Anda di halaman 1dari 6

A.

Pengertian Gugatan
Pengertian gugatan adalah suatu tuntutan seseorang atau beberapa orang
selaku penggugat yang berkaitan dengan permasalahan perdata yang mengandung
sengketa antara dua pihak atau lebih yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
di mana salah satu pihak sebagai Penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai
Tergugat.1 Menurut Sudikno Mertokusumo, tuntutan hak adalah tindakan yang
bertujuan memperoleh perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mecegah
main hakim sendiri (eigenrichting).
Perkara gugatan yang diajukan oleh penggugat atau kuasa hukumnya ke
pengadilan yang didalamnya terdapat konflik atau sengketa, untuk meminta hakim
mengadili dan memutus siapa yang benar dari pihak-pihak yang bersengketa atau
berkonflik. Perkara gugatan disini masuk kedalam linkup perkara perdata yang diatur
tersendiri oleh hukum acara perdata. Seringkali pengertian gugatan diartikan dengan
permohonan oleh sebagian oarang yang belum memahami secara menyeluruh
mengenai hukum acara perdata. Pada dasarnya memeng gugtan dan permohonan
sama-sama perkara yang diajukan ke pengadilan dalam lingkup perdata tetapi letak
perbedaannya pada gugatan didalamnya terdapat sengketa yang harus diselesaikan
dan diputus oleh pengadilan sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa.2
B. Bentuk gugatan
Bentuk gugatan yang dibenarkan undang-undang dalam praktik, dapat dijelaskan
sebagai berikut.
1. Gugatan Lisan
Bentuk gugatan lisan, diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBG) yang
menegaskan:
Bilamana penggugat buta huruf makasurat gugatannya dapat dimasukkan dengan
lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau
menyuruh mencatatnya.
Pada saat Undang-Undang ini dibuat, ketentuan Pasal 120 ini benar-benar
realistis, mengakomodasi kepentingan anggota masyarakat buta huruf yang sangat
besar jumlahnya pada saat itu. Mereka dapat mengajukan gugatan dengan kisan
kepada Ketua PN, yang oleh undang-undang diwajibkan untuk mencatat dan

1
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015) hal. 19
2
Irene Svinarky, Bagian Penting yang Perlu Diketahui Dalam Hukum Acara Perdata (Batam: CV. Batam
Publisher, 2019) hal. 1
menyuruh catat gugat lisan, dan selanjutnya Ketua PN memformulasikan dalam
bentuk tertulis.
Ada pihak yang berpendapat, ketentuan ini tidak relevan lagi dikarenakan
tingkat kecerdasan masyarakat sudah jauh meningkat dibanding masa lalu.
Apalagi perkembangan jumlah pengacara yang sudah mencapai kota kabupaten,
memperkuat alasan tentang tidak relevannya gugatan secara lisan. Namun
demikian, memerhatikan luasnya Indonesia serta tingkat kecerdasan yang tidak
merata terutama di pelosok pedesaan, dihubungkan dengan mahalnya biaya jasa
pengacara, ketentuan Pasal 120 HIR, dianggap masih perlu dipertahankan dalam
pembaruan hukum acara perdata yang akan datang.
2. Gugatan Tertulis
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142 RGB). Menurut pasal
ini, gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang
ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya. Memerhatikan ketentuan ini, yang
berhak dan berwenang membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah
penggugat sendiri dan kuasa. Kebolehan penggugat membuat, menandatangani,
dan mengajukan sendiri gugatan ke PN, adalah karena HIR maupun RBG, tidak
menganut sistem Verplichte Procureur Stelling, yang mewajibkan penggugat
harus memberi kuasa kepada yang berpredikat pengacara atau advokat untuk
mewakilinya. Pasal 118 ayat (1) HIR, memberi hak dan kewenangan kepada
kuasa atau wakilnya untuk membuat, menendatangani, mengajukan atau
menyampaikan surat gugatan kepada PN.3
A. Jenis-Jenis Gugatan dalam Perkembangan di Indonesia
1. Class Action
Class Action dapat diartikan sebagai gugatan yang diajukan
masyarakat/sekelompok orang yang mempunyai kepentingan sama.4 Class Action
dapat pula diartikan sebagai gugatan perwakilan, dimana ada sekelompok orang
yang mengajukan gugatan namun diwakili oleh satu atau beberapa orang saja.
Orang yang mengajukan gugatan itu disebut Class Representative, sementara orang
yang diwakili disebut Class Members.

3
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hal. 50
4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 2009) hal. 71
Class Action disebut juga gugatan perdata yang diajukan sejumlah orang
tertentu untuk dan atas nama sekelompok orang yang jumlahnya banyak. Gugatan
perwakilan ini dilakukan tanpa ada surat kuasa dari orang-orang yang diwakili,
tetapi semata-mata didasarkan atas kepentingan yang sama. Adapun syarat-syarat
untuk mengajukan gugatan Class Action sebagai berikut:
a. Numerousity (Jumlah Penggugat Banyak); artinya, jumlah orang yang
mengajukan gugatan sedemikian banyaknya/kelas yang diwakili sedemikian
besar jumlahnya, sehingga jika gugatan diajukan secara individu maka akan
sangat tidak efektif dan tidak efisien.
b. Commonality (Kesamaan Hukum); artinya, ada kesamaan fakta antara pihak
yang mewakili dengan pihak yang diwakili.
c. Typicality (Tuntutan Sejenis); artinya, tuntutan orang yang mewakilidengan
orang yang diwakili harus sejenis.
d. Adequacy of Representation (Kelayakan Perwakilan); artinya, Class
Representative yang layak adalah yang dapat menjamin secara jujur, adil, dan
mampu melindungi kepentingan Class Members yang diwakilinya.
Di Indonesia, Class Action diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,
dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Konsumen. Dalam Class
Action biasanya ada pemberitahuan kepada korban, yaitu bahwa Class
Representative telah mengajukan gugatan untuk diri sendiri dan para korban yang
lain, yang diwakilinya.5
Manfaat gugatan Class Action antara lain yaitu prosedurnya lebih sederhana
dan menghemat biaya yang dikeluarkan. Selain itu, juga bermanfaat untuk
mencegah penggugat yang terdiri dari orang banyak dan memiliki kepentingan
yang sama untuk mengajukan gugatan berulangkali. Pihak yang telah menyatakan
diri keluar dari keanggotaan gugatan perwakilan kelompok secara hukum tidak
terikat dengan putusan atas gugatan perwakilan kelompok yang bersangkutan.6
2. Actio Popularis atau Citizen Lawsuit

5
Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2002) hal. 24-28.
6
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 2009) hal. 73-74.
Actio popularis atau citizen lawsuit adalah tuntutan perdata/gugatan atas
nama penduduk atau masyarakat luas untuk membela kepentingan umum melawan
Pemerintah atau Negara. Setiap warga negara atas nama kepentingan umum dapat
menggugat Pemerintah/Negara yang melakukan perbuatan melawan hukum dan
merugikan kepentingan umum. Pihak yang mengajukan gugatan ini tidak harus
orang yang mempunyai kepentingan hukum langsung, tidak harus orang yang
mengalami sendiri kerugian, serta tidak perlu surat kuasa khusus dari anggota
masyarakat yang diwakilinya.
Gugatan yang ditujukan kepada badan hukum publik dialamatkan kepada
pimpinannya, sedangkan apabila gugatan ditujukan kepada badan hukum perdata
maka dialamatkan kepada pengurus dan apabila badan hukum itu telah dibubarkan,
gugatan ditujukan kepada salah seorang pemberesnya.7
3. Legal Standing
Gugatan legal standing ini dapat diartikan secara luas, yaitu hak seseorang
atau kelompok orang atau organisasi untuk tampil sebagai penggugat di pengadilan
guna mengajukan gugatan perdata. Pada dasarnya gugatan legal standing ini
diajukan dengan dasar mewakili kepentingan umum (publik) atau kepentingan
lingkungan. Di Indonesia, gugatan legal standing tersebut diartikan sebagai
gugatan organisasi kelompok untuk mewakili kepentingan umum (pulbik) guna
kepentingan lingkungan. Gugatan legal standing tidak bisa diajukan oleh
sembarang orang. Gugatan legal standing hanya bisa dilakukan oleh LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat) yang memenuhi syarat.
Salah satu peraturan yang mengakomodir adanya kedudukan hukum
organisasi untuk melakukan gugatan legal standing adalah UU No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Disebutkan dalam Pasal
91 ayat (1) bahwa:
a. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan
untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
b. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan
tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil;
c. Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi
persyaratan yaitu (a) Berbentuk badan hukum, (b) Menegaskan di dalam
7
Ibid., hal. 74-76.
anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan (c) Telah melaksanakan kegiatan
nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.
C. Gugatan Rekonvensi
Gugatan rekonvensi diatur dalam Pasal 132 a dan 132 b HIR yang disisipkan
dalam HIR dengan Stb. 1927-300 yang ambil alih dari Pasal 244-247 B.Rv.
Sedangkan dalam R.Bg tentang rekonvensi ini diatur dalam Pasal 157 dan Pasal 158.
Dalam hukum Acara Perdata, gugat rekonvensi ini dikenal dengan “gugat balik”.
Tergugat baru dapat melakukan gugat rekonvensi apabila secara kebetulan berkaitan
dengan hukum kebendaan yang sedang diperiksa dalam sidang pengadilan, gugat
rekonvensi tidak boleh dilaksanakan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum
perorangan atau yang menyangkut dengan status orang. Jadi tidak semua gugatan
Penggugat dibalas dengan gugatan rekonvensi.8
Sebagai contoh, A menggugat B untuk menyerahkan tanah yang telah
dibelinya dari B sesuai dengan transaksi jual beli yang dibuat PPAT. Terhadap
gugatan itu, Pasal 132 a ayat (1) HIR, memberi hak kepada B mengajukan gugatan
rekonvesi terhadap A, agar A melunasi pembayaran yang masih tersisa ditambah ganti
rugi bunga atas perbuatan wanprestasi yang dilakukannya.9
Tujuan gugat rekonvensi adalah untuk mengimbangi gugatan Penggugat, agar
sama-sama dapat diperiksa sekaligus. Disamping itu, tujuan daripada gugat
rekonvensi adalah menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan untuk diperiksa
dalam persidangan sekaligus, mempermudah prosedur pemeriksaan, menghindarkan
putusan yang saling bertentangan satu sama lain, menetralisir tuntutan konvensi,
memudahkan acara pembuktian, dan menghemat biaya.
Gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jwaban pertama
yang diajukan oleh Tergugat, baik tertulis maupun secara lisan. Jika gugat rekonvensi
diajukan secara tertulis, maka dalam jawaban Tergugat terhadap gugatan Penggugat
sekaligus diformulasikan gugatan rekonvensi sebagaimana lazimnya membuat surat
gugat. Jika gugat rekonvensi diajukan secara lisan dalam persidangan, maka
Penggugat rekonvensi menyampaikannya secara rinci peristiwa kejadian dan
peristiwa hukum yang dijadikan dasar tuntutannya. Panitera berkewajiban mencatat

8
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2016)
hal. 56
9
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hal. 468-469
sebaga ihwal gugatan rekonvensi itu dalam berita Acara Sidang secara lengkap dan
juga apa yang menjadi petitum rekonvensinya sehingga jelas permintaanya. Dalam
pengajuan gugatan rekonvensi secara lisan, hakim tidak boleh terjebak dengan
“syarat” yang diajukan oleh Tergugat.
Menurut Pasal 132 a ayat (2) HIR dan Pasal 157 ayat (2) R.Bg. gugatan
rekonvensi tidakdapat diajukan dalam tingkat banding dan pada tingkat kasasi.
Rekonvensi hanya dapat diajukan pada pengadilan tingkat pertama. Penyusunan
gugatan rekonvensi sama dengan guagatan konvensi yang diajukan semula. Gugatan
konvensi dan rekonvensi biasanya diselesaikan sekaligus dan diputus dalam satu surat
putusan. Apabila hakim berpendapat bahwa perkara konvensi dapat diperiksa lebih
dahulu, maka hakim dapat memisahkan gugatan konvensi dan rekonvensi. Jika kedua
gugatan itu dipisah, maka tetap kedua perkara itu diperiksa dan diputus oleh hakim
yang sama (periksa juga Pasal 132 b ayat (3) dan Pasal 158 ayat (3) R.Bg).10

10
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana,
2016) hal. 59

Anda mungkin juga menyukai