Muslimin terhadap suatu hukum dan prinsip yang harus diikuti oleh
pengikut oleh agama-agama lain karena ijma’ mereka dijamin oleh Allah tidak akan tersesat
sebagaimana dalam hadist Nabi SAW.

e. Menurut al-Imam at-Thobari, jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin apabila bersepakat dalam
memilih seorang pemimpin, maka pemimpin itu harus dibaiat dan disetujui oleh kaum muslimin yang
lain, dan barang siapa yang melepaskan diri dari kepemimpinannya maka dia keluar dari jama’ah kaum
Muslimin.[1]

Ahli Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat Muhammad. Mereka adalah para sahabat
dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar akidah. Merekalah yang dimaksud oleh
hadist Rosululloh SAW yang artinya:

“........maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada
al-jama’ah; yakni berpegang teguh pada akidah al-jama’ah.” (hadist ini dishohihkan oleh al-Hakim, dan
at-Tirmidzi mengatakan hadist hasan shohih).

B. Latar Belakang Lahirnya Ahli Sunnah Wal Jama’ah


Ketika Nabi SAW wafat, kaum muslimin masih bersatu dalam agama yang mereka jalani. Klasifikasi sosial
yang ada pada saat itu terdiri dari 3 golongan, yaitu orang muslim, orang kafir, dan orang munafik.
Namun begitu Nabi wafat, perselisihan diantara mereka terjadi tentang pemimpin yang akan menjadi
pengganti Nabi SAW. Namun akhirnya, kekuatan kepemimpinan para sahabat Nabi tersebut
mengalahkan semua ambisi dan fanatisme kesukuan, sehingga menggiring mereka pada kesepakatan
untuk memilih Abu Bakar As-Shidiq sebagai kholifah. Setelah Ia wafat, khilafah berpindah tangan Umar
bin Khatab, sahabat Nabi terbaik setelah Abu Bakar. Hingga akhirnya khalifah Umar menemui ajalnya
setelah ditikam oleh seorang budak Persia, yaitu Abu Lu’lu’ah al-Majusi. Setelah ia wafat, khilafah
berpindah ketangan kholifah Utsman bin Affan, menantu Nabi SAW. Ia dibaiat sebagai kholifah
berdasarkan hasil rapat tim formatur yang dibentuk oleh Umar menjelang wafatnya.

Setelah 6 tahun dari masa pemerintahan Utsman, friksi internal dan gejolak politik seputar kebijakan-
kebijakan Utsman mulai muncul kepermukaan dan menjadi sasaran kritik sebagian masyarakat. Dalam
kondisi tersebut, unsur-unsur Majusi dan Yahudi ikut bermain dalam mengeruhkan suasana, sehingga
lahirlah berbagai kekacauan dan beragam propaganda dengan membawa kepentingan menurunkannya
dari jabatan melalui amr ma’ruf dan nahi mungkar, sehingga hal tersebut barakhir dengan terbunuhnya
kholifah Utsman ditangan kaum pemberontak.

Khilafah berpindah tangan ke Ali bin Abi Tholib, menantu dan sepupu Nabi serta sahabat terbaik setelah
wafatnya Utsman. Namun beragam kekacauan yang terjadi pada Utsman sangat berpengaruh terhadap
pemerintahan Ali bin Abi Tholib. Pada masa pemerintahannya terjadi perang saudara besar-besaran
antara Ali dengan kelompok Aisyah, Tholhah, dan Zubair dalam perang jamal, kemudian terjadi perang
shiffin dengan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sofyan.

Pada masa pemerintahannya, muncul satu kelompok dari pengikut Ali yang memisahkan diri dan
kemudian dinamakan dengan aliran khowarij. Mereka mendefinisikan iman dengan keyakinan yang
disertai pengamalan, sehingga keyakinan tidaklah berguna ketika tidak disertai pengamalan. Oleh karena
itu, khowarij mengkafirkan pelaku dosa. Khowarij berpandangan bahwa Utsman, Ali, Aisyah, Tholhah,
Zubair, Muawiyah, dan pengikut mereka dalam perang Jamal dan Shiffin adalah kafir. Khowarij hanya
mengakui kholifah Abi Bakar dan Utsman.

Pada masa Ali, lahir juga aliran Sabaiyah dari kalangan Rafidhah (Syi’ah) yang dipimpin oleh Abdulloh bin
Saba’. Mereka berpandangan bahwa Ali adalah Tuhan. Ajaran Abdulloh bin Saba’ ini dilanjutkan oleh
golongan syiah yang terpecah menjadi 3 golongan besar, yaitu Imamiyah, Zaidiyah, dan Ismailiyah.
Kelompok syiah yang ekstrim seperti Imamiyah dan Ismailiyah mengkafirkan seluruh sahabat Nabi
kecuali empat orang.

Setelah benturan pemikiran antara Syi’ah dan Khowarij semakin keras pasca proses arbitrase antara Ali
dan Mu’awiyah. Situasi tersebut menjadi sebab lahirnya satu kelompok yang netral (tidak memilih
antara pihak manapun). Menurut kelompok ini, ketika kita tidak dapat menentukan mana pihak yang
salah dan mana yang benar, maka kita harus mengembalikan persoalan ini kepada Allah.
Dengan pandangan ini, kelompok tersebut akhirnya dinamakan aliran Murji’ah (kelompok yang
mengembalikan persoalan kepada Allah).

Pada akhir generasi sahabat, lahir aliran Qadariyah yang dipimpin oleh Ma’bad al-Juhani, Ghailan al-
Dimasyqi dan Ja’ad bin Dirham. Kelompok ini berpandangan bahwa perbuatan manusia terjadi karena
rencana sendiri bukan karena takdir Allah. Pendangan mereka menuai penolakan keras dari kalangan
sahabat yang masih hidup pada saat itu, seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan lain
sebagainya.

Pada masa al-Imam al-Hasan Al-Bashri lahir kelompok Mu’tazilah yang dirintis oleh Atho’ al-Ghazzal yang
membawa faham manzilah baina al manzilataini (tempat antara dua tempat). Aliran ini berpandangan
bahwa seorang muslim yang fasik tidak dikatakan mukmin dan tidak dikatakan kafir dan diakhirat nanti
dia akan kelak dineraka bersama dengan orang-orang kafir. Selain aliran tersebut diatas muncul aliran
Najjariyah, Karramiyah dan Wahhabi.

Berdasarkan data sejarah yang ada, setelah terjadinya fitnah pada masa kholifah Utsman bin Affan
kemudian aliran-aliran yang menyimpang dari ajaran islam yang murni dan asli bermunculan satu
persatu, maka pada periode akhir generasi sahabat Nabi SAW istilah Ahli Sunnah Wal Jama’ah mulai
diperbincangkan dan dipopulerkan sebagai nama bagi kaum muslimin yang masih setia kepada ajaran
islam yang murni dan tidak terpengaruh dengan ajaran-ajaran baru yang keluar dari mainstrem. Hal ini
dapat dibuktikan dengan memperhatikan beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa istilah Ahli
Sunnah Wal Jama’ah diriwayatkan dari sahabat Nabi generasi junior (sighor al-shohabah) sepert Ibnu
Abbas, Ibnu Umar dan Ibnu Sa’id al-Khurdi. Ibnu Abbas (3SH-68H/619-688) mengatakan:Ibnu abbas
berkata ketika menafsirkan firman Allah: “pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri dan
ada pula muka yang hitam” (QS. Ali Imron: 106). Adapun orang-orang yang wajahnya putih berseri,
adalah pengikut Ahli Sunnah Wal Jama’ah dan orang-orang yang berilmu. Sedangkan orang-orang yang
wajahnya hitam muram adalah pengikut bi’ah dan kesesatan.[3]

SIMPULAN

1. Ahli Sunnah Wal Jama’ah adalah mereka yang menempuh seperti apa yang ditempuh Rosululloh
SAW dan para sahabatnya.

2. Munculnya aliran-aliran yang menyimpang dari ajaran islam menjadi latar belakang lahirnya Ahli
Sunnah Wal Jama’ah.

Anda mungkin juga menyukai