Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Fatwa, Mazhab, Taklid, Ittiba’, dan Talfiq Sebagai Implikasi Ijtihad

Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Arif Hamzah, M.Ag

Disusun Oleh :

Nurmalia Rahmadita (2007025037)

KELAS B

PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

2022
A. Latar Belakang

Setelah Rasulullah saw. wafat, akivitas ijtiha>d merupakan bidang keilmuan yang
berkembang pesat. Keberadaannya berfungsi sebagai pelayan umat, merekomendasikan
solusi problematika aktual yang berkembang dengan corak kehidupan tiap-tiap generasinya,
tanpa terlepas dari mainstream syari’at. Sehingga lahirlah kekayaan dibidang ilmu fiqih
dalam sejarah. Hal ini berlangsung hingga pertengahan kurun ke-4 H. Namun setelah kurun
ke-4 H, aktivitas ijtihad mulai menunjukkan gejala terkooptasi oleh politik dan kekuasaan,
diposisikan sebagai justifikasi atas kebijakan dan sikap politis para penguasa maupun para
lawan politiknya. Akibatnya ijtihad hanya sekedar perantara untuk bersembunyi dibalik
kedok legalitas syari’at.

Bermula dari kondisi inilah, sekelompok ulama’ mendeklarasikan tertutupnya pintu


ijtihad, untuk membuntu pintu masuk sejumlah oknum yang ingin menyalahgunakannya.
Dari sini pulalah timbul konsep stratifikasi mujtahid dalam beberapa tingkatan; mujtahid
mutlak, mujtahid madzhab, mujtahid masa’il, dan kemudian datang generasi muqallid
(orang yang bertaqlid). Meski ada berbagai kontroversi mengenai taqlid. Generasi salaf dari
kalangan sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan para imam mujtahid, sepakat tidak
memperbolehkan taqlid. Kemudian setelah masa kemapanan mazhabmazhab, yakni sekitar
kurun ke-4 H, para ulama’ dengan berbagai pertimbangan mulai memperbolehkan taqlid
bagi orang awam. Sehingga pada masa-masa selanjutnya, wacana taqlid berkembang pesat
sampai menimbulkan berbagai aturan seputar taqlid, seperti tata cara bermazhab,
berpindah mazhab dan penggabungan ajaran diantara berbagai mazhab (talfiq). Dari sinilah
mulai muncul bibit-bibit fanatisme mazhab. Adapun talfiq mulai muncul dan menjadi
diskursus ilmiah seiring dengan berkembangnya pola pikir taqli>d yang semakin meluas
dikalangan umat Islam. Setelah abad ke-10 H dimunculkan oleh ulama’ muta’akhkhirin.
Mereka melarang tindakan talfi>q dalam bertaqlid. Pelarangan talfiq dan pembatalan
amaliyyah yang dilakukan dengan talfiq itu ditentang dari dua sisi, sisi peniadaan dan sisi
pembalikan hukum.1

Allah swt. mengharuskan umat mengikuti ajaran Al-Qur‟an dan hadis. Meski Al-Qur‟an
sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan
manusia diatur secara detail oleh Al-Qur‟an maupun hadis. Selain itu ada perbedaan
keadaan pada saat turunnya AlQur‟an dengan kehidupan modern. Setiap saat masalah baru
akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan ajaran
Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Syari‟at Islam telah mengatur semua
persoalan yang ada melalui Al-Qur‟an dan hadis. Termasuk persoalan yang nawazil atau
kontemporer. Tidak semua orang bisa memahami dalildalil, sebab manusia memiliki
keterbatasan dalam berfikir dan memahami sebuah nas. Hanya orang yang mempunyai
bakat dan kemampuan untuk menggali hukum dari sumber aslinya.

Al-Qur‟an dan hadis dalam sejumlah redaksi menyuruh umat manusia untuk menuntut
ilmu termasuk menggali hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Namun bagi

1
Mudrik Al Farizi, “IJTIHAD, TAQLID DAN TALFIQ”, Jurnal Al-Mabsut, (April,2014)
yang tidak mampu berijtihad, Allah Swt. perintahkan untuk bertanya kepada orang alim dan
mengikutinya. Pendapat tersebut kemudian diartikan sebagai bermazhab. Karena mazhab
dimaknai sebagai jalan pikiran seorang mujtahid dalam menemukan hukum dari sumber
aslinya, yakni Al-Qur‟an dan hadis, atau pendapat seorang mujtahid. Bermazhab berarti
mengikuti pendapat ahli hukum Islam. Bermazhab juga dapat diartikan sebagai bertaklid
kepada Imam mazhab atau ulama pengikut mazhab dalam bidang hukum. Bukan mengikuti
langkah (metode) imam mujtahid bagaimana cara mereka mengistibat hukum-Islam dari
sumber aslinya (al-Quran dan hadis) Bermazhab atau mengikuti mazhab sebagai alternatif
bagi orang awan atau orang yang tidak mampu berijtihad.2

B. Pembahasan

B.1 Fatwa

Pengertian Fatwa

Secara etimologis kata fatwa berasal dari bahasa Arab al-fatwa. Menurut Ibnu Manzhur
kata fatwa ini merupakan bentuk mashdar dari kata fata, yaftu, fatwan, yang bermakna
muda, baru, penjelasan, penerangan. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat al-
Fayumi, yaitu mengatakan bahwa al-fatwa berasal dari kata al-fata artinya pemuda yang
kuat. Sehingga seorang yang mengaluarkan fatwa dikatakan sebagai mufti, karena orang
tersebut diyakini mempunyai kekuatan dalam memberikan penjelasan (al-bayan) dan
jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagaimana kekuatan yang dimiliki
oleh seorang pemuda.

Sedangkan menurut al-Jurjani Fatwa berasal dari al-fatwa atau al-futya, artinya jawaban
terhadap sesuatu permasalahan (musykil) dalam bidang hukum. Sehingga fatwa dalam
pengertian ini juga diartikan sebagai memberikan penjelasan (al-ibanah). Dikatakan aftahu
fi al-amr mempunyai arti memberikan penjelasan kepadanya atau memberikan jawaban
atas persoalan yang diajukannya.

Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan proses pemberian fatwa (iftaa), yakni:

1. Al-ifta atau al-futya, artinya kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai
jawaban atas pertanyaan yang diajukan.

2. Mustafti, artinya individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau meminta
fatwa.

3. Mufti, artinya orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut atau orang
yang memberikan fatwa.

4. Mustafti Fiih, artinya masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan status
hukumnya.

2
M. Zuhdi Karimuddin, “KEDUDUKAN MAZHAB, TAKLID DAN IJTIHAD DALAM ISLAM”, Jurnal Al-
Qadha: Vol. 6, No. 1.(Januari,2019)
5. Fatwa, artinya jawaban hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang
ditanyakan.

Hukum Berfatwa

1. Berfatwa hukumnya adalah fardhu kifayah. Di mana jika ada seseorang atau pihak yang
menanyakan hukum suatu masalah maka wajib bagi orang yang mempunyai kompetensi
berfatwa untuk menjawabnya.

2. Jika suatu fatwa telah dikeluarkan akan tetapi oleh karena suatu hal fatwa tersebut dirasa
tidak sesuai, maka bagi pihak yang mengeluarkan fatwa (mufti) harus memberitahukan
orang yang meminta fatwa (mustafti) bahwa fatwa yang dikeluarkan terdahulu tidak sesuai.

3. Haram hukumnya bagi mufti untuk terlalu mudah mengeluarkan fatwa (at-tasahul fi al-
fatwa), dan jika diketahui seperti itu maka haram bagi mustafti untuk meminta fatwa
kepadanya.

4. Seorang mufti ketika menetapan fatwa harus stabil psikis dan fisiknya, sehingga bisa
berfikir jernih dan menjaga kenetralannya dalam menetapkan hukum suatu masalah.

5. Seorang mufti dilarang menjadikan fatwa sebagai sumber penghasilan untuk kepentingan
dirinya.

6. bagi mufti yang dalam menetapkan fatwa merunjuk pendapat ulama mazhab tertentu,
maka harus didasarkan atas pendapat ulama yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih yang
diakui (al-kutub al-mu’tabarah).

7. Jika seorang mufti telah menetapkan fatwa tentang hukum suatu masalah kemudian di
lain waktu ada pihak lain yang menanyakan masalah yang sama, maka dalam hal ini apabila
mufti mengingat keputusan fatwa beserta dalil-dalil dan argumentasinya (wajib al-istidlal),
maka boleh baginya untuk mengeluarkan fatwa seperti fatwa yang pertama.

8. ketetapan fatwa harus jelas dan dapat langsung dilaksanakan oleh peminta fatwa
(mustafti), karena hal seperti itulah yang dibutuhkan oleh mustafti dengan meminta fatwa.
Oleh karenanya dalam fatwa sebisa mungkin untuk menghindarkan kesimpulan hukum yang
lebih dari satu, karena misalnya ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam kasus
tersebut.3

Syarat-Syarat Berfatwa (Mufti)

Ada beberapa syarat bagi seseorang untuk menjadi mufti (orang yang berfatwa). Imam
Ahmad, sebagaimana dikemukakan oleh ibn Qayyim mengatakan bahwa syaratsyarat mufti
itu adalah:

3
http://syiifasyarifah.blogspot.com/2014/06/ittiba-taqlid-talfiq-dan-fatwa.html
1. Hendaklah mufti itu berniat mencari keridhoan Allah dalam berfatwa. Tidak boleh
berfatwa itu berniat untuk mencari kekayaan atau kemegahan, atau karena takut kepada
penguasa.
2. Hendaklah mufti itu mempunyai ilmu yang bersifat umum, ketenangan, berwibawa dan
dapat menahan marah.
3. Hendaklah mufti itu memiliki ilmu tentang hal-hal yang akan difatwakan, sehingga ia
memang benar-benar orang yang bertanggungjawab dengan keputusan hukum yang
difatwakannya.
4. Hendaklah mufti itu orang yang mempunyai kecukupan dalam bidang finansial, bukan
orang yang kehidupannya tergantung dengan orang lain.
5. Hendaklah mufti itu memiliki ilmu-ilmu tentang kemasyarakatan, supaya dia memehami
persoalan situasi kontekstual masyarakat yang ada di sekelilingnya.

Kewajiban-Kewajiban Mufti

Ada beberapa kewajiban yang diemban oleh seorang mufti, yaitu:

1. Tidak memberikan fatwa dalam keadaan sangat marah, sangat ketakutan, saangat
gundah gulana, atau dalam keadaan pikiran bimbang karena sedang mengalami sesuatu hal.
Sebab, hal-hal tersebut akan mempengaruhi ketelitian dan ketetapan berfatwa.

2. Hendaklah mufti itu merasakan sangat berhajat kepada pertolongan Allah. Ia hendaklah
selalu memohon pertolongan Allah supaya mendapat petunjuk ke jalan yang benar dan
menuntunnya dalam menjalani langkah-langkah yang ditempuh dalam proses penetapan
dan pemberian fatwa.

3. Berusaha sekuat tenaga supaya menetapkan hukum itu benar-benar dalam ridho Allah
dan selalu ingat bahwa ia harus memutuskan fatwa hukum sesuai dengan aturan syariat,
bukan mengikuti hawa nafsu.

Peran Mufti dan Kedudukan Fatwa

Terkait dengan peran mufti dan kedudukan fatwa, Imam Nawawi mengungkapkan:

“Kamu haru paham, bahwa fatwa atau berfatwa adalah satu perkara yang sangat berat
dan sangat berbahaya, tetapi ia mempunyai faedah yang besar pula, karena mufti (orang
yang berfatwa) itu bukan sembarang orang melainkan adalah pewaris para Nabi yang
hukumnya fardhu kifayah untuk melaksanakan urusan itu.”

Senada dengan itu, Imam asy-Syatibi mengatakan bahwa mufti atau orang yang
memberi fatwa itu adalah penyambung lidah para Nabi, khususnya Nabi Muhammmad
untuk menyampaikan perkara-perkara agama kepada umat manusia di dunia ini.4

B.2 Mazhab

4
Duski Ibrahim, “USHUL AL-FIQH (DASAR-DASAR HUKUM ISLAM), CV. (Palembang: CV.
AMANAH, 2019), hlm. 171-173
Historis Timbulnya Madzhab

Masa Daulah Abbasiyah merupakan masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan
istilah ‘’The Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kejayaan, baik
dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang
berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-
buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan
cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai
disiplin ilmu pengetahuan. Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai
periode kegemilangan fiqh Islam, di mana lahir beberapa mazhab fiqih yang panji-panjinya
dibawa oleh tokoh-tokoh fiqh agung yang berjasa mengintegrasikan fiqh Islam dan
meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fiqh
sampai sekarang.

Pada dasarnya periode ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya, karena


pemikiran-pemikiran di bidang fiqh yang diwakili mazhab ahli hadis dan ahli ra’yu
merupakan penyebab timbulnya mazhab-mazhab fiqh, dan mazhab-mazhab inilah yang
mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah
inilah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian
mazhab mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan
karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum Dari fragmentasi sejarah terlihat
bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih pada periode ini merupakan puncak Dari
perjalanan kesejarahan tasyri’. Hal ini membuktikan bahwa munculnya madzhab-madzhab
fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hukum Romawi
sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.

Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak
lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang
dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i,
Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori
dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam
Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan
langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi
baik dalam memahami nash al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak
ditemukan jawabannya dalam nash.

Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut
terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia -tanpa disadari- menjelma
menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin
mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan
lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau
mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam
melakukan istinbat hukum.
Sampai saat ini Fiqih ikhtilaf terus berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam
masalah furu’iyyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam
memahami nash dan mengistinbatkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu
terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat dan
yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada
zahir nash, antara yang mewajibkan mazhab dan yang melarangnya. Ikhtilaf bukan hanya
terjadi para arena fiqih, tetapi juga terjadi pada lapangan teologi. Seperti kita ketahui dari
sejarah bahwa peristiwa “tahkim” adalah titik awal lahirnya mazhab mazhab teologi dalam
Islam. Masing-masing mazhab teologi tersebut masing-masing memiliki corak dan
kecenderungan yang berbeda-beda seperti dalam mazhab-mazhab fiqih. Menurut Harun
Nasution, aliran-aliran teologi dalam Islam ada yang bercorak liberal, ada yang tradisional
dan ada pula yang bercorak antara liberal dan tradisional. Perbedaan pendapat pada aspek
teologi ini juga memiliki implikasi yang besar bagi perkembangan pemahaman umat Islam
terhadap ajaran Islam itu sendiri.

Munculnya perbedaan madzhab dalam sejarah membuktikan adanya pemikiran fiqih


dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madzhab-madzhab fiqih pada periode ini. Seperti
contoh hukum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah
masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda
pendapat dan mengikuti salah satu pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-
madzhab yang dianut. Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama
yang hidup sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri’, ada beberapa faktor yang
mendorong, diantaranya :

1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum Islampun


menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.

2. Munculnya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha


menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikanpusat-pusat studi tentang fiqih, yang
diberi nama Al-Madzhab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi
school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.

3. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-
ulama madzhab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga pemerintah (khalifah) merasa
perlu menegakkan hukum Islam dalam pemerintahannya.

4. Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal trntang masalah


politik seperti pengangkatan khalifah-khalifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi
munculnya berbagai madzhab hukum Islam.

Pengertian Mazhab dan Macamnya

Mazhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari
akar kata dzahaba (pergi). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu
jalan (ath-tharξq). Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu
yang artinya “pendapat”. Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut
Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam
Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya
Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam
yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam
Mujtahid tentang masalah hukum Islam. Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud
mazhab meliputi dua pengertian:

a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis.

b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu
peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.

Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih. Menurut
Ahmad Satori Ismail, para ahli sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan
mazhab mazhab. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah
sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah ada. Namun dari begitu banyak mazhab yang
pernah ada, maka hanya beberapa mazhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang.
Menurut M. Mustofa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai sekarang hanya
tujuh mazhab saja yaitu : mazhab hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan
Ibadiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.

Sementara Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-mazhab fiqih sebagai


berikut : 1. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah

a. ahl al-Hadis terdiri atas :

1. Mazhab Maliki

2. Mazhab Syafi’I

3. Mazhab Hambali

b. ahl al-Ra’yu Kelompok ini dikenal dengan Mazhab Hanafi

2. Syi’ah

a. Syi’ah Zaidiyah

b. Syi’ah Imamiyah

3. Khawarij

4. Mazhab-mazhab yang telah musnah

a. Mazhab al-Auza’i

b. Mazhab al-Zhahiry
c. Mazhab al-Thabary

d. Mazhab al-Laitsi

Pendapat lainnya juga diungkapkan oleh Thaha Jabir Fayald al-‘Ulwani beliau
menjelaskan bahwa mazhab fiqh yang muncul setelah sahabat dan kibar al-Tabi’in
berjumlah 13 aliran. Ketiga belas aliran ini berafiliasi dengan aliran ahlu Sunnah.

Adapun di antara pendiri tiga belas aliran itu adalah sebagai berikut:

1. Abu Sa’id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri (w. 110 H.)

2. Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H.)

3. Al-Auza’i Abu ‘Amr ‘Abd Rahman ibn ‘Amr ibn Muhammad ( w. 157 H.)

4. Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H.)

5. Al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.)

6. Malik ibn Anas al-Bahi (w. 179 H.)

7. Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H.)

8. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)

9. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H.)

10. Daud ibn ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H.)

11. Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H.)

12. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H.)

13. Ibnu Jarir at-Thabari5

Lahirnya Mazhab Fiqih

- Periode Pertama
Periode pertama yang termasuk periode ini ada dua masa, masa Rasulullah dan masa
para Sahabat. Masa Rasulullah dimulai sejak Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi.
Masa ini dibagi menjadi dua fase; fase Makkah ialah semenjak turun wahyu pertama sampai
beliau hijrah ke Madinah, selama rentang waktu 13 tahun; dan fase kedua ialah fase
Madinah ialah semenjak beliau tiba di Madinah sampai beliau wafat yang lamanya 10
tahun. Al-Qur’an sebagai sumber syariat dan fiqih Islam yang pertama diturunkan pada fase
makkah kebanyakan menyinggung persoalan aqidah, jadi dalam fase ini sedikit sekali ayat-

5
Opik Taupik, Ali Khosim Al-Mansyur, “FIQIH 4 MADZHAB Kajian Fiqih-Ushul Fiqih”, Pustaka
Aura Semesta, Bandung, 2014. Hal. 194-200
ayat yang menyinggung masalah hukum, hanya dalam bidang tertentu seperti shalat, puasa,
dan zakat.
Kemudian setelah tiba fase Madinah, Islam telah meluas, banyak bangsa-bangsa yang
bukan arab mulai memeluk agama Islam, masyarakat dan Negara Islam mulai terbentuk,
hajat pada peraturan-peraturan yang akan digunakan mengatur masyarakat dan Negara
yang baru lahir itu. Barulah turun ayat-ayat al-Qur’an yang bertalian dengan hukum. Dasar
hukum pada masa itu semuanya kembali pada wahyu, baik wahyu yang berupa al-Qur’an
maupun Sunnah, sedangkan perinciannya diterangkan oleh Rasul.
- Periode Kedua
Periode kedua yaitu masa terbentuknya mazhab-mazhab dan pembukuannya. Periode
ini dimulai setelah berakhir periode pertama dan berakhir pada pertengahan abad ke-4
hijriah. Pada akhir periode ini Negara Islam kian lama kian melemah. Hal ini tentunya
memberi pengaruh yang besar dalam perkembangan fiqih islam. Akibat kekuasaan Negara
makin lemah, penghormatan terhadap ilmu pengetahuan dan orang berilmu makin
berkurang, tidak jarang pula adanya tekanan terhadap orang yang berilmu untuk
mengeluarkan sesuatu pendapat menurut kemauan penguasa yang akhirnya membawa
pengaruh yang sangat buruk terhadap ilmu pengetahuan fiqih Islam. Kemerdekaan berfikir
makin berkurang yang membuat umatnya hanya menerima yang ada (taklid).
Tetapi disamping itu, sebagai permulaan periode ini ialah semakin berkembangnya
mazhab-mazhab dalam Islam, terutama 4 mazhab yang sangat terkenal, yang tersebar luas
ke seuruh penjuru Negara islam dan dianut oleh kebanyakan umat Islam. Disamping itu
pada awal periode ini Al-Qur’an dan As sunnah serta pendapat para sahabat dan tabi’in
serta ilmu pengetahuan lainnya yang sangat berguna sudah dibukukan. Para Imam mazhab
berusaha menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka.
- Periode ketiga
Periode ketiga ini terjadi pada masa berkembangnya taklid dan masa berkembangnya
fiqih Islam di abad modern ini. Periode ini dimulai pada pertengahan abad ke-4 hijriah dikala
Negara Islam terpecah belah. Di Andalusia berdiri Negara Umayah, di Afrika berdiri Negara
Fathimiyyah, di Mesir berdiri Negara Ikhsyidiyah dan periode ini berakhir sampai tibanya
serangan bangsa Tartar ke kota Baghdad.
Perpindahan dari periode II ke periode III tidak dnegan sekaligus tetapi secara
berangsur-angsur. Pada fase pertama adalah fase transisi karena masih dekat dengan
periode yang dahulunya sedang adat-istiadat belum banyak berubah. Maka fukaha dalam
fase ini hanya mengikuti jejak fukaha pada periode lampau. Hanya ada satu yang menonjol
dalam fase ini, suatu hal yang belum pernah terjadi pada masa lampau ialah pengangkatan
qadi-qadi hanya terbatas dalam satu mazhab saja. Misalkan di Timur Tengah hanya terbatas
pada orang-orang yang bermazhab hanafi, sedang di Andalusia dan Afrika Utara terbatas
kepada orang-orang yang bermazhab Maliki.
Senada dengan perkembangan politik yang makin memburuk, kekuasaan Negara kian
melemah, sehingga pemerintahan hamper tidak terkontrol. Karena itu tidak jarang jabatan-
jabatan baik qadhi maupun lainna dapat diperjual belikan, fatwa-fatwa keluar dari mulut
orang yang bukan ahlinya. Dalam kancah perpecahan dan kekacauan ini, timbullah inisiatif
para ulama untuk menjaga agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di dalam agama
dan untuk menjaga agar agama Islam tetap murni, sehingga keluarlah kesepakatan ulama
bahwa semenjak itu tidak mungkin lagi orang berjihad dan mereka nyatakan pintu ijtihad
tertutup.
Tokoh-tokoh Mazhab Fiqih
- Mazhab Hanafi
Pendiri mazhab Hanafi ialah : Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Dilahirkan pada tahun 80 H
= 699 M. Imam malik jatuh sakit pada hari ahad dan menderita sakit selama 22 hari
kemudian 10 hari setelah itu ia wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam
Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal dengan sebutan : Abu Hanifah An Nu’man.
Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar
kepada Hammad bin Abu Sulaiman dan banyak belajar pada ulama-ulama Tabi’in, seperti
Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar. Mazhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari
nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi mazhab Hanafi adalah nama dari kumpulan-kumpulan
pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta
pendapat-pendapat yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan
perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari
pada cara dan metode ijtihad ulama-ulama Irak . Maka disebut juga mazhab Ahlur Ra’yi
masa Tabi’it Tabi’in. Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh terdiri dari beberapa
sumber, yaitu : Al Qur’an, As Sunnah, Qiyas, Istihsan, Ijma’ dan Urf.
- Mazhab Maliki
Pendiri dari mazhab ini adalah Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M =
712 M di Madinah. Selanjutnya dalam kalangan umat Islam beliau lebih dikenal dengan
sebutan Imam Malik. Imam Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadis Rasulullah
SAW.
Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah
Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu
Syihab Az Zuhri. Adapun yang menjadi guru dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur
Rahman. Imam Malik adalah imam negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan
hadits.
Dasar Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, As Sunnah , Ijma’, Tradisi penduduk Madinah
(statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, Maslahah al-
Mursalah, ’Urf, Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari’ah, dan Syar’u Man Qablana.
- Mazhab Syafi’i
Mazhab ini dibangun oleh Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i seorang keturunan
Hasyim bin Abdul Muthalib. Beliau lahir di Gaza tahun 150 H bersamaan dengan tahun
wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi Mazhab yang pertama. Guru Imam Syafi’i yang
pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi’i sanggup hafal Al
Qur-an pada usia tujuh tahun. Setelah beliau hafal Al Qur-an barulah mempelajari bahasa
dan syi’ir, kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh.
Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam ; berdasarkan atas masa dan tempat beliau
mukim. Yang pertama ialah Qaul Qadim; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidupdi Irak.
Dan yang kedua ialah Qaul Jadid; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir
pindah dari Irak. Dasar-dasar mazhab Syafi’I adalah Qiyas, Istishab, Al Qur’an, Sunnah
Mutawatir, Ijma’, Khabar Ahad.
- Mazhab Hambali
Pendiri Mazhab Hambali ialah: Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili
Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H dan wafat tahun 241 H. Ahmad bin
Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari
ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrah. Dan beliau dapat
menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.
Dasar-dasar Mazhab Hambali adalah Nash Al Qur-an atau nash hadits, Fatwa sebagian
Sahabat, Pendapat sebagian Sahabat, Hadits Mursal atau Hadits Dhoif, dan Qiyas.

Kitab-kitab Fiqih Induk


- Mazhab Hanafi
Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis
sebuah buku fiqih. Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya
berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai
pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan
asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir. Buku Zahir ar-Riwayah ini
terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:
- Bagian pertama diberi nama al-Mabsut;
- Bagian kedua al-Jami’ al-Kabir;
- Bagian ketiga al-Jami’ as-Sagir;
- Bagian keempat as-Siyar al-Kabir;
- Bagian kelima as-Siyar as-Sagir; dan
- Bagian keenam az-Ziyadah.
Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh Abi al-
Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (W. 344 H.). Kemudian pada abad
ke-5 H. muncul Imam as-Sarakhsi yang mensyarah al-Kafi tersebut dan diberi judul al-
Mabsut. Kitab Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.
- Mazhab Maliki
Pemikiran fiqh dan usul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa’
yang disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman
Khalifah al-Ma’mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena disusun
dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fiqh Imam
Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadits dan fiqh
belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari di tangan murid-
muridnya sampai sekarang.
Al-Muwaththa bererti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas
tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab yang
berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat
dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang
merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah sahih
kerana Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits.
Dari 100.000 hadits yang dihafal beliau, hanya 10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadits
itu, hanya 5.000 saja yang disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan
al-Quran. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul
dan menapis hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya. Selama waktu itu beliau
menunjukkan kitabnya kepada 70 ahli fiqih Madinah.
- Mazhab Syafi’i
Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki.
Diawali melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran dan
prinsip dasar Mazhab Syafi ’i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para
muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi ’i yang terkemuka sebagai penyebar luas dan
pengembang Mazhab Syafi’i adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.), ulama
besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh
Imam asy-Syafi ’i sebagai pendukung kuat mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi
(w. 270 H.) yang besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi ’i
tersebut.
Keistimewaan Imam Syafi’i dibanding dengan Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau
merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar Risaalah. Dan
kitabnya dalam bidang fiqh yang menjadi induk dari mazhabnya ialah : Al-Um.
- Mazhab Hambali
Imam Hambali menyusun kitabnya yang terkenal; al-Musnad dalam jangka waktu sekitar
60 (enam puluh) tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali
beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-
mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran, tentang
jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-manasik ash-shagir dan al-
kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada
Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara ‘ wa al-Iman, kitab
al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-
Shahabah.6

B.3 Taklid

Pengertian Taklid
Hakekat taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata “qiladah” (kalung), yaitu
sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh
penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban).
Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang
diikutinya dari seorang mujtahid. Taqlid artinya mengikut tanpa alasan, meniru dan
menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta
memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-
keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.
Hukum- Hukum Taqlid
Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid yang diperbolehkan
dan taqlid yang dilarang atau haram.
a. Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang orang awam yang belum
sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Sebagaimana

6
Ulyatin, dkk, “Mazhab Fikih”, Makalah. 2015. Hal. 5-11
yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana mengenai taqlid ini, menurut beliau taqlid adalah
sesuatu yang mubah dan diperbolehkan oleh syariat, namun meski demikian, hal itu tidak
berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum
sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari
hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang serupa dengan
mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan
untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan
qiyas.
b. Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan
an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa taqlid yang
dilarang ini antara lain : Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan
membabi buta tanpa memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang
tua atau masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran al-Quran dan
Hadis.
Firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 170 : “Dan apabila dikatakan kepada
mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami
hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami".
"(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (Q.S. Al-Baqarah (2) : 170)
Firman Allah di atas tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid yakni orang
yang menerima hukum-hukum agama dengan membabi tuli atau buta. Taqlid terhadap
orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak tentang suatu hal yang
kita ikuti tanpa pamrih. Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil
bahwa pendapat orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau
sekurang-kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu
pendapat,garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul
mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.
Syarat- syarat Taklid
a. Syarat-syarat orang yang bertaqlid Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau
orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti
pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan mengamalkannya.
Adapun orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia
harus berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan
dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal soal
ibadah), maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
b. Syarat-syarat yang ditaqlid Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang
berhubungan dengan syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain,
seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga
hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap
orang mempunyai akal.7

7
(PDF) TAKLID, ITTIBA’, DAN TALFIQ | Hanafi Sulaiman - Academia.edu diakses pada Maret 2022 8.41
B.4 Ittiba

Pengertian Ittiba
Secara kebahasaan, kata ittiba’ adalah bentuk mashdar dari kata ittaba’a-yattabi’u-
ittiba’, yang berarti “menuruti atau mengikuti.” Orangnya disebut dengan muttabi’, (orang
yang mengikuti). Sedangkan menurut istilah para ulama dirumuskan secara berbeda.
1. Sebagian mengatakan, bahwa ittiba’ itu adalah mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi saw
dan para sahabatnya dengan mengetahui dalil-dalilnya.” Sehubungan dengan ini, Imam Abu
Dawud berkata: Saya mendengar Ahmad berkata, bahwa ittiba’ itu adalah seseorang telah
mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi saw dan para sahabatnya.”
2. Pendapat di atas sejalan degan pandangan Imam asySyafi’i yang mengatakan bahwa
ittiba’ adalah mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad saw. dan
para shahabatnya, atau para tabi’in yang mendatangkan kebaikan.
3. Ada yang merumuskannya sebagai berikut, bahwa ittiba` adalah mengikuti pendapat
seseorang dengan mengetahui atau memahami secara baik tentang cara-cara dan
alasan alasan yang dijadikan rujukan pendapat tersebut.
4. Ringkasnya, yang disebut ittiba’ adalah mengikuti atau menerima perkataan orang lain,
dan engkau mengetahui sumber pengambilannya.8
Dalam Al-Quran, pengertian diatas disebutkan dalam surat an-Nahl ayat ُّ ‫ َ ا‬43,‫ ا‬yang berbunyi
َ ُ ََْ َ ُْ ُ ْ ِّ َ ْ َ ُ َ ْ َ ْ ْ َ َ َْ َ ْ َ َْ َ َ
‫وح ِإلي ِهم فاسألوا أهل الذك ِر ِإن كنتم َّل تعلمون‬
ِ‫وما أرسلنا ِمن قب ِلك ِإَّل ِرجاَّل ن ي‬

Artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami
beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.

B.5 B.5 Talfiq sebagai Implikasi Ijtihad

Pengertian Talfiq
Secara bahasa talfiq yaitu menumpuk, menyamakan, kebohongan ganda dan melipat.
Sedangkan yang dimaksud dengan talfiq memiliki beberapa makna istilah, di antaranya:

a. Terkumpulnya dua keadaan seperti terputusnya haid seorang wanita dan kembali mucul
pada beberapa hari selanjutnya yang tidak lebih dari 15 hari.
b. Berkompromi pada riwayat-riwayat yang berbeda dalam satu masalah.
c. mencampur-adukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama lain dalam satu
ibadah, sehingga tidak seorang pun dari mereka yang mengatakan pandangan tersebut.

Talfiq di sini yang dimaksud adalah bagian ketiga yaitu melakukan suatu perbuatan atas
dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih seperti, seseorang
berwudlu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudlu karena
ikut madzhab imam Syafi’i. lalu dia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik
yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut

8
Duski Ibrahim, ibid. hal. 166.
tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudlu itu harus
dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan menggosok anggota wudlu. Wudlu ala
Imam Syafi’I, menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga anjing menurut Imam
Syafi’i termasuk najis mughallazhah (najis yang berat). Maka ketika menyentuh anjing lalu
shalat, shalatnya tidak sah. Sebab kedua imam itu tidak menganggap sah shalat yang
dilakukan itu.

Ragam Pandangan Ulama tentang Talfiq


Ulama berbeda pandangan tentang hukum talfiq. Di antaranya mengharamkan secara
mutlak, ada yang membolehkan dan ada pendapat yang membolehkan dengan kriteria
tertentu.

Talfiq, Haram
Mayoritas ulama mengharamkan talfiq antar mazhab secara tegas tanpa memberikan
syarat apa pun. Di antara nama-nama mereka antara lain, a) Al Nabulsi menulis kitab
Khulashatu At-Tahqiq fi Bayani Hukmi At-Taqlid wa At Talfiq. Di dalam kitab itu beliau
dengan tegas menolak kebolehan melakukan talfiq antar mazhab. Juga Syanqiti, ulama
dengan banyak karya, seperti tafsir Adhwa’ AlBayan dan Mudzakkirah Ushul Fiqih. Beliau
tegas mengharamkan tindakan talfiq antar mazhab. Bahkan Al-Haskafi mengklaim dalam
kitab Ad-Dur Al-Mukhtar Syarah Tanwir Al-Abshar bahwa haramnya talfiq antar mazhab itu
sudah menjadi ijma’ di antara para ulama. Dasar larangan talfiq antar mazhab, di antaranya:

a. Mencegah Mudharat
Seandainya pintu talfiq ini dibuka lebar, maka dikhawatirkan terjadi
mudharat/kerusakan yang besar di dalam Islam dan hancurnya berbagai mazhab ulama
yang telah dengan susah payah dibangun dengan ijtihad. Sebab talfiq itu menurut
mereka tidak lain pada hakikatnya adalah semacam kanibalisasi mazhab-mazhab yang
sudah paten, sehingga kalau mazhab-mazhab itu dioplos-ulang, maka dengan sendirinya
semua mazhab itu tidak berarti apa-apa yang dapat meruntuhkan seluruh bangunan
syariah Islamiyah.
b. Tidak Ada Dalil Yang Membolehkan
Tidak ada dalil di dalam syariat Islam yang menghalalkan talfiq antar mazhab.
Bahkan tidak pernah ada contoh dari para ulama salaf sebelumnya yang pernah
melakukan talfiq antar mazhab. Sebagian ulama di masa salaf yang sekilas seperti
melakukan talfiq, sebenarnya melakukan ijtihad dari awal.

Talfiq, halaL
Beberapa kalangan ulama berpendapat bolehnya bertalfiq. Di antara nya Ad-Dasuqi.
Beliau punya karya Hasyiyatu Ad-Dasuqi ‘ala Asy-Syarhi Al-Kabir. Argumentasi yang
dikemukakan hadir dari beberapa kaidah usul sebagai berikut:

a. Haraj dan Masyaqqah


Tidak diperbolehkannya talfiq sebuah tindakan yang bersifat haraj (memberatkan) dan
masyaqqah (menyulitkan) bagi mereka yang awam. Hal itu mengingat bahwa ulama di
masa sekarang ini yang mengajarkan ilmu fiqih dengan satu mazhab saja, selain juga
tidak semua ulama terikat pada satu mazhab tertentu. Barangkali pada kurun waktu
tertentu, dan di daerah tertentu, pengajaran ilmu agama memang disampaikan lewat
para ulama yang secara khusus mendapatkan pendidikan ilmu fiqih lewat satu mazhab
secara eksklusif, dan tidak sedikit pun mendapatkan pandangan dari mazhab yang selain
apa yang telah diajarkan gurunya. Namun seiring dengan berubahnya zaman dan
bertebarannya banyak mazhab di tengah masyarakat, sulit sekali bagi orang awam
untuk mengetahui dan membedakan detail-detail fatwa dan merujuknya kepada
masing-masing mazhab.

b. Ketidak-mestian Berpegang Pada Satu Mazhab

Tidak ada satu pun ayat Al-Quran atau pun hadis nabawi yang secara tegas
mengharuskan seseorang untuk berguru kepada satu orang saja, atau berkomitmen
kepada satu mazhab saja. Yang terjadi di masa para sahabat justru sebaliknya. Para
sahabat terbiasa bertanya kepada mereka yang lebih tinggi dan lebih banyak ilmunya
dari kalangan sahabat, namun tanpa ada ketentuan kalau sudah bertanya kepada Abu
Bakar, lalu tidak boleh bertanya kepada Umar, Utsman atau Ali. Mereka justru terbiasa
bertanya kepada banyak sahabat, bahkan kalau merasa agak kurang yakin dengan suatu
jawaban, mereka pun bertanya kepada sahabat yang lain. Sehingga sering terjadi
perbandingan antara beberapa pendapat di kalangan sahabat itu sendiri. Para sahabat
yang sering dirujuk pendapatnya itu, juga tidak pernah mewanti-wanti agar orang yang
bertanya harus selalu setia seterusnya dengan pendapatnya, dan tidak pernah melarang
mereka untuk bertanya kepada sahabat yang lain. Karena itu menurut pendapat ini,
keharaman talfiq itu justru tidak dibenarkan dan tidak sejalan dengan praktek para
sahabat Nabi sendiri.

Talfiq; Sebagian Haram, Sebagian Halal


Ada sebagian bentuk talfiq yang hukumnya haram dan tidak boleh dilakukan. Namun
juga tidak bisa dipungkiri bahwa dari sebagian bentuk talfiq itu ada yang diperbolehkan,
bahkan malah dianjurkan. Sehingga pendapat yang ketiga ini memilah dengan syarat dan
ketentuan yang berlaku. Sa’ad al-Anziy menjelaskan kriteria bolehnya melakukan talfiq,
yaitu:

1. ‘Adam Tatabbu’ al-Rukhas (tidak sekdar mencari yang mudah), tidak memanjakan umat
Islam untuk mengambil yang ringan-ringan. Sehingga tidak akan timbul tala’ub (main-main)
di dalam hukum agama. Atas dasar ini maka sebenarnya talfiq yang dimunculkan bukan
untuk mengekang kebebasan umat Islam untuk memilih madzhab. Bukan pula untuk
melestarikan sikap pembelaan dan fanatisme terhadap madzhab tertentu. Sebab talfiq ini
dimunculkan dalam rangka menjaga kebebasan bermadzhab agar tidak disalahpahami oleh
sebagian orang.
2. Bukan pandangan yang merujuk pada pembatalan pendapat awal untuk
memperkenankan pendapat kedua. Contohnya, seorang suami menceraikan isterinya
dengan tujuan talaq bain yang tidak memungkinkan kembali ke isterinya berdasar
pandangan ulama. Beberapa waktu selanjutnya, dia memilih untuk pandangan ulama
lainnya bahwa talaq yang dia inginkan adalah talaq raj’I, yang bias kembali ke isterinya.

3. Tidak bertentangan dengan pendapat ijmak ulama

4. Faktor emergensi (darurat)9

Produk ijtihad yang standard dan baku ini pada tahap selanjutnya menjadi sebuah
bangunan madzhab yang kokoh dan digunakan banyak umat Islam hingga kini. Oleh karena
itu muncul pemikiran bahwa jika para imam madzhab ini melakukan ijtihad, maka umat
Islam yang merupakan awam almuslimin (muslim awam) wajib melakukan taqlid. Imam Asy-
Syathibi menyatakan bahwa "Fatwa-fatwa paja mujtahid bagi orang-orang awam, ibarat
dalil-dalil syarak bagi para mujtahid". Hal tersebut karena orang-orang awam tidak mampu
memahami hukum secara langsung kepada Alquran dan Hadis seperti para mujtahid,
sehingga perkataan dan ijtihad para mujtahidlah yang harus dipelajari, dipahami dan
diamalkan. Sebenarnya para imam mazhab sendiri tidak pernah menyuruh orangorang yang
datang sesudah mereka untuk bertaqlid kepada mereka. Apalagi tidak ada ayat Alquran dan
Hadis yang mewajibkan seorang muslim untuk berpegang pada mazhab tertentu. Masing-
masing mazhab mempunyai kekurangan dan kelebihan. Untuk itu, perlu diteliti ulang dan
dipilih pendapat yang lebih relevan dengan situasi zaman sekarang.10

C. Penutup

Allah swt. mengharuskan umat mengikuti ajaran Al-Qur‟an dan hadis. Meski Al-Qur‟an
sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan
manusia diatur secara detail oleh Al-Qur‟an maupun hadis. Selain itu ada perbedaan
keadaan pada saat turunnya AlQur‟an dengan kehidupan modern. Setiap saat masalah baru
akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan ajaran
Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Syari‟at Islam telah mengatur semua
persoalan yang ada melalui Al-Qur‟an dan hadis. Termasuk persoalan yang nawazil atau
kontemporer. Tidak semua orang bisa memahami dalildalil, sebab manusia memiliki
keterbatasan dalam berfikir dan memahami sebuah nas. Hanya orang yang mempunyai
bakat dan kemampuan untuk menggali hukum dari sumber aslinya. al-fatwa berasal dari
kata al-fata artinya pemuda yang kuat. Sehingga seorang yang mengaluarkan fatwa
dikatakan sebagai mufti, karena orang tersebut diyakini mempunyai kekuatan dalam
memberikan penjelasan (al-bayan) dan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya
sebagaimana kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda. Dalam perkembangan mazhab-
mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih. Menurut Ahmad Satori Ismail, para ahli
sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab mazhab. Tidak ada

9
Ahmad Baharuddin, “KONSEPSI TALFIQ DALAM FIQH ISLAM”, Jurnal Al-Adl, Vol. 12. No. 1, Januari 2019. Hal. 3-6.
10
Nur Khasanah, dkk. “Mijan”, Journal of Islamic Law, Vol. 3 No.2 (2019). Hal. 162.
kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab
yang pernah ada. Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, maka hanya
beberapa mazhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi,
mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai sekarang hanya tujuh mazhab saja yaitu :
mazhab hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah. Taqlid artinya
mengikut tanpa alasan, meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu
menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi tentang suatu hukum agama
dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Imam Asy-Syathibi
menyatakan bahwa "Fatwa-fatwa paja mujtahid bagi orang-orang awam, ibarat dalil-dalil
syarak bagi para mujtahid". Hal tersebut karena orang-orang awam tidak mampu
memahami hukum secara langsung kepada Alquran dan Hadis seperti para mujtahid,
sehingga perkataan dan ijtihad para mujtahidlah yang harus dipelajari, dipahami dan
diamalkan. Sebenarnya para imam mazhab sendiri tidak pernah menyuruh orangorang yang
datang sesudah mereka untuk bertaqlid kepada mereka. Apalagi tidak ada ayat Alquran dan
Hadis yang mewajibkan seorang muslim untuk berpegang pada mazhab tertentu. Masing-
masing mazhab mempunyai kekurangan dan kelebihan. Untuk itu, perlu diteliti ulang dan
dipilih pendapat yang lebih relevan dengan situasi zaman sekarang.

D. Daftar Pustaka

Al Farizi, Mudrik. 2014 “IJTIHAD, TAQLID DAN TALFIQ”, Jurnal Al-Mabsut

Karimuddin, Zuhdi. 2019. “KEDUDUKAN MAZHAB, TAKLID DAN IJTIHAD DALAM ISLAM”,
Jurnal Al-Qadha: Vol. 6, No. 1.(Januari,2019)

http://syiifasyarifah.blogspot.com/2014/06/ittiba-taqlid-talfiq-dan-fatwa.html diakses pada


Maret 07.23

Ibrahim, Duski. 2019. “USHUL AL-FIQH (DASAR-DASAR HUKUM ISLAM), CV. Palembang: CV.
AMANAH, 2019), hlm. 171-173.

Opik Taupik, Ali Khosim Al-Mansyur, “FIQIH 4 MADZHAB Kajian Fiqih-Ushul Fiqih”, Pustaka
Aura Semesta, Bandung, 2014. Hal. 194-200

Ulyatin, dkk, “Mazhab Fikih”, Makalah. 2015. Hal. 5-11

(PDF) TAKLID, ITTIBA’, DAN TALFIQ | Hanafi Sulaiman - Academia.edu diakses pada Maret
2022 8.41

Baharuddin, Ahmad. 2019. “KONSEPSI TALFIQ DALAM FIQH ISLAM”, Jurnal Al-Adl, Vol. 12.
No. 1. Hal. 3-6.

Khasanah, dkk 2019. “Mijan”, Journal of Islamic Law, Vol. 3 No.2. Hal. 162.

Anda mungkin juga menyukai