Anda di halaman 1dari 14

Makalah

“Fatwa dan Syarat-Syarat Mufti”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Al Fatawa Wal Istifta’

Dosen Pengampu : Irwansyah, Dr., M.H.I.

Disusun Oleh :

Fakhri Husaini (0202212027)

Nadiyah Mawaddah (0202212033)

PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATRA UTARA

TA. 2022/2023
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan nikmat kesehatan terkhusus kepada
penulis, sehingga kita semua bisa menikmati makalah ini sebagai bahan pembelajaran kita di
mata kuliah Al Fatwa Wal Istifta’ dengan judul “Fatwa dan Syarat-Syarat Mufti”

Shalawat dan salam tak lupa kita hadiahkan kepada Rasulullah SAW. yang telah membawa
umatnya dari zaman jahiliyah sampai zaman yang penuh akan ilmu yang sudah meluas
diberbagai versi.

Tak lupa juga kami ucapkan terima kasih untuk rekan-rekan dan bapak dosen, bapak
Irwansyah, Dr., M.H.I. yang telah membimbing kami dalam mata kuliah Al Fatwa Wal Istifta’
dan telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk bisa menyelesaikan materi “Fatwa dan
Syarat-Syarat Mufti” dan memaparkannya nanti kepada rekan-rekan.

Terima kasih kami ucapkan atas partisipasi dan yang telah menjadikan makalah kami ini
menjadi suatu refrensi ilmu yang bermanfaat. Bila terdapat kesalahan baik dari isi maupun cara
penulisan yang salah itu datang dari kami. Kami menerima saran dan kritikan dari rekan –
rekan sekalian agar makalah kami ini menjadi suatu tulisan yang sempurna.

Medan, 11 Oktober 2022

Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar…………...………..…………………………………………………………...i

Daftar Isi……………………………………………………………………………………….ii

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang……………..………………………………….……………...………..1
B. Rumusan Masalah……………..……………………………………......……...............1
C. Tujuan…………………………………………………………………………..……...1

Bab II Pembahasan

A. Pengertian Fatwa…….……………………………..……………..…………………...2
B. Mufti………………..……...……………………………………......…………………3
C. Kedudukan Fatwa………………………………………………………………..…….5
D. Lembaga – Lembaga Fatwa di Indonesia………………………………………..…….6
E. Perbedaan Fatwa dengan Putusan Pengadilan…………………………..……………..8
F. Tingkatan – Tingkatan Fatwa………………………………..………………………...9

Bab III Penutup

A. Kesimpulan……………………………………………………………….......………10

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syariat Islam sebagai hukum mempunyai dua implikasi dalam kehidupan ummat
manusia. Pertama adalah sebagai hukum negara melalui praktek peradilan. Kedua adalah
sebagai ketentuan halal-haram yang tercermin dalam lima kaedah hukum Islam (wajib, sunnat,
haram, makruh dan mubah) yang berbentuk ifta’ atau fatwa untuk pedoman masyarakat umum.
Segi pertama syariat Islam sudah mendapat tempat secara terbatas dalam kewenangan
Peradilan Agama/Mahkamah Syariyah di Indonesia sampai ke tingkat banding di Pengadilan
Tinggi Agama/Mahkamah Syariyah Propinsi, dan tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Sementara itu segi kedua menyangkut kewenangan fatwa belum mendapat tempat yang
semestinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Dalam sistem hukum Islam, pemberi fatwa adalah mufti yang sah atau para imam yang
terkenal kedalaman pemahamnan dan ilmu mereka. Orang awam tidak dibenarkan memberikan
fatwa, karena ini akan menjerumus kepada kekacauan dan memberikan fatwa tanpa ilmu.
Karena itu sebenarnya terdapat kualifikasi untuk jabatan yang penting ini

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Fatwa?
2. Apa yang dimaksud dengan Mufti?
3. Bagaimana kedudukan Fatwa dalam hukum Islam di Indonesia?
4. Lembaga Fatwa apa saja yang ada di Indonesia?
5. Perbedaan Fatwa dengan Putusan Pengadilan?
6. Tingkatan-tingkatan Fatwa?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui dan memahami pengertian Fatwa.
2. Mengetahui dan memahami pengertian Mufti.
3. Mengetahui dan memahami kedudukan Fatwa dalam hukum islam di Indonesia.
4. Mengetahui Lembaga-lembaga Fatwa yang ada di Indonesia.
5. Mengetahui Perbedaan Fatwa dengan Putusan Pengadilan.
6. Mengetahui Tingkatan-tingkatan Fatwa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fatwa
Fatwa berasal dari bahasa Arab, ‫ فتوى‬yang artinya nasihat, petuah, jawaban atau
pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil
oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti
atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta
fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak
harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.[1]
Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang merujuk pada profesi
pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang
meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa perseorangan, lembaga ataupun siapa saja
yang membutuhkannya.
Hukum berfatwa adalah fardu kifayah, kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa
selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang
difatwakan itu cukup mendesak maka ia pun secara fardu ‘ain wajib memberi fatwa atas
pristiwa itu.
Oleh karena fatwa itu menyangkut masalah agama maka tidak sembarang orang bisa
menduduki sebagai mufti syarat-syarat yang harus di miliki oleh seorang mufti antara lain
adalah:
a. Fatwanya harus didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar fatwa
yang diberikan itu dapat diterima oleh penerima fatwa.
b. Apabila ia berfatwa berdasrkan qoul seseorang alim, maka ia dapat menunjukan
dasar sumber pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia terhindar dari
berbuat salah dan bohong.
c. Seorang mufti harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat ulama
agar tidak terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
d. Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.[2]

1 Racmat Taufik Hidayat dkk.,Almanak Alam Islami, , Pustaka Jaya: Jakarta. 2000. hal.
34.
2 Zen Amirudin, Ushul Fiqih, Teras ; Yogyakarta. 2009. hal. 213
B. Mufti
Seorang mufti (pemberi Fatwa) tentulah orang yang mempunyai wawasan keilmuan yang
luas, agar yang difatwakannya tentang suatu masalah hukum sesuai dengan yang sebenarnya.
Orang yang mempunyai pengetahuan tentang hukum syara’ dan mempunyai kmampuan untuk
menggali sumbernya .karena itu ,maka ia menjadi tempat bertanya bagi orang awam.sebagai
orang yang tahu,disebut mujtahid, dan dalam kedudukannya sebagai orang yang member
jawaban atas pertanyaan orang awam,ia di sebut mufti.[3]
Bagi orang awam menanyakan masalah kepada para ahli diperintahkan oleh Allah dalam
firmannya: (al-Anbiya’:7)
َ‫فَا ْسأَلُوا أَ ْه َل ال ِ ِّذ ْك ِر ِإ ْن كُ ْنت ُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬
Bertanyalah kepada para ahlinya jika kamu tidak mengetahuinya.
(al-Anbiya’:7)
Permintaan fatwa tersebut hendaklah diajukan kepada orang yang sudah terkenal
keahliannya dan keadilannya. Jika orang yang dimintai fatwanya belum dikenal keahliaannya,
cukuplah kirannya menurut penilaian kemasyhurannya oleh orang banyak. [4]
Kewajiban seorang mufti (yang dimintai fatwa) ia memberikan fatwa , bila dimintainya ia tidak
diperkenankan menolak memberikan fatwa. Karena mufti yang menolak memberikan fatwa
dibenci oleh Rasullullah saw.
Rasulullah saw dalam sebuah hadits yang artinya ;
“Barang siapa ditanyai suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka ia bakal
dikendalikan pada hari kiamat dengan kendali dari api neraka”.(HR.Abu daud dan at-
turmudzi).
Abu Ishaq Ibrahim menguraikan secara detail tentang syarat-syarat seorang mufti, yang
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Mengetahui sumber hukum, yaitu al-Qur‟an dan sunah, baik qauliyah, fi’liyah dan
taqririyah;
2. Mengetahui cara mengambil hukum dari keduanya;
3. Mengetahui kaidah-kaidah ushul fiqh;

3 Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Kencana, Jakarta, 2009, hal. 449.
4 Muctar yahya dkk, Fiqih Islam, PT Alam’arif, Bandung, 1886, hal. 403-404.
4. Mengetahui bahasa Arab dan tata bahasa Arab;
5. Mengetahui nasakh, mansukh, dan hukum-hukumnya;
6. Mengetahui ijma’ dan khilafiyah ulama terdahulu;
7. Mengetahui cara mengqiyas dan hukum-hukumya;
8. Mengetahui ijtihad;
9. Mengetahui cara mengambil ‘illat dan urutan dalil-dalil;
10. Mengetahui cara mentarjih;
11. Harus orang yang dipercaya dan jujur; dan
12. Orang yang tidak menganggap enteng dalam soal agama. [5]
Mufti adalah panutan dan ikutan kaum muslimin, karena itu disamping ia ahli al-Qur‟an
dan hadits, ia juga seorang yang mempunyai akhlakul karimah (budi pekerti yang mulia), sabar
tidak pemarah, bilaksana, selalu memikirkan kepentingan kaum muslimin.[6]
Sehubungan dengan hal di atas, Imam Ahmad Ibn Hambal sepertinya mengidentikkan
syarat-syarat seorang mufti dengan sifat-sifat yang dimiliki seorang mufti, sebagaimana dikutip
oleh Kamal Mukhtar sebagai berikut:
1. Mufti memberi fatwa dengan niat semata-mata mencari keridhaan Allah SWT, bukan untuk
sesuatu kepentingan seperti untuk mencari pangkat, kedudukan, kekayaan, kekuasaan dan
sebagainya. Dengan adanya niat yang seperti itu, maka Allah SWT akan memberinya petunjuk
dalam melaksanakan tugasnya.
2. Hendaklah seorang mufti itu berwibawa, sabar dan dapat menguasai dirinya, tidak cepat marah
dan tidak suka menyombongkan diri.
3. Mufti itu hendaklah seorang yang berkecukupan hidupnya, tidak menggantungkan hidupnya
kepada orang lain. Dengan hidup berkecukupan itu ia dapat memperdalam ilmunya, dapat
mengemukakan kebenaran sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya, sukar dipengaruhi
pendapatnya oleh orang lain.
4. Hendaklah seorang mufti mengetahui ilmu kemasyarakatan, karena ketetapan hukumnya harus
diambil setelah memperhatikan kondisi masyarakat, memperhatikan perubahan-perubahan dan
sebagainya, sehingga fatwanya tidak menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat, sekaligus
dapat diterima dan tidak bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya.

5 Abu Ishaq Ibrahim al-Fairuzzabadi, Al-Luma, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Ibn


Nabhan wa Auladuh, Surabaya, tt, hal.69
6 Kamal Mukhtar dkk, Ushul Fiqh, Jilid 2, dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hal.
179-180.
Selanjutnya Imam Syafi’i mengatakan, bagi yang berfatwa (mufti) harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Mengetahui kitab Allah (al-Qur‟an), nasakh-mansukh, takwil-tanzilnya, makiyah-
madaniyahnya, dan segala sesuatu yang menyangkut al-Qur‟an itu sendiri.
2. Mengetahui hadis Rasulullah SAW., nasakh-mansukhnya, pengetahuannya tentang hadis
ini kira-kira sama dengan pengetahuannya tentang al-Qur‟an.
3. Mengetahui bahasa Arab beserta kaidah-kaidanya yang dengan pengetahuan bahasa
Arabnya itu difahaminya al Qur‟an dan sunnah. Disyaratkan juga pengetahuannya tentang
hal-hal yang tersebut di atas digunakannya dengan kesadaran yang tinggi.
Syarat-syarat yang dikemukakan Imam Syafi‟i di atas adalah syarat syarat yang hampir
sama dengan syarat–syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid muthlaq yang dapat
memberikan fatwa dalam segala masalah yang berhubungan dengan hukum.[7]

C. Kedudukan Fatwa
Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam. Dengan
meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul memerlukan
jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari orang-orang yang
kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang berkompeten untuk itu adalah para
mufti atau para mujtahid.
Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk
membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali dikumpulkan dan sebuh kitab
pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa seperti az-Zakhirat al-
Burhaniyah, kumpulan fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174). Inilah kitab
kumpulan fatwa pertama.
Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa bertajuk al-Mi'yar al-Magrib yang
berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali juga memiliki
sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa.
Di Indonesia juga ada sejumlah buku kumpulan fatwa, seperti Tanya Jawab Agama
dan Kata Berjawab yang diterbitkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, selain itu ada
juga Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam Keputusan Muktamar Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama.
Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam, fatwa ini juga
menegaskan bahwa fatwa memang tidak mengikat secara hukum, akan tetapi, ia bersifat

7 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, I’lamu al-Muwaqqi’in, Jilid-I, Dar al-Jail, Beirut, tt, hlm. 46.
mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi seorang muslim untuk menentangnya
bila fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas dan benar.

D. Lembaga-Lembaga Fatwa di Indonesia


1. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan yang memiliki misi utama
pembaharuan atau tajdid terhadap pemahaman agama. Pembaharuan dalam muhammadiyah
meliputi dua segi jika dilihat dari sasarannya yaitu pembaharuan dalam arti mengembalikan
kepada kemurniannya dengan sasaran soal-soal prinsip perjuangan yang bersifat tetap dan
pembaharuan dalam arti modernisasi dengan sasaran mengenai masalah metode, sistem,
teknik, strategi, taktik perjuangan dan lain-lain.
Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-17/1928 di Yogyakarta dibentuk susunan
pengurus Majelis Tarjih Pusat sebagai ketuanya KH.Mas Mansur dan sekertaris KH.Aslan Z,
dibuat anggaran dasar yang menetapkan tugas dari majelis tarjih adalah mengamati perjalanan
Muhammadiyah yang berhubungan dengan hukum-hukum agama, menerima dan mentarjih
hukum m asalah khilafiyah yang diragukan hukumnya, penyelidikan dan pembahasan yang
berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Majelis Tarjih berfungsi untuk mengeluarkan fatwa atau
memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu.
Manhaj al-istinbath adalah majelis tarjih dan pengembangan pemikiran islam
Muhammadiyah yang merumuskan secara dinamis aspek metodologis, yang dilakukan terakhir
pada tahun 2000 di Jakarta dengan prinsip yaitu mengubah istilah al- sunnah al-sohihah
menjadi al-sunnah maqbullah sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, posisi ijtihad adalah
metode bukan sumber hukum, ijtihad meliputi metode bayani, ta’lili, dan ishtilahi, manhaj
menentukan empat pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum, dan lain-lain.
Dalam majlis tarjih, manhaj pengembangan pemikiran islam dikembangkan atas dasar
prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utama yaitu: prinsip al-muro’ah (konservasi), prinsip al-
tahdidsi (inovasi), dan prinsip al-ibtikari (kreasi). Dalam pengambilan keputusan MTPPI
terhadap persoalan-persoalan yang memerlukan perspektif oleh majlis ini dibahas dengan cara
berupaya mencari dalil yang relevan, menerapkan manhaj al istinbath lalu menarik natijah
hukumnya, hasil keputusan kemudian diajukan kepemimpinan muhammadiyah sesuai
tingkatannya yang mempunyai otoritas untuk mentanfidzkan atau tidak sesuai pertimbangan
yang dimiliki, namun semua yang telah ditanfidzkan masih tetap untuk diadakan tinjauan
ulang.
2. Lajnah Bahsul Masail NU
NU sebagai jam’iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima’iyah serta
menjadikan paham sunah wal jama’ah sebagai basis teologi dan menganut salah satu dari
mazhab. Metode istinbath hukum lajnah bahsul masail dikalangan NU tidak diartikan dengan
mengambil hukum secara langsung (al-qur’an dan sunah), namun diartikan sesuai dengan sikap
dasar bermazhab terutama mazhab Syafi’i menempati posisi yang dominan. Metode
pengambilan keputusan hukum dirumuskan pada munas Bandar lampung pada tahun 1992
dengan susunan metodologisnya yaitu: kasus yang jawabannya ditemukan satu qoul
(pendapat), maka qoul itu yang diambil, kasus yang hukumnya ada dua pendapat maka
dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya, namun jika tidak ditemukan pendapat
sama sekali dipakai ilhaq al-masail bin nadhariha secara jama’i oleh ahlinya, dan jika masalah
yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan ilhaq maka
dilakukan istinbath jama’i.
3. Majelis Fatwa Indonesia
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,
umara dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat
Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada
tanggal 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari
pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan umara yang datang dari berbagai
penjuru tanah air.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada
fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak
terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan
rohani umat. Dalam perjalanannya selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia
sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama (umara/pemimpin) dan cendekiawan muslim
berusaha untuk:
1. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan
kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhai Allah SWT.
2. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan
kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah
Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan
kesatuan bangsa.
3. Menjadi penghubung antara ulama dan umara (pemerintah).
4. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan
cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat
khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau
musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan
Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M.
Sahal Mahfudz. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan
mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk
memimpin majelis para ulama ini.
Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat.
Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya
global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang
dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam
kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam
alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering
mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat
Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah
hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya
sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka
mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat
Islam.
Terdapat lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti).
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah).
4. Sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar.
5. Gerakan Ishlah wa Al-tajdid.
E. Perbedaan Fatwa dengan Putusan Pengadilan
1. Persoalan dan permasalahan hukum yang perlu diselesaikan melalui fatwa lebih
luas bidangnya/tidak terbatas, bahkan dapat berlaku untuk seluruh kaum muslimin yang
menjadi penduduk beberapa negara. Sedangkan persoalan dan permasalahan hukum yang
dapat diselesaikan melalui putusan pengadilan terbatas sepanjang kewenangan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan suatu negara.
2. Isi fatwa mempunyai nilai kebebasan, artinya boleh dilaksanakan dan boleh tidak,
tergantung kepada orang yang memerlukan fatwa itu. Sedangkan putusan pengadilan
bersifat memaksa dan mengikat, artinya pihak-pihak yang terlibat di dalam putusan perkara
tersebut harus tunduk dan patuh terhadap isi putusan serta secara sukarela harus
melaksanakan isi putusan tersebut.
3. Fatwa tidak dapat membatalkan putusan pengadilan, sedangkan putusan pengadilan dapat
membatalkan fatwa yang dikemukakan dalam yurisdiksi pengadilan yang bersangkutan.
Disini baik hakim ataupun mufti harus :
a. Memahami peristiwa yang hendak dimintakan keputusan atau fatwa.
b. Memahami hukum Syar’i yang akan diterapkan kepada peristiwa tersebut.
F. Tingkatan-Tingkatan Fatwa
c. Fatwa Rasullah SAW sendiri;
d. Fatwa para sahabat;
e. Fatwa para tabi‟in;
f. Fatwa para mujtahid;
g. Fatwa para imam mazhab
Pada umumya sejak Islam masuk ke indonesia, maka umat Islam Indonesia adalah
penganut mazhab Syafi‟i. Namun demikian sejak munculnya ide-ide pembaharuan dalam
dunia Islam (termasuk dalam masalah-masalah hukum), pengaruhnya juga sampai ke
Indonesia. “Hal ini ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi Islam, seperti
Muhammadiyah (18 November 1912 M), Nahdhatul Ulama (1926) dan lain-lain
Dengan kata lain dapatlah dikatakan pada tahun-tahun berdirinya organisasi ini terjadi
pergeseran sikap umat Islam dalam memahami hukum Islam. Kalau pada waktu sebelum
adanya organisasi-organisasi ini, para ulama lebih terikat pada aturan-aturan mazhab Syafi‟
saja misalnya, maka sejak munculnya organisasi-organisasi ini keterikatan kepada mazhab
dirasakan melonggar. Organisasi-organisasi ini mempengaruhi faham hukum Islam yang
dianut masyarakat.
Muhammadiyah misalnya, mempunyai Majelis Tarjih yang bertugas mentarjih masalah-
masalah hukum Islam yang hasilnya disebarluaskan kepada umat untuk dijadikan pedoman.
Begitu juga Nahdhatul Ulama mempunyai Majelis Syari‟ah. Kedua badan ini dapat dikatakan
sebagai Majelis Ifta‟ atau Dar al-Ifta‟ dalam kehidupan umat Islam Indonesia.
Selain badan-badan resmi dari organisasi-organisasi di atas, masalah fatwa dalam
kehidupan umat Islam Indonesia juga muncul dalam bentuk fatwa perorangan. Peran ulama-
ulama besar yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam itu sendiri sangat berpengaruh.
Fatwa-fatwa mereka secara pribadi-pribadi dengan taat dan patuh diikuti oleh umat
pendengarnya. Hal ini umumnya terdapat disetiap daerah, dengan kharismanya yang kuat
ulama-ulama itu dengan tekun membimbing umat Islam untuk menjalankan hukum Islam itu
dalam kehidupan mereka sehari-hari.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Titik tolak dari pemikiran tentang fatwa keagamaan pada dasarnya untuk memberikan
arah yang konkret tentang prinsip-prinsip hukum syariat yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
Namun inti dan sasarannya adalah agar umat islam mampu menciptakan pola pikir yang
sistematis dalam mengkaji ajaran islam secara utuh dan murni. Sehingga tercipta suatu pola
pikir dan hasil ijtihad para ahli/ulama untuk menemukan dalil-dalil yang konkret dalam
mengambil keputusan hukum-hukum syariat islam.
Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat.
Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya
global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang
dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam
kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam
alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering
mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat
Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah
hizbiyah) yang berlebihan.
Sehingga fatwa menjadi sangat urgen dalam menghadapi permasalahan tersebut diatas.
Dengan adanya lembaga fatwa resmi tentunya penjelasan hukum yang masih global menjadi
mudah difahami dan juga menjawab permasalahan-permasalahan baru yang kian hari kian
kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
Racmat Taufik Hidayat dkk.,Almanak Alam Islami, , Pustaka Jaya: Jakarta. 2000. hal. 34.
Amirudin, Zen, Ushul Fiqih, Teras ; Yogyakarta. 2009.
Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Kencana, Jakarta, 2009, hal. 449.
Muctar yahya dkk, Fiqih Islam, PT Alam’arif, Bandung, 1886, hal. 403-404.
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, I’lamu al-Muwaqqi’in, Jilid-I, Dar al-Jail, Beirut, tt, hal. 46.
Mubarak, Jaih, Ijtihad Kemanusiaan, Pustaka Bani Quraisy:Bandung, 2005
Abu Ishaq Ibrahim al-Fairuzzabadi, Al-Luma,Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Ibn Nabhan wa
Auladuh,Surabaya, tt, hal.6

Anda mungkin juga menyukai