Anda di halaman 1dari 13

A.

Teori Penawaran
a. Pengertian Teori Penawaran
Penawaran adalah jumlah barang yang ditawarkan (dijual) pada berbagai
tingkat harga selama periode tertentu.1 Menurut Winardi (1991), penawaran
adalah jumlah produk tertentu yang para penjual bersedia untuk menjualnya pada
pasar tertentu pada saat tertentu.2 Menurut Lipsey, dkk (1991) makin tinggi harga
suatu produk, makin besar besar jumlah produk yang ditawarkan, dengan catatan
faktor yang lain sama (ceteris paribus).3 Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan penawaran adalah jumlah barang ataupun jasa yang tersedia dan dapat
ditawarkan oleh produsen kepada konsumen pada setiap tingkat harga tertentu dan
selama periode waktu tertentu.
Jumlah barang yang ditawarkan dengan harga barang memiliki hubungan
yang searah. Jika harga barang tinggi, maka akan lebih banyak orang yang melihat
potensi mendapatkan keuntungan dengan menjual barang yang diproduksi atau
dimilikinya, sehingga jumlah penawaran barang tersebut pun tinggi. Sebaliknya
apabila harga turun, maka jumlah penawaran pun akan turun. Lebih sedikit orang
yang dapat memperoleh keuntungan dari harga yang rendah, sedangkan mereka
yang tidak memperoleh keuntungan dari harga yang rendah akan menunda
penjualan, akibatnya jumlah penawaran di pasar pun berkurang.4
Hukum Penawaran adalah suatu pernyataan yang menjelaskan tentang sifat
antara harga suatu barang dan jumlah barang tersebut yang ditawarkan para
penjual. Dalam hukum ini dinyatakan bagaimana keinginan para penjual untuk
menawarkan barangnya apabila harganya tinggi dan bagaimana pula keinginan
untuk menawarkan barangnya tersebut apabila harganya rendah. Hukum
penawaran pada dasarnya mengatakan bahwa: makin tinggi harga suatu barang,
semakin banyak jumlah barang tersebut yang akan ditawarkan oleh para penjual.
Sebaliknya, makin rendah harga sesuatu barang maka semakin sedikit jumlah
barang tersebut yang ditawarkan.5
b. Faktor yang Mempengaruhi Penawaran

1
Masyhuri Machfudz, Dekonstruksi Model Ekonomi Islam yang Terukur (Malang: UIN-Maliki Press, 2015)
hal. 25
2
Yogi, Ekonomi Manajerial (Jakarta: Kencana, 2006) hal. 7
3
Ibid, hal.7
4
Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2006) hal. 90
5
Sadano Sukirno, Pengantar Teori Mikroekonomi Edisi Ketiga (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014)
hal. 85
Penawaran terhadap suatu barang tidak hanya dipengaruhi oleh harga
barang tersebut. Banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi penawaran suatu
barang selain harga barang tersebut. Perubahan pada faktor-faktor selain harga,
akan menyebabkan kurva penawaran bergeser. Adapun arah pergeseran apakah ke
atas atau ke bawahh tentu bergantung kepada efek perubahan masing-masing
variabel terhadap jumlah penawaran pada tingkat harga yang tetap. Adapun
faktor-faktor lain yang menentukan penawaran suatu barang adalah:
1. Harga barang itu sendiri; pada barang normal, faktor harga dipakai sebagai
pijakan dalam menentukan hukum penawaran. Semakin tinggi harga barang,
maka semakin banyak jumlah barang yang ditawarkan, begitu sebaliknya
dengan asumsi ceteris paribus.
2. Harga barang lain, bisa barang substitusi atau komplementer. Harga barang
lain ini berperan sebagai ‘harga produk alternatif’. Adanya perubahan harga
alternatif akan menyebabkan terjadinya jumlah produksi yang semakin
meningkat atau sebaliknya justru menurun. Barang substitusi adalah
berkorelasi negatif misalnya jagung dan beras. Jika harga beras naik, maka
penawaran jagung akan naik dan penawaran beras akan turun karena produsen
mempunyai prediksi bahwa permintaan terhadap beras akan turun. Sebaliknya
pada barang komplementer adalah berkorelasi positif.6
3. Teknologi produksi, kemajuan teknologi menyebabkan dua hal: (i) dapat
menekan biaya produksi, dan (ii) menaikkan jumlah produk yang dihasilkan
dengan pemakaian input yang sama jika dibandingkan antara teknologi baru
dengan teknologi yang lama. Perubahan-perubahan ini akan menyebabkan
perubahan pada penerawangan barang.
4. Jumlah produsen atau pedagang, faktor ini mempunyai korelasi positif –
artinya semakin banyak produsen akan semakin banyak jumlah barang yang
ditawarkan, ceteris paribus. Demikian juga jumlah pedagang.
5. Harga input, besar kecilnya harga input akan berpengaruh pada jumlah barang
yang akan dihasilkan oleh produsen. Besar kecilnya harga input akan
berpengaruh secara langsung pada permintaan input (demand for inputs).
Daya beli produsen pada input akan menyebabkan pengaruh pada besar
kecilnya produksi yang dihasilkan.

6
Masyhuri Machfudz, Dekonstruksi Model Ekonomi Islam yang Terukur (Malang: UIN-Maliki Press, 2015)
hal. 27
6. Harapan (expectation) produsen terhadap harga di masa yang akan datang.
Faktor ini adalah indikasi sering kali produsen itu meramalkan harga produk
pada masa yang akan datang, seperti datangnya hari-hari besar yang
menyebabkan permintaan atas barang meningkat seperti Hari Raya, Natal,
Tahun Baru dan sebagainya. Peningkatan permintaan ini akan mendorong
adanya peningkatan penawaran barang oleh produsen.
7. Kondisi alam, seperti terjadi bencana banjir, gempa bumi, dan sebagainya
bisa mengakibatkan penawaran barang-barang tertentu berkurang, khususnya
barang-barang hasil pertanian.7
8. Faktor lain, seperti kebijakan pemerintah, keadaan politik, dan sebaginya ada
kecenderungan mempunyai korelasi yang positif.
c. Teori Penawaran Islami
Membahas teori penawaran Islami, kita harus kembali kepada sejarah
penciptaan manusia. Manusia diciptakan di Bumi sebagai Khalifah dan Allah
SWT sudah menciptakan alam semesta untuk dimanfaatkan oleh manusia. Dalam
memanfaatkan alam yang telah disediakan Allah bagi keperluan manusia,
larangan yang harus dipatuhi adalah: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di
muka bumi’. Larangan ini tersebar di banyak tempat di Al-Qur’an dan betapa
Allah sangat membenci mereka yang berbuat kerusakan di muka bumi.
Aturan etika dan moral yang membatasi kegiatan produksi tersebut tentu
saja berpengaruh terhadap fungsi penawaran barang dan jasa. Sebagai contoh,
apabila suatu proses produksi menghasilkan polusi, maka biaya lingkungan dan
sosial tersebut harus dihitung dalam ongkos produksi sehingga ongkos meningkat
dan penawaran akan berkurang. Dampaknya, kurva penawaran akan bergeser ke
kiri. Di negara Barat, hal tersebut telah dilakukan dengan mengenakan pajak
polusi atau dikenal dengan istilah Pigouvian Tax yang tujuannya agar perusahaan
memperhitungkan biaya eksternal yang timbul akibat kegiatan produksinya
sehingga memengaruhi keputusan produksi dan penjualannya.8
Ilmuwan Islam Ibnu Khaldun berpendapat mengenai beberapa faktor yang
mempengaruhi penawaran yaitu banyaknya permintaan, tingkat keuntungan relatif
(tingkat harga), tingkat usaha manusia (produktivitas), besarnya tenaga buruh
termasuk ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, keamanan dan

7
Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2006) hal. 93
8
Ibid, hal. 95
ketenangan, serta kemampuan teknik dan perkembangan masyarakat secara
keseluruhan.
Rasulullah SAW mempunyai beberapa point penting yang perlu
diperhatikan sebagai aturan yang perlu dipegang dalam melaksanakan penawaran
yaitu tidak boleh mempraktekkan kebohongan dan penipuan, penjual harus
menjauhkan diri dari sumpah yang berlebihan dalam menjual suatu barang, dalam
mengiklankan produk atau jasa tidak dibenarkan untuk melakukan pembodohan
dengan cara berdusta, hanya dengan sebuah kesepakatan bersama atau dengan
suatu usulan dan penerimaan suatu penjualan akan sempurna dan Rasulullah
sangat menghargai hak-hak individu dalam berdagang, penjual harus tegas
terhadap timbangan dan takaran, orang yang membayar dimuka suatu barang tidak
boleh menjualnya sebelum barang tersebut menjadi miliknya, Rasulullahh dengan
tegas melarang adanya monopoli perdagangan, dan tidak boleh ada harga
komoditas yang melampaui batas.
B. Maksimalisasi Laba
a. Pengertian Laba
Dalam bahasa arab, laba berarti pertumbuhan dalam dagang. Jual beli
adalah ribh dan perdagangan adalah rabihah yaitu laba atau hasil dagang.9
Seseorang yang berdagang akan mendapatkan laba dari hasil perdagangannya
tersebut. Jadi laba yang dimaksud disini ialah suatu pertambahan pada nilai yang
terdapat antara harga beli dan harga jual. Keuntungan (laba) merupakan tujuan
utama suatu pengusaha dalam menjalankan usahanya. Proses produksi
dilaksanakan seefisien mungkin dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungan.
Menurut ulama Malikiyah, nama’ (pertumbuhan) terbagi menjadi tiga
macam, yaitu Ar-Ribh at-Tijari (Laba Usaha), Al-Ghallah, Al-Faidah.10 Ribh tijari
dapat diartikan sebagai pertambahan pada harta yang telah dikhususkan untuk
perdagangan sebagai hasil dari proses barter dan perjalanan bisnis. Al-Ghallah
yaitu pertambahan yang terdapat pada barang dagangan sebelum penjualan.
Seperti wool atau susu dari hewan yang akan dijual, atau buah kurma yang dibeli
untuk berdagang. Pertambahan ini tidak bersumber pada sumber pada proses
dagang dan tidak pula pada usaha manusia. Al-Faidah yaitu pertambahan pada
barang milik yang ditandai dengan perbedaan antara harga waktu pembelian dan

9
Syofian Syafri Harapan, Akutansi Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004) hal. 144
10
Husain Syahatah, Pokok Pikiran Akuntansi Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2001) hal. 156-157
harga penjualan, yaitu sesuatu yang baru dan berkembang dari barang-barang
kepemilikan, contohnya susu dari sapi atau kambing yang telah diolah.
b. Maksimalisasi Laba dalam Pandangan Sekuler
Dalam pandangan ekonomi sekuler, maksimalisasi laba sebagai suatu
kondisi rasional yang tidak berhubungan dengan kesejahteraan individu-individu
itu sendiri. Ajaran Smith yang cukup terkenal bahwa “pengejaran kepentingan diri
secara otomatis dapat meningkatkan kebaikan kolektif dalam sistem berusaha
yang bebas,” yang dipercayai sebagai pelengkap anggapan mengenai
respektabilitas sosial yang lebih baik. Dalam model ini, para usahawan selalu
bersaing untuk memperoleh laba pribadi dalam suatu industri yang terbuka.
Persaingan sempurna dalam pengertian bahwa para pembeli secara individual
tidak memiliki kekuatan untuk menetapkan harga di pasar. Dalam teori ekonomi
kapitalisme/sekuler dalam hal ini biasanya menggunakan pendekatan impersonal
dalam kegiatan distribusinya.11
Model ini mengklaim, memiliki dua aspek yang berkaitan dengan
kesejahteraan sosial, yaitu : Pertama, mengijinkan para usahawan mengambil
tingkat laba dari modalnya yang tidak lebih dari cukup kepada mereka suatu
pendapatan absolut. Ini berarti, penetapan harga kompetitif memberikan kepada
pengusaha suatu tingkat laba normal, yang demikian ini, dianggap sebagai suatu
imbalan yang sah atas aktivitas produktif karyawan dan harus diperlakukan
sebagai biaya elemen biaya produksi. Maksimum adalah persyaratan minimun
yang diperlukan untuk bertahan hidup. Kedua, dorongan untuk pengayaan diri
yang diarahkan oleh persaingan juga memaksimalkan produk sosial sebagai
pemanfaatan perusahaan yang optimal dalam setiap kasus.
Model tersebut dikritik karena sangat tidak realistik. Memang benar,
namun hanya memiliki kepentingan sekunder. Signifikansi riilnya adalah
menunjukkan bahwa model tersebut menghancurkan dirinya sendiri, sekalipun
situasi awalnya sama seperti yang digambarkan, dan bahwa laba normal tidak
perlu tetap merusak dalam proses terebut. Argumen model ini mengabaikan suatu
sifat dasar penting laba tersebut. Yaitu bahwa harga pasar produk perusahaan pasti
memiliki margin walaupun kecil, atas biaya-biaya (diluar laba), pelipatan laba
yang lebih dari produk yang dijual. Proses penggandaan laba inilah yang harus
tergantung pada kondisi persaingan sempurna dengan usahannya sendiri.
11
Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam (Yogyakarta: BPFE , 2004) hal. 271
Penggandaan penjualan menjadikan kompetisi tidak sempurna, namun itu
menunjukkan secara jelas mengenai tingginya bisnis modern. Kepentingan riilnya
adalah bahwa laba sebagai suatu surplus atas biaya (dan pajak). Konsep tersebut
sangat menggoda pengusaha untuk menarik sejauh mungkin harga-harga
penjualan dan pembelian dengan maksud untuk memperkaya diri. Kita harus
menetapkan bahwa return bagi pengusaha yang paling baik adalah menjadi sewa
atau upah, bukan profit. Sekali lagi, perusahaan akan memperoleh kekuatan harga.
Maksimalisasi laba sebagai sasaran bisnis memiliki suatu karakter global. Namun
tujuan ini biasanya banyak menimbulkan konflik. Konflik dapat diminimumkan
jika konsep laba tersebut dilakukan dengan cara berbagi hasil (sharing).
c. Maksimalisasi Laba dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, tujuan utama seorang produsen bukan memaksimalkan laba,
tetapi bagaimana agar produksi yang dilakukan bisa mendatangkan maslahah
(manfaat) bagi diri sendiri dan orang lain. Karena itu laba yang diperoleh
produsen diarahkan untuk memenuhi kedua hal tersebut.12 Maksimalisasi laba
hanya dapat dirumuskan secara teori dan pada saat praktiknya mengalami
pembiasan dalam prinsip maupun norma-norma Islam. 13 Siddiqi mengatakan
bahwa maksimalisasi laba melibatkan:
1. Produsen tidak akan memaksimalkan lahannya jika dan ketika mereka
menurunkan pendapatan mereka untuk memenuhi kebutuhan sosial, dengan
memuaskan orang-orang yang sangat membutuhkan.
2. Produsen tidak akan meningkatkan labanya ketika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan pada pelanggan mereka maupun pesaing mereka.
3. Produsen sudah sangat puas dengan keuntungan yang didapat.

Terkait dengan hal ini, Siddiqi mengembangkan konsep laba berimbang.


Laba berimbang adalah tingkat laba yang berada di antara batas laba tertinggi,
yaitu tingkat laba yang dibenarkan yang tidak melanggar prinsip dan hukum
Islam dan laba terendah yaitu tingkat laba yang memungkinkan seorang produsen
untuk menjalankan perusahaannya. Ringakasan laba berimbang adalah yang bisa

12
Fahmi Medias, Ekonomi Mikro Islam (Magelang: UNIMMA Press, 2018) hal. 77
13
Veithzal Rivai dan Rifki Ismail, Islamic Economics and Finance (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2012) hal. 30
memberikan satisfication bagi produsen dari sisi perolehan laba serta sisi
memertahankan dan mengembangkan perusahaan dalam bingkai syari’ah.14

Dengan paradigma seperti di atas, produsen dalam ekonomi Islam akan


berusaha untuk:

1. Memenuhi keperluan pribadi, keluarga dan perusahaan


2. Memberikan bantuan langsung kepada masyarakat melalui zakat dan sedekah
3. Membantu masyarakat melalui sumbangan tidak langsung, yaitu dalam
bentuk memproduksi barang-barang keperluan dasar dalam jumlah banyak,
dan memproduksi barang-barang kebutuhan sekunder dengan harga yang
murah sehingga orang-orang miskin dapat memperbesar kuantitas pembelian
untuk barang-barang tersebut
4. Mengkaji ulang input-input yang dipergunakan untuk mengasilkan barang-
barang mewah dan menggunakannya untuk mendistribusikan barang-barang
yang berguna bagi kepentingan masyarakat
5. Menyediakan barang dengan harga yang relatifmurah namun berkualitas baik.

Kahf (1973) menolak teori tentang memaksimalkan laba karena tidak


sesuai dengan prinsip dan norma Islam apabila dikaitkan dengan garis waktu dan
konotasi dari sukses itu sendiri. Dalam kasus apa pun, jika kita menerima dan
mengabaikan hal tersebut, tingkah laku perusahaan akan mudah diprediksi dan
akan seragam. Konsep kelangkaan yang terdapat pada teori yang ada disebabkan
semua prosesnya sama dan seragam.

Produsen Islam mempunyai kewajiban sosial untuk memaksimalisasi


output, bukan memaksimalisasi laba, tentu saja dengan mempertimbangkan
penggunaan input dan output yang dihasilkan. Produsen Islam yang bijaksana
akan lebih berupaya untuk meningkatkan kebaikan dan kemudahan dari pada
memberikan kesulitan kepada orang lain melalui pengambilan laba berlebihan.
Memproduksi dalam jumlah banyak, terutama barang-barang keperluan dasar
adalah sesuatu yang perlu diapresiasi, karena kuantitas yang banyak akan
memudahkan masyarakat untuk mendapatkan barang-barang kebutuhannya,
terlebih jika harganya tidak tinggi.

14
Fahmi Medias, Ekonomi Mikro Islam (Magelang: UNIMMA Press, 2018) hal. 78
Walaupun produsen dalam ekonomi islam dituntut untuk memperbesar
output, tetapi di sisi yang lain islam melarang pemborosan baik dalam
penggunaan maupun pengeluaran input. Dalam pengeluaran, pemborosan bisa
dikaitkan dengan penggunaan input, terlebih jika input diperoleh dengan Cuma-
Cuma. Jika air merupakan input produksi, maka penggunaannya, sekalipun
diperoleh tanpa biaya seperti air hujan dan air sungai, pembrosan tetap dilarang,
terlebih jika ait tersebut dibeli, maka penghematan secara tidak langsung akan
menghemat biaya produksi.

Di dalam Islam, penentuan posisi laba, perilaku rasional dalam


maksimisasi laba pada dasarnya dikondisikan oleh tiga faktor, yaitu pandangan
Islam tentang bisnis, perlindungan kepada konsumen, dan bagi hasil di antara
faktor yang mendukung. Semua faktor itu akan mempengaruhi tingkat kurve
penerimaan dan biaya untuk menentukan ‘profit space’ sedemikian rupa sehingga
usaha maksimisasi tidak melanggar norma-norma perilaku Islam. Bahkan, hal ini
cenderung mendorong pertumbuhan yang adil dan berusaha mengharmoniskan
kepentingan-kepentingan individu dan sosial.

Di dalam keadaan kompetisi monopolistic, maksimasi laba mungkin


mengarahkan pada sistem Islami, yang bertujuan untuk memberikan harga
komoditas paling rendah, volume hasil yang lebih besar, dan keuntungan netto
yang lebih besar, dibandingkan dengan model perusahaan sekuler. Ukuran-ukuran
laba yang diterapkan dalam ekonomi konvensional tidak seharusnya disamakan
dengan ukuran yang dipergunakan dalam ekonomi islam. sebagai intitusi sosial
adalah wajar jika perusahaan islam mempertimbangkan ukuran-ukuran dalam
ekonomi konvensional, dimana perusahaan dianggap berhasil jika bisa
berproduksi dengan biaya minimum, namun perusahaan islam akan dianggap
sukses jika berhasil mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan khususnya
yang berkaitan dnegan kepentingan masyarakat luas.15

C. Efisiensi Alokasi dan Distribusi Pendapatan


Pembahasan mengenai pengertian distribusi pendapatan, tidak akan lepas dari
pembahasan mengenai konsep moral ekonomi yang dianut. Konsep moral ekonomi
tersebut, yang berkaitan dengan kebendaan (materil), kepemilikan dan kekayaan

15
ibid
(property and wealth concept) harus dipahami untuk tujuan menjaga persamaan
ataupun mengikis kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Untuk itu, hal pertama
yang perlu dibahas adalah konsep-konsep moral yang melatarbelakangi pembahasan
aspek-aspek ekonomi dari penentuan sumber maupun distribusi pendapatan. Konsep
moral tersebut diterjemahkan menjadi faktor endogen dalam sistem distribusi
pendapatan perspektif Islam.
a. Konsep Moral Islam dalam Sistem Distribusi Pendapatan
Distribusi merupakan suatu usaha penyaluran barang dan jasa dari
konsumen kepada produsen sehingga penggunaannya sesuai dengan yang
dibutuhkan. Dengan kata lain distribusi merupakan kegiatan ekonomi yang
menjembatani antara produsen dengan konsumen. Berkat distribusi barang dan
jasa dapat sampai ke tangan konsumen. Distribusi dalam Islam pada hakikatnya
mempertemukan kepentingan konsumen dan produsen dengan tujuan
kemaslahatan umat. Distribusi dalam pandangan Islam didasarkan pada dua nilai
manusiawi yang sangat mendasar dan penting, yaitu nilai kebebasan dan nilai
keadilan. Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa Allah sebagai pemilik
mutlak kekayaan telah memberi amanat kepada manusia untuk mengatur dan
mengolah kekayaan disertai kewenangan untuk memiliki kekayaan tersebut.16
Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan distribusi dalam ekonomi kapitalis
terfokus pada pasca produksi, yaitu pada konsekuensi proses produksi bagi setiap
proyek dalam bentuk uang ataupun nilai, lalu hasil tersebut didistribusikan pada
komponen-komponen produksi yang berandil dalam memproduksinya.17 Berikut
ini beberapa konsep Islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an yang berkaitan
dengan distribusi pendapatan:
1. Kedudukan manusia yang berbeda antara satu dengan yang lain merupakan
kehendak Allah.18 Di dalam Al-Qur’an telah di jelaskan dalam surat al-An’am
(6) ayat 165 “dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan
yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orangorang yang
berdosa.” Apabila dalam suatu masyarakat terdapat kejadian yang demikian,
orang yang mampu merendahkan orang yang kurang mampu, maka akan
mengakibatkan orang yang tidak mampu tersebut menjadi rendah diri. Dan

16
Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam (Yogyakarta: BPFE , 2004) hal. 317
17
Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2000) hal. 201
18
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Yogyakarta: Ekonisia, 2007) hal. 232
akan terjadi sifat yang tidak syukur nikmat. Sehingga dalam hal ini diperlukan
adanya distribusi.
2. Pemerintah dan masyarakat mempunyai peran penting untuk
mendistribusikan kekayaan kepada masyarakat. Hal tersebut juga telah
dijelaskan dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 19.
3. Islam menganjurkan untuk membagikan harta lewat zakat, sedekah, infaq dan
lainnya guna menjaga keharmonisan dalam kehidupan sosial.19 Hal tersebut
dijelaskan dalam QS. Al-Hasyr ayat 7. Allah menganjurkan bagi orang-orang
yang mampu atau orang kaya untuk memberikan sebagian hartanya kepada
orang kurang mampu melalui zakat, infaq dan shadaqah agar terjadi
keseimbangan antara keduanya sehingga harta tidak beredar di kalangan
orang kaya saja.
b. Evisiensi dan Alokasi
Efisiensi alokasi sering disebut Pareto Efficient. Pareto adalah Ekonom
Itali yang menulis konsep ini. Suatu alokasi dikatakan Pareto Efficient apabila
barang-barang yang tidak dapat dialokasikan ulang untuk membuat keadaan
seseorang lebih baik tanpa membuat keadaan orang lain lebih buruk. Imam Ali r.a.
diriwayatkan pernah mengatakan “Janganlah kesejahterahan salah seorang di
antara kamu meningkat namun pada saat yang sama kesejahteraan yang lain
menurun.” Dalam ekonomi konvensional keadaan ini dikenal sebagai Efficient
Allocation of Goods. Yaitu alokasi barang-barang dikatakan efisien apabila tidak
seorang pun dapat meningkatkan utilitynya tanpa mengurangi utility orang lain. 20
Situasi semacam ini dianggap efisien, karena pada situasi lainnya masih terdapat
peluang untuk meningkatkan kegunaan seseorang tanpa mengurangi kegunaan
orang lain.
Misal, Fina dan Rina mempunyai 10 unit makanan dan 6 pakaian.
Awalnya Fina memiliki 7 unit makanan dan 1 unit pakaian sedangkan Rina
memiliki 3 unit makanan dan 5 pakaian. Bagi Rina, ia bersedia memberikan 3 unit
pakaian untuk mendapatkan 1 unit makanan. Sedangkan bagi Fina, ia bersedia
memberikan ½ unit pakaian untuk mendapatkan 1 unit makanan. Karena Fina
lebih menyukai pakaian dari pada Rina, maka keduanya dapat lebih tinggi

19
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Yogyakarta: Ekonisia, 2007) hal. 232
20
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami Edisi Ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010) hal.
212-213
utilitynya dengan melakukan pertukaran. Selama MRS (marginal rate of
subtitusion) dari Fina dan Rina berbeda, maka mereka akan terus melakukan
pertukaran karena keduanya dapat terus meningkatkan utilitynya. Atau bisa
dikatakan, selama MRS nya berbeda maka alokasi belum dikatakan efesien.
Alokasi yang efesien tercapai ketika MRS setiap orang sama.
c. Efisiensi dan Keadilan
Efisiensi adalah perbandingan antara input dan output, di mana input
digunakan setepat dan sebaik mungkin untuk memperoleh output yang terbaik.
Efisiensi alokasi hanya menjelaskan bahwa bila semua sumber daya yang ada
habis teralokasi, maka alokasi yang efisien tercapai. Tetapi tidak mengatakan
apapun perihal apakah alokasi tersebut adil.21 Dalam konsep islam, adil adalah
“tidak menzalimi dan tidak dizalimi”. Bisa jadi “sama rasa sama rata” tidak adil
dalam pandangan Islam karena tidak memberikan insentif bagi orang yang bekerja
keras. Bisa jadi “you get what you deserve” tidak adil dalam pandangan Islam
karena orang yang endowmentnya tinggi mempunyai posisi tawar yang lebih kuat
daripada yang endowmentnya kecil sehingga yang kuat dapat menzalimi yang
lemah.
Lebih dari sekedar efesinsi dan keadilan, konsep ekonomi Islam juga
mendorong pada upaya membesarkan endowment (meningkatkan production
possibility frontier) atau dalam konteks ini membesarkan Edgeworth Box. Oleh
karena itu, konsep Islam adalah mendorong terjadinya positive sum game.
Misalnya utility Fina naik 5, utility Rina naik 5, kenaikan total utility 10. Jadi
bukan hanya mempersoalkan bagaiaman “kue” akan akan dibagi secara adil
namun bagaimana “kue” yang akan dibagi bertambah besar.
d. Dampak Distribusi Pendapatan Dalam Islam
Menurut Sudarsono dalam buku Konsep Ekonomi Islam, distribusi
pendapatan merupakan bagian yang penting dalam membentuk kesejahteran.22
Dampak dari distribusi pendapatan bukan saja pada aspek ekonomi tetapi juga
aspek sosial dan politik. Dampak yang ditimbulkan dari distribusi pendapatan
yang didasarkan atas konsep Islam adalah sebagai berikut:

21
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami Edisi Ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010) hal.
221
22
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam (Yogyakarta: Ekonisia, 2007) hal. 249
1. Dalam konsep Islam perilaku distribusi pendapatan masyarakat merupakan
bagian dan bentuk proses kesadaran masyarakat dalam mendekatkan diri
kepada Allah.
2. Seorang muslim akan menghindari praktek distribusi yang menggunakan
barang-barang yang merusak masyarakat.
3. Negara bertanggung jawab terhadap mekanisme distribusi dengan
mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan kelompok, atau
golongan apalagi perorangan.
4. Negara memiliki tanggung jawab untuk menyediakan fasilitas publik, yang
berhubungan dengan masalah optimalisasi distribusi pendapatan, seperti:
sekolah, rumah sakit, lapangan kerja, perumahan, jalan, jembatan dan
sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

Harapan, S. S. (2004). Akutansi Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Karim, A. A. (2010). Ekonomi Mikro Islami Edisi Ketiga. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Machfudz, M. (2015). Dekonstruksi Model Ekonomi Islam yang Terukur. Malang: UIN-Maliki Press.

Medias, F. (2018). Ekonomi Mikro Islam. Magelang: UNIMMA Press.

Muhammad. (2004). Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE.

Nasution, E. M., Huda, B. S., Mufraeni, M. A., & Utama, S. B. (2006). Pengenalan Eksklusif: Ekonomi
Islam. Jakarta: Kencana.

Qardhawi, Y. (2000). Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Rivai, V., & Ismail, R. (2012). Islamic Economics and Finance. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Sudarsono, H. (2007). Konsep Ekonomi Islam. Yogyakarta: Ekonisia.

Sukirno, S. (2014). Pengantar Teori Mikroekonomi Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Syahatah, H. (2001). Pokok Pikiran Akuntansi Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.

Yogi. (2006). Ekonomi Manajerial. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai