Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH USHUL FIQH

“Ittiba’, Taqlid, & Talfiq”

Diajukan Sebagai Tugas


Pada Mata Kuliah Ushul Fiqh
Jurusan Syariah
Prodi Akhwalul Syakhsiyah Semester II (Dua)
Dosen Pengampu : Sudirman, S. H., M. H. I.

Disusun Oleh:

1. Nuril Fitriani (Sya. 520717004)


2. Suryani Thaba (Sya. 520717012)
3. Waode Nur Agustyani (Sya. 520717007)

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sorong

Tahun Akademik 2017/2018


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nyalah kami selaku penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Shalawat serta salam tak lupa kami junjungkan kepada nabi besar
Muhammad Saw, yang telah mengantarkan kita menuju zaman yang penuh ilmu
pengetahuan.

Makalah yang berjudul “Ittiba’, Taqlid, & Talfiq” ini kami buat demi
memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih. Dalam menyelesaikan makalah ini
sedikit banyak kami telah belajar mengenai ittiba’, taqlid, dan talfiq, serta
bagaimana hukumnya. Dengan adanya makalah ini kami berharap dapat
membantu dalam proses belajar mengajar serta menambah wawasan kita dalam
studi ushul fiqh.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat


banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karna itu, kami
mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna menyempurnakan
makalah ini dan dapat menjadi acuan dalam menyusun makalah-makalah atau
tugas-tugas selanjutnya.

Kami juga memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat
kesalahan pengetikan dan kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam
memahami maksud penulis.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Penyusun,

Sorong, 12 April 2018

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................ ii

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang ....................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 1
D. Urgensi ................................................................................................... 2

Bab II Pembahasan

A. Ittiba’ ...................................................................................................... 3
B. Taqlid ..................................................................................................... 5
C. Talfiq ...................................................................................................... 9

Bab III Penutup

A. Kesimpulan ............................................................................................ 13
B. Saran ...................................................................................................... 13

Daftar Pustaka .................................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada pokoknya, yang menjadi objek pembahasan ilmu ushul fiqh adalah
dalil-dalil syara’. Adapun yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqh
adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’ itu sendiri.
Pada setiap diri manusia dikaruniai akal oleh Sang Pencipta, Allah Swt.
Potensi akal inilah yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh umat manusia,
baik untuk urusan duniawi atau bermuamalah atau untuk urusan ibadah kepada
Allah Swt. Potensi akal ini harus digali agar dalam menjalankan setiap sendi
kehidupan kita memiliki makna. Misalnya dalam hal ibadah, seorang muslim
hendaknya mengetahui ilmunya, sebab ibadah yang dilakukan tanpa ilmu akan
sia-sia. Seorang muslim selayaknya juga selalu berhati-hati dalam mengambil atau
mengikuti seuatu pendapat, dan hendaknya ia mengetahui dalil dan alasan-alasan
yang melatarbelakangi suatu pendapat agar tidak terjadi sekedar ‘ikut-ikutan’
tanpa tahu apa yang diikuti itu.
Oleh sebab itu, kita perlu mengetahui bagaimana hukumnya berittiba’,
bertaqlid, dan bertalfiq, agar dapat menjadi tuntunan kita sehingga tidak akan
terjadi salah langkah dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ittiba’ dan bagaimana hukumnya?
2. Apa yang dimaksud dengan taqlid dan bagaimana hukumnya?
3. Apa yang dimaksud dengan talfiq dan bagaimana hukumnya?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui konsepsi ittiba’ dan hukumnya.
2. Mengetahui konsepsi taqlid dan hukumnya.
3. Mengetahui konsepsi talfiq dan hukumnya.

1
D. Urgensi
Istilah-istilah seperti ittiba’, taqlid, dan talfiq, erat hubungannya dengan
ilmu fiqh maupun ushul fiqh. Sebab, istilah-istilah di atas tersebut menyangkut
tentang suatu tindakan seorang muslim khusunya mukallaf yang telah dikenai
hukum atas setiap langkah yang diambil dalam perbuatannya.
Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan ittiba’, taqlid, dan talfiq, serta kriteria seperti apa yang menjadi standar
pelabelan bahwa seseorang telah berittiba’ atau bahkan bertaqlid. Selanjutnya,
hendaknya kita mengetahui bagaimana hukum dalam melakukan ketiganya.
Pengetahuan tentang hukum berittiba’, bertaqlid, ataupun bertalfiq, sangat
penting, agar kita tidak melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan al-
Qur’an maupun sunnah Rasulullah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ittiba’
1. Pengertian Ittiba’
Kata Ittiba’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja (fi’il) ittaba’a-
yattabi’u–ittiba’an, yang artinya adalah mengikuti atau menurut.1 Sedangkan
orang yang diikuti disebut muttabi’.2
Kalangan usuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau
menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh
Rasulullah.3 Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain
dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.4
Menurut salah satu ulama, Ittiba’ didefinisikan sebagai:

ُ‫ت ت َ ْعلَ ُم ِم ْن أ َ ْينَ قَالَه‬


َ ‫قَب ُْو ُل قَ ْو ِل اْلقَائِ ِل َوأ َ ْن‬
“Menerima pendapat seseorang dan kamu mengetahui darimana (sumber)
pendapat itu.”
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya ittiba’
adalah mengikuti perkataan atau pendapat seorang yang faqih (paham) atau
mujtahid dengan mengetahui alasan atau argumentasi dari pendapat yang diikuti.

2. Hukum Ittiba’
Dalam hal ittiba’, para ulama membagi ittiba’ dalam dua bentuk, yaitu
ittiba’ kepada Allah dan Rasulnya, dan ittiba’ kepada selain Allah dan Rasulnya.5
a) Ittiba’ Kepada Allah dan Rasulnya
Para ulama sepakat bahwa hukum ittiba’ kepada Allah dan Rasulnya
adalah wajib, sebagaimana firman Allah:

َ‫اِتَّبِعُ ْوا َما أ ُ ْن ِز َل إِلَ ْي ُك ْم ِم ْن َربِ ُك ْم َوالَ تَتَّبِعُ ْوا ِم ْن د ُْونِ ِه أ َ ْو ِليَا َء قَ ِل ْيالً َما تَذَ َّك ُر ْون‬
1
H. A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih (Satu dan Dua), (Jakarta: Kencana, 2014),hlm. 199.
2
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 123.
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Wawan Djunaedi ,Fikih ,(Jakarta: PT.Listafariska Putra, 2008), hlm. 70.

3
“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu
ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil
pelajaran.” (Q.S. Al-A’raf:3)

ٌ ُ‫غف‬
‫ور‬ َ ُ‫َّللا‬َّ ‫َّللاُ َويَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُو َب ُك ْم َو‬ َ َّ َ‫قُ ْل ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُ ِحبُّون‬
َّ ‫َّللا فَات َّ ِبعُو ِني ي ُْح ِب ْب ُك ُم‬
َ‫َّللا َال ي ُِحبُّ ْال َكافِ ِرين‬
َ َّ ‫سو َل فَإ ِ ْن ت َ َولَّ ْوا فَإِ َّن‬ ُ ‫الر‬ َّ ‫{ قُ ْل أ َ ِطيعُوا‬٣١} ‫َر ِحي ٌم‬
َّ ‫َّللاَ َو‬
{٣٢}
Katakanlah, “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian,” Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasul-
Nya; jika kalian berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir”. (Q.S. Ali ‘imran: 31-32)

b) Ittiba’ Kepada Selain Allah dan Rasulnya


Terhadap ittiba’ kepada selain Allah dan Rasulnya, para ulama berbeda
pendapat, sebagian mereka menyatakan bahwa ittiba’ kepada selain Allah
dan Rasulnya hukumnya tidak boleh, namun sebagian ulama yang lain
menyatakan bahwa ittiba’ kepada ulama diperbolehkan. Alasan ulama
membolehkan adalah karena ulama dinilai sebagai pewaris Nabi.6 Pendapat
ini berdasarkan kepada firman Allah Swt:

ِ ‫فَاسْأَلُوا أ َ ْه َل‬
َ‫الذ ْك ِر ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم َال ت َ ْع َل ُمون‬
“maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak
mengetahui.” (QS.Al-anbiya:7)
Adapun yang dimaksud dengan “orang yang berilmu” (ahl-dzikri) dalam
ayat di atas adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu al-Qur’an dan hadits
serta bukan pengetahuan berdasarkan pengalaman semata. Karena orang-
orang yang seperti disebut terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan
penyimpangan-penyimpangan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan

6
Ibid.

4
hadits Nabi, untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan
berittiba’ kepadanya.7
Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi
syarat untuk berittiba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan
keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid
atau kepada seseorang yang benar-benar mengetahui Islam. Dengan
demikian, diharapkan agar setiap kaum muslimin sekalipun mereka awam
dapat mengamalkan ajaran Islam dengan penih keyakinan karena adanya
pengertain. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian
dan keyakinan akan menimbulkan kekhusu’an dan keikhlasan.8
Namun, dalam berittiba’, para Imam mujtahid berpesan agar tidak
mengikuti pendapat mereka tanpa mengadakan penelitian terlebih dahulu.9

B. Taqlid
1. Pengertian Taqlid
Kata taqlid berasal dari fi’il madhi qallada-yaqallidu, yang secara lughawi
berarti mengalungkan, atau menjadikan kalung.10 Kata taqlid mempunyai
hubungan erat dengan kata qaladah yang berate kalung. Menurut asalnya, kalung
itu digunakan untuk sesuatu yang diletakkan membelit leher seekor hewan, dan
hewan yang dikalungi itu mengikuti sepenuhnya ke mana saja kalung itu ditarik
orang. Jika yang dijadikan “kalung” itu adalah “pendapat” seseorang, maka berarti
orang yang dikalungi itu akan mengikuti pendapat oaring itu tanpa
mempertanyakan lagi mengapa pendapat orang tersebut demikian.11
Dari taqlid menurt pengertian lughawi itu berkembang menjadi istilah
hukum yang hakikatnya tidak jauh dari pengerian secara lughawai. Diantar definsi
tentng taqlid, antara lain:
a) Al-Ghazali memberikan definsi:

7
Saifuddin Mujtaba, Ilmu Fqih Sebuah Pengantar, (Jember: STAIN Jember Pres, 2013), hlm. 154.
8
Ibid.
9
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh: Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung, 2013), hlm. 123.
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: kencana, 2009), hlm. 433.
11
Ibid.

5
‫َقب ُْو ُل َق ْول بِالَ ُح َّجة‬
Menerima ucapan tanpa hujjah.
b) Al-Asnawi dalam kitab Nihayat as-Ushul mengemukakan definisi:

َ ‫الت َّ ْقل ْيدُ ُه َواال َْٔخذُابِقَ ْو ِل َغي ِْر ِه ِم ْن‬


‫غي ِْردَ ِليْل‬
Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil.
Banyak definisi lain yang pada prinsipnya tidak berbeda dengan definsi
yang dikemukakan di atas.
Muhammad Rasyid Ridha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-
kenyataan yang ada dalam masyarakat Islam. Taqlid menurutnya adalah
mengikuti pendapat orang yang dianggap terhormat dalam masyarakat dan
dipercaya dalam hukum Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik
buruknya, serta manfaat dan mudharatnya pendapat tersebut.12
Ibn al-Hummam (dari kalangan ulama Hanafiyah) memberikan definisi
taqlid sebagi berikut:

‫ْس قَ ْولُهُ ِإ ْحدَى ْال ُح َججِ ِب َال ُح َّجة ِم ْن ِها‬


َ ‫الت َّ ْق ِل ْيد ُال َع َم ُل ِب َقو ِل َم ْن لَي‬
Taqlid ialah beramal dengan pendapat seseorang yang pendapatnya itu
bukan merupakan hujjah, tanpa mengetahui hujjahnya.

Sehubungan dengan definisi tersebut, maka menerima pendapat Nabi yang


berniali hujjah dengan sendirinya, begitu pula jika menerima pendapat yang lahir
dari kesepakatan dalam ijma’, maka tidak disebut taqlid, meskipun pada waktu
menerimanya tanpa hujjah atau tidak mengetahui dalilnya. Sebaliknya, pendapat
mujtahid secara perseorangan adalah bukan hujjah, maka bila seseorang
mengikuti pendapat mujtahid itu tanpa mengetahui dalilnya, disebut taqlid.13

Dari pengertian di atas, dapat ditarik pengertian bahwa taqlid adalah


mengikuti sebuah hasil ijtihad tanpa mengetahui dasar dalil atau sumber hukum
yang digunakan oleh mujtahid.14

12
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 126.
13
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: kencana, 2009), hlm. 435.
14
Wawan Djunaedi,FIKIH, (Jakarta: PT.Listafariska Putra, 2008), hlm.68.

6
2. Hukum Bertaqlid
Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan melarang orang
Islam ikut-ikutan dalam menjalankan agama diantaranya firman Allah dalam
surah Luqman ayat 21:

‫علَ ْي ِه آ َبا َءنَا أ َ َولَ ْو‬ َّ ‫َو ِإذَا قِي َل لَ ُه ُم ات َّ ِبعُوا َما أ َ ْنزَ َل‬
َ ‫َّللاُ قَالُوا َب ْل نَت َّ ِب ُع َما َو َج ْدنَا‬
‫ير‬
ِ ‫س ِع‬ ِ ‫عذَا‬
َّ ‫ب ال‬ َ ‫عو ُه ْم ِإ َلى‬
ُ ‫ان َي ْد‬ ُ ‫ط‬ َ ‫ش ْي‬َّ ‫َكانَ ال‬
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan
Allah”. Mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami
dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka (akan mengikuti
bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api
yang menyala-nyala (neraka)?
Disamping itu, ada pula ayat yang mengisyaratkan tidak perlu semua
mendalami pengetahuan agama, tapi cukup sebagaian orang saja, sebagaimana
diterangkan dalam firman Allah pada Surah at-Taubah ayat 122:
َ ‫َو َما َكانَ ْال ُمؤْ ِمنُونَ ِل َي ْن ِف ُروا َكافَّةً فَلَ ْوال نَ َف َر ِم ْن ُك ِل ِف ْرقَة ِم ْن ُه ْم‬
ٌ‫طا ِئفَة‬
َ‫ين َو ِليُ ْنذ ُِروا قَ ْو َم ُه ْم ِإذَا َر َجعُوا ِإلَ ْي ِه ْم لَ َعلَّ ُه ْم َي ْحذَ ُرون‬
ِ ‫ِل َيتَفَقَّ ُهوا ِفي ال ِد‬
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Karena sebagian yang tahu pengetahuan agama dan banyak yang tidak tahu,
maka yang tidak tahu disuruh bertanya kepada yang tahu sebagaimana firman
Allah surah an-Nahl ayat 43:

ِ ُ‫س ْلنَا ِم ْن قَ ْب ِل َك إِال ِر َجاال ن‬


‫وحي إِلَ ْي ِه ْم فَاسْأَلُوا أ َ ْه َل ال ِذ ْك ِر إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ال‬ َ ‫َو َما أ َ ْر‬
َ‫ت َ ْعلَ ُمون‬

7
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang
Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Oleh karena adanya isyarat-isyarat al-Qur’an yang disatu segi melarang
bertaqlid dan dari segi lain mengisyaratkan untuk bertaqlid, maka terdapat
perbincangan yang meluas dikalangan ulama tentang taqlid tersebut.
Adapun jumhur ulama berpendapat bahwa, taqlid dalam bidang syar’i tidak
dibenarkan secara mutlak. Sedangkan aliran Maliki berpendapat bahwa taqlid
adalah batal. Demikian golongan Zahiriyah berpendapat bahwa taqlid dalam
agama adalah terlarang.
Alasan ulama-ulama yang melarang taqlid adalah firman Allah yang
berbunyi:

َ َ‫ص َر َو ْالفُ َؤادَ ُك ُّل أُولَئِ َك َكان‬


ُ‫ع ْنه‬ َ َ‫س ْم َع َو ْالب‬
َّ ‫ْس لَ َك بِ ِه ِع ْل ٌم إِ َّن ال‬ ُ ‫َوال ت َ ْق‬
َ ‫ف َما لَي‬
‫َم ْسئُوال‬
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. Isra: 36 ).

Sebagaimana halnya dalam bidang syar’i, dalam bidang tauhid atau


ushuluddin jumhur ulama berpendapat tidak dibenarkan bertaqlid, dengan
beberapa alasan:
a) Umat telah berijma’ tentang wajibnya mengetahui Allah, adapun cara
mengetahuinya bukan dengan jalan taqlid.
b) Seorang muqallid tidak mengetahui, apakah benar ataukah salah
pendapat yang diikutinya itu.
c) Secara umum perbuatan taqlid adalah tercela.
Beberapa fatwa dari golongan sahabat dan Imam Mazhab diantaranya yaitu:
a) Mu’az bin Jabal berkata: “Adapun orang alim itu, jika mendapat
petunjuk maka janganlah kamu bertaqlid kepadanya tentang agama
kamu.”

8
b) Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak halal bagi seseorang akan berkata
dengan perkataan kami hingga dia mengetahui dari mana (alasan) kami
mengatakannya.”
Dari perkataan-perkataan atau fatwa di atas jelas dapat kita simpulkan
bahwa para Imam melarang umat Islam bertaqlid pada mereka ataupun pada
orang lain, sekalipun orang alim itu dikenal ahli dalam bidang agama.

C. Talfiq
1. Pengertian Talfiq
Talfiq berasal dari kata laffaqa artinya mempertemukan menjadi satu.15
Menurut pengertian lain talfiq artinya menutup, menambal, dapat mencapai dan
sebagainya.16
Dalam literatur ushul fiqh sulit ditemukan pembahasan secara jelas tentang
definisi talfiq. Namun hampir semua literatur menyinggung masalah ini dalam
pembahasan tentang beralihnya orang yang minta fatwa kepada imam mujtahid
lain dalam masalah yang lain. Perpindahan mazhab ini mereka namakan talfiq
dalam arti: “ beramal dalam urusan agama dengan berpedoman kepada petunjuk
beberapa mazhab”.17
Adapula yang memahami talfiq itu dalam lingkup yang lebih sempit, yaitu
dalam satu masalah tertentu. Umpamanya talfiq dalam masalah persyaratan
sahnya nikah, yaitu dengan cara: mengenai persyaratan wali nikah mengikuti satu
mazhab tertentu, sedangkan mengenai persyaratan penyebutan mahar mengikuti
mazhab yang lain.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa talfiq merupakan suatu sikap
dalam beragama yang mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa
berdasarkan kepada pendapat dari berbagai mazhab.

2. Hukum Talfiq

15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: kencana, 2009), hlm. 453.
16
H. A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih (Satu dan Dua), (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 210.
17
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: kencana, 2009), hlm. 453.

9
Para ulama memperbincangkan masalah hukum talfiq tersebut. Tentunya
masalah ini tidak menjadi bahan perbincangan bagi kalangan ulama yang tidak
mengharuskan seseorang untuk mengikatkan dirinya kepada satu mazhab, atau
kepada seorang mujtahid (mufti) tertentu. Demikian juga bagi kalangan ulama
yang mengharuskan bermazhab dan tidak boleh berpindah mazhab. Mereka
merasa tidak perlu memperbincangkan masalah ini karena talfiq itu sendiri pada
hakikatnya adalah pindah mazhab. Bagi kedua kalangan ulama tersebut, talfiq
sudah jelas hukumnya. Karena itu, perbincangan tentang talfiq itu muncul
dikalangan ulama yang membolehkan berpindah mazhab dalam masalah
tertentu.18
Sebagian ulama menolak talfiq dengan tujuan untuk mencari-cari
kemudahan. Kemudian Ibnu Subki menukilkan pendapat Abu Ishaq al-Marwazi
yang beda dengan itu (yaitu membolehkan). Kemudian diluruskan pengertiannya
oleh al-Mawalli yang menyatakan fasik melakukannya, sedangkan Ibn Abu
Hurairah menyatakan tidak fasik.19
Jika pendapat diatas kita bandingkan dengan pandangan al-Razi dalam kitab
al-Mahshul dan syarahnya yang mengutip persyaratan yang dikemukakan al-
Royani dan komentar Ibnu ‘Abad al-Salam, dapat disimpulkan bahwa boleh
tidaknya talfiq tergantung kepada motivasi dalam melakukan talfiq tersebut.
Motivasi ini diukur dengan kemaslahatan yang bersifat umum. Jika motivasinya
adalah negatif, dengan arti mempermainkan agama atau mempermudah agama,
maka hukumnya tidak boleh. Umpamanya seorang laki-laki menikahi seorang
perempuan tanpa wali, tanpa saksi, dan tanpa menyebutkan mahar, padahal untuk
memenuhi ketiga syarat itu tidak susah. Maka jelas bahwa orang tersebut
menganggap enteng ajaran agama dan mempermainkan hukum syara’.
Bila talfiq dilakukan dengan motivasi maslahat, yaitu menghindarkan
kesulitan dalam beragama talfiq dapat dilakukan. Inilah yang dimaksud al-Razi
dengan ucapan, “terbuka hatinya dengan mengikuti mazhab yang lain”.

18
Ibid.
19
Ibid, hlm. 454.

10
Bila talfiq dilakukan oleh suatu negara dalam pembentukan suatu peraturan
yang akan dijalankan umat islam, maka tidak ada alasan untuk menolaknya karena
suatu negara dalam berbuat untuk umatnya berdasarkan pada kemaslahatan
umum. Umpamanya undang-undang perkawinan yang berlaku hampir disemua
negara yang berpenduduk muslim, dirumuskan atas dasar talfiq.
Untuk tindakan berhati-hati dalam melakukan talfiq adalah relevan untuk
mengikuti persyaratan yang dikemukakan al-Alai yang diikuti oleh al-Tahrir serta
sesuai dengan yang diriwayatkan Imam Ahmad dan al-Quduri yang diikuti Ibn
Syureih dan Ibn Hamdan. Persyaratan tersebut adalah:
a) Pendapat yang dikemukakan oleh mazhab lain itu dinilainya lebih
bersikap hati-hati dalam menjalankan agama.
b) Dalil dari pendapat yang dikemukakan mazhab itu dinilainya kuat dan
rajih.
Adapun pandangan Ulama Fiqh mengenai talfiq ini diantaranya pendapat
Mutaakhirin yang membolehkan talfiq atau bertalfiq. Mazhab Syafi’i tidak
membenarkan seseorang berpindah mazhab, baik secara keseluruhan masalah,
yakni dalam masalah yang berlainan, maupun dalam satu bidang masalah saja.
Mazhab Hanafi membolehkan talfiq dengan syarat bahwa, masalah yang
ditalfiqkan itu bukan dalam satu masalah atau qadiah. Sebagai contoh misalnya,
berwudhu menurut mazhab Syafi’i sedang pembatalannya menurut mazhab
Hanafi. Atau menyapu muka dalam berwudhu menurut mazhab Syafi’i sedang
mengusap rambut dalam hal berwudhu menurut mazhab Maliki.20
Dari uraian diatas, pada dasarnya, talfiq dibolehkan dalam Islam, selama
tujuan melaksanakannya semata-mata mengikuti pendapat yang lebih kuat
argumentasinya, yaitu setelah meneliti dalil-dalil dan analisis masing-masing
pendapat tersebut. Namun, bila talfiq dimaksudkan untuk mencari keringanan dan
mengumpulkannya dalam suatu perbuatan tertentu, hal ini tidaklah dibenarkan
menurut pendapat jumhur ulama. Perlu diingat, talfiq dalam masalah ibadah
seharusnya dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sikap
pertentangan yang ditunaikan untuk mencari keridhoan Allah.

20
H. A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih (Satu dan Dua), (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 212.

11
12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ittiba’ adalah mengikuti perkataan atau pendapat seorang yang faqih
(paham) atau mujtahid dengan mengetahui alasan atau argumentasi dari pendapat
yang diikuti. Sementara taqlid adalah sebaliknya, mengikuti sebuah hasil ijtihad
tanpa mengetahui dasar dalil atau sumber hukum yang digunakan oleh mujtahid.
Selanjutnya yaitu talfiq yang merupakan suatu sikap dalam beragama yang
mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa berdasarkan kepada
pendapat dari berbagai mazhab.

B. Saran
Dalam menjalankan kehidupan beragama, terutama dalam melakukan
ibadah, atau melakukan sesuatu yang lain yang erat hubungannya dengan
masalah-masalah keagamaan, hendaknya kita senantiasa berhati-hati, berittiba’
jauh lebih baik dibanding dengan bertaqlid. Sebab sebagaimana kita ketahui
bahwa ibadah yang dilakukan tanpa ilmu akan sia-sia.

13
DAFTAR PUSTAKA

Djalil, Basiq. 2014. Ilmu Ushul Fiqih (Satu dan Dua). Jakarta: Kencana.
Djunaedi, Wawan. 2008. Fikih. Jakarta: PT.Listafariska Putra.
Hasbiyallah. 2013. Fiqh dan Ushul Fiqh: Metode Istinbath dan Istidlal. Bandung.
Koto, Alaiddin. 2014. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.
Mujtaba, Saifuddin. 2013. Ilmu Fiqh Sebuah Pengantar. Jember: STAIN Jember
Press.
Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana.

14

Anda mungkin juga menyukai