Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ITTIBA DAN TALFIQ


DALAM HUKUM ISLAM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Tarikh Tasyri
Dosen pengampu: M. Arifin, Lc., M.S.I.

Disusun Oleh:
M. Fauzil Adzim (111-14-120)
Novie Purnia Putri (111-14-388)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017

Tarikh Tasyri | 0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap umat Islam yang sudah terkena beban taklif, wajib menjalankan
syariat Islam pada setiap aktivitas kehidupannya. Dasar yang menjadi
pedoman pelaksanaan tersebut adalah al-Quran dan as-Sunnah. Tetapi setiap
mukallaf dapat menggali kedua sumber tersebut untuk dijabarkan dalam
kegiatan hidupnya, karena melihat kenyataan bahwa manusia ini berbeda
tingkat intelektualitasnya dalam setiap bidang dan mengingat sulitnya
perangkat yang harus dimiliki oleh seorang penggali hukum (mujtahid).
Akibatnya, tidak semua manusia mendapatkan ketentuan hukum dari sumber
aslinya, tetapi melalui para mujtahid yang sanggup mengistinbatkan hukum
dari sumber aslinya itu.
Orang awam yang tidak mampu menggali hukum Islam sendiri atau
belum sampai pada tingkatan sanggup mengistinbatkan sendiri hukum-hukum
Islam, maka diperbolehkan bagi mereka mengikuti pendapat-pendapat dari
para mujtahid yang dipercayainya. Dalam makalah ini penulis mencoba
menguraikan tentang Ittiba dan Talfiq, yang meliputi pengertian dan hukum-
hukumnya, dan sebab terjadinya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ittiba?
2. Bagaimanakah dasar hukum dalam berittiba dan kedudukan ittiba
dalam Islam?
3. Apa yang dimaksud dengan talfiq?
4. Bagaimanakah dasar hukum dalam bertalfiq dan pandangan ulama
ushul terhadap talfiq?
5. Bagaimana sebab-sebab terjadinya talfiq?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui tentang pengertian ittiba?

Tarikh Tasyri | 1
2. Untuk mengetahui tentang dasar hukum dalam berittiba dan
kedudukan ittiba dalam Islam?
3. Untuk mengetahui tentang pengertian talfiq?
4. Untuk mengetahui tentang dasar hukum dalam bertalfiq dan
pandangan ulama ushul terhadap talfiq?
5. Untuk mengetahui tentang sebab-sebab terjadinya talfiq?

Tarikh Tasyri | 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. ITTIBA
1. Pengertian Ittiba
Kata Itibbaaa berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau
fiil Ittabaa, Yattbiu Ittibaan, yang artinya adalah mengikut atau
menurut. Menurut istilah agama yaitu menerima ucapan atau perkataan
orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu al-Quran
maupun Hadis yang dapat dijadikan hujjah.1
Imam Syafii mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti
pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para
sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima atau
mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan
perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang
jamaknya disebut muttabiun. 2
Dapat kita simpulkan bahwa, ittiba adalah mengambil atau menerima
perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta
tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum
berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.

2. Dasar Hukum dan Hukum Ittiba


Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan
penelitian terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum daripadanya
adalah tidak layak mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan
hujjahnya. Sebab banyak didapatkan nash-nash yang memerintahkan agar
kita ittiba, mengikuti pendapat orang lain dengan menemukan
argumentasi-argumentasi dari pendapat orang yang diikuti dan mencela
taqlid bagi orang-orang yang memiliki syarat untuk ijtihad.3
1
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003),
hlm. 60.
2
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, cet. 2, Ushul Fiqih II, (Bandung: Pustaka Setia,
2001), hlm. 163.
3
Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum
Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997), hlm. 164.

Tarikh Tasyri | 3
Ittiba dalam agama disuruh sebagaimana dalam firman Allah SWT
surah An-Nahl ayat 43 yang berbunyi:

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui.
Dalam ayat ini terdapat kalimat tanyakanlah, yaitu suatu perintah yang
memfaedahkan wajib untuk dilakukan. Maksudnya kewajiban kamu
bertanya kepada orang yang tahu dari kitab dan sunnah, tidak dari yang
lain-lain. Dengan pengertian ahli al-Quran dan Sunnah. Rasulullah SAW
juga bersabda yang artinya, Wajib kamu turut sunnahku (cara) dan
sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku. (HR Abu Daud).4
Jelaslah bagi kita bahwa termasuk satu perbuatan yang utama. Dan
hukumnya adalah wajib kalau sekiranya. Kita tidak dapat berijtihad
sendiri. Dan inilah tujuan kita sebagai orang-orang muslim agar kita dapat
memahami secara baik agama kita dan semua peraturan-peraturan yang
ada didalamnya.

3. Kedudukan Ittiba Dalam Islam


Ittiba' kepada Rasulullah saw mempunyai kedudukan yang sangat
tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat
masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting
yang ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah:
Pertama, Ittiba' kepada Rasulullah saw adalah salah satu syarat
diterima amal. Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat
diterimanya ibadah ada dua:
a. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah SWT semata.
b. Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh
Rasulullah saw.
Kedua, Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada
Allah swt dan Rasul-Nya.
Ketiga, Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah SWT.

4
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh..., hlm. 60-61.

Tarikh Tasyri | 4
Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at
Islam dan masih banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa ittiba' kepada Rasulullah saw merupakan suatu amal
yang teramat besar dan banyak mendapat rintangan. Mudah-mudahan
Allah SWT menjadikan kita termasuk orang-orang yang ittiba' kepada
Nabi-Nya dalam segala aspek kehidupan kita, sehingga kita akan bertemu
Allah swt dengan membawa husnul khatimah.

B. TALFIQ
1. Pengertian Talfiq
Kata talfiq berasal dari kata laffaqa yang artinya mempertemukan
menjadi satu. Talfiq menurut arti harfiahnya adalah tambal sulam. Ia
diumpamakan seperti tindakan manambal sulam potongan-potongan kain
untuk dijadikan sepotong baju yang utuh, atau seperti kita mengumpulkan
beragam hal dari berbagai tempat dan kemudian disusun untuk dijadikan
sesuatu bentuk yang utuh.
Sedangkan talfiq menurut istilah ialah mengambil pendapat dari
seorang mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lain,
baik dalam masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda.
Dengan kata lain talfiq itu adalah memilih pendapa dari berbagai pendapat
yang berbeda dari kalangan ahli fiqh.5
Maksudnya adalah, seperti seseorang mengikuti pendapat Syafiiy
dalam masalah iddah wanita yang ditalak, karena balasannya lebih kuat
dari mazhab lain umpamanya. Sedang dalam hal tidak adanya wali mujbir
dalam perkawinan, ia mengikut pendapat hanafi, karena merasa alasannya
lebih kuat. Yang demikian dinamakan Talfiq dalam masalah yang
berlainan.
Di samping itu, juga termasuk dalam ketegori talfiq, seseorang ber-
talfiq dalam satu masalah, seperti dalam masalah wudhu. Seseorang tidak
melafazkan niat, karena mengikut mazhab Hanafi. Tapi dalam hal

5
M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, cet 4, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm. 89.

Tarikh Tasyri | 5
mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena
mengikuti mazhab Maliki misalnya.

2. Hukum Tafiq dan Pandangan Ulama Ushul Terhadap Talfiq


Apabila dihubungkan dengan mazhab-mazhab tertentu, maka
seseorang bisa memakai pendapat sesuatu mazhab dalam sesuatu
persoalan, dan bisa pula memakai mazhab lainnya dalam persoalan yang
lain lagi, dengan syarat tidak ada hubungan antara kedua persoalan
tersebut dan tidak bermaksud mencari-cari yang mudah-mudah saja.
Pengambilan dari berbagai-bagai mazhab dalam berbagai-bagai persoalan
sebagaimana telah dikatakan di atas, adalah boleh. Tetapi mengenai satu
persoalan saja, apakah bagian-bagiannya bisa diambil dari berbagai-bagai
mazhab, sehingga pendapat dalam satu persoalan merupakan gabungan
dari berbagai-bagai mazhab, dan inilah yang disebut dengan talfiq, dalam
hal ini ada beberapa pendapat.6
Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai hukum talfiq ini, yakni boleh atau
tidaknya seseorang berpindah mazhab, baik secara keseluruhan maupun
sebagian mereka terbagi kepada tiga pendapat.7 Pendapat tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Pendapat Pertama
Mengatakan bila seseorang telah memiliki (memilih) salah satu
mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telah dipilihnya itu. Ia
tidak dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain, baik secara
keseluruhan maupun sebagian.
Keadaan orang itu sama dengan seorang mujtahid manakala sudah
memilih salah satu dalil maka ia harus tetap berpegang pada dalil itu.
Sebab dalil yang dipilihnya itu adalah dalil yang dipandangnya kuat,
sebaliknya dalil yang tidak dipilihnya adalah dalil yang dipandangnya
lemah. Pertimbangan rasio dalam kondisi seperti itu menghendaki
orang yang bersangkutan untuk mengamalkan dalil yang dipandangnya
6
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. 7, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1995), hlm. 177.
7
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih..., hlm. 165.

Tarikh Tasyri | 6
kuat dan mempertahankannya. Atas dasar ini maka talfiq hukumnya
haram. Golongan ini dipelopori oleh sebagian dari ulama Syafiiyah
terutama Imam Al-Quffal Syasyi.
b. Pendapat kedua
Mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah satu
mazhab boleh berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk mencari
keringanan dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu kasus
hukum yang menurut mazhab pertama dan mazhab kedua sama-sama
memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini maka talfiq dapat
dibenarkan. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Al-Qarafi ulama besar
dari Malikiyah.
c. Pendapat ketiga
Berpendirian bahwa seorang yang telah memilih salah satu mazhab
tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke mazhab
lain, walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan
mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah
dan gampang, dengan alasan Rasulullah sendiri kalau disuruh memilih
antara dua perkara beliau memilih yang paling mudah selama hal itu
tidak membawa dosa. Di dalam salah satu hadisnya juga dikatakan
bahwa, beliau senang mempermudah urusan umatnya, juga ada hadis
yang mengatakan bahwa agama itu mudah.
Maka, menurut pendapat ini dengan berdasarkan alasan di atas
talfiq hukumnya mubah (boleh). Golongan ini dipelopori oleh Imam
Al-Kamal Humam dari ulama Hanafiah, beliau berkata, Tidak boleh
kita halangi seseorang mengikuti yang mudah-mudah, karena
seseorang boleh mengambil mana saja yang enteng apabila ia
memperoleh jalan untuk itu.
Menurut M. Ali Hasan dari segi kemaslahatannya, talfiq
diperbolehkan dengan beberapa alasan yaitu:
a. Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus terikat kepada salah
satu mazhab.
b. Pada hakikatnya talfiq hanya berlaku pada masalah fiqhiyah.

Tarikh Tasyri | 7
c. Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu mazhab berarti akan
mempersulit umat. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum Islam
yang menyatakan ada kemudahan dan kemaslahatan.
d. Pendapat yang membenarkan harus bermazhab adalah dari para ulama
mutaakhirin setelah mereka dijangkiti penyakit fanatik mazhab.
e. Memperbolehkan talfiq tidak hanya akan membawa kelapangan, tetapi
akan membawa kepada hukum Islam yang dinamis.
f. Kenyataan yang terjadi di kalangan sahabat, bahwa orang boleh
meminta penjelasan hukum kepada sahabat yang yunior, walaupun ada
sahabat yang lebih senior.8

3. Sebab-sebab Terjadinya Talfiq


Talfiq merupakan istilah yang lahir sebagai reaksi dari berjangkitnya
taqlid yang telah melanda umat yang cukup lama, kemudian talfiq muncul
bersamaan dengan kebangkitan kembali umat Islam dan eksistensinya
membawa pro dan kontra di kalangan umat (fuqaha). Talfiq merupakan
istilah yang relatif baru dalam lapangan fiqh.9
Persoalan talfiq ini, tidak ditemukan di dalam kitab-kitab ulama salaf
bahkan tidak pernah dibicarakan secara serius di kalangan mereka. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa talfiq sebenarnya adalah masalah baru
yang kita kenal di dalam permasalahan fiqh dewasa ini yang sengaja
dibuat oleh ulama-ulama kahalaf (mutaakhirin), khususnya pada abad
kelima hijriah. Ulama-ulama Mutaakhirin yang memproklamirkan bahwa
pintu ijtihad telah tertutup mengakibatkan berjangkitnya penyakit taqlid
yang mulai dirasakan oleh dunia Islam, khususnya ulama-ulama Islam
ketika itu.10
Dari sinilah muncul pendapat bahwa seorang harus terikat dengan
salah satu mazhab lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian pindah
dari satu mazhab ke mazhab lain secara sebagian inilah yang dikenal
dengan istilah talfiq.
8
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab..., hlm. 91.
9
Ibid., hlm. 89.
10
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih..., hlm. 171.

Tarikh Tasyri | 8
Pendapat semacam ini cukup menarik perhatian di dunia Islam bukan
saja diikuti oeh orang-orang awam, tetapi juga oleh para ulamanya,
Berabad-abad lamanya pendapat ini melanda dunia Islam termasuk
Indonesia sekarang ini.
Dengan adanya pendapat ini menurut Khairul Umam dan A. Achyar
Aminudin, wawasan Islam khususnya menjadi sempit. Hal ini
menyebabkan hukum Islam yang mestinya luwes (fleksibel) menjadi loyo,
kaku, tidak sehat, dan tidak dinamis serta tidak mampu berdiri tegak untuk
menjawab tantangan zaman. Ketidakberesan ini jelas tidak muncul dari
hukum Islam melainkan muncul dari sikap ulama Islam yang tidak tepat
dalam menundukkan hukum Islam, sebagai akibat dari adanya pendapat
yang sempit sebagaimana disebutkan di atas tadi.11
Dengan demikian hal ini perlu diluruskan dengan cara menundukkan
masalah talfiq secara proporsional. Untuk itu, perlu diadakan penelitian
secara terpadu dengan mengkaji pendapat fuqaha dan para ahli ushul
berdasarkan kitab-kitab Turats, kitab-kitab hadits (modern) sehingga kita
nantinya dapat membandingkan antara pengkajian lama dengan pengkajian
baru, selanjutnya kita menarjihkan mana yang lebih rasional dan sesuai
dengan perkembangan masa kini, itulah yang kita mainkan.

11
Ibid., hlm. 172.

Tarikh Tasyri | 9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ittiba berarti menurut atau mengikuti semua yang diperintahkan, dilarang
oleh Allah dan dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan orang yang
mengikuti disebut muttabi. Talfiq dilakukan untuk mencari-cari mana yang
mudah dan mengambil dari tiap-tiap mazhab untuk mencari mana yang
mudah.
Talfiq adalah menghimpun atau bertaqlid dengan dua imam madzhab atau
lebih dalam satu perbuatan yang memiliki rukun, bagian-bagian yang terkait
satu dengan lainnya yang memiliki hukum khusus. Ia kemudian mengikuti
satu dari pendapat yang ada.
Bagi siapapun yang berkeinginan menjadi umat Rasulullah saw yang
benar, taat dan patuh, hendaknya mengikuti apa yang beliau perintahkan
(ittiba) dan jangan mengikuti apa bukan dari rasulullah saw dan jangan
sembarangan mengikuti apa yang bukan datang dari beliau melalui lisannya
para ulama dan salafushalih karena tidak mengetahui dasar hukum (taklid).
Begitupun janganlah kita termasuk umat beliau yang memilah dan memilih
ajaran, yang mudah-mudah dilaksanakan yang dianggap sukar ditinggalkan.
Pada dasarnya Islam datang membawa kemudahan.

B. Saran
Demikianlah pemaparan dari makalah saya, apabila masih banyak
kekurangan dalam materi maupun penulisan, kami mohon kesediaan dari
pembaca untuk memberikan kritik dan sarannya. Sebab kritik dan saran dari
pembaca dapat kami jadikan sebagai perbaikan pada makalah kami
selanjutnya.

Tarikh Tasyri | 10
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Miftahul & Faisal Haq, Ahmad. Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan

Hukum Islam. Surabaya : Citra Media. 1997.

Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. cet. 4. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

2003.

Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. cet. 7. Jakarta: PT Bulan

Bintang. 1995.

Hasan, M Ali. Perbandingan Mazhab. cet 4. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

2002.

Umam, Khairul & Aminudin, A. Achyar. cet. 2. Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka

Setia. 2001.

Tarikh Tasyri | 11

Anda mungkin juga menyukai