Anda di halaman 1dari 16

Ijtihad, Taqlid, dan Talfik

Makalah
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas kuliah Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu : Dr. Zawawi, M. A.

Disusun oleh :
Kelompok 13
1. Alfan Nur Utomo 4320111
2. Isna Amaliya 4320114
3. Alfina Dita Damayanti 4320115
Aksya B

Jurusan Akuntansi Syariah


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Institut Agama Islam Negeri Pekalongan
2021
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL..................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.............................................................................1


1.2 Rumusan Masalah.......................................................................1
1.3 Tujuan Makalah...........................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ijtihad.........................................................................3


2.2 Syarat-syarat Mujtahid dan Tingkatannya...................................3
2.3 Taqlid beserta Ketentuannya.......................................................6
2.4 Pengertian Talfik.........................................................................7
2.5 Pendapat Para Ulama tentang Kebolehan Talfik
serta Syarat-syaratnya..................................................................8

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ilmu Ushul Fiqih merupakan metode dalam menggali dan
menetapkan hukum. Ilmu ini sangat berguna dalam membimbing para
mujtahid dalam mengistinbathkan hukum syara’ secara benar dan dapat
dipertanggungjawabkan hasilnya. Melalui Ushul Fiqih dapat ditemukan
jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dengan
dalil lainnya.
Selain hukum ijtihad di dalam Ushul Fiqih juga terdapat hukum
taqlid. Namun, hukum taqlid menjadi perdebatan fuqaha al-Muta’akhirin
sebagian mengharamkan secara mutlak dan harus berijtihad. Lalu sebagian
dari mereka mewajibkan untuk bertaqlid dan mengharamkan ijtihad di era
sekarang ini. Sebagian memberikan perincian yakkni memperbolehkan
berijtihad dan memperbolehkan bertaqlid pada keadaan tertentu. Sama
halnya dengan taqlid, talfik juga tidak terlepas dari perbedaan di kalangan
fuqaha. Adanya talfiq merupakan rentetan wujudnya taqlid. Beberapa
fuqaha mengharamkannya dan beberapa memperbolehkannya dengan
beberapa syarat.
Dari sedikit penjelasan di atas diperlukan penjelasan mengenai cara
melakukan ijtihad, taqlid, dan talfik yang benar agar di dalam
penerapannya tidak menyalahi hukum agama. Selain itu adanya perbedaan
pendapat hendaknya tidak membuat umat Islam bercerai karena kurangnya
pemahaman tentang tiga hal di atas. Oleh karena itu, pada makalah ini
kami akan membahas mengenai ijtihad, taqlid, dan talfik.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka didapatkan rumusan
masalah sebagai berikut
1. Apa itu ijtihad?

1
2

2. Apa saja syarat-syarat mujtahid dan tingkatannya?


3. Apa itu taqlid dan ketentuannya?
4. Apa itu talfik?
5. Bagaimana pendapat para ulama tentang kebolehan talfik serta apa
saja syarat-syaratnya?
1.3 Tujuan Makalah
1. Mengetahui pengertian ijtihad
2. Menegtahui syarat-syarat mujtahid dan tingkatannya
3. Mengetahui taqlid beserta ketentuannya
4. Mengetahui pengertian talfik
5. Mengetahui pendapat para ulama tentang kebolehan talfik serta
syarat-syaratnya
3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ijtihad

Ijtihad dari segi bahasa berasal dari kata ijtihada, yang berarti
bersungguh-sungguh, rajin, giat atau mencurahkan segala kemampuan
(jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk berupaya
atau berusaha yang bersungguh- sungguh.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan
istimbath hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam
syari`at.
Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha sungguh-
sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum
syari`at”. Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah
qiyas.
2.2 Syarat-syarat Mujtahid dan Tingkatannya
Pada dasarnya jika membicarakan syarat-syarat mujtahid, maka
berarti juga membicarakan syarat-syarat ijtihad. Imam al Ghazali
menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat :
1. Mengetahui dan menguasai ilmu syara’, mampu melihat yang zhanni
di dalam hal-hal yang syara dan mendahulukan yang wajib.
2. Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan
(`adalah).
Sedangkan menurut Asy-Syatibi, seseorang dapat diterima
sebagai mujtahid apabila mempunyai dua sifat :
1. Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya,
sempurna dan menyeluruh.
2. Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian
terhadap tujuan-tujuan syari`at tersebut.

3
4

Menurut Wahbah az Zuhaili mujtahid mempunyai beberapa syarat,


yaitu :
1. Mengetahui apa yang ada pada Tuhan, mengetahui/percaya adanya
Rasul dan apa yang dibawanya, juga mukjizat- mukjizat ayat-ayat-
Nya.

2. Hendaknya seorang yang pandai (`alim) dan bijaksana (arif) tentang


keseluruhan hukum-hukum syari`at dan pembagian-pembagiannya,
jalan-jalan menetapkannya, segi-segi dalil atas yang didalilinya,
perbedaan-perbedaan tingkatnya, syarat-syarat yang tepat untuk itu
dan tahu arah pentarjihannya ketika terdapat kontradiksi di dalamnya
dan tahu pula cara menghasilkan daripadanya, mampu pula
membebaskan maupun menetapkan dan tahu pula memisahkan
keberatan-keberatan yang terdapat di dalamnya. Hafal al Qur`an dan
Sunnah yang diperlukan.
3. Mengetahui nasih dan mansuh, baik yang terdapat dalam al Qur`an
maupun Sunnah, agar tidak keliru berpegang kepada yang mansuh
yang sudah ditinggalkan padahal ada nasihnya, sehingga menyebabkan
ijtihadnya batal.
4. Mengetahui masalah-masalah ijma` dan kedudukan- kedudukannya,
sehingga fatwanya tidak bertentangan dengan ijma` itu.
5. Mengetahui segi-segi dan syarat qiyas yang mutabaroh dan
`illat hukum serta jalan istimbath qiyas terhadap nash-nash,
kemaslahatan-kemaslahatan manusia, dan pokok-pokok syari`at yang
umum, menyeluruh, sebab qiyas itu kaidah ijtihad dan di dalamnya
banyak terdiri dari hukum-hukum tafsili (terperinci).
6. Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab, nahwu, shorof, ma`ani, bayan,
dan uslub-uslub.
7. Alim dalam ilmu ushul fiqh.
8. Memahami tujuan-tujuan syari`at yang umum dalam meletakkan
hukum-hukum, sebab memahami nash-nash dan menerapkannya
kepada peristiwa-peristiwa tertentu tergantung kepada pemahaman
5

terhadap tujuan-tujuan ini.

Melihat syarat-syarat yang berat di atas, timbul pertanyaan apakah


pada masa sekarang apabila ditemukan permasalahan yang tidak
ditemukan hukumnya, tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, karena
syarat-syarat diatas sangat sulit dipenuhi oleh ulama’ pada masa
sekarang. Pada akhirnya munculah apa yang disebut dengan ijtihad
jama’i, yaitu mengumpulkan para ahli dalam bidangnya untuk mencari
hukum suatu masalah yang belum terjawab.
Melihat realitas problematika fiqh kontemporer, maka para ulama
melihat ijtihad kolektif merupakan terobosan yang paling efektif untuk
mengantisipasinya, dimana kelompok ahli hukum Islam di samping
penasehat ilmu lainnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas,
mereka meninjau masalah tersebut dari segala segi untuk menetapkan
solusi hukumnya. Ini tidak menutup pintu ijtihad individual, karena
ijtihad fardi merupakan jembatan menuju ijtihad jama’i. Seorang
mujtahid menetapkan hukum suatu masalah dengan terlebih dahulu
mengkaji seluruh disiplin ilmu yang berkaitan dengan melakukan
klarifikasi kepada ahlinya.
Sedangkan Berdasarkan ijtihad yang dilakukan, ulama’
mengelompokkan mujtahid dalam beberapa tingkatan. Muhammad Abu
Zahrah dalam bukunya Ushul al-Fiqh menyebut ada enam tingkatan
mujtahid, yaitu :
1. Mujtahid Mustaqill, yaitu mujtahid yang mengeluarkan hukum-hukum
dari Al-Qur’an dan sunnah, melakukan kias, berfatwa dan beristihsan.
Atau mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan pendapatnya
dengan tidak terikat kepada madzhab apapun, disebut juga Mujtahid
mutlaq.
2. Mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang mempunyai syarat- syarat
untuk berijtihad, tetapi ia menggabungkan diri kepada suatu madzhab
dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh imam madzhab tersebut.
Atau mujtahid yang memilih perkataan-perkataan seorang Imam pada
6

hal-hal yang bersifat mendasar dan berbeda pendapat dengan mereka


dalam hal-hal furu’ (cabang) walaupun pada akhirnya ia akan sampai
pada hasil yang serupa dengan yang telah dicapai imam tersebut.
3. Mujtahid fil Madzhab, yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat Imam
Madzhab,baik dalam hal-hal ushul maupun furu’. Usahanya hanya
terbatas dalam menyimpulkan hukum-hukum persoalan yang belum
ditemui hukumnya dalam pendapat imam madzhab.
4. Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang meng-isthinbat-kan hukum-
hukum yang tidak diijtihadkan oleh para ulama’ sebelumnya.
Sebenarnya mujtahid pada tingkatan ini hanya mencari pendapat imam
madzhab yang lebih kuat.
5. Mujtahid Muhafidh, yaitu mujtahid yang mengetahui hukum-hukum
yang telah ditarjih oleh para ulama’ sebelumnya.
6. Mujtahid Muqallid, yaitu mujtahid yang hanya sanggup memahami
pendapat-pendapat mujtahid lain, tidak mampu melakukan tarjih.
2.3 Pengertian Taqlid dan Ketentuannya
Kata taqlid, fi`ilnya adalah qallada, yuqallida, taqliidan, artinya
mengulangi, meniru, mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid
“penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui
dari mana asal kata itu”.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti
pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta
dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar
atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudharat hukum itu.
Sedangkan ketentuan taqlid ada beberapa macam yaitu
1. Taqlid yang haram. Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini.
Taqlid ini ada tiga macam :
a) Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat
nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan
al Qur`an Hadits.
b) Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui
7

kemampuan dan keahliannya, seperti orang yang menyembah


berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, keahlian, atau
kekuatan berhala tersebut.
c) Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan
yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu
salah.
2. Taqlid yang dibolehkan. Dibolehkan bertaqlid kepada seorang
mujtahid atau beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia
ketahui hukum Allah dan RasulNya yang berhubungan dengan
persoalan atau peristiwa, dengan syarat yang bersangkutan harus
selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu.
Jadi sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid
kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat
untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang
awam kepada ulama.
Ulama muta’akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam,
membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
a) Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib
bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.
b) Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga
tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama- ulama.
3. Taqlid yang diwajibkan. Wajib bertaqlid kepada orang yang
perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan
perbuatan Rasulullah SAW.

2.4 Pengertian Talfik


Talfiq secara bahasa berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua
tepi yang berbeda”. Sedangkan menurut istilah, talfiq ialah mengambil
atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan
mengambilnya dari berbagai macam madzhab.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan
8

melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang


paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan
mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya. Selain itu talfiq juga
diperbolehkan selama masih dalam satu alur. Contoh: dalam berwudhu
kita mengikuti tata cara yang sesuai dengan madzhab Syafi’I, maka
dalam hal batalnya pun kita harus mengikuti pendapat madzhab Syafi’I
juga. Walaupun setelah itu kita melakukan shalat sebagaimana madzhab
Hanafi atau Maliki.

2.5 Pendapat Para Ulama tentang Kebolehan Talfik serta Syarat-


syaratnya
1. Pendapat Hanafiyah:

Dikatakan oleh Kamal bin Himam dan muridnya Amir al-Haj dalam
tahrir dan penjelasannya: “ Sesungguhnya seorang muqallid (orang yang
bertaqlid) diberi kebebasan untuk mengikuti siapa saja, dan orang awam dalam
setiap perkara ketika bertaqlid terhadap perkataan mutahid (orang yang
berijtihad) akan memudahkan baginya karena mereka tidak mengerti hal-hal
yang dilarang menurut nash atau akal”. Karena Rasulpun menyukai keringanan
yang dibebankan kepada umatnya.
9

2. Pendapat Malikiya

Yang paling kuat menurut ulama’ mutaakhirin dari pengikut


Malikiyah adalah dibolehkannya talfiq, yang dibenarkan pula
kebolehannya menurut ‘Urfah al-Maliki dalam penjelasannya syarhu al-
Kabir oleh ‘Addairi, dan berfatwa pula ‘Allamah al-Adwiy tentang
kebolehan talfiq.
3. Pendapat Syafi’iyah

Menurut pendapat sebagian syafi’iyah menyatakan larangan talfiq,


dan sebagian yang lain berpendapat tentang kebolehan talfiq, apabila
dalam permasalahan yang memenuhi syarat terhadap madzhab yang
diikuti.
4. Pendapat Hanabilah

Dibolehkannya talfiq karena tidak adanya dalil syari’ atas ketidakbolehan


talfiq dalam bermadzhab, baik dalam perkara mengambil perkara yang
mudah dan ringan ataupun dengan mengikuti rukhsah (keringanan).
10

Dengan demikian dapat disimpulkan, tentang dibolehkannya talfiq


dengan beberapa alasan, diantaranya:
a. Tidak adanya dalil atau nash yang menyatakan larangan terhadap
talfiq, karena itulah jalan yang termudah untuk sampai kepada pelaksanaan
ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada hambaNya, kecuali kalau
hukum tersebut telah paten hukum dan ketentuannya keharamannya.
Dengan demikian, kita masih punya kesempatan untuk bertaqlid kepada
ahli ijtihad itu melakukan sebuah perkara.
b. Pendapat selanjutnya tentang kebolehan talfiq dengan alasan
pada zaman seperti saat ini kita sudah tidak dapat membedakan lagi
apakah seseorang telah mengikuti madzhab mereka secara murni tanpa
adanya campur aduk dengan pendapat yang lain, kecuali mereka yang
memang secara khusus belajar dalam bidang dan ilmu syariat. Jika adanya
larangan tentang adanya talfiq, maka semua orang akan dihukumi berdosa
lantaran telah melakukannya.
c. Adanya sebuah hadits yang menyatakan: ketika nabi dihadapkan
pada dua buah pilihan yang sama-sama benar berdasarkan dalil secara
syari’, maka nabi akan memilih dan mengerjakan hal yang lebih ringan
dan mudah.
d. Alasan selanjutnya adalah tidak banyaknya para ahli fiqih
ataupun para ahli agama yang menjawab berbagai permasalahan hanya
terpacu pada satu madzhab saja, mereka masih membuka rujukan dan
pendapat para imam yang lainnya. Karena agama Islam memberikan
sebuah keringanan, dengan catatan tidak adanya niat main-main dalam
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang telah diharamkan
kepada seorang hamba. Sebagaimana dijelaskan tentang tasamuh
(toleransi) yang ada dalam agama Islam, dengan tidak adanya penekanan
dan menyulitkan suatu perkara. “Sesungguhnya agama ini (islam) adalah
mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya maka
ia pasti dikalahkan”.
11

Namun demikian ulama’ fiqh juga mengemukakan beberapa


ketentuan berkenaan dengan dibolehkannya memilih pendapat yang
termudah dalam mengamalkan suatu ajaran agama. Ketentuan-ketentuan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengambil cara yang termudah tersebut harus disebabkan adanya
udzur. Dalam hal ini Imam Al-Ghozali (ahli ushul fiqh madzab Syafi’I)
berpendapat bahwa talfiq tidak boleh didasarkan pada keinginan
mengambil yang termudah dengan dorongan hawa nafsu, dan hanya
boleh apabila disebabkan oleh adanya udzur atau situasi yang
menghendakinya.
2. Talfiq tidak boleh membatalkan hukum yang telah ditetapkan hakim,
karena apabila hakim telah menentukan suatu pilihan hukum dari
beberapa pendapat tentang suatu masalah, maka hukum itu wajib
ditaati, hal ini sejalan dengan kaidah fiqh “keputusan hakim itu
mengahapuskan segala perbedaan pendapat”.
3. Talfiq tidak boleh dilakukan dengan mencabut kembali suatu hukum
atau amalan yang sudah diyakini, misalnya, seorang Mujtahid
menceraikan isterinya secara mutlak, tanpa menyebutkan bilangan talaq
yang dijatuhkannya. Ketika itu Ia berkeyakinan bahwa talaq yang
dijatuhkannya secara mutlak tersebut adalah talaq tiga sekaligus. Oleh
karena itu ia tidak berhak rujuk kepada isterinya, kecuali setelah
isterinya menikah dan bercerai dengan orang lain, kemudian Mujtahid
tersebut berubah pikiran, sehingga ia berpendapat bahwa talaq yang
diucapkan secara mutlak (tanpa menyebut bilangan talaq) tersebut
hanya jatuh satu, sehingga ia boleh rujuk dengan istrinya. Menurut
imam Ghozali perkawinan seperti itu tidak dibolehkan, karena akan
membuat akad talaq sebagai permainan belaka dan nilai sakralitas dari
perkawinan akan hilang.
BAB III
KESIMPULAN

Ijtihad dari segi bahasa berasal dari kata ijtihada, yang berarti
bersungguh-sungguh, rajin, giat atau mencurahkan segala kemampuan
(jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk berupaya
atau berusaha yang bersungguh- sungguh. Sedangkan kata taqlid, fi`ilnya
adalah qallada, yuqallida, taqliidan, artinya mengulangi, meniru,
mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid “penerimaan
perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal
kata itu”.
Talfik sendiri secara bahasa berarti “manyamakan” atau
“merapatkan dua tepi yang berbeda”. Sedangkan menurut istilah, talfiq
ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian
dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Ketiganya
memiliki ketentuan atau syarat masing-masing dalam pelaksanaannya.
Sebagian para ulama tidak membolehkan namun sebagian juga ada yang
membolehkan namun memilki syarat dan ketentuan dalam
melaksanakannya. Bagaimanapun perbedaan tersebut seharusnya tidak
menjadikan umat Islam tercerai –berai, namun membuat agama Islam
semakin kokoh.

12
Daftar Pustaka

Kurahman, Opik Taupik dan Al-Mansyur, Ali K. 2014. Fiqih 4 Madzhab


Kajian Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Aura Semesta.
Rasyida Arsjad. 2015. Jurnal Studi Keislaman. Talfiq dalam Pelaksanaan
Ibadah dalam peerspektif Empat Madzhab. 1(1) : 58-75.
Asegaf. Muhammad Maulana . 2015. Studi Pemikiran Kamal Ibn Humma Al-
Hanafi (790-861H) tentang Talfiq. Master Thesis. UIN Sunan
Ampel Surabaya.
https://himaprodiesystais.wordpress.com/2017/01/10/makalah-taqlid-ittiba
tarjih-dan-talfiq

iii

Anda mungkin juga menyukai