Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN

A. Jarimah Ditinjau dari Segi Berat Ringannya Hukuman


Menurut ‘Awdah, jarimah dilihat dari aspek ukuran hukuman yang ditetapkan
dibagi menjadi tiga, antara lain:
a. Jarimah Hudud
Jarimah hudud, yakni jarimah yang ditetapkan dengan sanksi hadd, yaitu
hukuman yang ditetapkan sebagai hak Allah, kecuali jarimah yang berkaitan dengan
qadhaf.1
Dengan demikian ciri khas jarimah hudud itu adalah sebagai berikut:
1. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah
ditentukan syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
2. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata atau kalau ada hak manusia
di samping hak Allah maka hak Allah yang lebih menonjol. Pengertian hak Allah
sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah sebagai berikut.

ِ ‫اح ٍد ِم َن الن‬
... ‫َّاس‬ ِ ‫ص بِو‬ ِِ ِ ِ َّ ‫ َما َت َعلَّ َق بِِه‬: ‫حقُّاللَّ ِه‬.
َ َّ َ‫ َو مَلْ خَي ْت‬,‫الن ْف ُع الْ َعا ُّم ل ْل َج َما َعة الْبَ َشريَّة‬ َ
Hak Allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada masyarakat dan
tidak tertentu bagi seseorang.

Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah di sini
adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang
menjadi korban dan keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara.

Jarimah hudud ini ada tujuh macam antara lain sebagai berikut.

1. Jarimah zina
Zina Muhsan yaitu pelakunya sudah menikah dengan lima syarat yaitu merdeka,
baligh, beristeri menikah dengan syah, dan telah menyetubuhi isterinya. 2
Hukumannya menurut para ahli hukum Islam adalah rajam (dilempari batu)
sampai mati.3 Zina Ghoiru Muhsan yaitu pelakunya belum pernah menikah.

1
Sahid HM, Epistimologi Hukum Pidana Islam (Surabaya: Pustaka Idea, 2015) hal. 14
2
Hasbi Ashidiqy, Hukum-hukum Fiqh Islam :Tinjauan Antar Mazhab (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001)
hal. 480
3
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidan Islam, Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda
(Jakarta: Gema Insani, 2003) hal. 24
Pelaku zina Ghoiru Muhsan dihukum dera 100 kali (dicambuk atau dipukul) dan
dibuang selama satu tahun. Hukuman tersebut berlaku bagi laki-laki dan
perempuan.4
2. Jarimah qadzaf (penuduh zina)
Qadzaf menurut bahasa adalah melempar, sedangkan menurut istilah adalah
menuduh orang baik-baik berbuat zina secara terang-terangan. Hukuman bagi
orang yang telah menuduh zina tapi tidak terbukti (qadzaf) didasarkan pada
AlQur’an Surat An-Nur ayat 4. Ketentuan bagi oarang yang telah menuduh zina
dihukum dengan 80 kali deraan, kalau hamba sahaya didera dengan separuhnya
yaitu 40 kali dera. Para fuqaha berpendapat bahwa qadzaf ditetapkan dengan dua
orang saksi yang adil, merdeka, dan orang laki-laki.
3. Jarimah syurbul khamr
Dalam istilah hukum nasional adalah minuman keras atau minuman yang
mengandung alkohol.5 Hukuman bagi orang yang meminum khamr atau minuman
lain yang memabukkan didera 40 (empat puluh) sampai 80 (delapan puluh) kali.
Seseorang yang terkena hukuman dera harus memenuhi syarat : orang islam yang
baligh dan berakal serta mengetahui haramnya khamr. Para ulama berpendapat
bahwa had peminum khamr ditetapkan berdasarkan pengakuan dan kesaksian
yang berjumlah dua orang yang bersifat adil.
4. Jarimah sariqah (pencurian)
Hukuman potong tangan dalam pencurian hanya dijatuhkan jika terpenuhi syarat-
syarat yaitu, harta yang dicuri diambil secara diam-diam tanpa diketahui
pemiliknya, barang yang dicuri harus memiliki nilai, barang yang dicuri harus
disimpan dalam tempat yang aman, baik dalam penglihatan maupun di suatu
tempat aman, barang yang dicuri harus milik orang lain, pencuri itu harus
mencapai nilai minimum tertentu (nisab) yaitu ¼ dinar. Ketentuan pelaksanaan
potong tangan adalah dengan cara silang yaitu untuk pencurian pertama maka
dipotong tangan kanan, mencuri ke dua kali maka dipotong kaki kiri, mencuri
yang ketiga kali maka dipotong tangan kirinya. Alat bukti yang harus dipenuhi
yaitu dua orang saksi yang adil dan pengakuan dari si pelaku.

4
Hasbi Ashidiqy, Hukum-hukum Fiqh Islam :Tinjauan Antar Mazhab (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001)
hal. 480
5
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008) hlm. 75
5. Jarimah hirabah (perampokan/pengacau keamanan)
Pengertian aslinya adalah menyerang dan menyambar harta. Menurut Al-Qur’an
surat Al-Maidah ayat 33, hukuman untuk hirabah adalah dibunuh. Hirabah dapat
digolongkan dalam 4 macam yaitu membunuh tidak mengambil hartanya maka
hukumannya dibunuh, membunuh dan mengambil hartanya maka hukumannya
dibunuh dengan salib, mengambil harta tanpa membunuh maka hukumannya
dipotong tangan dan kaki secara bersilang, tidak mengambil harta dan tidak
membunuh maka hanya ditawan dan dipukul.
6. Jarimah riddah (murtad)
Murtad dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu dengan kata-kata, perbuatan, dan
dengan kepercayaan. Hampir merupakan konsensus di antara para ahli hukum
Islam bahwa tindak pidana ini diancam dengan hukuman mati.tetapi, pelakunya
tidak serta-merta dijatuhi hukuman. Harus ada upaya untuk menyadarkan si
pelaku agar ia kembali kepada Islam. Menurut Syekh Mahmud Syaltut
menyatakan bahwa orang murtad itu sanksinya diserahkan kepada Allah, tidak ada
sanksi duniawi atasnya. Alasannya karena firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 217 hanya menujukkan kesiasiaan amal kebaikan orang murtad dan akhirat,
yaitu kekal dalam neraka.6
7. Jarimah Al Bagyu (pemberontakan)
Pemberontak adalah sekelompok orang yang menentang atau menolak peraturan
pemerintah yang adil, mereka tidak taat dengan tidak mau memenuhi kewajiban-
kewajibannya. Syariat Islam mengambil tindakan keras terhadap jarimah
pemberontakan, karena jika tidak demikian maka akan menimbulkan fitnah,
kekacauan, anarki, serta ketidaktenangan masyarakat. Tindakan keras tersebut
berupa hukuman mati bagi pelaku dari jarimah pemberontakan.7

Dalam jarimah zina, syurbul khamr, hirabah, riddah, dan pemberontakan yang
dilanggar adalah hak Allah semata-mata. Sedangkan dalam jarimah pencurian dan
qazdaf (penuduh zina) yang disinggung di samping hak Allah, juga terdapat hak
manusia (individu), akan tetapi hak Allah lebih menonjol.

6
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidan Islam, Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda
(Jakarta: Gema Insani, 2003) hal. 32
7
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah (Jakarta: Sinar Grafika,
2004) hal. 153
b. Jarimah Qishash dan Diyah
Jarimah qishash dan diyah yakni jarimah yang ditetapkan dengan sanksi
qishash dan diyah. Semua ketentuan qishash dan diyah adalah hukuman yang
ditentukan olah syara’. Perbedaannya dengan hukuman hadd adalah bahwa hadd
merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diyah adalah hak
manusia (individu).8 Adapun yang dimaksud dengan hak manusia sebagaimana
dikemukakan oleh Mahmud Syaltut adalah sebagai berikut.

ِ ‫اح ٍد ُم َعنِّي ٍ ِم َن الن‬


... ‫َّاس‬ ِ ‫ َفهو ما َتعلَّق بِِه َن ْفع لِو‬: ‫ح ُّق الْعب ِد‬.
َ ٌ َ َ َ َُ َْ َ

Hak manusia adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada orang tertentu.

Dalam hubungannya dengan hukuman qishash dan diyah maka pengertian


manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh
korban atau keluarganya.

Dengan demikian maka ciri khas dari jarimah qishash dan diyah itu adalah

1. Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan oleh syara’
dan tidak ada batas minimal atau maksimal;
2. Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (inidvidu), dalam arti bahwa
korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.

Jarimah qishash dan diyah ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan
penganiayaan. Namun apabila diperluas maka ada lima macam yaitu:

1. Pembunuhan sengaja ( ‫الْ َع ْم ُد‬ ‫) اَلْ َقْت ُل‬


Pembunuhan sengaja secara terminologi yakni menyengaja melakukan
pembunuhan dan menghendaki terjadinya mati orang lain (orang) dengan
menggunakan alat yang pada umumnya mematikan, melukai, atau benda-benda
yang berat, secara langsung atau tidak langsung (sebagai akibat dari suatu
perbuatan) seperti menggunakan besi, pedang, dan kayu besar.

8
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) hal. 18
2. Pembunuhan menyerupai sengaja ( ‫الْ َع ْم ُد‬ ِ
ُ‫) اَلْ َقْت ُل شْبه‬
Pembunuhan menyerupai sengaja yakni menyengaja suatu perbuatan aniaya
terhadap orang lain, dengan alat yang pada umumnya tidak mematikan, seperti
memukul dengan batu kecil, tangan, cemeti, atau tongkat yang ringan, dan antara
pukulan yang satu dengan yang lainnya tidak saling membantu, pukulannya bukan
pada tempat yang vital (mematikan).9

3. Pembunuhan karena kesalahan ( ُ‫اخْلَطَأ‬ ‫) اَلْ َقْت ُل‬


Pembunuhan kesalahan yakni pembunuhan yang terjadi dengan tanpa adanya
maksud penganiayaan, baik dilihat dari perbuatan maupun orangnya. Misalnya
seseorang melempari pohon atau binatang tetapi mengenai manusia (orang lain),
kemudian mati.

4. Penganiayaan sengaja ( ‫الْ َع ْم ُد‬


‫) اَجْلَْر ُح‬
Penganiayaan tidak sengaja ( ُ‫) اَجْلّرح اخْلَطَأ‬
5.
ُ ْ
c. Jarimah Ta’zir
Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukum ta’zir. Pengertian
ta’zir menurut bahasa ialah ta’dib atau memberi pelajaran. Dengan kata lain ta’zir
adalah hukuman yang bersifat edukatif yang ditenukan oleh hakim. 10 Ta’zir juga
diartikan Ar Rad wa Al Man’u, artinya menolak atau mencegah. Akan tetapi menurut
istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al Mawardi, pengertiannya
adalah sebagai berikut.

‫ب َعلَى ذُنُ ْو ِب مَلْ تُ ْشَر ْع فِْي َها احْلُ ُد ْو ُد‬ ِ


ٌ ْ‫َو الت َّْع ِز ْي ُر تَأْدي‬
Ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum
ditentukan hukumnya oleh syara’.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman
yang belum ditetapkan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik
penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukum tersebut,
penguasa hanya menetapkan hukuman secara global saja. Artinya pembuat undang-
undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, melainkan
hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai
9
Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ahlus Sunnah (Jakarta: Bulan Bintang, 1972) hal. 152-143
10
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, Diterjemahkan Oleh Nor Hasanuddin Dari ”Fiqhus Sunah ”, (Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2006) hal. 491
seberat-beratnya. Adapun jenis dari hukuman ta’zir bermacam-macam, menurut H.
Zainudin Ali jenis hukuman yang termasuk ta’zir antara lain hukuman penjara, skors
atau pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata, dan jenis-jenis
hukuman lain yang dipandang sesuai dengan pelanggaran dari pelakunya.
Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta’zir itu adalah sebagai berikut.
1. Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman tersebut belum
ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan ada batas maksimal.
2. Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa.

Berbeda dengan jarimah hudud dan qisash maka jarimah ta’zir tidak
ditentukan banyaknya. Hal ini oleh karena yang termasuk jarimah ta’zir ini adalah
setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan qishash, yang
jumlahnya sangat banyak.

Secara umum, tindak pidana ta’zir terbagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai
berikut:

1. Tindak pidana hudud dan qisas yang syubhat, atau tidak jelas, atau tidak
memenuhi syarat, tetapi merupakan maksiat. Contohnya: percobaan pencurian,
percobaan perzinaan, pencurian dalam keluarga, dan lain-lain.
2. Tindak pidana atau kemaksiatan yang ditentukan oleh al-Qur’an dan hadis,
tetapi tidak ditentukan sanksinya. Contohnya: penghinaan, saksi palsu, tidak
melaksanakan amanah, makan babi, mengurangi timbangan, riba, dan
sebagainya.
3. Berbagai tindak pidana atau kemaksiatan yang ditentukan oleh ulil amri
(penguasa) berdasarkan ajaran Islam demi kemaslahatan umum. Contohnya
pelanggaran terhadap berbagai peraturan penguasa yang telah ditetapkan
berdasarkan ajaran Islam, korupsi, kejahatan ekonomi, dan lain sebagainya.

Jarimah ta’zir di samping ada yang diserahkan penentuannya sepenuhnya


kepada ulil amri, juga ada yang memang sudah ditetapkan oleh syara’, seperti riba dan
suap. Di samping itu juga termasuk ke dalam kelompok ini, jarimah-jarimah yang
sebenarnya sudah ditetapkan hukumnya oleh syara’ (hudud) akan tetapi syarat-syarat
untuk dilaksanakannya hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya, pencurian yang
tidak sampai selesai atau barang yang dicuri kurang dari nishab pencurian, yaitu
seperempat dinar.
Pentingnya Pembagian kepada Tiga Macam Jarimah ini

Pembagian jarimah kepada hudud, qishash, dan ta’zir ini tampak pentingnya
dalam segi-segi berikut ini.

1. Segi pengampunan
Dalam jarimah hudud, pemaafan tidak diperkenakan dari pihak manapun,
baik dari si korban, wali maupun hakim termasuk kepala negara atau kepala
pemerintahan.11 Pada jarimah qisas-diyah unsur pemaafan ada pada pihak si
korban atau wali. Pengampunan tersebut berpengaruh terhadap hukuman,
sehingga hukuman pokok, yaitu qishash menjadi gugur dan diganti dengan
hukuman diyah. Jika diyah dimaafkan juga maka dari segi hukuman yang
berkaitan dengan hak manusia, sia sudah bebas. Akan tetapi dalam jarimah
qishash dan diyah terdapat hak Allah (hak mayarakat) di samping hak
manusia maka dalam hal ini hakimmasih boleh menjatuhkan hukuman ta’zir
sebagai imbangan dari hak Allah.12 Sedangkan pada jarimah ta’zir unsur
pemaafan sepenuhnya ada pada pihak hakim atau penguasa.
2. Segi kekuasaan hakim
Dalam jarimah hudud apabila tindak pidana terbukti secara hukum, maka
hakim dapat menjatuhkan hukuman secara defenitif shara’. Hakim dalam
tugasnya pada jarimah ini tidak berhak menambah atau mengurangi hukuman
yang telah menjadi ketetapan shara’. Dalam jarimah qishash dan diyah, jika
korban atau keluarga korban memberikan pengampunan baik dari hukum
qishash maupun diyah maka pengampunan tersebut dapat menjadi
pertimbangan hakim untuk menjatuh kan hukuman ta’zir. Sedangkan dalam
jarimah ta’zir, hakim mempunyai kekuasaan yang luas, mulai dari memilih
macamnya hukuman yangs sesuai, sampai kepada memberatkan atau
meringankan hukuman atau membebaskannya, karena dalam jarimah ta’zir
hakim mempunyai kebebasan untuk berijtihad.13

3. Segi pengaruh lingkungan/keadaan yang terjadi


Dalam jarimah hudud dan qishash-diyah sama sekali tidak terpengaruh oleh
lingkungan, sehingga apabila terbukti secara sah adanya tindakan pidana
11
Sahid HM, Epistimologi Hukum Pidana Islam (Surabaya: Pustaka Idea, 2015) hal. 15
12
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) hal. 20-21
13
Ibid, hal. 21
hudud dan qishash-diyah, maka hakim akan menetapkan sanksi sesuai dengan
ketentuan yang ada. Hal ini berbeda dengan jarimah ta’zir, lingkungan sangat
berpengaruh dalam menentukan hukuman. Karena tujuan jarimah ta’zi adalah
untuk membawa maslahah.
4. Segi alat-alat pembuktian
Untuk jarimah-jarimah hudud dan qishash, syara’ telah menetapkan bilangan
saksi tertentu, apabila alat pembuktian yang digunakan berupa saksi. Dalam
membuktikan jarimah zina misalnya diperlukan empat orang saksi yang
menyaksikan dengan mata kepala sendiri terjadinya jarimah tersebut.
Sedangkan untuk jarimah qisash-diyah, hanya diperlukan minimal dua orang
saksi. Bahkan dalam jarimah ta’zir kadang-kadang hanya diperlukan seorang
saksi saja.

B. Jarimah Ditinjau dari Segi Niat


Ditinjau dari segi niatnya, jarimah itu dapat dibagi kepada dua bagian, antara lain:
a. Jarimah Sengaja
Jarimah sengaja ( al-jar’im al-maqsudah/dolus) adalah jarimah yang dilakukan
oleh seseorang dengan kesengajaan dan atas kehendaknya serta dia mengetahui
bahwa perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan hukuman.14 Dari definisi
tersebut dapatlah diketahui bahwa untuk jarimah sengaja dipenuhi tiga unsur:15
1. Unsur kesengajaan
2. Unsur kehendak yang bebas dalam melakukannya, dan
3. Unsur pengetahuan tentang dilrangnya perbuatan

Apabila salah satu dari ketiga unsur ini tidak ada maka perbuatan tersebut
termasuk jarimah yang tidak sengaja.

b. Jarimah Tidak Sengaja

14
Sahid HM, Epistimologi Hukum Pidana Islam (Surabaya: Pustaka Idea, 2015) hal. 15
15
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) hal. 22
Jarimah tidak sengaja (al-jara’im ghayr al-maqsudah/colpus) adalah jarimah
yang pelakunya tidak sengaja (tidak berniat) untuk melakukan perbuatan yang
dilarang dan perbuatan tersebut terjadi akibat kesalahannya.
Dari definisi tersebut kita melihat bahwa kelalaian (kesalahan) dari pelaku
merupakan faktor penting untuk jarimah tidak sengaja. Kesalahan atau kekeliruan ini
ada dua macam, antara lain:
1. Pelaku sengaja melakukan perbuatan yang akhirnya menjadi jarimah, tetapi
jarimah ini sama sekali tidak diniatkannya. Kekeliruan macam yang pertama
ini ada dua macam:

a) Keliru dalam perbuatan ( ‫) َخطَ( (أٌ ىِف الْ ِف ْع ( ِ(ل‬. Contohnya seperti seseorang

yang menembak binatang buruan, tetapi pelurunya menyimpang


mengenai manusia.

b) Keliru dalam dugaan ( ‫ص( ِد‬


ْ ‫) َخظَأٌ ىِف الْ َق‬. Contohnya seperti seseorang yang
menembak orang lain yang disangkanya penjahat yang sedang
dikejarnya, tetapi kemudian ternyata ia penduduk biasa.
2. Pelaku tidak sengaja berbuat dan jarimah yang terjadi tidak diniatkannya
sama sekali. Dalam hal ini jarimah tersebut terjadi sebagai akibat
kelalaiannya atau ketidak hati-hatiannya. Dalam istilah para fuqaha
kekeliruan semacam ini disebut “jariyah majral khatha”. Seperti seseorang
yang tidur di samping seorang bayi dalam barak pengungsian dan ia menindih
bayi itu sampai mati.
Pentingnya Pembagian Jarimah Ini
1. Dalam jarimah sengaja jelas menunjukkan adanya kesengajaan berbuat jarimah,
sedangkan dalam jarimah tidak sengaja kecenderungan untuk berbuat salah tidak
ada. Oleh karenanya, hukuman untuk jarimah sengaja lebih berat daripada jarimah
tidak sengaja.
2. Dalam jarimah sengaja hukuman tidak bisa dijatuhkan apabila unsur kesengajaan
tidak terbukti. Sedangkan pada jarimah tidak sengaja hukuman dijatuhkan karena
kelalaian pelaku atau ketidakhati-hatiannya semata-mata.

C. Jarimah Ditinjau dari Segi Waktu Tertangkap


Ditinjau dari segi waktu tertangkap, jarimah dibagi menjadi dua, antara lain:
a. Jarimah Tertangkap Basah
Yang dimaksud jarimah yang tertangkap basah adalah jarimah yang pelakunya
tertangkap pada waktu melakukan perbuatan tersebut atau sesudahnya tetapi dalam
masa yang dekat.
b. Jarimah yang Tidak Tertangkap Basah
Yang dimaksud dengan jarimah yang tidak tertangkap basah adalah jarimah yang
pelakunya tidak tertangkap pada waktu melakukan perbuatan tersebut, melainkan
sesudahnya dengan lewatnya waktu yang tidak sedikit.16
Pentingnya Pembagian Jarimah Ini
1. Dari segi pembuktian
Apabila jarimah yang dilakukan adalah jarimah hudud dan pembuktiannya dengan
saksi maka dalam jarimah yang tertangkap basah, para saksi harus menyaksikan
dengan mata kepalanya sendiri pada saat terjadinya jarimah tersebut.
2. Dari segi amar ma’ruf nahi munkar
Dalam jarimah yang tertangkap basah, orang yang kedapatan sedang melakukan
tindak pidana dapat dicegah dengan kekerasan agar dia tidak meneruskan
tindakannya.17 Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Abi Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda “barang siapa diantara kamu
melihat kemungkaran maka hendaklah ia mencegah dengan tangannya. Apabila ia
tidak sanggup maka dengan lisannya. Apabila tidak sanggup juga maka dengan
hatinya dan yang demikian itu merupakan iman yang paling lemah.”
D. Jarimah Ditinjau dari Segi Cara Melakukan
Ditinjau dari segi cara melakukan, jarimah dibagi menjadi dua, antara lain:
a. Jarimah Positif
Yang dimaksud jarimah positif adalah jarimah yang terjadi karena melakukan
perbuatan yang dilarang seperti pencurian, perzinaan, dan pemukulan. Jarimah ini
disebut delicta commissionis.

b. Jarimah Negatif

16
‘Awdah, ‘Abd al-Qadir. al-Tashri’ al-Jina’i al-islami Muqararanan bi al-Qanun al-Wad’i, juz 1, 85
17
Ahmad Wardi Muslich. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004)
hal. 24
Yang dimaksud jarimah negatif adalah jarimah yang terjadi karena meinggalkan
perbuatan yang diperintahkan seperti enggan menjadi saksi, tidak melakukan shalat
dan tidak menunaikan zakat. Jarimah ini disebut delicta ommissionis.18 Jarimah
negatif ada dua macam yaitu sebagai berikut:
1. Jarimah negatif semata-mata. Jarimah ini tidak menyebabkan timbulnya jarimah
lain, seperti contoh diatas yaitu enggan melakukan sholat dan puasa.
2. Jarimah negatif yang menimbulkan jarimah positif. Atau dengan kata lain
jarimah positif dengan jalan jarimah negatif.

Selain dua bentuk tersebut terdapat jarimah positif dengan jalan negatif yang
disebut delicta commissionis per ommissionis.19 Hukuman untuk jarimah semata
adalah ta’zir. Hukuman untuk jarimah negatif yang menimbulkan jarimah positif,
fuqaha’ berbeda pendapat. Misalnya, menahan orang lain dan tidak diberi makan atau
minum, sehingga dia mati karena kelaparan. Penahanan tersebut dianggap
pembunuhan dengan sengaja jika dilakukan dengan tidak memberinya makan atau
minum yang tujuannya untuk membunuh. Hal ini adalah pendapat Malik, Shafi’i, dan
Ahmad. Menurut Abu Hanifah, perbuatan tersebut tidak digolongkan pada
pembunuhan, karena kematian tersebut disebabkan lapar atau haus, bukan akibat
penahanan. Hanya saja Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan berpendapat bahwa
penahanan tersebut dapat digolongkan pada pembunuhan sengaja, karena pada
umumnya manusia tidak akan dapat tahan hidup tanpa makan dan minum. Oleh
karenanya, menahan makanan dan minuman pada saat terjadi lapar atau haus berarti
membunuh. 20

E. Jarimah Ditinjau dari Segi Obyeknya


Jarimah dari segi obyeknya dibagi menjadi dua, antara lain :
a. Jarimah Perorangan.
Jarimah perorangan adalah jarimah yang hukumannya ditetapkan (dijatuhkan)
untuk melindungi kemaslahatan perseorangan (individu), walaupun hal yang
berkenaan dengan kemaslahatan individu secara substansial yang berkaitan dengan
kemaslahatan masyarakat.21 Atau dalam redaksi lain jarimah perseorangan yaitu
suatu jarimah dimana hukuman terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi hak
18
‘Awdah, ‘Abd al-Qadir. al-Tashri’ al-Jina’i al-islami Muqararanan bi al-Qanun al-Wad’i, juz 1, 86-87
19
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1967), 14
20
‘Awdah, ‘Abd al-Qadir. al-Tashri’ al-Jina’i al-islami Muqararanan bi al-Qanun al-Wad’i, juz 1, 87
21
Sahid HM, Epistimologi Hukum Pidana Islam (Surabaya: Pustaka Idea, 2015) hal. 19
perseorangan (individu) Seperti contoh : Penghinaan, penipuan, dan lain
sebagainya.22
Jarimah qishash diyat termasuk jarimah perseorangan. Hal ini tidak berarti
bahwa masyarakat tidak dirugikan oleh adanya jarimah tersebut, tetapi hanya untuk
menguatkan hak perseorangan dari hak masyarakat. Oleh karena itu, orang yang
menjadi korban dari jarimah tersebut dapat menghapuskan hukuman-hukuman
qishash sebagai hukuman pokok dari jarimah-jarimah qishash diyat. Hak
penghapusan hukuman jarimah tersebut menandakan bahwa jarimah-jarimah tersebut
menyinggung haknya secara langsung. Meskipun sudah dihapuskan dari pihaknya,
namun hal ini tidak berarti bahwa si pembuat bebas dari hukuman karena ia dijatuhi
hukuman ta’zir dengan maksud untuk mempertahankan hak masyarakat yang telah
dirugikan oleh si pembuat secara tidak langsung.23
b. Jarimah Masyarakat.
Jarimah Masyarakat adalah jarimah-jarimah yang mengenai had masyarakat
maksutnya yaitu suatu jarimah yang sanksi hukumnya disyariatkan untuk menjaga
kemaslahatan masyarakat, baik jarimah tersebut mengenai masyarakat atau mengenai
perseorangan atau mengenai ketertiban dan keamanan masyarakat. Atau dalam
pengertian lain, Jarimah masyarakat adalah suatu jarimah yang dimana hukuman
terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungu kepentingan Masyarakat.24 Jarimah
Hudud termasuk kedalam kelompok jarimah masyarakat, meskipun sebagian masuk
kedalam jarimah perseorangan seperti pencurian dan qadhaf. Jarimah ta’zir juga
sebagian masuk ke dalam jarimah masyarakat jika yang disinggung adalah hak
masyarakat seperti penimbunan bahan-bahan pokok dan korupsi dan menuduh orang
lain berbuat zina.25 Penggolongan kepada jarimah masyarakat, tidak juga berarti
bahwa kerugian dari perseorangan tidak masuk dalam pertimbangan, melainkan
sekedar menguatkan kepentingan masyarakat atas kepentingan perseorangan,
sehingga orang yang menjadi korban memberikan pengampunan, maka
pengampunan ini tidak mempengaruhi terhadap penjatuhan hukuman. 26 Berbeda
dengan jarimah perseorangan, dalam jarimah masyarakat tidak ada pengaruh maaf,
karena hukumannya merupakan hak Allah (Hak Masyarakat).27
22
Mardani, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2019) hal. 19
23
Ibid, hal. 19-20
24
Ibid, hal. 19
25
Sahid HM, Epistimologi Hukum Pidana Islam (Surabaya: Pustaka Idea, 2015) hal. 19-20
26
Mardani, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2019) hal. 20
27
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) hal. 31
F. Jarimah Ditinjau dari Segi Karakternya

Jarimah dari segi karakter / tabiatnya dibagi menjadi dua , yaitu :

 Jarimah biasa.
 Jarimah politik.

Syariat Islam mengadakan pemisahan antara jarimah biasa dengan jarimah politik, hal
ini karena didasarkan pada kemaslahatan, keamanan, dan ketertiban masyarakat, serta
pemeliharaan sendi-sendinya.

a. Jarimah Biasa
Jarimah biasa adalah jarimah yang pangkalnya adalah motivasi biasa tanpa
mengaitkan dengan tujuan yang orientasinya adalah motif politik. Hal ini, faktor
pendorongnya bukan ide atau pandangan dan ideologi yang mengarah pada politik.
Dengan demikian, motif dilakukannya jarimah biasa adalah hal yang biasa, walaupun
kadang-kadang jarimah biasa dilakukan untuk maksud-maksud politik. Misalnya:
mencuri ayam, mencuri mangga, menganiaya, dan pembunuhan. Dalam jarimah
biasa faktor pembangkitnya (motif) berupa ide atau pandangan tersebut tidak ada.
Jadi motif dilakukannya jarimah biasa adalah biasa-biasa saja saja, walaupun kadang-
kadang jarimah biasa bisa dilakukan untu maksud politik.
b. Jarimah Politik
Jarimah politik baru terdapat dalam keadaan luar biasa, tegasnya dalam keadaan
pemberontakan atau perang saudara. Kalau terjadi peperangan antara sebagian rakyat
dengan negara (pemerintah), atau apabila ada sebagian rakyat memberontak kepada
negara, maka barulah terdapat jarimah politik yang berasal dari rakyat yang
memberontak28. Dan jarimah politik adalah jarimah yang di desain untuk
merealisasikan tujuan politik atau faktornya adalah motivasi politik. Dengan kata lain
jarimah politik adalah jarimah yang faktor pembangkitnya (pendorongnya) adalah
suatu ide atau pandangan, walaupun ide tersebut adalah sebuah ide yang
menyimpang. Misalnya: pemberontakan bersenjata, mengacaukan perekonomian
dengan maksud politik, perang saudara, dan sebagainya.

Sebenarnya corak kedua jenis jarimah ini tidak berbeda, baik mengenai jenis maupun
cara membuatnya. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada motif (faktor

28
Mardani, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2019) hal. 21
pembangkitnya).Menurut pandangan Islam, jarimah politik tidak terdapat dalam keadaan
normal. Jadi setiap jarimah yang dilakukan dalam keadaan biasa, dianggap sebagai
jarimah biasa bagaimanapun tujuan dan motifnya, sedangkan jarimah politik baru
terdapat dalam keadaan yang luar biasa yaitu dalam keadaan pemberontakan dan perang
saudara.29

29
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) hal. 35
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Jarimah ditinjau dari segi berat ringannya hukuman dibagi menjadi tiga, yaitu
jarimah hudud, jarimah qishash-diyah, jarimah ta’zir. Pembagian jarimah pada hudud,
qishash-diyah, dan ta’zir ini tampak penting dalam segi pengampunan, segi kekuasaan
hakim, segi lingkungan/keadaan yang terjadi, dan segi alat-alat pembuktian.
Jarimah ditinjau dari segi niat dibagi menjadi dua, yaitu jarimah sengaja dan
jarimah tidak sengaja. Pembagian jarimah pada sengaja dan tidak sengaja ini penting
dalam segi penentuan hukuman.
Jarimah ditinjau dari segi waktu tertangkapnya dibagi menjadi dua, yaitu jarimah
tertangkap basah dan jarimah tidak tertangkap basah. Pembagian jarimah pada tertangkap
basah dan tidak tertangkap basah ini penting dalam segi pembuktian dan segi amar ma’ruf
nahi munkar.
Jarimah ditinjau dari segi cara melakukannya dibagi menjadi dua,yaitu jarimah
positif dan jarimah negatif. Jarimah negatif adalah jarimah yang terjadi karena
meinggalkan perbuatan yang diperintahkan. Sedangkan jarimah positif adalah jarimah
yang terjadi karena melakukan perbuatan yang dilarang.
Jarimah ditinjau dari segi objeknya dibagi menjadi dua, yaitu jarimah
perseorangan dan jarimah masyarakat. Jarimah perorangan adalah jarimah yang
hukumannya ditetapkan (dijatuhkan) untuk melindungi kemaslahatan perseorangan
(individu), walaupun hal yang berkenaan dengan kemaslahatan individu secara
substansial yang berkaitan dengan kemaslahatan masyarakat. Sedangkan jarimah
masyarakat adalah jarimah-jarimah yang sanksi hukumnya disyariatkan untuk menjaga
kemaslahatan masyarakat, baik jarimah tersebut mengenai masyarakat atau mengenai
perseorangan atau mengenai ketertiban dan keamanan masyarakat.
Jarimah ditinjau dari segi karakternya dibagi menjadi dua, yaitu jarimah biasa dan
jarimah politik. Jarimah biasa adalah jarimah yang pangkalnya adalah motivasi biasa
tanpa mengaitkan dengan tujuan yang orientasinya adalah motif politik. Jarimah politik
baru terdapat dalam keadaan luar biasa, tegasnya dalam keadaan pemberontakan atau
perang saudara.
DAFTAR PUSTAKA

Ashidiqy, H. (2001). Hukum-hukum Fiqh Islam :Tinjauan Antar Mazhab. Semarang: Pustaka
Rizki.

Haliman. (2006). Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ahlus Sunnah. Jakarta: Pena Pundi
Aksara.

HM, Sahid. (2015). Epistimologi Hukum Pidana Islam. Surabaya: Pustaka Idea.

Mardani. (2008). Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Pidana Nasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Muslich, A. W. (2004). Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Sabiq, S. (2006). Fiqih Sunah. Jakarta: Pena Pundi Aksara.

Santoso, T. (2003). Membumikan Hukum Pidan Islam, Penegakan Syari’at dalam Wacana
dan Agenda. Jakarta: Gema Insani.

Anda mungkin juga menyukai