Disusun Oleh :
PERBANDINGAN MAZHAB
TA. 2022/2023
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan nikmat kesehatan terkhusus kepada
penulis, sehingga kita semua bisa menikmati makalah ini sebagai bahan pembelajaran kita di
mata kuliah Al Fatwa Wal Istifta’ dengan judul “Fatwa dan Syarat-Syarat Mufti”
Shalawat dan salam tak lupa kita hadiahkan kepada Rasulullah SAW. yang telah membawa
umatnya dari zaman jahiliyah sampai zaman yang penuh akan ilmu yang sudah meluas
diberbagai versi.
Tak lupa juga kami ucapkan terima kasih untuk rekan-rekan dan bapak dosen, bapak
Irwansyah, Dr., M.H.I. yang telah membimbing kami dalam mata kuliah Al Fatwa Wal Istifta’
dan telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk bisa menyelesaikan materi “Fatwa dan
Syarat-Syarat Mufti” dan memaparkannya nanti kepada rekan-rekan.
Terima kasih kami ucapkan atas partisipasi dan yang telah menjadikan makalah kami ini
menjadi suatu refrensi ilmu yang bermanfaat. Bila terdapat kesalahan baik dari isi maupun cara
penulisan yang salah itu datang dari kami. Kami menerima saran dan kritikan dari rekan –
rekan sekalian agar makalah kami ini menjadi suatu tulisan yang sempurna.
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar…………...………..…………………………………………………………...i
Daftar Isi……………………………………………………………………………………….ii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang……………..………………………………….……………...………..1
B. Rumusan Masalah……………..……………………………………......……...............1
C. Tujuan…………………………………………………………………………..……...1
Bab II Pembahasan
A. Pengertian Fatwa…….……………………………..……………..…………………...2
B. Mufti………………..……...……………………………………......…………………3
C. Kedudukan Fatwa………………………………………………………………..…….5
D. Lembaga – Lembaga Fatwa di Indonesia………………………………………..…….6
E. Perbedaan Fatwa dengan Putusan Pengadilan…………………………..……………..8
F. Tingkatan – Tingkatan Fatwa………………………………..………………………...9
A. Kesimpulan……………………………………………………………….......………10
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syariat Islam sebagai hukum mempunyai dua implikasi dalam kehidupan ummat
manusia. Pertama adalah sebagai hukum negara melalui praktek peradilan. Kedua adalah
sebagai ketentuan halal-haram yang tercermin dalam lima kaedah hukum Islam (wajib, sunnat,
haram, makruh dan mubah) yang berbentuk ifta’ atau fatwa untuk pedoman masyarakat umum.
Segi pertama syariat Islam sudah mendapat tempat secara terbatas dalam kewenangan
Peradilan Agama/Mahkamah Syariyah di Indonesia sampai ke tingkat banding di Pengadilan
Tinggi Agama/Mahkamah Syariyah Propinsi, dan tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Sementara itu segi kedua menyangkut kewenangan fatwa belum mendapat tempat yang
semestinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Dalam sistem hukum Islam, pemberi fatwa adalah mufti yang sah atau para imam yang
terkenal kedalaman pemahamnan dan ilmu mereka. Orang awam tidak dibenarkan memberikan
fatwa, karena ini akan menjerumus kepada kekacauan dan memberikan fatwa tanpa ilmu.
Karena itu sebenarnya terdapat kualifikasi untuk jabatan yang penting ini
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Fatwa?
2. Apa yang dimaksud dengan Mufti?
3. Bagaimana kedudukan Fatwa dalam hukum Islam di Indonesia?
4. Lembaga Fatwa apa saja yang ada di Indonesia?
5. Perbedaan Fatwa dengan Putusan Pengadilan?
6. Tingkatan-tingkatan Fatwa?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui dan memahami pengertian Fatwa.
2. Mengetahui dan memahami pengertian Mufti.
3. Mengetahui dan memahami kedudukan Fatwa dalam hukum islam di Indonesia.
4. Mengetahui Lembaga-lembaga Fatwa yang ada di Indonesia.
5. Mengetahui Perbedaan Fatwa dengan Putusan Pengadilan.
6. Mengetahui Tingkatan-tingkatan Fatwa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fatwa
Fatwa berasal dari bahasa Arab, فتوىyang artinya nasihat, petuah, jawaban atau
pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil
oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti
atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta
fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak
harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.[1]
Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang merujuk pada profesi
pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang
meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa perseorangan, lembaga ataupun siapa saja
yang membutuhkannya.
Hukum berfatwa adalah fardu kifayah, kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa
selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang
difatwakan itu cukup mendesak maka ia pun secara fardu ‘ain wajib memberi fatwa atas
pristiwa itu.
Oleh karena fatwa itu menyangkut masalah agama maka tidak sembarang orang bisa
menduduki sebagai mufti syarat-syarat yang harus di miliki oleh seorang mufti antara lain
adalah:
a. Fatwanya harus didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar fatwa
yang diberikan itu dapat diterima oleh penerima fatwa.
b. Apabila ia berfatwa berdasrkan qoul seseorang alim, maka ia dapat menunjukan
dasar sumber pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia terhindar dari
berbuat salah dan bohong.
c. Seorang mufti harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat ulama
agar tidak terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
d. Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.[2]
1 Racmat Taufik Hidayat dkk.,Almanak Alam Islami, , Pustaka Jaya: Jakarta. 2000. hal.
34.
2 Zen Amirudin, Ushul Fiqih, Teras ; Yogyakarta. 2009. hal. 213
B. Mufti
Seorang mufti (pemberi Fatwa) tentulah orang yang mempunyai wawasan keilmuan yang
luas, agar yang difatwakannya tentang suatu masalah hukum sesuai dengan yang sebenarnya.
Orang yang mempunyai pengetahuan tentang hukum syara’ dan mempunyai kmampuan untuk
menggali sumbernya .karena itu ,maka ia menjadi tempat bertanya bagi orang awam.sebagai
orang yang tahu,disebut mujtahid, dan dalam kedudukannya sebagai orang yang member
jawaban atas pertanyaan orang awam,ia di sebut mufti.[3]
Bagi orang awam menanyakan masalah kepada para ahli diperintahkan oleh Allah dalam
firmannya: (al-Anbiya’:7)
َفَا ْسأَلُوا أَ ْه َل ال ِ ِّذ ْك ِر ِإ ْن كُ ْنت ُ ْم تَ ْعلَ ُمون
Bertanyalah kepada para ahlinya jika kamu tidak mengetahuinya.
(al-Anbiya’:7)
Permintaan fatwa tersebut hendaklah diajukan kepada orang yang sudah terkenal
keahliannya dan keadilannya. Jika orang yang dimintai fatwanya belum dikenal keahliaannya,
cukuplah kirannya menurut penilaian kemasyhurannya oleh orang banyak. [4]
Kewajiban seorang mufti (yang dimintai fatwa) ia memberikan fatwa , bila dimintainya ia tidak
diperkenankan menolak memberikan fatwa. Karena mufti yang menolak memberikan fatwa
dibenci oleh Rasullullah saw.
Rasulullah saw dalam sebuah hadits yang artinya ;
“Barang siapa ditanyai suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka ia bakal
dikendalikan pada hari kiamat dengan kendali dari api neraka”.(HR.Abu daud dan at-
turmudzi).
Abu Ishaq Ibrahim menguraikan secara detail tentang syarat-syarat seorang mufti, yang
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Mengetahui sumber hukum, yaitu al-Qur‟an dan sunah, baik qauliyah, fi’liyah dan
taqririyah;
2. Mengetahui cara mengambil hukum dari keduanya;
3. Mengetahui kaidah-kaidah ushul fiqh;
3 Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Kencana, Jakarta, 2009, hal. 449.
4 Muctar yahya dkk, Fiqih Islam, PT Alam’arif, Bandung, 1886, hal. 403-404.
4. Mengetahui bahasa Arab dan tata bahasa Arab;
5. Mengetahui nasakh, mansukh, dan hukum-hukumnya;
6. Mengetahui ijma’ dan khilafiyah ulama terdahulu;
7. Mengetahui cara mengqiyas dan hukum-hukumya;
8. Mengetahui ijtihad;
9. Mengetahui cara mengambil ‘illat dan urutan dalil-dalil;
10. Mengetahui cara mentarjih;
11. Harus orang yang dipercaya dan jujur; dan
12. Orang yang tidak menganggap enteng dalam soal agama. [5]
Mufti adalah panutan dan ikutan kaum muslimin, karena itu disamping ia ahli al-Qur‟an
dan hadits, ia juga seorang yang mempunyai akhlakul karimah (budi pekerti yang mulia), sabar
tidak pemarah, bilaksana, selalu memikirkan kepentingan kaum muslimin.[6]
Sehubungan dengan hal di atas, Imam Ahmad Ibn Hambal sepertinya mengidentikkan
syarat-syarat seorang mufti dengan sifat-sifat yang dimiliki seorang mufti, sebagaimana dikutip
oleh Kamal Mukhtar sebagai berikut:
1. Mufti memberi fatwa dengan niat semata-mata mencari keridhaan Allah SWT, bukan untuk
sesuatu kepentingan seperti untuk mencari pangkat, kedudukan, kekayaan, kekuasaan dan
sebagainya. Dengan adanya niat yang seperti itu, maka Allah SWT akan memberinya petunjuk
dalam melaksanakan tugasnya.
2. Hendaklah seorang mufti itu berwibawa, sabar dan dapat menguasai dirinya, tidak cepat marah
dan tidak suka menyombongkan diri.
3. Mufti itu hendaklah seorang yang berkecukupan hidupnya, tidak menggantungkan hidupnya
kepada orang lain. Dengan hidup berkecukupan itu ia dapat memperdalam ilmunya, dapat
mengemukakan kebenaran sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya, sukar dipengaruhi
pendapatnya oleh orang lain.
4. Hendaklah seorang mufti mengetahui ilmu kemasyarakatan, karena ketetapan hukumnya harus
diambil setelah memperhatikan kondisi masyarakat, memperhatikan perubahan-perubahan dan
sebagainya, sehingga fatwanya tidak menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat, sekaligus
dapat diterima dan tidak bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya.
C. Kedudukan Fatwa
Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam. Dengan
meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul memerlukan
jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari orang-orang yang
kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang berkompeten untuk itu adalah para
mufti atau para mujtahid.
Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk
membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali dikumpulkan dan sebuh kitab
pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa seperti az-Zakhirat al-
Burhaniyah, kumpulan fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174). Inilah kitab
kumpulan fatwa pertama.
Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa bertajuk al-Mi'yar al-Magrib yang
berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali juga memiliki
sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa.
Di Indonesia juga ada sejumlah buku kumpulan fatwa, seperti Tanya Jawab Agama
dan Kata Berjawab yang diterbitkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, selain itu ada
juga Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam Keputusan Muktamar Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama.
Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam, fatwa ini juga
menegaskan bahwa fatwa memang tidak mengikat secara hukum, akan tetapi, ia bersifat
7 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, I’lamu al-Muwaqqi’in, Jilid-I, Dar al-Jail, Beirut, tt, hlm. 46.
mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi seorang muslim untuk menentangnya
bila fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas dan benar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Titik tolak dari pemikiran tentang fatwa keagamaan pada dasarnya untuk memberikan
arah yang konkret tentang prinsip-prinsip hukum syariat yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
Namun inti dan sasarannya adalah agar umat islam mampu menciptakan pola pikir yang
sistematis dalam mengkaji ajaran islam secara utuh dan murni. Sehingga tercipta suatu pola
pikir dan hasil ijtihad para ahli/ulama untuk menemukan dalil-dalil yang konkret dalam
mengambil keputusan hukum-hukum syariat islam.
Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat.
Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya
global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang
dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam
kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam
alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering
mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat
Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah
hizbiyah) yang berlebihan.
Sehingga fatwa menjadi sangat urgen dalam menghadapi permasalahan tersebut diatas.
Dengan adanya lembaga fatwa resmi tentunya penjelasan hukum yang masih global menjadi
mudah difahami dan juga menjawab permasalahan-permasalahan baru yang kian hari kian
kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
Racmat Taufik Hidayat dkk.,Almanak Alam Islami, , Pustaka Jaya: Jakarta. 2000. hal. 34.
Amirudin, Zen, Ushul Fiqih, Teras ; Yogyakarta. 2009.
Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Kencana, Jakarta, 2009, hal. 449.
Muctar yahya dkk, Fiqih Islam, PT Alam’arif, Bandung, 1886, hal. 403-404.
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, I’lamu al-Muwaqqi’in, Jilid-I, Dar al-Jail, Beirut, tt, hal. 46.
Mubarak, Jaih, Ijtihad Kemanusiaan, Pustaka Bani Quraisy:Bandung, 2005
Abu Ishaq Ibrahim al-Fairuzzabadi, Al-Luma,Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Ibn Nabhan wa
Auladuh,Surabaya, tt, hal.6