Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PENGGALIAN DAN PENEMUAN HUKUM 1


Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Ushul Fiqih”

Dosen Pengampu: H. Abdul Wahab Syakharai, M.M

Kelompok : 12

1. Muhammad Rohandi Yusuf


2. Qorib Kholiq Maulana
3. Muhammad Zulkifli
4. Muhammad Taufik Hidayat
5. Muhammad Sapuan

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM RASYIDIYAH KHALIDIYAH


AMUNTAI
2020
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................

Daftar isi..............................................................................................................

BAB I (Pendahuluan)........................................................................................

A. Latar Belakang

BAB II (pendahuluan)......................................................................................

A. Ijtihad......................................................................................................
B. Taqlid......................................................................................................
C. Ittiba’.......................................................................................................
D. Talfiq.......................................................................................................

BAB III (Penutup).............................................................................................

A. Kesimpulan.............................................................................................

Daftar Pustaka.....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Satu tahun sebelum wafatnya, Ibnu Rusyd yang berasal dari Cordoba itu diminta
untuk menjawab tiga pertanyaan.3 Pertama, apakah syarat-syarat untuk menjadi seorang
mufti pada “zaman kita sekarang ini” menurut mazhab Maliki? Kedua, apakah status
keputusan-keputusan yang dikeluarkan seorang qadi jika dia hanya seorang yang ber-
taqlid (muqallid) dalam mazhab Maliki dan jika di daerahnya tidak ada seorang pun
mujtahid ? Apakah keputusan- keputusannya mutlak harus diterima atau ditolak atau
diterima dengan syarat-syarat tertentu? Ketiga, apakah para penguasa sebaiknya
menerima atau menolak keputusan-keputusan mereka, mengingat qadi memang seorang
yang mengikut (muqallid) kepada penguasa ?

Ibn Rusyd menjawab bahwa komunitas ahli fiqih terdiri dari tiga kelompok.
Kelompok pertama menerima kesahihan hukum- hukum mazhab Maliki begitu saja tanpa
pengetahuan akan dalil- dalil yang menjadi dasar dari doktrin-doktrin mazhab Maliki
tersebut. Kelompok ini memfokuskan diri untuk menghafal pendapat-pendapat Imam
Malik dan para sahabatnya tentang berbagai masalah hukum. Akan tetapi, mereka
melakukan ini dengan tidak memahami bagaimana pendapat-pendapat dan kesimpulan-
kesimpulan itu muncul, apalagi dapat membedakan mana pandangan yang kuat dan mana
pandangan yang lemah.

Kelompok kedua dapat mengklaim kesahihan hukum- hukum mazhab Maliki. Hal
ini karena kelompok ini dapat memahami dan membuktikan bahwa prinsip-prinsip yang
menjadi dasar hukum-hukum dalam mazhab Maliki adalah sahih dan kuat. Bersamaan
dengan ini, mereka juga mempelajari dan menghapal pendapat-pendapat hukum Imam
Malik dan para sahabatnya (ashhâb)4. Walaupun tingkat keahlian ulama fiqih kelompok
kedua ini tidak cukup untuk membuat mereka mampu menetapkan suatu hukum positif
berdasarkan teks-teks wahyu atau kaidah-kaidah dasar (usul) yang dirumuskan para
pendiri mazhab, tetapi mereka bisa membedakan mana pandangan hukum yang sesuai
dengan prinsip-prinsip yang dipegang oleh mazhab dan mana yang tidak.
Kelompok ketiga juga memahami secara mendalam dan menyeluruh doktrin-doktrin
hukum Imam Malik dan para sahabatnya. Seperti halnya kelompok kedua, kelompok ini
juga mengetahui bagaimana membedakan antara pendapat hukum yang kuat dan
bersesuaian dengan kaidah dasar mazhab dari pendapat hukum yang lemah, artinya
menyimpang dari kaidah dasar mazhab.

Hal yang membedakan kelompok ini dari dua kelompok lainnya adalah ulama-
ulama fiqih dalam kelompok ketiga ini mampu menganalisis dan menyimpulkan hukum
berdasarkan teks-teks ayat Alquran maupun prinsip-prinsip dasar suatu mazhab.
Pengetahuan mereka mencakup poin-poin berikut ini : Ayat-ayat hukum dalam Alquran;
ayat-ayat yang nasikh dan mansukh; redaksi ayat Alquran yang muhkam dan mutasyabih;
ayat-ayat yang tunjukannya umum (am) dan khusus (khas), hadis-hadis hukum yang
sahih dan da’if. Kemudian pendapat para sahabat nabi, para tabi‘in serta tabi‘ tabi‘in;
hukum-hukum yang disepakati (ijma‘) para sahabat nabi, para tabi‘in serta tabi‘ tabi‘in.
Bahasa Arab; metode qiyas dan penerapannya yang tepat terhadap ayat-ayat Alquran dan
Hadis.
Sekarang akan dibahas kedudukan mereka. Ulama fiqih kelompok pertama tidak
dibolehkan atau tidak dapat diakui hasil pemikirannya jika mereka mengeluarkan fatwa.
Memang benar mereka telah menghapal doktrin-doktrin dasar mazhab Maliki, tetapi
mereka belum mengembangkan kerangka pemikiran dan metode yang memungkinkan
orang bisa membedakan antara hukum yang sahih dan yang kurang sahih. Apa yang
mereka miliki sebenarnya bukanlah ‘ilm atau pemahaman sejati tentang kualitas dalil-
dalil tekstual dan alur penalaran hukum yang menghasilkan aturan-aturan hukum. Yang
mampu mereka lakukan hanyalah menghapalkan saja hukum-hukum mazhab tanpa
memikirkannya sehingga mereka hanya boleh mengeluarkan fatwa untuk diri mereka
sendiri, artinya, dalam situasi untuk kepentingan mereka secara pribadi (fî haqqi nafsihi).
Seandainya terdapat lebih dari satu pendapat tentang masalah tersebut, maka ulama fiqih
kelompok ini harus tunduk pada aturan yang sama dengan yang diberlakukan kepada
orang-orang awam (‘âmmî). Artinya, mereka harus memilih salah satu: (1) mengambil
atau melaksanakan pendapat yang dirasa paling cocok, (2) melakukan penyelidikan
terhadap kredibilitas ahli fiqih yang menetapkan pendapat- pendapat itu dan lalu
mengambil pendapat dari mereka yang paling terpelajar; dan (3) memilih yang paling
berat di antara pendapat- pendapat hukum yang ada tersebut dalam rangka kehati-hatian
dan menjaga diri dari pendapat yang salah.

Karena ulama fiqih kelompok kedua memiliki kehebatan tersendiri dalam hal
pengetahuan yang mendalam tentang doktrin- doktrin dan juga metodologi mazhab,
mereka dipandang qualified untuk memberikan jawaban hukum atau fatwa dengan
memakai pendapat-pendapat Imam Malik dan para sahabatnya. Dengan kata lain, mereka
tidak melakukan ijtihad yang membuahkan keputusan hukum yang sama sekali baru.
Berbeda halnya dengan ulama fiqih dalam kelompok ketiga. Mereka ini benar-benar
memiliki kebebasan untuk melakukan ijtihâd karena mereka telah dilengkapi dengan
pengetahuan metode analisis hukum yang pokok yang diformulasi dari teks-teks wahyu.
Kualifikasi yang melegitimasi mereka untuk mempraktikkan ijtihad bukan terkait dengan
banyaknya materi hukum fiqih yang mereka hapal, tetapi dikarenakan mutu dan
ketajaman analisis serta penguasaan mereka yang mendalam tentang al-quran, sunnah
nabi, dan ijma’ (konsensus). Namun, persoalannya di sini adalah bagaimana kita dapat
mendeteksi mutu dan keahlian dimaksud ? Ibn Rusyd berpendapat bahwa pengakuan
untuk seorang ulama fiqih bahwa kemampuannya memang telah mumpuni dalam
menganalisis masalah hukum Islam haruslah didapatkan dari; pertama, komunitas ahli
fiqih di lingkungan tempat dia hidup dan kedua, dari ulama fiqih itu sendiri. Maksudnya,
pengakuan itu harus bersifat objektif dan sekaligus subjektif.

Cobalah lihat bahwa pertanyaan pertama yang diajukan kepada Ibn Rusydi adalah
tentang kualifikasi seorang mufti “pada zaman kita ini”. Adalah menarik dan penting
untuk dicatat jawaban yang diberikan Ibn Rusyd. Ia tak memandang zamannya sendiri
berbeda dari zaman-zaman sebelumnya dengan menegaskan bahwa “syarat-syarat yang
harus dipenuhi untuk menjadi seorang muftî tidaklah berubah dengan berubahnya zaman.
BAB II1
PEMBAHASAN

1. IJTIHAD

A. pengertian Ijtihad

Ijtihad (H‫ )االجتهاد‬dari segi bahasa berasal dari kata ijtihada (‫ )اجتهد‬yang
berarti bersungguh-sungguh, rajin, giat atau mencurahkan segala kemampuan
(jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berupaya serius dalam berusaha atau
berusaha yang bersungguh-sungguh. Sementara secara istilah, para ulama ushul
mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:

1. Wahbah al-Zuhaili
‫ا‬N‫ هو عملية استنباط األحكام الشرعية من أدلته‬: ‫االجتهاد‬

N.‫التفصيلية في الشريعة‬
Ijtihad adalah melakukan istimbath hukum syari`at dari segi dalil- dalilnya yang
terperinci di dalam syari`at.

2. Abdul hamid Muhammad bin Badis al-shanhaji.

،‫االجتهاد هو ب دل الجهد في اس تنباط الحكم من الدليل الشرعي بالقواع د‬


‫وأهله هو المتبح ر في علوم الكت اب والس نة ذو اإل دراك الواس ع‬
‫ والفهم‬،‫لمقاصد الشريعة‬
.‫الصحيح لكَلم العربي‬
Ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk melakukan istibath
hukum dari dalil syara’ dengan kaidah-kaidah. Dan orang melakukan ijtihad
tersebut adalah orang yang pakar dalam bidang ilmu-ilmu al-Quran dan al-
sunnah, memiliki pengetahuan yang luas tentang maqasid syariah (tujuan-
tujuan hukum islam), dan memiliki pemahaman yang benar terkait dengan
bahasa Arab.

Dari definisi di atas, dapat difahami bahwa ijtihad itu, pertama usaha
intelektual secara sungguh-sungguh; kedua, usaha yang dilakukan itu adalah
melakukan istibath (menyimpulkan) dan menemukan hukum; ketiga, pencarian
1
Nur Asiah Faqih Sultan Hrp. MAZHAB OTORITAS HUKUM DAN PERUBAHAN DALAM ISLAM:Analisis
konsep dan Penerapan, (Medan: utul ‘Ilma publising,2009).hlm.3-6
hukum dilakukan melalui dalil- dalil baik dari alqur’an dan Sunnah; keempat,
orang yang melakukan ijtihad itu adalah seorang ulama yang memiliki
kompetensi, dan keluasan wawasan serta pengetahuan dalam bidang hukum
Islam.
Berbeda dengan yang dinyatakan oleh Hanabilah, Imam al- Ghazali
berpendapat bahwa telah terjadi era kekosongan mutjahid independent (mustaqil),
setelah era empat imam mazhab itu.7 Hanya saja pendapat imam al-Ghazali ini
dibantah oleh Imam al-Zarkasyi. Menurutnya, bahwa apa yang dikatakan oleh al-
Ghazali yaitu telah terjadinya era kekosongan mujtahid, sesungguhnya telah
bertolak belakang dengan realitas dirinya sendiri. Karena sesungguhnya al-
Ghazali itu adalah bukan seorang muqallid (mengikuti) Imam al- Syafi’i, tetapi
kebetulan sebagai orang yang pendapatnya (ijtihadnya) itu cocok dan sama
dengan imam al-Syafi’i.8 Dengan ungkapan lain, bahwa al-Ghazali itu adalah
seorang mujtahid itu sendiri, sekalipun pendapatnya banyak yang sama dengan
apa yang diungkapakan oleh al-Syafi’i.
Menurut Syeikh Muhammad Khudlari Bik dalam kitabnya Ushul Al-Fiqh,
bahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :
1) Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah
dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri
mengalami suatu peristiwa yang ia sendiri juga ingin mengetahui
hukumnya.
2) Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu
itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedangkan selain dia masih
ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan
menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain
telah gugur. Namun bila tak seorang pun mujtahid melakukan ijtihadnya,
maka dosalah semua mujtahid tersebut.
3) Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum
terjadi.9

B. Syarat-syarat dan Tingkatan Mujtahid

Ijtihad merupakan tugas besar dan berat bagi seorang mujthid. Oleh karena itu
para ulama ushul menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh
seseorang yang akan melakukan ijtihad, baik syarat-syarat yang menyangkut
pribadi maupun syarat-syarat keilmuan yang harus dimilikinya.

Menurut Abdul hamid Hakim bahwa seorang mujtahid harus memenuhi


empat syarat ijtihad, yaitu:11
1. Mempunyai pengetahuan yang cukup (alim) tentang al-kitab dan al-Sunnah.
2. Mempunyai kemampuan berbahasa Arab yang memadai, sehingga mampu
menafsirkan kata-kata yang asing (gharib) dari Alquran dan sunnah.
3. Menguasai ilmu ushul fiqh
4. Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang nasikh dan mansukh.

Tanpa memenuhi persyaratan tersebut, maka sesorang tidak dapat


dikategorikan sebagai mujtahid yang berhak melakukan ijtihad. Ulama mujtahid
menurut ahli ushul dibedakan tingkatanya tergantung pada aktivitas ijtihad yang
dilakukanya. Dr. Abd Salam Arief, membedakan tingkatan mujtahid dalam empat
kategori, yaitu:

1. Mujtahid Mutlaq Mustaqil (Mujtahid Independen)


Meujtahid independen adalah seorang mujtahid yang membangun teori dan
kaidah istinbat sendiri, tanpa bersandar kepada kaidah istinbat pihak lain. Yang
termasuk dalam jajaran kelompok ini antara lain: imam empat mazhab, yaitu Abu
Hanifah, Malik bin anas, Imam al-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal; laits bi
Saad, al-Auzai, Sufyan al-Tsauri, Abu saur, dan sebagainya.
2. Mujtahid Muntasib (Mujtahid Afiliatif)
Mujtahid afiliatif adalah mujtahid yang melakukan ijtihad dengan
menggunakan kaidah istinbath tokoh mazhab yang diikutinya, meskipun dalam
masalah-masalah furu’ ia berbeda pendapat dengan imam yang diikutinya itu. Dan
yang masuk dalam tingkatan ini adalah diantaranya: Abu Yusuf, Muhammad
Saibani, Zufar dari kalangan Hanafiyah. Abd al-Rahman bi Qasim dan Ashab bin
Wahab, dari kalangan Malikiyah. Al-Buwaiti, al-Za’farani, al-Muzani dari
kalangan Syafi’iyyah. Al-qadhi Abu Ya’la, Ibn Qudamah, Ibn Taimiyah, dan Ibn
Qayyim dari kalangan Hanabilah.
3. Mujtahid fi al-madhab
Mujahid fi al-mazhab adalah para mujtahid yng mengikuti sepenuhnya imam
mazhab mereka baik dalam kaidah istinbath ataupun dalam persoalan-persoalan
furu’iyyah. Mereka berijtihad pada masalah-masalah yang ketentuan hukumnya
tidak didapatkan dari imam mazhab mereka. Mereka juga adakalanya meringkas
kaidah- kaidah istinbat yang dibangun oleh imam mereka.15
4. Mujtahid Murajih
Mujtahid murajih adalah mujtahid yang tidak mengistinbatkan hukum furu’,
mereka melakukan ijtihad hanya terbatas membandingkan beberapa pemikiran
hukum mujtahid sebelumnya, kemudian memilih salah satu yang dianggap arjah
(paling kuat).

C. Pembagian Ijtihad

Dilihat dari macamnya, menurut al-Dualibi, sebagaimana dikatakan oleh


Wahbah Al-Zuhaili, ijtihad dibedakan dalam tiga macam:
1) Al-Ijtihad al-Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum- hukum syari`ah dari
nash-nash syar`i.
2) Al-Ijtihad al-Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum- hukum syari`ah untuk
kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan
jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash hukum syar`i.
3) Al-Ijtihad al-Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum- hukum syari`ah untuk
kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah
menggunakan ar ra`yu yang disandarkan atas isthishlah.17 Maksud istislah
adalah dengan memelihara kepentingan hidup manusia yaitu menarik manfaat
dan menolak madlarat dalam kehidupan manusia. Menurut Dr. Yusuf
Qordhowi mencakup tiga tingkatan:
a. Dharuriyat yaitu hal-hal yang penting yang harus dipenuhi untuk kelangsung
hidup manusia.
b. Hajjiyat yaitu hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia dalam hidupnya.
c. Tahsinat yaitu hal-hal pelengkap yang terdiri atas kebisaan dan akal yang baik
2

2. TAKLID
Tidak semua orang sanggup memahami hukum Islam secara lang- sung dari dalil atau
sumbernya yang asli, yakni al-Qur'an dan al-Sunnah, karena kecerdasan, daya tangkap
dan ilmu yang dimiliki oleh seseorang bagaimana pun tidaklah sama. Bagi mereka
yang memenuhi persyaratan ijtihad sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka akan
sanggup melakukan hal tersebut, yakni mengetahui, memahami dan menggali hukum
Islam dari sumber atau dalilnya secara langsung. Mereka itulah para mujtahid dengan
segala macam tingkatannya.

Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki persyaratan ijtihad, tentu tidak akan
sanggup mengetahui, memahami dan menggali hukum Islam yang harus
diamalkannya secara langsung dari dalil atau sumbernya. Untuk mengetahui hukum
Islam yang akan diamalkannya, tentu mereka harus meminta bantuan orang lain atau
lewat perantara, yaitu harus mengetahuinya melalui hasil ijtihad atau membaca
langsung dari pendapat para mujtahid. Dari sinilah muncul persoalan taqlid. Secara
faktual, eksistensi taqlid memang tidak mungkin dihindarkan, mengi- ngat tingkatan
daya nalar manusia yang berbeda-beda sebagaimana di gambarkan di atas.
Kaidah fikih mengatakan, “La taklîfa fawqa al-istithâ‘a” manusia tidak akan
ditaklif atau dibebani untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan atau
di luar kemampuannya. Mewajibkan selu- ruh umat manusia untuk mencapai rutbat al-
ijtihâd jelas tidak mungkin. Di samping tidak logis dan tidak realistis, hal itu juga akan
membawa akibat terbengkalainya urusan-urusan duniawi/kehidupan yang lain, karena
waktu dan segala konsentrasi umat manusia hanya tercurah untuk melalukan ijtihad.
Karenanya, dapat dikatakan bahwa keberadaan taklid dan perkembangannya seiring
dengan perjalanan perkembangan ijtihad dalam sejarahnya.

Kata taklid diserap dari kata taqlîd dalam bahasa Arab. Menurut bahasa, taqlîd
-bentuk masdar dari kata qallada yang berarti kalung yang dipakai atau dikalungkan ke
leher orang lain, atau seperti binatang yang akan dijadikan dam (denda; biasanya
dikenakan pada para jamaah haji yang meninggalkan salah satu pekerjaan wajib haji),
di mana lehernya diberi kalung sebagai tanda, atau seperti kambing yang lehernya

2
Agus Miswanto. Ushul Fiqh: Metode Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: Magnum Pustaka
Utama,2019).hlm.11,13-14,16-20
telah diikat dengan tali atau tambang yang dapat ditarik ke mana saja, tanpa disadari
oleh kambing yang bersangkutan. Analisa bahasa ini menunjukkan kepada kita seolah-
olah seseorang yang telah bertaqlid kepada seorang mujtahid/imam telah memberi
identitas diri dengan sebuah kalung di lehernya dan ia telah mengikat dirinya dengan
pendapat mujtahid/imam tersebut.
Sedangkan taklid menurut istilah terdapat beberapa rumusan, antara lain sebagai
berikut:
1. Taklid ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang pen- dapatnya itu
tidak merupakan salah satu dalil yang dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa
berdasarkan dalil. Demikian menurut al- Kamal Ibn al-Hammam dalam al-
Tahrîr.
2. Menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak menge- tahui dari
mana orang itu berpendapat. Demikian menurut al- Qaffal.
3. Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa berdasarkan dalil. Demikian
menurut al-Syaukany dalam Irsyâd al-Fukhûl.
4. Menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, baik dalam bentuk
perbuatan atau meninggalkan suatu perbuatan22. Sementara pihak ada yang
membedakan antara taqlid dan ittiba'.

Taklid ialah mengamalkan pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil- nya,
sedangkan ittiba' adalah beramal atau mengamalkan pendapat orang lain dengan
mengetahui dalilnya. Sementara sebagian ulama lain ada yang berpendapat bahwa
beramal atau mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya adalah
ijtihad.
Menurut hemat penulis, yang ada hanyalah ijtihad dan taklid. Jadi Ittiba' itu
sendiri termasuk kategori taklid, hanya istilah dan tingkatan- nya saja yang berbeda,
tapi hakikatnya sama, yaitu sama-sama mengi- kuti pendapat orang lain. Dengan
demikian maka dapat dikatakan bahwa taklid dengan definisi seperti di atas, yaitu
mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil atau argumen dari pendapat
itu, menyalahi praktek taklid pada periode awal.
Bagi orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad apakah mereka itu
para ulama atau kelompok awam, haram bagi mereka berijtihad, sebab ijtihad yang
dilakukannya bisa jadi hanya akan membawa pada kesesatan atau pendapat yang
menyesatkan orang lain. Allah berfirman dalam Q.S. al-Bâqarah [2] ayat 286, yang
artinya, "Allah tidak menaklif/ memberi kewajiban kepada seseorang kecuali sesuai
dengan kemampuannya."
Orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad semacam itu wajib
mengikuti pendapat imam mujtahid yang mu'tabar atau istifta' (meminta penjelasan
hukum) kepada ahl al-dzikr, sejalan dengan fir- man-Nya dalam surah al-Nahl [16]:
43. Bagi orang-orang yang meme- nuhi persyaratan ijtihad maka wajib bagi mereka
berijtihad dan meng- amalkan hasil ijtihadnya. Tidak dibenarkan baginya bertaklid
atau mengikuti pendapat mujtahid yang lain. Ke arah inilah harus kita pa- hami
ucapan imam-imam mujtahid kenamaan seperti Hanafi, Syafi'i dan lain-lain yang
melarang taklid. Artinya, bagi yang mampu berijtihad sendiri karena telah
memenuhi persyaratannya janganlah mengikuti atau bertaklid kepada mujtahid
yang lain, tetapi wajib berijtihad sendiri.
Dengan demikian tidak benar jika kita mengatakan bahwa ijtihad itu wajib dan
taklid itu haram secara mutlaq tanpa ada batasan. Sebab hal itu tidak realistis
dengan fakta yang terjadi di masyarakat. Kenyataan menunjukkan bahwa sejak
dahulu sampai saat sekarang dan akan berlanjut terus sampai akhir zaman nanti,
mayoritas umat Islam dari kalangan awam. Orang awam ini jelas tidak mungkin
untuk dipaksakan harus mengupayakan dirinya menjadi mujtahid.
3

3. ITTIBA’

A. Pengertian Ittiba’
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata“ittiba’ sudah menjadi bahasa
Indonesia serapan yaitu iti.bak diartikan sebagai kata kerja yang bermakna
mengikuti (contoh) : Kita berpuasa, bersalat, dan beribadah sunnah mengikuti Nabi
Muhammad saw.7. Sedangkan dalam kamus Bahasa Arab Al- Munawwir kata
‚ittiba’ ‛ berasal dari kata ‫ تبعب – ٔاتببعب – ٔتببعت‬- ‫ع‬HH‫ تب‬yang artinya : Diikuti -
tergantung pada - dan mengikuti - dan Tbah.
Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab, ia adalah masdar (katabentukan)
dari kata ittaba’a (‫ )اتبع‬yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang
semakna dengannya diantaranya iqtifa’ ( ‫( ) اقتفاء‬menelusuri jejak), qudwah (
‫( ) قدوة‬bersuri teladan) dan uswah ( ‫( ) اسوة‬berpanutan). Dikatakan mengikuti
sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar
pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh.
Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu
ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh
ulama tersebut. Ibnu khuwaizi Mandad mengatakan : “setiap orang yang engkau
ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’ (orang yang
mengikuti).
Menurut ulama ushul, ittiba’ adalah mengikuti atau menuruti semua yang
diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah saw. Dengan kata lain
ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi
Muhammad saw.10 Definisi lainnya, ittiba’ ialah pengambilan hukum dengan
mengetahui dalil dan alasan-alasannya dan ia diketahui dengan jalan yang ditunjuki
oleh mujtahid.11 Ittiba’ ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba‟ adalah
lawan taqlid.
B. Kedudukan Ittiba’ dalam Islam

Ittiba' kepada Rasulullah saw. mempunyai kedudukan yang sangat tinggi


dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam.
3
Abdulah Safe’i.2017.”REDEFINISI IJTIHAD DAN TAQLID:Upaya Reaktualisasi dan Revitalisasi Sosio-
Historis”. Vol 11, Nomor 1 (Halaman 26-40). Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Hlm 35-38
Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh
ittiba', di antaranya adalah:
Pertama, Ittiba' kepada Rasulullah saw. adalah salah satu syarat diterima amal.
Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua:

1. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt semata.

2. Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah
saw.
Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga
perkara: taqwa kepada Allah swt, niat yang baik (ikhlas) dan ishabah (sesuai dan
mengikuti sunnah Rasul)." Maka barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan
didasari ikhlas karena Allah swt. semata dan serupa dengan sunnah Rasulullah saw,
niscaya amal itu akan diterima oleh Allah swt. Akan
tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal itu akan
tertolak dan tidak diterima oleh Allah swt.
Hal inilah yang sering luput dari pengetahuan banyak orang. Mereka hanya
memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena
itu sering kita dengar mereka mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya
baik, maka amalnya baik."
Kedua, Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah swt
dan Rasul-Nya.
Allah swt. berfirman:
" Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (QS.. Ali Imran /3: 31).
Ibnu Katsīr menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini
sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah swt, akan tetapi
tidak mengikuti sunnah Muhammad saw. Karena orang yang seperti ini berarti
dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah swt. sampai dia ittiba' kepada
syari'at agama Nabi Muhammad saw. dalam segala ucapan dan tindak tanduknya."
Ketiga, Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah swt.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar perbedaan antara
waliyullah dan wali syaitan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali Allah
swt. dengan ucapannya: "Tidak boleh dikatakan wali Allah swt

kecuali orang yang beriman kepada Rasulullah saw. dan syari'at yang
dibawanya serta ittiba' kepadanya baik lahir maupun batin. Barangsiapa mengaku
cinta kepada Allah swt. dan mengaku sebagai wali Allah swt, tetapi dia tidak ittiba'
kepada Rasul-Nya, berarti dia berdusta. Bahkan kalau dia menentang Rasul-Nya,
dia termasuk musuh Allah swt. dan sebagai wali syaitan."
Imam Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi berkata: "Pada hakikatnya yang dinamakan
karamah itu adalah kemampuan untuk senantiasa istiqamah di atas al-haq, karena
Allah swt. tidak memuliakan hamba-Nya dengan suatu karamah yang lebih besar
dari taufiq-Nya yang diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa menyerupai apa
yang dicintai dan diridhai-Nya yaitu istiqamah di dalam mentaati Allah swt. dan
Rasul-Nya dan ber-wala kepada wali-wali Allah swt. serta bara' dari musuh-musuh-
Nya." Mereka itulah wali-wali Allah swt.
sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah swt. itu, tidak ada kekhawatiran


terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Q.S. Yunus/10: 62.).

Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at Islam dan
masih banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba'
kepada Rasulullah saw. merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak
mendapat rintangan. Mudah-mudahan Allah swt. menjadikan kita termasuk orang-
orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya dalam segala aspek kehidupan kita.4

4. TALFIQ

A. PENGERTIAN TALFIQ

Dalam bahasa Arab, kata talfiq (ُ‫ )التَّ ْلفِيق‬berasal dari kata ( ً ‫ق – ت َْلفِيقا‬ َ َّ‫ )لَف‬yang berarti
ُ ِّ‫ق – يُلَف‬
menggabungkan sesuatu dengan yang lain. Misalnya seperti ungkapan ( ‫ب‬ َ ْ‫ت الثَّو‬
ُ ‫ )لَفَّ ْق‬yang
artinya, saya menggabungkan antara kedua ujung baju (pakaian/kain), satu dengan
yang lain, lalu menjahitnya. (Lisanul Arab 10-330-331). Dan pembahasan talfiq yang
akan dibahas di sini ialah, sebagaimana banyak diperbincangkan oleh para ulama
ushul dan fuqaha yang menyangkut masalah bertaklid kepada madzhab-madzhab para
imam mujtahid. Kami angkat berdasarkan kitab Ushul Al Fiqhi Al Islami, karya Dr.
Wahbah Az Zuhaili, Juz II, hlm. 1171-1181.

Talfiq, yaitu mendatangkan suatu cara (dalam ibadah atau mu’amalah) yang tidak
pernah dinyatakan oleh ulama mujtahid. Maksudnya, bertaklid kepada madzhab-
madzhab serta mengambil (menggabungkan) dua pendapat atau lebih dalam satu
masalah, yang memiliki rukun-rukun dan cabang-cabang, sehingga memunculkan
suatu perkara gabungan (rakitan) yang tidak pernah dinyatakan oleh seorang pun (dari
para imam mujtahid), tidak oleh imam yang dulu dia ikuti madzhabnya maupun imam
‘barunya’. Justru masing-masing imam tersebut menetapkan batilnya penggabungan
dalam ibadah tersebut.

Contoh, seseorang mentalak tiga terhadap isterinya. Kemudian mantan isterinya


4
Ahmad.2012.Ittiba’ Dalam Perspektif Al-Quran (Suatu Kajian Tafsir Maudhu’i) [Skripsi].Makassar:
Unversitas Islam Negeri Alauddin Makasar.hlm.16-16,32-34.
menikah dengan anak laki-laki berusia 9 tahun untuk tujuan tahlil (menghalalkan
kembali pernikahan dengan suaminya yang pertama, Pent.). Dalam hal ini, suami
keduanya bertaklid kepada madzhab Asy Syafi’i yang mengesahkan pernikahan
seperti itu, kemudian ia menggauli wanita tersebut dan lalu menceraikannya dengan
bertaklid kepada madzhab Imam Ahmad yang mengesahkan jenis talak seperti itu dan
tanpa melalui masa ‘iddah, sehingga suaminya yang pertama boleh menikahinya
kembali.

Syaikh Ali Ajhuri Asy Syafi’i memberi komentar, bahwa (contoh) seperti itu dilarang
pada masa kami, dan hal itu tidak boleh serta tidak sah untuk diamalkan. Karena
menurut madzhab Asy Syafi’i, disyaratkan yang menikahkan anak kecil harus ayah
atau kakeknya, dan harus seorang yang adil, serta mesti ada kemaslahatan bagi anak
tersebut dalam pernikahannya. Kemudian yang menikahkan si wanita harus walinya
yang adil dengan dua saksi yang adil pula. Jika ada satu syarat tak terpenuhi, maka
tidak sah tahlil tersebut, karena pernikahannya tidak sah.

B. RUANG LINGKUP TALFIQ


Masalah talfiq sama halnya dengan masalah taklid, ruang lingkupnya adalah dalam
masalah-masalah ijtihadi [3] yang bersifat zhanni (bukan merupakan perkara qathi’
atau pasti, Pent.). Adapun setiap perkara yang ma’lum fiddin bidhdharurah (prinsipil)
dalam agama ini, berupa perkara-perkara yang disandarkan pada hukum syar’i (yang
pasti), yang telah disepakati oleh kaum muslimin dan pengingkarnya dihukumi kafir,
maka tidak boleh ada taklid apalagi membuat talfiq di dalamnya.

Atas dasar itu, maka tidak boleh membuat talfiq yang dapat mengarah kepada
pembolehan (penghalalan) perkara yang diharamkan seperti khamr (miras) dan zina.

C. HUKUM TALFIQ
Talfiq Yang Diperbolehkan
Dalil bagi pendapat yang menyatakan bahwa talfiq itu dilarang, adalah apa yang
dinyatakan oleh ulama ushul sebagai ijma’ yang melarang memunculkan pendapat
ketiga, jika para ulama berbeda pendapat menjadi dua kelompok mengenai hukum
dalam suatu masalah. Jadi, kebanyakan dari mereka menyatakan tidak boleh
memunculkan pendapat ketiga yang dapat melanggar wilayah kesepakatan.

Misalnya seperti masalah ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya.
Dalam masalah ini ada dua pendapat di kalangan ulama. Pertama, berpendapat
bahwa‘iddahnya adalah (dengan) melahirkan kandungannya. Kedua, berpendapat
bahwa ‘iddahnya adalah masa ‘iddah yang paling jauh dari dua masa ‘iddah . Maka
tidak boleh memunculkan pendapat baru –misalnya- dengan menyatakan bahwa
‘iddahnya adalah hanya dengan hitungan bulan (4 bulan 10 hari) saja.
Untuk mengomentari (menyanggah) klaim kebatilan talfiq ini, bisa melalui dua
metoda. 1) Metode penolakan (al man’u) atau peniadaan (an nafyu), 2) Metode
penetapan lawannya (itsbatul ‘aks).

1. Metode Penolakan atau Peniadaan.


Hal itu jelas, karena talfiq dibangun di atas pemikiran taklid yang ditetapkan oleh
ulama muta`akhirin (generasi akhir) pada masa-masa kemunduran (umat Islam dalam
berijtihad, pent.).

Artinya talfiq ini belum dikenal (tidak ada) di kalangan Salaf (pendahulu umat ini),
tidak di masa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tidak pula di
masa imam-imam (setelah mereka) dan para muridnya. Adapun di masa Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka tidak ada praktek talfiq sama sekali, karena masa
itu merupakan era penyampaian wahyu yang tidak memungkinkan adanya ijtihad.

Demikian pula di masa sahabat dan tabi’in, tidak dikenal adanya talfiq di tengah-
tengah mereka. Yang ada hanyalah seseorang bertanya kepada ulama yang disukainya
dari kalangan sahabat dan tabi’in, lalu ia (yang ditanya) memberi fatwa kepadanya
tanpa mengharuskan berpegang dengan fatwanya, dan juga tanpa melarang orang
(penanya) tersebut dari mengamalkan fatwa selainnya, padahal ia mengetahui adanya
perbedaan pendapat yang banyak di antara mereka.

Begitu juga di masa para empat imam atau ulama lainnya yang sudah masuk kategori
ulama mujtahid, tidak ada nukilan dari mereka tentang larangan beramal dengan
madzhab selainnya. Bahkan masing-masing saling mengikuti di belakang ulama yang
lain, padahal setiap dari mereka mengetahui perbedaan pendapatnya dengan yang lain
dalam masalah ijtihadi yang bersifat zhanni (tidak pasti). Maka hal ini menunjukkan
bahwa –dahulu- orang yang meminta fatwa, mengambil pendapat-pendapat para
ulama dalam dua masalah atau lebih, dan tidak dikatakan bahwa dia telah melakukan
talfiq, atau telah sampai pada suatu kondisi yang tidak pernah disebutkan oleh para
pemberi fatwa. Hal itu hanyalah terhitung sebagai bentuk saling bercampurnya
pendapat-pendapat para pemberi fatwa tersebut pada diri orang yang meminta fatwa
tadi tanpa ada kesengajaan (untuk mencampuradukkan antara pendapat satu dengan
yang lain). Sama halnya dengan saling bercampurnya bahasa-bahasa antara satu
dengan yang lain dalam bahasa Arab, misalnya.

Dan selebihnya, pendapat mereka yang melarang perbuatan talfiq, dapat mengarah
kepada larangan bertaklid, yang pada dasarnya mereka sendiri mewajibkan taklid
tersebut bagi orang-orang awam, meskipun kebanyakan taklid itu bukan merupakan
bentuk talfiq. Dan hal ini bertentangan dengan prinsip yang berbunyi perbedaan
pendapat para imam adalah rahmat bagi umat . Juga bertentangan dengan prinsip
kemudahan dan kelonggaran serta menghilangkan perkara yang memberatkan dan
kondisi yang menyulitkan, yang merupakan asas bangunan syari’at Islam.
2. Metode Penetapan Lawannya (Itsbatul ‘Aks).
Dengan anggapan membenarkan dan menerima pendapat yang melarang talfiq, maka
tampaklah dari ketetapan para ulama itu, bahwa tidaklah ada keharusan berpegang
kepada madzhab tertentu dalam seluruh permasalahan, sebagaimana telah dijelaskan.
Dan seseorang yang tidak berpegang kepada madzhab tertentu, maka dibolehkan
melakukan talfiq. Jika tidak demikian, maka akan mengakibatkan kesimpulan
pembatalan peribadahan orang-orang awam, karena –pada kenyataannya- kita hampir
tidak mendapati seorang yang awam mengerjakan suatu ibadah yang benar-benar
sesuai dengan madzhab tertentu. Adapun persyaratan yang mereka sebutkan tentang
keharusan memperhatikan perbedaan dalam lintas madzhab, bila seseorang bertaqlid
kepada satu madzhab atau meninggalkan madzhabnya –yang terdahulu- dalam suatu
masalah, maka hal ini perkara yang menyulitkan, baik dalam masalah-masalah ibadah
maupun mu’amalah. Karena hal itu bertentangan dengan prinsip kelonggaran dan
kemudahan syari’at serta kecocokakannya dengan seluruh kemaslahatan manusia

Contohnya, seseorang yang berwudhu dan mengusap kepalanya –dengan bertaqlid


kepada madzhab Imam Asy Syafi’i- maka wudhunya sah. Kemudian, apabila dia
menyentuh kemaluannya setelah itu dengan bertaklid kepada madzhab Abu Hanifah,
maka shalatnya sah. Karena wudhunya orang yang bertaklid ini sah menurut
kesepakatan, hal itu disebabkan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan
wudhu menurut Abu Hanifah. Dan seperti ini tidak dikatakan bahwa wudhunya tidak
sah karena dianggap batal oleh masing-masing dari dua madzhab tersebut; karena dua
masalah tersebut terpisah (antara satu dengan yang lain). Wudhu tersebut awalnya
telah sempurna dengan bertaklid kepada madzhab Asy Syafi’i, sampai kemudian
menyentuh kemaluannya dan dia meneruskan (tetap dalam keadaan memiliki wudhu)
dengan bertaklid kepada madzhab Abu Hanifah. Maka taklid kepada madzhab Abu
Hanifah hanyalah sekedar melanjutkan apa yang sudah sah, bukan pada permulaan
ibadah.

Adapun klaim sebagian pengikut madzhab Hanafi bahwa telah ada ijma’ yang
melarang melakukan talfiq, maka bisa jadi cuma ditinjau dari kesepakatan para
pengikut madzhab ini saja (Hanafiah), atau mengacu kepada mayoritas ulama, atau
berdasarkan apa yang didengar, atau cuma prasangka (zhan) saja. Karena, jika
masalah tersebut sudah merupakan ijma’, seharusnya para fuqaha madzhab-madzhab
lain pun akan menjelaskan adanya ijma’ tersebut, tidak cukup hanya dengan diamnya
mereka dan kemungkinan saja. Dan tidak ada bukti terkuat yang menunjukkan secara
jelas perihal tidak adanya ijma’ yang melebihi keberadaan penentangan banyak ulama
muta`akhirin terhadapnya (larangan talfiq).

Al Kamal bin Al Hammam dalam At Tahrir –dan diikuti oleh muridnya Ibnu Amir Al
Hajj - menyatakan: “Sesungguhnya seorang (awam) yang bertaklid dibolehkan untuk
bertaklid kepada siapa yang disukainya . Dan jikalau seorang yang awam mengambil
pendapat mujtahid yang paling ringan baginya dalam setiap masalah, maka saya tidak
mengetahui ada dalil naqli maupun aqli yang melarangnya. Dan ketika seseorang
(awam) mencari-cari yang paling ringan baginya dari pendapat seorang mujtahid –
yang berhak berijtihad-, saya tidak mengetahui dari unsur syari’at ini yang
mencelanya, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai sesuatu yang
meringankan umatnya”.

Adapun kalau dua imam tersebut sepakat mengenai batalnya amal pelaku talfiq, maka
ini merupakan pendapat yang tidak didukung oleh hujjah. Karena orang yang bertaklid
tersebut tidaklah bertaklid kepada keduanya dalam keseluruhan amal. Namun hanya
bertaklid kepada salah satu dari dua imam dalam masalah tertentu, yang dalam hal itu,
dia tidak bertaklid kepada yang lain, maka hal seperti ini tidak mengapa. Sedangkan
keseluruhan amal tidak ada seorang pun yang mengharuskan untuk menelitinya, tidak
dalam hal ijtihad maupun dalam hal taklid. Tetapi ini hanya merupakan mengada-
adakan satu hukum syari’at dari seseorang yang tidak berhak untuk mengatakannya.
Ibnu Abidin menyampaikan pernyataannya dalam Tanqih Al Hamidiyah yang intinya,
bahwa dalam angan-angan seorang mufti terdapat petunjuk tentang kebolehan hukum
gabungan, dan Syaikh Ath Thursusi juga membolehkannya, begitu pula ‘Allamah Abu
As Su’ud memfatwakan kebolehannya dalam fatwanya. Demikian juga ketetapan Ibnu
Nujaim dalam risalahnya yang berjudul Fi Bai’il Waqfi Bi Ghabnin Fahisys, bahwa
menurutnya pendapat dalam madzhab adalah kebolehan melakukan talfiq,
sebagaimana juga yang dinukil dari Al Fatawa Al Bazaziyah. Sedangkan Ibnu Arafah
Al Maliki membenarkan kebolehannya dalam Al Hasyiah ‘Ala Asy Syarh Al Kabir.
Allamah Al ‘Adawi dan yang lainnya juga memfatwakan kebolehannya, karena itu
merupakan bentuk kelonggaran.
Dan Jumhur ulama –di antaranya sebagian ulama madzhab Syafi’iyah- berpendapat
bahwa Ijma’ yang dinukil oleh orang per orang –seperti yang diklaim untuk masalah
ini- tidak harus diamalkan (karena hakikatnya bukan ijma’, Pent.). Apalagi –dalam hal
ini- mengklaim adanya ijma’ dilarang. Karena kenyataannya para ulama terpercaya
telah menyebutkan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini, seperti Al Amir
dan Al Baijuri. Dan Asy Syafsyawani menyinggung tentang penggabungan suatu
masalah dari dua madzhab atau lebih dengan berkata: “Sesungguhnya para ahli ushul
berselisih pendapat dalam masalah ini, tetapi yang benar –menurut penelitian- adalah
dibolehkan (melakukan talfiq)”.
Kesimpulannya, bahwa agama Allah itu mudah, tidak sulit, dan pendapat yang
membolehkan talfiq termasuk dalam kategori memudahkan manusia (khususnya
orang-orang awam, Pent.). Allah Azza wa Jalla berfirman :

ٍ ‫َو َما َج َعلَ َعلَ ْي ُك ْمفِيالدِّينِ ِم ْن َح َر‬


‫ج‬

Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan. [Al Hajj : 78].
ً ‫ض ِعيفا‬ َ ِ‫ي ُِري ُد هَّللا ُ أَ ْن يُ َخفِّفَ َع ْن ُك ْم َو ُخل‬
َ ُ‫ق اإْل ِ ْن َسان‬
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat
lemah. [An Nisa’: 28].
‫ي ُِري ُد هَّللا ُ بِ ُك ُم ْاليُ ْس َر َوال ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُعس َْر‬
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
[Al Baqarah : 185].
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((‫ت بِ ْال َحنِيفِيَّ ِة ال َّس ْم َح ِة‬
ُ ‫))ب ُِع ْث‬
Aku telah diutus dengan (membawa agama Islam) yang lurus lagi mudah.
TalfiqYangDilarang Kebolehan melakukan talfiq ini tidak bersifat mutlak, tetapi
terbatas dalam ruang lingkup tertentu. Karena ada bentuk talfiq yang serta merta batil
menurut bentuknya, seperti bila talfiq tersebut menjurus kepada penghalalan perkara-
perkara yang diharamkan (secara qath’i atau pasti) seperti khamr (miras), zina dan dll.
Dan ada yang dilarang bukan menurut dzatnya, tetapi karena ada sesuatu yang
mencampurinya (sehingga yang asalnya boleh, menjadi terlarang, Pent.). Jenis kedua
ini ada tiga macam.
1. Menyengaja hanya mencari-cari yang paling ringan (tatabbu’ ar rukhash).
Yaitu seseorang mengambil apa yang paling ringan dari setiap madzhab, tanpa ada
unsur keterpaksaan dan udzur kuat. Hal ini terlarang demi menutup jalan-jalan
kerusakan berupa usaha pembebasan diri dari beban-beban syari’at.
Al Ghazali berkata,”Tidak boleh seseorang mengambil madzhab lain dengan
seenaknya, dan seorang awam –juga- tidak boleh memilih yang menurutnya paling
enak dari setiap madzhab dalam setiap masalah, lalu dia memperlebarnya (ke semua
masalah dengan tanpa ada keterpaksaan.)”. Dan tentunya masuk ke dalam macam ini,
yaitu mencari-cari hukum yang paling ringan dengan seenaknya dan mengambil
pendapat yang lemah dari setiap madzhab demi mengikuti syahwat dan hawa
nafsunya.
2. Talfiq yang mengakibatkan penolakan hukum (ketetapan atau keputusan) hakim
(pemerintah), karena ketetapannya dapat menghilangkan perselisihan untuk
mengantisipasi terjadinya kekacauan.
3. Talfiq yang mengakibatkan seseorang meninggalkan apa yang telah diamalkannya
secara taklid, atau meninggalkan perkara yang telah disepakati disebabkan oleh
adanya perkara yang ditaklidinya.
Contoh keadaan pertama. Kalau ada seorang yang faqih (paham tentang agama)
berkata kepada isterinya “Saya mentalakmu selamanya” dan ia berpendapat bahwa
-dengan lafadz seperti itu- telah jatuh talak tiga, maka ia melaksanakan pendapatnya
berkaitan antara dirinya dan isterinya tersebut, dan ia berketetapan bahwa isterinya
telah haram baginya. Kemudian setelah itu dia berpendapat bahwa talaknya tersebut
adalah talak raj’i, namun ia tetap melaksanakan pendapatnya yang pertama yang telah
ditetapkan sebelumnya dan tidak mau mengembalikan isterinya (yang telah
ditalaknya) sebagai isterinya lagi dengan pendapat terbarunya itu. Hal ini terlarang,
karena dia masih menyisakan pendapat pertama, sementara itu dia sudah mengambil
pendapat kedua dalam masalah yang sama.
Contoh keadaan kedua. Jika seorang laki-laki bertaklid kepada Imam Abu Hanifah
dalam pendapatnya tentang (sahnya) pernikahan tanpa wali (si wanita), maka ‘aqad
(pernikahan) tersebut meluluskan pengesahan jatuhnya talak, karena hal itu satu
konsekuensi sahnya pernikahan menurut ijma’. Lalu, jika laki-laki tersebut
menjatuhkan tiga talak terhadap isterinya, kemudian dia ingin bertaklid kepada Imam
Asy Syafi’i yang berpendapat tidak ada talak yang jatuh, karena pernikahannya
tersebut tanpa wali (yang menurut beliau tidak sah, Pent.) , maka tidak boleh dia
melakukan –talfiq- seperti itu, karena dia meninggalkan taklidnya dalam perkara wajib
yang telah disepakati.
Hal itu lebih ditujukan untuk menjaga masalah nasab daripada mempertimbangkan
aspek lainnya. Karena, jika tidak begitu, maka akan menghasilkan konsekuensi bahwa
hubungan yang telah dilakukan (antara keduanya) adalah hubungan haram (zina) dan
anak-anak yang dilahirkan (dari hubungan tersebut) adalah anak-anak zina. Maka
harus ditutup setiap pintu yang dapat mengarahkan kepada upaya rekayasa (tahayul)
seperti itu dalam segala masalah yang besar, seperti masalah pernikahan atau dalam
setiap perkara yang menyudutkan agama sebagai obyek mainan atau merugikan
manusia atau kerusakan di atas muka bumi.
Adapun dalam urusan peribadahan dan beban-beban syari’at yang tidak ada
kesempitan untuk para hambaNya, maka tidaklah dilarang melakukan talfiq, walaupun
akan mengakibatkan ditinggalkannya perkara yang telah diamalkan atau
ditinggalkannya perkara wajib karena perkara wajib lainnya berdasarkan ijma’, selama
tidak menjurus kepada pembebasan diri dari ikatan beban-beban syari’at, atau
mengarah kepada penghapusan hikmah ditetapkannya syari’at dengan cara mengikuti
setiap hilah (rekayasa) yang dapat merubah atau menghilangkan maksud syari’at.

D.HUKUM TALFIQ DALAM BEBAN-BEBAN SYARI’AT (TAKALIF ASY


SYAR’IYYAH)

Di atas telah dijelaskan bahwa ruang lingkup talfiq hanyalah dalam perkara-perkara
furu’ (cabang) yang bersifat zhanni yang dibolehkan terjadi ijtihad, yaitu dalam
perkara-perkara yang memungkinkan terjadi perbedaan pendapat di dalamnya.
Adapun berkaitan dengan urusan aqidah, keimanan dan akhlak serta perkara-perkara
yang prinsip agama ini, maka tidak dapat dimasuki oleh talfiq. Karena tidak boleh ada
taklid padanya menurut kesepakatan ulama, juga bukan termasuk wilayah ijtihad yang
akan mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat –yang menjadi dasar bagi taklid
dan talfiq-.
Lantaran talfiq ini sangat mungkin terjadi dalam masalah-masalah furu’, maka harus
ada perincian mengenai hukum masalah-masalah furu’ tersebut. Perkara-perkara furu’
dalam syari’at terbagi menjadi tiga jenis.
1. Perkara-perkara furu’ yang dibangun di atas prinsip kemudahan dan kelapangan
dengan berbagai ragamnya yang disebabkan beragamnya keadaan para mukallaf
(orang yangdibebanisyari’at).
2. Perkara-perkara furu’ yang dibangun di atas prinsip kehati-hatian dan mencari yang
palingselamat.
3. Perkara-perkara furu’ yang berorientasi kemaslahatan dan kebahagiaan para hamba.
Jenis yang pertama, adalah ibadah-ibadah mahdhah. Dibolehkan melakukan talfiq di
dalamnya jika diperlukan, karena dasarnya adalah melaksanakan perintah Allah Azza
wa Jalla dan tunduk kepadaNya dengan tanpa ada unsur kesempitan. Maka tidak boleh
terjadi sikap berlebihan dalam hal ini. Karena sikap berlebihan (melampaui batas)
akan menjerumuskan kepada kebinasaan.
Adapun ibadah-ibadah maliyah (dengan harta), maka haruslah diperketat untuk kehati-
hatian, karena dikhawatirkan akan menelantarkan hak kaum fakir miskin. Oleh karena
itu, seseorang yang ingin menunaikan zakat tidak boleh mengambil pendapat yang
lemah atau menggabungkan pendapat dari setiap madzhab yang lebih tidak menjamin
keutuhan hak kaum fakir. Dalam masalah ini, seorang mufti (pemberi fatwa)
hendaknya mengeluarkan fatwa yang paling hati-hati (selamat) dan paling kondusif,
dengan tetap mempertimbangkan kondisi orang yang meminta fatwa (mustafti) dan
apakah dia termasuk orang-orang yang punya kepentingan (tertentu mendesak) atau
tidak.
Adapun jenis kedua, yaitu kelompok perkara-perkara yang dilarang, yang bertumpu
pada kehati-hatian (ihtiyath) dan mengambil pendapat yang paling selamat (wara’)
(dengan meninggalkan syubhat) sekuat mungkin. Karena Allah Azza wa Jalla tidaklah
melarang sesuatu, kecuali karena adanya madharat (bahaya). Maka tidak boleh
memberi kelonggaran atau melakukan talfiq dalam hal itu, kecuali dalam keadaan
darurat (terpaksa) menurut kacamata syari’at. Sebab kondisi darurat (terpaksa)
membolehkan (mengambil) yang dilarang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
((‫ َو َما أَ َمرْ تُ ُك ْم بِ ِه فَأْتُوا ِم ْنهُ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم‬،ُ‫)) َما نَهَ ْيتُ ُك ْم َع ْنهُ فَاجْ تَنِبُوه‬
Apa yang kularang hendaklah kalian jauhi (tinggalkan); dan apa yang kuperintahkan,
maka hendaklah kalian kerjakan sekuat kemampuan kalian.
Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikat perintah dengan
tingkat kemampuan, sementara larangan dimutlakkan (tidak diikat), demi menolak
madharat dari perkara yang dilarang tersebut.
Adapun tidak bolehnya talfiq dalam larangan-larangan itu, karena larangan-larang
tersebut dibangun atas dasar kehati-hatian dan mencari yang paling selamat. Hal itu
bersandar kepada hadits :
َ ُ‫ك إِلَى َما الَ يَ ِر ْيب‬
‫ك‬ َ ُ‫َد ْع َما يَ ِريب‬
Tinggalkanlah apa yang meragukan bagimu menuju apa yang tidak meragukan
bagimu.
Adapun larangan-larangan yang berkaitan dengan hak-hak manusia, maka tidak boleh
melakukan talfiq di dalamnya. Karena hal itu berdasarkan asas menjaga hak serta
mencegah gangguan dan menganiaya (orang lain). Maka tidak boleh melakukan talfiq
dalam hal tersebut, karena merupakan bentuk rekayasa tipuan yang bertujuan
menentang hak orang dan merugikan mereka.
Sedangkan jenis ketiga, yaitu jenis mu’amalah (interaksi antara manusia), hukuman
pidana (hudud), menunaikan kewajiban harta dan pernikahan.
Pernikahan dan hukum yang integral dengannya, seperti mufaraqah (pemisahan
hubungan antara suami isteri) itu, landasannya adalah mewujudkan kebahagiaan
suami-isteri dan anak-anak. Hal ini dapat terealisasi dengan menjaga ikatan
pernikahan tersebut dan terciptanya kehidupan yang baik dalam keluarga,
sebagaimana yang telah ditetapkan Al Qur`an Al Karim :

ِ ‫ُوف أَوْ تَس‬


ٍ ‫ْري ٌح بِإِحْ َس‬
‫ان‬ ٌ ‫فَإ ِ ْم َسا‬
ٍ ‫ك بِ َم ْعر‬
Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara
yang baik. [Al Baqarah : 229].
Jadi, setiap perkara yang mendukung prinsip ini boleh diamalkan, meskipun dalam
sebagian kasus akan menyeret kepada perbuatan talfiq. Hanya saja, hendaknya talfiq
tidak dijadikan sebagai obyek permainan orang dalam urusan-urusan pernikahan dan
talak, dengan tetap memperhatikan kaidah syari’at, yaitu bahwa “hukum asal
pernikahan atau perkawinan adalah haram” (kecuali yang memenuhi syarat-syarat
yang telah ditetapkan syari’at, Pent.), demi menjaga hak-hak kaum wanita dan
keturunan. Dan bila hal tersebut (mempermainkan hukum dalam pernikahan) di atas
terjadi, maka talfiq menjadi terlarang.
Adapun masalah mu’amalah, menunaikan kewajiban harta, penegakan hudud (hukum
pidana) dan perlindungan darah (manusia) serta masalah lain yang serupa yang
memperhatikan kemaslahatan dan kebaikan bagi kehidupan manusia, maka wajib
mengambil dari setiap madzhab, pendapat yang paling mengutamakan kemaslahatan
dan kebahagiaan manusia, kendatipun harus melakukan talfiq. Sebab pemilihan
pendapat model itu akan mencerminkan usaha untuk mendukung kemaslahatan yang
diinginkan oleh syariat. Ditambah lagi, karena kemaslahatan-kemaslahatan manusia
berubah seiring dengan perubahan zaman, adat kebiasaan dan perkembangan
peradaban mereka. Dan batasan maslahah adalah, setiap perkara yang menjamin
perlindungan terhadap lima prinsip dasar, yaitu penjagaan agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta; serta perlindungan terhadap setiap kebaikan yang dibidik oleh
syari’at, baik melalui Al Qur’an, Sunnah atau Ijma’, yang lebih dikenal dengan
mashalih mursalah maqbulah (yang bisa diterima).
Kesimpulannya, batasan dibolehkan atau tidaknya melakukan talfiq adalah, bahwa
setiap perkara yang dapat mengacaukan landasan-landasan syari’at dan dapat
menghancurkan aturan dan hikmahnya, maka hal itu dilarang, terutama kalau hal itu
sekedar hiyal (rekayasa belaka untuk melepaskan diri dari beban syari’at, Pent.).
Sedangkan segala sesuatu yang mendukung landasan, hikmah dan aturan syari’at
untuk membahagiakan manusia di dunia dan akhirat, dengan memfasilitasi kemudahan
kepada mereka dalam urusan peribadahan serta menjamin segala kemaslahatan untuk
mereka dalam urusan mu’amalah (interaksi antara mereka), maka hal itu dibolehkan,
bahkan merupakan tuntutan.
5

5
Abu Humaid Arif Syarifudin. “Talfiq dalam Pandangan Ulama”. Referensi: https://almanhaj.or.id/3105-
talfiq-dalam-pandangan-ulama.html. Diakses pada tanggal 4 desember 2020 pukul 09.00
BAB III
PENUTUP

A. kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Asiah Faqih Sultan Hrp, Nur.2009. MAZHAB OTORITAS HUKUM DAN PERUBAHAN
DALAM ISLAM:Analisis konsep dan Penerapan,Medan: utul ‘Ilma publising.

Miswanto, Agus. 2019.Ushul Fiqh: Metode Ijtihad Hukum Islam,Yogyakarta: Magnum


Pustaka Utama

Safe'i Abdulah.2017.”REDEFINISI IJTIHAD DAN TAQLID:Upaya Reaktualisasi dan


Revitalisasi Sosio-Historis”. Vol 11, Nomor 1 (Halaman 26-40). Bandung: UIN
Sunan Gunung Djati Bandung.

Ahmad.2012.Ittiba’ Dalam Perspektif Al-Quran (Suatu Kajian Tafsir Maudhu’i)


[Skripsi].Makassar: Unversitas Islam Negeri Alauddin Makasar.

Humaid Arif Syarifudin,Abu. “Talfiq dalam Pandangan Ulama”. Referensi:


https://almanhaj.or.id/3105-talfiq-dalam-pandangan-ulama.html. Diakses pada
tanggal 4 desember 2020 pukul 09.00

Anda mungkin juga menyukai