Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum pidana tidak lain membahas tentang hukum sebab akibat, yang
memiliki efek jera bagi pelakunya. Hukum pidana ini termasuk kepada hukum
public, kerena dalam penyelesaiannya membutuhkan orang ketiga. Tidak bisa
diselesaikan perkara pidana ini tanpa bantuan Negara atau pengadilan.
Apabila diselesaikan secara pribadi, termasuk kepada kategori main hakim
sendiri.
Umat Islam dunia selayaknya menggunakan hukum yang bersumber
dari Al-Qur’an dan Hadits, karena keduanya merupakan pedoman hidup dan
semua aspek hukum sudah terkandung didalamnya, baik tindakan maupun
hukumannya. Namun perlu adanya penafsiran untuk menemukan segala
bentuk hukum dan sanksi yang terdapat didalamnya. Hal ini memberikan
ruang kepada manusia untuk berfikir dan melihat lebih jauh akan pentingnya
hukum dan sanksi itu sendiri. Sanksi bisa diaplikasikan kepada para pelaku
kejahatan apabila terpenuhi syaratnya yaitu, legalitas. Asas legalitas
bermaksud membatasi berlakunya hukum itu sendiri. Ketika pelanggaran
sudah terjadi, tetapi hukumnya belum ditetapkan, maka orang tersebut tidak
dapat dikenai sanksi atau pidana karena tidak termasuk kepada pelanggaran
hukum. Begitu juga dalam hukum Islam, berlaku asas legalitas dalam
penerapan hukumnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian asas legalitas?
2. Bagaimana hukum pidana Islam (jinayah) mengatur tentang asas
legalitas?
3. Bagaimana contoh dan penerapan asas legalitas?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Asas Legalitas


Kata “asas” berasal dari baasa Arab asasun yang berarti dasar atau
prinsip, sedangkan “legalitas” berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda)
yang berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau
sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian arti legalitas
adalah “keabsahan sesuatu menurut undang-undang”. Secara historis, asas
legalitas pertama kali digagas oleh Anselm van Feuerbach, sarjana hukum
pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des peinlctum nulla poena sine
praevia lege poenali.
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada
pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang
mengaturnya. Dalam hukum Islam bahkan juga hukum konvensional, ternyata
asas legalitas menjadi faktor penting. Meskipun kedua sistem hukum tersebut
berbeda, tetapi pada penentuan asas legalitas sama-sama menganut teori
legisme/legistik. Seperti diungkapkan Audah bahwa asas legalitas merupakan
derivasi dari kaidah “la hukma li af’ali al-‘uqalai qabla wurudi al-nas”
(sebelum ada nash-ketentuan, tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang
yang berakal). Arti luas dari kaidah ini adalah bahwa perbuatan orang-orang
yang cakap (mukallaf) tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilarang,
selama belum ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan ia mempunyai
kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga
ada nash yang melarangnya. Asas legalitas termasuk asas yang boleh
dikatakan sebagai tiang penyangga hukum pidana. Asas ini tersirat didalam
pasal 1 KUHP yang dirumuskan demikian:
(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan
dilakukan.
(2) Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-
undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut secara tegas
ditunjuk perbuatan mana yang dapat berakibat pidana, tentu saja bukan
perbuatannya yang dipidana, tetapi orang yang melakukan itu, yaitu:
1. Perbuatan itu harus ditentukan oleh perundang-undangan pidana sebagai
perbuatan yang pelakunya dapat dijatuhi pidana.
2. Perundang-undangan pidana itu harus sudah ada sebelum perbuatan itu
dilakukan.
Dengan perkataan lain tidak boleh terjadi suatu perbuatan yang semula
belum diterapkan bahwa pelakunya dapat dipidana, karena dirasakan oleh
penguasa sangat merugikan, lalu dibuatkan peraturan dan pelakunya dapat
dijerat dengan peratuan tersebut, walaupun perbuatannya telah lewat, atau
boleh dikatakan bahwa perundang-undangan pidana tidak boleh berlaku surut.
Didalam sejarah ketatanegaraan kita ketentuan semacam itu pernah
masuk didalam konstitusi, yaitu pada Pasal 14 (2) UUDS 1950 yang
merumuskan: “tiada seorang juapun boleh dituntut untuk dihukum atau
dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang ada dan berlaku
terhadapnya.” Secara yurdis formal kedudukan ketentuan yang demikian itu,
yaitu asas legalitas, lebih kuat daripada masa kita menggunakan UUDS 1950,
karena jika hendak mengubah harus mengubah konstitusi. Sedangkan secara
teoritis Pasal 1 (1) KUHP yang sering disebut sebagai pencerminan asas
legalitas itu dapat disimpangi atau diubah cukup dengan membuat undang-
undang baru yang berbeda.
1. Asas legalitas; bahwa orang yang melakukan tindak pidana, dapat
dipidana apabila orang tersebut dapat dinyatakan bersalah.
2. Makna asas legalitas:
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau
perbuatan itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan
hukum.
b. Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan
analogi.
c. Undang-undang hukum pidana tidak boleh muundur/surut.
Asas legalitas yang dikenal dengan asas nulla poena dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP itu berasal dari rumusan bahasa latin oleh Anselm von
Feuerbach yang berbunyi: “nullum crimen, nulla poena, sine praevia lege
poenali. (kadang-kadang kata “crimen” itu diganti dengan “delictum”) yang
artinya kira-kira: tiada kejahatan/delik, tiada pidana, kecali jik sudah ada
undang-undang sebelumnya yang mengancam dengan pidana.”
Tujuan asas ini tidak lain adalah:
1. Menegakkan kepastian hukum.
2. Mencegah kesewenang-wenangan penguasa.
Terdapat beberapa pengertian didalam asas legalitas tersebut, yaitu:
1. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut
undang-undang.
2. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi.
3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa).
5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana.
6. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang.
7. Penentuan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.
Dari asas legalitas atau asas nulla poena ini tampak bahwa terhadap
perbuatan yang diancam dengan pidana, yang diberlakukan adalah hukum
atau undang-undang yang sudah ada pada saat itu, tidak boleh dipakai undang-
undang yang akan dibuat sesudah perbuatan itu terjadi. Oleh karena itu, disini
berlaku asas lex temporis delicti yang artinya adalah undang-undang pada saat
delik/kejahatan itu terjadi. Itulah asas yang dipakai di Indonesia berhubung
dengan adanya Pasal 1 (1) KUHP tersebut.
Tetapi, kita tahu bahwa undang-undang itu tidak langgeng, kadang-
kadang perlu diadakan perubahan disesuaikan dengan kebutuhan dan
zamannya. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana jika sebelum
orang yang melakukan perbuatan terlarang itu diadili, undang-undangnya
diubah atau dicabut? Undang-undang mana yang harus diterapkan? Untuk ini
pasal 1 (2) KUHP menjawab dengan rumusan tersebut diatas, yaitu jika ada
perubahan perundang-undangan, maka yang dipakai adalah yang ringan bagi
terdakwa.

B. Asas Legalitas (Qawa’id Usuliyyah) dalam Hukum Islam (Jinayat)


Asas legalitas yang merupakan asas kemasyarakatan, secara
substansial terdapat dalam hukum Islam baik didalam Al-Qur’an maupun
hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Hukum Islam menyatakan bahwa
dalam penetapan tindak pidana harus ada had yang melarang perbuatan
tersebut dan mengancamkan hukuman terhadapnya. Adanya had-had yang
melarang dan mengancamkan hukuman terhadap suatu perbuatan itu tidak
cukup untuk menghukum setiap perbuatan, tetapi ada syarat lain bagi orang
yang melakukan perbuatan terlarang ini supaya bisa dihukum, yaitu had yang
melarangnya itu valid (berlaku) pada waktu perbuatan itu dilakukan, valid
menurut tempat terjadinya tindak pidana, dan valid terhadap individu yang
berbuat. Apabila salah satu syarat ini tidak bisa dipenuhi, hukuman tidak bisa
dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana.
Namun demikian selain mendasarkan pada had / aturan yang telah
ditetapkan, asas legalitas dalam Islam juga mendasarkan pada kaidah umum
yang merupakan aturan hukum umum dalam Islam. Adapun kaidah-kaidah
umum tersebut adalah:
1. Tidak ada hukuman bagi perbuatan orang yang berakal sehat sebelum
ada had (ketentuan). Maksudnya, setiap perbuatan mukallaf tidak dapat
dikatakan terlarang sebelum adanya had (ketentuan) yang melarangnya
dan pelakunya mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan tersebut
atau meninggalkannya sehingga ada had yang melarangnya.
2. Dasar segala sesuatu adalah dibolehkan / mubah. Maksudnya, setiap
perbuatan atau sikap tidak berbuat dibolehkan dengan kebolehan yang asli
(yakni bukan kebolehan yang dinyatakan oleh syara’). Jadi, belum ada had
yang melarang, tidak ada tuntutan terhadap orang yang berbuat atau tidak
berbuat.
3. Menurut syara’, tidak ada pembebanan suatu hukum kecuali terhadap
seseorang mukallaf yang berkemampuan untuk memahami dalil-dalil
pembebanan dan untuk melaksanakan hukum tersebut. Pekerjaan yang
dibebankan hanyalah pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan
disanggupi serta diketahui oleh mukallaf sehingga dapat mendorong
dirinya untuk memperbuatnya.
Aturan pokok tersebut sama-sama mengarah kepada satu pengertian,
“suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat baik tidak boleh dipandang sebagai
tindak pidana kecuali ada had (ketentuan) yang jelas serta melarang perbuatan
dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada had yang demikian
sifatnya, tidak ada tuntutan ataupun hukuman atas pelakunya. Karena itu,
suatu perbuatan dan sikap tidak berbuat tidak cukup dipandang sebagai tindak
pidana hanya karena dilarang, tetapi juga harus dinyatakan hukumannya, baik
hukuman had maupun hukuman ta’zir. Kesimpulan pernyataan tersebut
bahwa aturan-aturan pokok hukum Islam telah menetapkan bahwa tidak ada
tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali setelah adanya had (ketentuan).
Berdasarkan kaidah tersebut maka secara implisit terkandung makna
dianutnya asas legalitas dalam hukum Islam. Dimana suatu perbuatan atau
sikap tidak berbuat tidak boleh dipandang sebagai jarimah (tindak pidana)
kecuali karena adanya had (ketentuan) yang jelas dan yang melarang
perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada had yang
demikian sifatnya maka tidak ada tuntutan apapun ataupun hukuman atas
pelakunya.
H.A. Djazuli berpendapat bahwa hukuman itu harus mempunyai dasar,
baik dari Al-Qur’an, hadits, atau lembaga legislatif yang mempunyai
kewenangan menetapkan hukuman untuk kasus ta’zir.
Berdasarkan ketentuan diatas maka dapat diambil pengertian bahwa
menurut kaidah hukum Islam “tidak ada suatu tindak pidana tanpa ada had
yang terlebih dahulu disiarkan atau diundangkan kepada masyarakat”.
Dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang berhubungan dengan asas
legalitas. Allah SWT tidak menjatuhkan susatu siksa atas umat manusia
kecuali sudah ada penjelasan dan pemberitahuan melalui Rasul-rasul-Nya dan
beban (kewajiban) yang diberikan kepada mereka, yakni perkara yang
disanggupi, sebagaimana tampak dalam firman Allah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an: Qur’an Surah Al-Isra’ ayat 15:

ِ
‫ِه‬‫ْس‬‫َف‬
‫لن‬ِ ‫ِي‬‫َد‬
‫هت‬ َ ‫َا‬
ْ‫ي‬ َّ‫إ‬
‫نم‬ َِ‫دى ف‬ ََ َ
ْ‫منِ ا‬
‫هت‬
‫َال‬
‫ها و‬ َْ
‫لي‬ََ
‫ُّ ع‬
‫ِل‬ َ ‫َا‬
‫يض‬ ‫نم‬َّ‫إ‬
َِ‫َّ ف‬
‫َل‬‫ْ ض‬
‫من‬ََ
‫و‬
‫َة‬‫ِر‬‫َاز‬‫ُ و‬
‫ِر‬‫تز‬َ ‫َّا‬
‫ُن‬‫ما ك‬ََ‫َى و‬ ‫ْر‬‫ُخ‬ ‫ْر‬
‫َ أ‬ ‫ِز‬
‫و‬
‫َ ر‬
‫َسُوال‬ ‫َث‬
‫ْع‬‫نب‬َ ‫َّى‬
‫َت‬ ‫َ ح‬
‫ِين‬‫ِب‬َِّ
‫ذ‬ ‫مع‬ُ
Artinya:
“Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka
sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang
lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang
rasul.”(Q.S Al-Isra’ : 15)
b. Al-Qur’an: Qur’an Surah Al-Qasasayat 59:

‫َى‬‫ُر‬ ْ َ‫ِك‬
‫الق‬ ‫هل‬ ُ َ‫بك‬
ْ‫م‬ َُّ
‫ن ر‬ َ‫َا‬‫ما ك‬ ََ‫و‬
‫َسُوال‬
‫ها ر‬ ُِّ
َِ
‫م‬ ‫ِي أ‬ ‫َ ف‬ ‫َث‬‫ْع‬
‫يب‬َ ‫َّى‬‫َت‬‫ح‬
‫ُن‬
‫َّا‬ ‫ما ك‬ََ‫َا و‬‫ِن‬ َ‫ْ آ‬
‫يات‬ ‫ْه‬
‫ِم‬ ََ
‫لي‬ ‫لو ع‬ُْ
‫يت‬َ
‫ها‬َ‫ل‬ َْ
ُ‫ه‬ ‫َأ‬
‫ِال و‬ ‫َى إ‬ ‫ُر‬ ْ
‫الق‬ ‫ِك‬
‫ِي‬ ْ‫م‬
‫هل‬ ُ
َ ُ
‫ون‬‫لم‬ِ‫َا‬
‫ظ‬
Artinya:
“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia
mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota;
kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman” (Q.S Al-
Qasas: 59)
c. Al-Qur’an: Qur’an Surah Al-An’am ayat 19:

‫ُل‬
ِ ً‫د‬
‫ة ق‬ ََ‫ُ ش‬
َ‫ها‬ ‫ْب‬
‫َر‬ ‫َك‬
‫ء أ‬ٍْ‫َيُّ شَي‬
‫أ‬ ‫ُل‬
ْ ‫ق‬
َ‫ُوحِي‬
‫َأ‬ ‫ُم‬
‫ْ و‬ ‫َك‬
‫ْن‬ ََ
‫بي‬ ‫ِي و‬‫ْن‬
‫بي‬َ ‫ِيد‬ ‫شَه‬ ُ‫اَّلل‬
َّ
ِ
‫ِه‬‫ْ ب‬‫ُم‬‫َك‬
‫ِر‬ ْ ‫ن‬
‫ألنذ‬ ُ‫ْآ‬ ‫ُر‬ ْ ‫ذا‬
‫الق‬ َ‫ه‬َ َّ‫َِلي‬ ‫إ‬
ََّ
‫ن‬ ‫ن أ‬َ‫دو‬ُ‫ه‬ ‫ْ َلت‬
َْ‫َش‬ ‫ُم‬‫َّك‬
‫ِن‬‫َئ‬
‫َ أ‬ َ‫ب‬
‫لغ‬ َ ْ ‫من‬ََ ‫و‬
ُ‫ه‬
‫د‬ َْ‫َش‬
‫ْ ال أ‬‫ُل‬‫َى ق‬‫ْر‬‫ُخ‬‫ة أ‬ ً‫ه‬
َ‫ل‬ َّ َ
ِ‫اَّللِ آ‬ ‫مع‬ َ
‫ِي‬ َِّ
‫نن‬ ‫َإ‬‫َاحِد و‬‫َِله و‬
‫َ إ‬ ُ ‫َا‬
‫هو‬ ‫نم‬َِّ ‫ُل‬
‫ْ إ‬ ‫ق‬
َ‫ُو‬
‫ن‬ ‫ِك‬‫تشْر‬
ُ ‫َّا‬
‫ِم‬‫ِيء م‬‫بر‬َ
Artinya:
“Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah:
"Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Qur'an ini
diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan
kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur'an (kepadanya).
Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain
di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui". Katakanlah:
"Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)". (Q.S Al-
An’am: 19)
Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an diatas, maka asas legalitas adalah
sesuai dengan jiwa ayat-ayat tersebut. Jadi menurut ketentuan hukum Islam
tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali setelah ada penjelasan
dan pemberitahuan yang terdapat dalam aturan hukum terlebih dahulu. Dalam
hukum Islam, semua ketentuan hukum telah terdapat dalam Al-Qur’an dan
sunnah Rasul yang berlaku sampai akhir zaman, oleh karena itu hukum Islam
telah mengakomodasi semua perbuatan yang dianggap sebagai maksiat.
Asas legalitas sebagai asas dasar dalam penegakan hukum pidana
berarti mendapat tempat yang sangat penting dalam hukum Islam, karena hal
itu menurut Anwar Haryono menjadi ukuran keadilan dan jaminan adanya
kepastian hukum. Namun demikian, asas legalitas menurut hukum Islam tidak
diterapkan secara aboslut/kaku, terbukti dengan adanya hadits-hadits Nabi
Muhammad:
1. Hadits dari Ahad berkata: “Tidaklah sesuatu perkara yang didalamnya
terdapat qishash diajukan kepada Rasulullah SAW, kecuali Rasulullah
SAW memerintahkan untuk memberi maaaf.”
2. Dalam Hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah juga meriwayatkan, bahwa
Nabi Muhammad SAW, mengatakan: “Hindarilah hukuman had dari
kaum muslimin, selama masih mungkin. Jika ada dasar untuk melepasnya
seseorang dari hukuman, maka biarkanlah dia terbebas. Seorang hakim
lebih baik keliru dalam memberi ampun daripada keliru dalam memberi
hukuman.”
3. Dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidaklah
seseorang memaafkan dari suatu kedzaliman, kecuali Allah akan
menambahkannya kemuliaan.”
Berdasarkan hadits-hadits diatas dapat diketahui bahwa asas legalitas
tidak diterapkan secara kaku, hal ini juga terlihat dari penerapan asas legalitas
menurut hukum Islam yang berbeda-beda tergantung pada jenis tindak
pidananya, baik dalam tindak pidana hudud, qishash, dhiyat, maupun ta’zir.
Pada tindak pidana hudud, penerapan asas legalitas diterapkan secara
teliti dan cermat. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dalam tujuh macam tindak
pidana hudud yaitu: tindak pidana zina, qadzaf (menuduh orang lain zina),
meminum minuman keras, tindak pidana pencurian, tindak idana hirabah
(gangguan keamanan), tindak pidana murtad, dan tindak pidana
pemberontakan/subversi (al-bagy).
Penerapan asas legalitas dalam tindak pidana ta’zir berbeda dengan
penerapan asas legalitas dalam tndak pidana hudud atau tindak pidana qishash
dan dhiyat. Penerapan asas legalitas pada tindak pidana ta’zir diperlonggar
sampai batas tertentu. Kelonggaran dalam tindak pidana ini terdapat baik
dalam segi bentuk tindak pidananya maupun segi hukumannya (sanksinya).
Karena dalam tindak pidana ta’zir bentuk tindak piananya yang memiliki
sifat-sifat tertentu tidak memerlukan ketentuan tersendiri yang menyatakan
sebagai tindak pidana, tetapi cukup menyatakannya dengan had dan cara yang
bersifat umum. Hukuman ta’zir dijatuhkan atas perbuatan yang
membahayakan kemaslahatan individu, masyarakat, atau ketertiban umum.
Menurut Barda Nawawi Arief, asas legalitas dalam kaidah fiqhiyyah
adalah sebagai berikut:
1. “Al-Ashlu fi al-asyyai wa al-af’ali al-ibahati hatta yaqumu al-dalilu ‘ala
khilafahi”. Artinya, hukum asal (pokok) dari segala perkara dan semua
perbuatan adalah diperbolehkan hingga akhirnya ada suatu dalil (dasar
hukum) yang membedakannya (tidak lagi diperbolehkan). Maksud kaidah
diatas ialah bahwa pada dasarnya setiap perbuatan itu boleh/bebas untuk
dilakukan (jadi tidak terlarang dan juga tidak diharuskan) dan oleh
karenanya maka pelakunya tidak dimintai pertanggung jawaban, sehingga
ada / lahir suatu aturan hukum yang menentukannya lain
(melarang/mengharuskan).
2. “Laa hukma li af’ali al-‘uqala qobla wurudi al-nash”. Artinya, perbuatan
orang yang berakal tidak ada hukum apapun terhadapnya sebelum ada
nash (aturan) yang menentukannya. Kaidah ini mengandung arti bahwa
setiap perbuatan mukallaf (yaitu orang yang sudah dapat dibebani suatu
tanggung jawab hukum), tidak dapat dituntut sebagai perbuatan pidana
kecuali sebelumnya sudah ada nash (aturan hukum) yang menentukan
perbuatan tersebut sebagai perbuatan pidana. Berdasarkan kedua kaidah
fiqhiyyah diatas, maka muncullah kaidah fiqhiyyah ketiga berikut ini.
3. “Laa jarimata wa laa ‘uqubata illa bi nashshin”. Artinya, tidak ada suatu
perbuatan yang boleh dianggap sebagai suatu jarimah (tindak pidana), dan
tidak ada pula suatu hukumn (pidana) yang bileh dijatuhkan kepada
pelakunya kecuali sebelumnya telah ada nash (aturan hukum) yang
menentukan demikian.

C. Penerapan Asas Legalitas


Asas legalitas diterapkan oleh syara’ pada semua jarimah , akan tetapi
corak dan cara penerapannya tidak sama, melainkan berbeda-beda menurut
perbedaan macamnya jarimah, seperti yang akan terlihat nanti.
1. Asas Legalits pada Jarimah Hudud
a) Untuk jarimah zina
 Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
(QS. Al-Isra’: 32).
 Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. ( QS.
An-Nur: 2)
b) Untuk jarimah al-qodzaf
 Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang
saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh
kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
(QS. An-Nur: 4).
c) Untuk jarimah asy-syurbu
 Hai orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan
keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90)
 Tiap-tiap yang memabukkan adalah haram. (Hadits).
d) Untuk jarimah as-sirqah
 Pencuri lelaki dan pencuri perempuan hendaklah kamu potong
tangannya. (QS. Al-Maidah: 38).
e) Untuk jarimah al-hirabah
 Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di
muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS. Al-Maidah:
3).
f) Untuk jarimah ar-riddah
 Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-
kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85).
 Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu
dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat. (QS. Al-Baqarah: 217).
g) Untuk jarimah al-baghyu
 Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka
damaikalah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya
berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah
(golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu
kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali
(kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya
dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Hujurat: 9)
2. Asas Legalitas pada Qiyas-Diyat
a) Untuk jarimah al-qatl a-’amd
 Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.
Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya
Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
(QS. Al-Isra’: 33)
b) Untuk jarimah al-qatl syibh al-‘amd
 Rasulullah berkata: “Ingatlah, pada pembunuhan keliru-sengaja
(semi-sengaja), yaitu pembunuhan dari pecut, tongkat, dan
batu, ialah seratus unta. (Hadits)
c) Untuk jarimah al-qatl al-khata’
 Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang
yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak
sengaja). Barang siapa membunuh seorang yang beriman
karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah. Jika dia (si terbunuh) dari
kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka
hendaklah (si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang
beriman. Jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada
perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka
(hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba
sahaya yang beriman. Barang siapa tidak memperolehnya,
maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’: 92)
d) Untuk Jarimah al-jarh al-khata’
 Dalam jarimah ini Rasulullah menentukan batas-batas hukum
diyat, dengan dasar perhitungan apabila pada badan hanya
terdapat satu macam anggota badan, seperti hidung, lidah, alat
kelamin, maka dikenakan satu diyat lengkap seratus unta.
Apabila yang dirusakkan adalah anggota badan yang rangkap
seperti mata dan telinga, maka untuk masing-masingnya
dikenakan setengah diyat, yaitu lima puluh unta.
Menghilangkan satu gigi dikenakan lima unta.
 Rasulullah juga mewajibkan diyat pada penganiayaan yang
menghilangkan indera-indera, seperti pendengaran,
penglihatan, dan perasaan (fikiran).
e) Jarimah untuk al-jarh al-‘amd
 Untuk tiap-tiap perusakan atau pelukaan yang tidak ditentukan
diyatnya yang lengkap atau sebagian, maka hal itu diserahkan
pada hakim, dengan mengambil pertimbangan orang-orang
ahli. Aturan tersebut sudah menjadi kesepakatan. (Ijma’).

3. Asas Legalitas pada Jarimah Ta’zir


Penerapan asas legalitas dalam jarimah ta’zir berbeda penerapan asas
legalitas dalam jarimah huddud dan qishash. Abdul Qadir Audah membagi
hukuman ta’zir kepada tiga bagian:
a) Hukuman ta’zir atas perbuatan maksiat.
Para ulama’ sepakat bahwa hukuman ta’zir diterapkan atas setiap
perbuatan maksiat, yang tidak dikenakan had dan tidak pula kifarat,
baik perbuatan maksiat tersebut menyinggung hak Allah maupun hak
adami.
b) Hukuman ta’zir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum.
Menurut kaidah umum yang berlaku selama ini dalam syari’at islam,
hukuman ta’zir hanya dikenakan terhadap maksiat, yaitu perbuatan
yang dilarang karena zat perbuatannya itu sendiri sebagai
penyimpangan dari aturan pokok tersebut.
c) Hukuman ta’zir atas perbuatan pelanggaran (mukhalafah).
Ta’zir karena Pelanggaran (mukholafah) adalah melakukan perbuatan
yang diharamkan dan meninggalkan perbuatan yang diwajibkan. Jika
meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan yang diharamkan
merupakan maksiat. Untuk menjatuhkan ta’zir atas perbuatan
mukhalafah, disyaratkan berulang-ulangnya perbuatan yang dapat
dikenakan hukuman, jadi. Sebenarnya penjatuhan itu bukan karena
perbuatannya itu sendiri melainkan karena berulang-ulang, sehingga
perbuatan itu menjadi adat kebiasaan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran
dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.
2. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain: surat al-Isra ayat 15,
surah al-Qashash ayat 59, surat al-An’an ayat 19, surat al-Baqarah ayat
286.
3. Kaidah asas legalitas “Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukum
bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat.”
4. Contoh penerapan asas legalitas, pada masalah zina: “Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera”. ( QS. An-Nur: 2)

B. Saran
Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang
telah memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini hingga
kami dapat mengaplikasikan kemampuan kami di dalam makalah ini, tidak
lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak/ibu dosen yang telah
membimbing dan mengawasi proses pembuatan makalah ini, serta teman-
teman yang telah mendukung dalam penyelesaian makalah ini. Kami mohon
maaf apabila didalam makalah ini terdapat beberapa kesalahan dan beberapa
kekurangan. Kami sebagai penulis meminta kritik dan saran agar dalam
penulisan makalah berikutnya kami bisa lebih bagus dan lebih kreatif.

Anda mungkin juga menyukai