IJTIHAD
“Ushul Fiqh”
Dosen Pembimbing :
KOMARODIN, M.Pd.I
Disusun Oleh :
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Kelompok 05
i
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................5
C. Tujuan Masalah ........................................................................................5
A. Kesimpulan .............................................................................................21
B. Saran ........................................................................................................22
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas penyusun
merumuskan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Pengertian Dari Ijtihad.
2. Mengetahui Dasar Hukum Dari Ijtihad.
3. Mengetahui Kedudukan Ijtihad.
4. Mengetahui Fungsi Ijtihad.
5. Mengetahui Objek Ijtihad.
6. Mengetahui Syarat-syarat Ijtihad.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
1
Al-Jurjani, al-Ta'rifat (Beirut : Dar al-Kutub, 1988), 10.
2
Al-Ghazali (W. 505 H), al_Mustasfa min Ilmi al-Ushul (Beirut: Dar al-Kutub, 1971),
478.
3
Dalam rumusan definisi tersebut ijtihad mengandung unsur-unsur
sebagai berikut: Pertama, adanya unsur pengerahan daya upaya dan
kemampuan. Kedua, adanya tujuan untuk merumuskan hukum shara'.
Ketiga, hukum shara' yang dimaksud adalah bersifat amali (praktisi).
Keempat, untuk mencapai konklusi dan rumusan hukum itu dengan suatu
metode.
Menurut Wahbah Al Zuhaili Ijtihad adalah melakukan istimbath
hukum syari`at dari segi dalildalilnya yang terperinci di dalam syari`at.3
Namun ijtihad dalam pengertian khusus dan spesifik, yaitu ijtihad
dalam hukum Islam, mengacu ke pada upaya maksimal dalam
mendapatkan ketentuan hukum syara’. Atau mengerahkan segala
kemampuan dalam mendapatkan hukum syara’ yang praktis dengan
menggunakan metode istinbat. Atau upaya seseorg ahli fikih dalam
mengerahkan kemampuan secara optimal dalam mendapatkan suatu
hukum syariat yang bersifat zanni.
Menurut definisi sebagian ulama ushul fiqh seperti dikutip oleh
Saefullah Ma‟shum bahwa ijtihad adalah “mencurahkan segala
kesanggupan dan kemampuan semaksimal mungkin dalam penerapan
hukum.
Muhammad Abu Zahra mendifinisikan ijtihad sebagai
“Pengerahan segala kemampuan seorang ahli fiqh dalam menetapkan
(istimbat ) hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari
dalilnya secara terperinci”.
Dari definisi di atas, dapat difahami bahwa ijtihad itu, pertama
usaha intelektual secara sungguh-sungguh; kedua, usaha yang dilakukan
itu adalah melakukan istibath (menyimpulkan) dan menemukan hukum;
ketiga, pencarian hukum dilakukan melalui dalildalil baik dari alqur’an
dan Sunnah; keempat, orang yang melakukan ijtihad itu adalah seorang
ulama yang memiliki kompetensi, dan keluasan wawasan serta
pengetahuan dalam bidang hukum Islam.
3
1 Wahbah al-Zuhaili, al-Wajiz fi ushul al-Fiqh, (Bairut: dar al-fikr al-Mu’ashir, 1999),
hlm 231.
4
Berdasarkan paparan diatas dapat dipahami bahwa ijtihad adalah
pengerahan segenap kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan
atau per-soalan dalam suatu bidang.
5
Qurʼan maupun Sunnah. Dengan demikian, Al-Qurʼan dan
Sunnah standar kebenaran.
2. Hadist nabi
ِ " َكيف َت ْق: قَ َال لَه، َأ ّن النَّيِب صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم لَ َّما بعثَه ِإىَل الْيم ِن،عن مع ِاذ بن جب ٍل
ضي ِإ ْن َ ْ ُ َ َ ُ ََ َ َ َ ْ َ ُ َ َّ ََ َُ ْ َ
فَبِ ُس ن َِّة:اب اللَّ ِه؟"قَ َال
ِ َ"فَ ِإ ْن مَل ي ُكن يِف كِت: قَ َال،اب اللَّ ِه
ْ َْ
ِ َض ي بِ ِكت
ِ ْ َأق: قَ َال،"ض اء؟
ٌ َ َك ق
َ َض ل
َ َع َر
ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه ِ ِ ِ ِ
َ "فَ ِإ ْن مَلْ يَ ُك ْن يِف ُس نَّة َر ُس ول اللَّه: قَ َال،ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم
ِ ِ
َ َر ُس ول اللَّه
ِ ِ ُ فَض رب رس: قَ َال،ِد رْأيِي وال آلُ و
َ ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم
،ُص ْد َره َ ول اللَّه ُ َ َ ََ َ َ ُ َأجتَهْ :َو َس لَّ َم؟"قَ َال
6
ِ ِ
َأجٌر
ْ ُ َفلَه،َأخطََأ ْ َ َوِإذَا َح َك َم ف،َأجَران
ْ َّاجَت َه َد مُث ْ ُ َفلَه،اب
َ َأص ْ َِإذَا َح َك َم احْلَاك ُم ف
َ َّاجَت َه َد مُث
Apabila hakim memutuskan hukum dan ia berijtihad,
kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika
ijtihadnya keliru maka ia mendapat satu pahala. (HR. Bukhari dan
Muslim).
3. Logika
Secara akal, adalah tidak mungkin membiarkan hukum Islam
terjadi kekosongan. Yaitu ketika Rasulullah Saw wafat, nash sudah
berhenti, sementara berbagai persoalan baru muncul.
Persoalanpersoalan baru ini membutuhkan ijtihad para ulama agar
tidak menyimpang dari relnya.
C. Kedudukan Ijtihad
7
Ijtihad punya kedudukan yang sangat penting disamping al-
Quran dan sunnah Rasul, di antara fungsi ijtihad adalah:
1. Ijtihad berfungsi untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak
sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad.
2. Ijtihad berfungsi sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis
yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat
dipahami kecuali dengan ijtihad.
3. Ijtihad berfungsi untuk mengembangkan prinsip-rinsip hukum yang
terdapat dalam al-Quran dan sunnah seperti dengan qiyas, istihsan
dan maslahah mursalah.
4. Ijtihad berfungsi sebagai pengembangkan prinsip-rinsip hukum yang
terdapat dalam al-Quran dan sunnah lewat metode ijtihad seperti
dengan qiyas, istihsan dan maslahah mursalah, dan itu sangat penting
karena dengan itu ayat-ayat dan hadist-hadist hukum yang terbatas
jumlahnya dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak
terbatas jumlahnya.
Dalam sumber lain dikatakan fungsi ijtihad sendiri ada tiga yaitu:
1. Fungsi al-ruju atau al-I’adah (kembali) yakni mengembalikan ajaran
Islam kepada sumber pokok, yakni Al-Quran dan sunnah shalihah
dari segala interpretasi yang dimungkinkan kurang relevan.
2. Fungsi al-Ihya’ (kehidupan) yaitu menghidupkan kembali bagian-
bagian dari nilai dan semangat ajaran Islam agar mampu menjawab
dan menghadapi tantangan zaman, sehingga Islam mampu sebagai
furqan, hudan dan rahmatan lil ‘alamin.
3. Fungsi al-Inabah (pembenahan), yaotu membenahi ajaran-ajaran
Islam yang telah diijtihadi oleh ilama terdahulu dan dimungkinkan
adanya kesalahan menurut konteks zaman, keadaan dan tempat yang
kini kita hadapi.
E. Objek Ijtihad
8
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai objek
kajian ijtihad. Harun Nasution mengungkapkan bahwa ijtihad dapat
ditetapkan dalam berbagai aspek agama Islam, baik dalam bidang politik,
akidah, tasawuf, dan filsafat. Kesimpulan Harun ini disebabkan oleh
ijtihad dimaknai dalam arti yang umum, yakni dari asal katanya
bersungguh-sungguh. Maka, kata ini pun bisa dibagi dalam aspek-aspek
sebagaimana disebutkan di atas. Bersungguh-sungguhnya untuk
memecahkan masalah dalam bidang-bidang politik, akidah, tasawuf, dan
filsafat
Sedangkan menurut Ibrahim Hosen, Ijtihad memiliki lapangan
yang sangat luas, yaitu segala sesuatu yang tidak ditemukan hukumnya di
dalam nash secara langsung, atau ditemukan hukumnya secara langsung
tetapi hukumnya bersifat zhanny. Dengan kata lain, lapangan ijtihad
adalah semua bidang hukum syara' yang tidak me miliki dalil qat'y
(pasti). Secara garis besar ruang lingkup ijtihad dapat dibagi dua
kelompok, yaitu:
1. Peristiwa yang ketetapan hukumnya masih zhanny. Para mujtahid
berijtihad dalam rangka untuk mereformulasikan hukum Islam
berdasarkan kandungan nash yang ada. Tugas utama para mujtahid
dalam masalah ini adalah menafsirkan kandungan nash kemudian me
netapkan hukum-hukum yang termuat di dalamnya. Hukum-hukum
yang disimpulkan dari nash tersebut dijadikan sebagai dalil untuk
memutuskan persoalan serupa yang muncul di masyarakat.
Contohnya adalah: sentuhan kulit laki-laki dengan perempuan yang
non-muhrim apakah membatalkan wudlu atau tidak, kewajiban
suami-istri, dan lain-lain.
2. Peristiwa yang belum ada nashnya sama sekali. Ijtihad yang
dilakukan mujtahid pada peristiwa ini adalah memformulasikan
ketetapan hukum. Tugas utama para mujtahid adalah merumuskan
hukum baru atas peristiwa tersebut dengan menggunakan kekuatan
ra'y. Dikarenakan tidak ada nashnya, maka mujtahid harus
menginduksikan masalah tersebut dengan mengguna kan metode
9
penetapan hukum, seperti qiyas, istihsan,maslahah mursalah,
istishab, saddudz dzari'ah, dan sebagai nya. Contoh peristiwa jenis
ini adalah: hukum bayi tabung, transplantasi organ tubuh, keluarga
berencana, dan lain-lain.
Dengan demikian, ijtihad tidak dapat dilakukan terhadap
persoalan hukum syara' yang sudah qat'y dalalah, atau memiliki kepastian
hukum dari nas. Suatu masalah yang sudah memiliki ketetapan hukum
dalam al-Qur'an, Hadis, maupun ijmak ulama, maka tidak boleh diijtihadi
lagi. Keqat'iyannya menjadikan persoalan tersebut harus dilak sanakan
apa adanya, tanpa perlu ditafsirkan lagi. Contoh dalam hal ini adalah
tentang kewajiban salat lima waktu. Salat lima waktu hukumnya wajib
secara qat'y, berdasarkan perintah di dalam al-Qur'an dan Hadis, serta
ijmak ulama. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan lagi menafsirkan atau
berijtihad dalam masalah kewajiban salat lima waktu.
F. Syarat-syarat Ijtihad.
10
mengetahui tempat ayat-ayat ini berada sehingga mudah untuk
mencarinya ketika dibutuhkan.
2. Mengetahui hadis-hadis ahkam baik secara bahasa maupun istilah.
Tidak perlu dihafal sebagaimana juga alQuran. Menurut ibn Arabi
hadist ahkam berjumlah 3.000 hadis, sedangkan menurut riwayat
dari Ahmad bin Hambal 1.200 hadis. Tetapi Wahbah Zuhaili tidak
sependapat, menurutnya yang terpenting mujtahid mengerti seluruh
hadis-hadis hukum yang terdapat dalam kitab-kitab besar seperti
sahih bukhari, sahih Muslim, dan lain-lain.
3. Mengetahui al-Quran dan Hadis yang telah dinasakh dan mengetahui
ayat dan hadis yang menasakh. Tujuannya agar mujtahid tidak
mengambil kesimpulan dari nas (al-Quran dan hadis) yang tidak
berlaku lagi. Menurut Abdul Wahab al-Khallaf, bahwa maksud
mengetahui (maklum) Alquran adalah benar-benar memahami
tentang hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, memahami
ayat-ayat yang menjadi dalil hukum, memahami metodologi dalam
menetapkan hukum dan juga memahami asbabun nuzul ayat.
Mengetahui ilmu riwayat dan dapat membedakan mana yang shahih,
mana yang hasan, dan mana yang dha‘if.
4. Mengetahui sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma,
sehingga ia tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan
ijma.
5. Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengan qiyas yang
meliputi rukun, syarat, illat hukum dan cara istinbatnya dari nash,
maslahah manusia, dan sumber syariat secara keseluruhan.
Pentingnya mengetahui qiyas karena qiyas adalah metode ijtihad.
6. Menguasai bahasa Arab tentang nahwu saraf, maani, bayan, dan
uslub-nya karena al-Quran dan hadis itu berbahasa Arab. Oleh
karena itu, tidak mungkin dapat mengistinbatkan hukum yang
berdasar dari keduanya tanpa menguasai bahasa keduanya.
7. Mengetahui ilmu ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah tiang ijtihad
berupa dalil-dalil secara terperinci yang menunjukkan hukum
11
melalui cara tertentu seperti amr, nahi, am, dan khas. Istinbat
diharuskan untuk mengetahui cara-cara ini dan semuanya itu ada
dalam ilmu ushul fiqh.
8. Mengetahui maqasid syariah dalam penetapan hukum, karena
pemahaman nas dan penerapannya dalam peristiwa bergantung
kepada maqasid syariah.
12
mampu menjawab atau memecahkan hukum yang dihadapkan
kepadanya, meskipun masalah tersebut tidak dijelaskan secara
eksplisit dalam nas syarak
Adapun menurut al-Gazali, seorang mujtahid haruslah menguasai
Alquran, Sunah, ijmak, dan kias. Di samping itu, seorang mujtahid juga
harus menguasai dua macam ilmu, yaitu ilmu-ilmu pendahuluan
(muqaddaman) untuk dapat menarik ketentuan hukum dari sumber
hukum yang asli, yaitu Alquran dan atau Sunah. Ini memerlukan
penguasaan penuh terhadap leksikografi dan gramatika sehingga
memahami ungkapan-ungkapan dalam bahasa Arab. Jenis yang kedua
mencakup pengetahuan ‘ulum al-Qur’an dan ‘ulum alhadits sehingga
dapat membedakan hadis yang sahih dan yang palsu, hadis yang salah
dan yang benar. Penguasaan terhadap ilmu-ilmu ini, terutama ‘ulum al-
Qur’an dan ‘ulum al-hadits, leksikografi dan yurisprudensi sangat
mendasar untuk menjadi seorang mujtahid
Meskipun persyaratan mujtahid yang dikemukakan oleh para
ulama ushul beragam, namun pada hakekatnya persyaratan tersebut
merupakan sebuah upaya agar orang-orang yang berijtihad memiliki
standar keilmuan tertentu. Di samping itu, tidak memberi peluang kepada
orang yang tidak memiliki persyaratan di atas untuk melakukan ijtihad
terhadap permasalahan yang belum ditetapkan hukumnya di dalam
masyarakat. Sehingga siapapun yang melakukan ijtihad diharapkan agar
hasil ijtihadnya merupakan sesuatu ketepan hukum yang benar.
BAB III
13
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kandungan
ilmiah
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
14
Izzan, Ahmad. 2007. Metodologi Ilmu Tafsir. Cet. I; Bandung:
Tafakur.
15