Anda di halaman 1dari 9

MATERI MASA PENERIMAAN ANGGOTA BARU

PMII RAYON TARBIYAH DAN KEGURUAN


KOMISARIAT UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

Ahlusunnah Wal Jama’ah (Aswaja)

‫ ان بنى اسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترقت امتي على ثالث‬.‫ م‬.‫ قال رسول هللا ص‬: ‫عن عبدهللا ابن عمرو قال‬
)‫ (امام ترمذي‬.‫وسبعين ملة كلهم فى النار اال ملة واحدة قالوا ومن هي يا رسول هللا ؟ قال ما انا عليه واصحابه‬
Dari Abdullah bin Amr, ia berkata. Rasulllah SWT bersabda, “Sesungguhnya kaum Bani Israil
terpecah menjadi tujuh puluh du golongan dan umatku terpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan. Semuanaya akan masuk neraka, kecuali satu golongan”. Lalu sahabat bertanya,
“Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Nabi SWT menjawab, “Golongan itu adalah orrang-
orang yang berpegangan pada semua perbuatan yang telah aku lakukan, serta perbuatan yang
dikerjakan oleh sahabat-sahabatku.” (HR. Imam Al Tirmidzi).
A. PENGERTIAN ASWAJA
Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam segi bahasa tersusun dari tiga kata yaitu:
1. Ahlu : Golongan, Pengikut, dan Keluarga
2. Al Sunnah : Jalan atau Cara
3. Al Jama’ah : Berasal dari kata Jama’a yang berarti mengumpulkan sesuatu, dan juga
berasal dari kata Ijtima’ yaitu perkumpulan.
Sedangkan menurut isti’lah Al Sunnah adalah segala sesuatu yang telah diajarkan oleh
Rasulullah SWT baik berupa perbuatan, ucapan, dan pengakuan nabi SWT. Ahlussunnah
berarti ahli sunnah atau pengikut ajaran sunnah Nabi Muhammad. Sedangkan Al jama’ah
adalah segala sesuatau yang telah menjadi kesepakatan para sahabat rasulullah pada masa Al
Khulafa’ ar Rasyidin yang empat dan yang telah diberi hidayah oleh allah.
Jadi, pengertian dari Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah golongan yang mengikuti ajaran
Rasulullah SWT dan para sahabatnya dalam masalah aqidah keagamaan, amal-amal lahiriah
serta akhlak.
B. SEJARAH MUNCULNYA ASWAJA
Aswaja dibagi menjadi 3 fase besar. Pertama, fase teologis. Kedua, fase sosial-politik.
Ketiga, fase madzab. klasifikasi fase Aswaja ini di buat untuk memudahkan pemahaman
terhadap roadmap sejarah Aswaja.
1. Aswaja Pada Fase Teologis
Pada Fase Teologi Substantif, Aswaja muncul sejak Nabi Muhammad diangkat
menjadi rasul pada usia 40 tahun 6 bulan dan 8 hari. Ini fase awal di mana umat manusia
diminta untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad yang kemudian dikenal dengan Islam.
Setelah sahabat banyak bermunculan mengikuti Nabi, umat manusia juga diminta untuk
mengikuti ajaran sahabat yang terlebih dahulu diajarkan oleh Nabi.
Pada fase teologi substantif ini, kalimat Aswaja sama sekali tidak muncul, tetapi
secara substantif umat manusia diajak untuk mengikuti ajaran Muhammad dan para
sahabat, sehingga meski tidak secara formal muncul kalimat “ahlussunnah wal jama’ah”,
tetapi umat manusia sudah diminta untuk mengikuti ajaran Nabi dan sahabatnya yang
secara substantif berarti “ahlussunnah wal jama’ah”. Pada fase ini, orang-orang yang
menyatakan masuk Islam secara otomatis adalah pengikut Aswaja.
Selanjutnya adalah fase teologi formal. Fase ini berlangsung saat Nabi
Muhammad menjelang wafat dan memberikan wejangan kepada umatnya bahwa umat
Islam kelak akan terbagi ke dalam 73 golongan. Dan, semuanya akan masuk neraka,
kecuali satu golongan, yakni golongan yang mengikuti Nabi Muhammad dan sahabat.
Hadis ini yang kemudian oleh warga Nahdliyin digunakan sebagai hujjah terkait dengan
madzab Aswaja. Bunyi hadisnya adalah “Ma’ana Alaihi Wa Ashabihi” di mana artinya
harfiahnya adalah “Sebagaimana keadaanku sekarang dan sahabatku.”
Dinamankan fase teologi formal sebab, Nabi sudah mengumumkan Aswaja
sebagai aliran Islam yang akan selamat secara formal-resmi kepada umatnya. Meskipun
demikian, kata “ahlussunnah wal jama’ah” sama sekali tidak disinggung dalam peristiwa
ini, sehingga hanya sebagai basis ajaran atau teologi saja.
2. Aswaja Pada Fase Sosial-Politik
Selanjutnya, kita coba bahas sejarah Aswaja pada fase sosial-politik. Peristiwa ini
muncul pada masa sesudah Nabi Muhammad. Kembali ke sejarah setelah wafatnya Nabi
Muhammad hingga munculnya aliran formal Ahlussunnah wal Jama’ah yang digagas dan
dipopulerkan kembali oleh Al Asy’ari dan Al Maturidi. Setelah Nabi Muhammad Saw
wafat, kepala negara atau pemimpin dari negara Islam yang dibuat oleh Nabi Muhammad
adalah Abu Bakar Ash Shidiq. Abu Bakar dipilih sebagai pemimpin melalui sebuah
musyawarah yang demokratis. Nabi Muhammad sema sekali tidak menunjuk pemimpin
yang akan menggantikannya, sehingga pada akhirnya para sahabat menunjuk Abu Bakar
sebagai pemimpin. Selanjutnya, pasca-Abu Bakar wafat, kepemimpinan digantikan oleh
Umar Bin Khattab yang dikenal dengan beberapa ijtihadnya yang melampaui ajaran
tekstual Nabi.
Pasca-Umar Bin Khattab wafat, kepemimpinannya diganti diganti oleh Ustman
Bin Affan melalui sebuah pemilihan juga. Inilah dasar-dasar demokrasi praktis yang
sudah dijalani pada masa khalifah Islam. Inilah kepiawaian Nabi Muhammad bahwa
menjelang ia wafat sekalipun, Nabi tidak menunjuk pemimpin sehingga melahirkan
sebuah sistem demokrasi praktis yang sehat pada masa awal-awal negera Islam pasca-
Nabi Muhammad wafat.
Sejak Utsman Bin Affan wafat karena dibunuh pemberontak, kemelut muncul
yang akhirnya perang antar-mukmin terjadi, yaitu perang antara kubu Ali dan Muawiyah.
Peperangan secara militer dimenangkan oleh Ali Bin Abi Thalib, tetapi kemenangan
secara diplomatis dimenangkan oleh Muawiyah yang akhirnya membawa Muawiyah
sebagai khalifah. Peristiwa ini lahir istilah populer yang dikenal dengan tahkim, yaitu
kelompok Muawiyah mengibarkan bendera putih dengan Al Quran berada di ujung
tombok sebagai tawaran damai.
Berawal dari sini, muncul kelompok Islam baru yang menolak adanya tahkim
dikenal dengan Khawarij. Kata khawarij diambil dari kata “kharaja” yang berarti keluar.
Dari sini, golongan Islam sudah pecah menjadi tiga, yaitu Syiah (kelompok pendukung
Ali, dari awal, tahkim, hingga akhir hayat Ali), Khawarij (pendukung Ali yang kemudian
keluar pasca-peristiwa tahkim. Khawarij adalah golongan yang tidak membela Ali
maupun Muawiyah karena berpendapat bahwa keduanya tidak menggunakan hukum
Allah atau Al Quran), dan pendukung Muawiyah.
Jadi, tiga golongan Islam pada awalnya (terjadi sekitar tahun 40H) yang muncul
adalah tiga: Syiah-Ali, Khawarij, dan Muawiyah. Saat perundingan tahkim terjadi, Ali
mengutus Abu Musa Al Asy’ari  yang berlatar tokoh agama, sementara Muawiyah
mengutus Amru bin Ash yang berlatar tokoh politik.
Selanjutnya, untuk menguatkan kekuasaan Muawiyah dengan dalil agama,
Muawiyah membuat aliran atau golongan Islam bernama Jabariyah yang mengajarkan
bahwa setiap tindakan manusia adalah kehendak Allah. Sehingga, apa yang kita lakukan
sudah menjadi takdir Allah. Aliran Jabariyah juga didukung sejumlah ulama yang dekat
dengan Muawiyah. Dunia politik juga berlaku pada zaman ini. Boleh jadi, ulama yang
mendukung dan menyebarkan ajaran Jabariyah untuk dekat dengan kekuasaan saja. Ini
hanya spekulasi politik saja. Hal ini bisa dijumpai pada ulama sekarang ini yang
mendukung tokoh politik tertentu dalam Pemilu.
Saat ajaran Jabariyah menyebar, tidak semua ikut aliran ini. Aliran Jabariyah
digunakan untuk melegimitasi atas kekuasaan Muawiyah dari tangan Ali, karena
peperangan dan kemenangan Muawiyah semuanya sudah ditakdirkan oleh Allah. Dari
sini, aliran Islam sudah empat, yaitu Syiah, Khawarij, Muawiyah, dan Jabariyah
(kelanjutan dari Muawiyah). Semua pengikut Muawiyah bisa dikatakan setuju dan ikut
aliran Jabariyah. Salah satu dalil dalam Al Quran yang digunakan Jabariyah adalah
“Wamaa ramaita idzromaita walaaa kinnalllaaha ramaa”
@‫و@م@ا@ ر@م@ي@ت@ إ@ذ@ ر@م@ي@ت@ و@ل@ك@ن@ هللا@ ر@م@ى‬
Artinya: “Tidaklah engkau memanah, pada saat memanah, akan tetapi Allah lah yang
memanah.”
Merebaknya ajaran Jabariyah membuat situasi semakin rumit, banyak orang-
orang yang malas bekerja karena yakin bahwa apa yang ia lakukan adalah kehendak
Allah. Pun, pengemis banyak bermunculan akibat doktrin aliran Jabariyah ini dan
perekonomian mulai goyah. Banyak orang yang sekadar beribadah ritual, tetapi tidak
berusaha dan bekerja karena yakin bahwa rejeki sudah diatur oleh Allah. Aliran ini dalam
istilah modern dikenal dengan “fatalism”. Padahal, aliran Jabariyah secara politis
digunakan Muawiyah untuk melegitimasi caranya mengalahkan Ali melalui tahkim atau
arbitrase, bukan muncul secara “murni” sebagai ajaran untuk kemaslahatan umat.
Respons atas kemelut ini, cucu Ali Bin Abi Thalib yang bernama Muhammad bin
Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib membuat aliran baru yang kemudian dikenal
dengan Qodariyah. Aliran Qodariyah mengajarkan kepada umat Muslim bahwa manusia
memiliki kehendak dan bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Dalam hal ini, Allah
tidak memiliki ikut campur dalam setiap kehendak manusia. Dalil Al Quran yang populer
untuk melegitimasi aliran ini adalah
QS Ar-Ra’d ayat 11 yang Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan
sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Aliran Qodariyah muncul sebagai doktrin untuk melawan dan melakukan kritik
terhadap aliran Jabariyah yang kian meresahkan umat. Pencuri pun akan mengaku bahwa
apa yang dia lakukan adalah kehendak Allah. Dari sini aliran Jabariyah mulai luntur
seiring runtuhnya kekhalifahan Muawiyah (Umayah) yang diganti dengan kekhalifahan
Dinasti Abassiyah. Pada pemerintahan Dinasti Abassiyah ini, doktrin Qodariyah menjadi
aliran paling populer hingga menjadi pondasi dan semangat untuk melakukan
pembangunan negara. Tak ayal, paham Qodariyah paling tidak membantu Dinasti
Abassiyah untuk melakukan reformasi besar-besaran dan menjadi negara maju dalam
berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan.
Seiring populernya aliran Qodariyah, paham ini kemudian mengalami
metamorfosa menjadi aliran Mu’tazilah yang serba menggunakan logika dalam setiap
ijtihadnya. Bahkan, keturunan Abas selanjutnya menjadikan ajaran Mu’tazilah sebagai
aliran resmi negara di mana setiap warga wajib menggunakan doktrin Mu’tazilah sebagai
aliran pemikiran (manhajul fikr) umatnya. Beberapa peristiwa sampai pada pembunuhan
terhadap setiap warganya yang tidak menggunakan aliran mu’tazilah.
3. Aswaja Pada Fase Madzhab
Berawal dari sini, seorang ulama besar pada masanya yang mulanya pengikut
Mu’tazilah dan mengatakan keluar untuk mendirikan madzab atau aliran baru dengan
semangat “maa anna alaihi wa ashabihi.” Ulama tersebut bernama Abu Hasan Al Asy’ari.
Al Asy’ari menyatakan netral, bukan menjadi bagian dari Jabariyah atau Qodariyah atau
Mu’tazilah, tetapi ia ingin membangun kembali semangat ajaran yang dipesan Nabi
Muhammad untuk mengikuti sunnah dan para sahabatnya.
Oleh Al Asy’ari, paham tersebut ia sebut sebagai Ahlussunah wal Jama’ah. Dari
sini, sudah bisa dimengerti bahwa Jabariyah adalah aliran fatalism yang menganut kepada
takdir. Sementara, Qodariyah adalah bertolak belakang dengan Jabariyah, yaitu manusia
punya kehendak dan berlanjut dengan aliran Mu’tazilah di mana manusia punya
kehendak sepenuhnya (free will) dan mengedepankan rasio atau akal sepenuhnya.
Berbeda dengan ajaran Asy’ariyah yang menyatakan bahwa manusia punya kehendak,
tetapi dalam porsi tertentu dibatasi oleh takdir Allah.
Dalam hal ini, ulama besar seperti Abu Mansur Al Maturidi juga mempelopori
aliran bernama Al Maturidiyah yang juga dengan semangat “maa anna alaihi wa
ashabihi”. Dua tokoh ini bisa dikatakan sebagai bapak Ahlussunah wal Jama’ah dalam
bidang tauhid atau teologi. Sementara itu, ulama-ulama besar yang ijtihad fiqihnya
mendasarkan pada Ahlussunah kemudian kita kenal dengan imam empat madzab, yakni
Imam Hanafi, Imam Syafi’I, Imam Hambali, dan Imam Maliki.
C. Nilai- nilai yang terkandung dalam ASWAJA
1. Tawassuth (Moderat)
Tawassuth atau moderat adalah berada di tengah-tengah, sikap moderat di sini
tercermin pada saat proses Istinbath (pengambilan hukum) yaitu memperhatikan posisi
akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi porsi yang pas atau sama antara
rujukan nash (Al Qur’an dan Al Hadits) dan penggunaan akal dalam pengambilan hukum.
2. Tawazun (Seimbang)
Tawazun atau seimbang di sini tercermin dalam proses bersosial atau
bermasyarakat, baik antara idividu dengan individu, individu dengan kelompok atau rakyat
dengan rakyat, dan rakyat dengan pejabat dll. Keseimbangan di sini berarti hubungan tidak
berat sebelah (tidak menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain atau
sebaliknya).
3. Tasamuh (Toleran)
Sikap Tasamuh atau toleran ini berarti saling menghargai adanya perbedaan, tidak
mengaku bahwa dirinya merasa paling benar dan yang lain salah. Hal ini selaras dengan
semboyan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yaitu BHINEKA TUNGGAL
IKA yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Jadi walaupun kepercayaan dan cara
beribadah kita berbeda, kita harus menghargainya.
4. Ta’adul (Adil)
Sikap adil di sini tercermin pada ketiga sifat di atas. Di manapun, kapanpun, apa
pun dan dengan siapa pun kita harus adil dengan catatan sesuai dengan kebutuhan.
D. Ruang lingkup ASWAJA
Faham Ahlussunah Waljama’ah meliputi tiga ruang lingkup yaitu: Lingkup akidah,
lbadah, dan akhlak.
1. Akidah Ahlussunnah Waljamaah.
Adapun dalam bidang akidah, yang memenuhi kriteria Ahlussunnah Wal Jama’ah
adalah golongan yang dikenal dengan nama Asy’ariyah (pengikut Imam Abu Hasan al-
Asy’ari) dan Maturidiyah (pengikut Imam Abu Manshur al-Maturidi). Merekalah
golongan mayoritas ulama dari masa ke masa. Pandangan mereka dalam akidah adalah
sama persis dengan pandangan ulama salaf, hanya saja sesuai tuntutan zaman, mereka
memberikan hujjah dengan argumen-argumen rasional sehingga akidah salaf yang
mereka perkenalkan adalah akidah yang kuat dari sisi naql (periwayatan) dan juga kuat
dari sisi ‘aql (rasio). Tak heran, sejarah membuktikan bahwa hanya akidah Asy’ariyah
dan Maturidiyah yang tahan uji menghadapi berbagai tantangan dari kelompok lain.
Kedua, Imam tersebut sama-sama mempergunakan akal sebatas untuk memahami
naql, tidak sampai mensejajarkannya apalagi memujanya. Bahkan secara terang-terangan
melalui karya-karyanya, keduanya sama-sama menolak dan menentang logika Mu’tazilah
yang terlalu memuja akal dan nyaris mengabaikan petunjuk naql.
Dengan demikian, maka dalam konteks historis, paham Ahlussunnah Waljamaah
adalah sebuah paham yang dalam lingkup akidah mengikuti  pemikiran kalam al Asy’ari
atau al-Maturidi. Yang institusinya kemudian disebut al-Asy’ariyah atau al-Maturidiyah.
Dan sebagai institusi besar, keduanya tidak luput dari tokoh-tokoh pengikut yang selain
menyebarkan, juga mengembangkan pemikiran kalam yang dicetuskan oleh pendirinya.
2. Fikih Ahlussunnah Waljamaah
Dalam konteks historis, institusi fiqh yang sejalan dengan konteks substansial
paham Ahlussunnah Waljamaah ialah empat mazhab besar dalam fikih Islam, mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Bahwa mazhab Hanafi dianut pula oleh mu’asis
(pendiri) kalam al-Maturidiyah, yakni Abu Mansur al-Maturidi. Sedangkan mazhab
Syafi’i dianut pula oleh muassis kalam al-Asy’ariyah, yakni Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Tak bisa dipungkiri, bahwasanya di antara keempat fiqh tersebut satu sama lain
banyak ditemui perbedaan di sana sini. Akan tetapi, perbedaan-perbedaan itu masih
berada dalam koridor ikhtilaf-rahmat (perbedaan yang membawa rahmat). Abu Hanifah
yang dikenal sebagai ahl al-ra’yi (banyak menggunakan akal/logika), tidak mengklaim
pendapatnya sebagai terbenar. Dan ketiga Imam yang lain pun tidak pernah menyalahkan
pendapat mazhab yang lain.
Imam Mazhab tersebut sama-sama commited terhadap petunjuk Al-Quran dan as-
Sunnah. sama-sama berpola-pikir Taqdim al-Nas ‘ala al-’aql (mendahulukan petunjuk
nas daripada logika). Dalam berijtihad, mereka tidak mengedepankan akal kecuali sebatas
untuk beristinbat (menggali hukum dan Al-Quran dan al-Hadits), tidak sampai
mensejajarkan apa lagi mengabaikan nas. Dan inilah substansi paham Ahlussunnah
Waljamaah.
Dengan demikian, diketahui bahwa dalam masalah fiqh, ahlussunnah wal
jama’ah adalah pengikut mazhab yang empat. Ahlussunnah wal jama’ah mengharuskan
pengikutnya di masa ini untuk bermazhab karena bermazhab merupakan satu-satunya
cara yang menjamin keterkaitan dan kesinambungan kita dengan generasi salaf
3. Akhlak Ahlussunnah Waljamaah
Adapun lingkup yang ketiga ini, paham Ahlussunnah Waljamaah mengikuti
wacana akhlak (tasawuf) yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti al-Ghazal dan al-
Junaid, Pemikiran akhlak mereka ini memang tidak melembaga menjadi sebuah mazhab
tersendiri sebagaimana dalam lingkup akidah (kalam) dan fikih. Namun wacana mereka
itu sejalan dengan substansi paham Ahlussunnah Waljamaah serta banyak diterima dan
diakui oleh mayoritas umat Islam.
Diskursus Islam kedalam lingkup akidah, ibadah, dan akhlak ini bukan berarti
pemisahan yang benar-benar terpisah. Ketiga-tiganya tetap Integral dan harus diamalkan
secara bersamaan oleh setiap muslim, termasuk kaum Sunni” (kaum yang berpaham
Ahlussunnah Waljamaah). Maka seorang muslim dan seorang sunni yang baik, harus
baik dalam berakidah juga sekaligus dalam berakhlak. Seseorang baru baik akidah dan
ibadahnya saja Ia belum bisa dikatakan baik, jika akhlaknya belum baik.
Oleh karena itu, maka lingkup akhlak tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia justru
teramat penting dan menjadi cerminan ihsan dalam diri seorang muslim. Jika iman
menggambarkan akidah, dan Islam menggambarkan ibadah; maka akhlak akan
menggambarkan ihsan yang sekaligus mencerminkan kesempurnaan iman dan Islam
pada diri seseorang. Iman ibarat akar, dan “Islam” ibarat pohonnya; maka “Ihsan” ibarat
buahnya.
Mustahil sebatang pohon akan tumbuh subur tanpa akar dan pohon yang tumbuh
subur serta berakar kuatpun akan menjadi tak bermakna tanpa memberikan buah secara
sempurna. Mustahil seorang muslim beribadah dengan baik tanpa didasari akidah kuat,
dan akidah yang kuat serta ibadah yang baik akan menjadi tak bermakna tanpa terhiasi
oleh akhlak mulia.
Idealnya, ialah berakidah kuat, beribadah dengan baik dan benar, serta berakhlak
mulia. Beriman kuat, berislam dengan baik dan benar, serta berihsan sejati. Maka yang
demikian inilah wujud insan kamil (the perfect man) yang dikehendaki oleh paham
Ahlussunnah waljamaah.

Anda mungkin juga menyukai