Anda di halaman 1dari 19

TEMA 5

IJTIHAD

Disusun untuk Memenuhi tugas mata kuliah

“Ushul Fiqh”

Dosen Pembimbing :

KOMARODIN, M.Pd.I

Disusun Oleh :

Andi Fathul Aziz (5)

Mohamad Arju Fatha Ni’am (23)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) DIPONEGORO


TULUNGAGUNG
TAHUN 2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul ” IJTIHAD” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk


memenuhi tugas pada mata kuliah Ushul Fiqh

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bpk


KOMARODIN, M.Pd.I selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqh yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna.


Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis
nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat akhir kata penulis ucapkan terimakasih.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Tulungagung, 06 September 2022

Kelompok 05

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................5
C. Tujuan Masalah ........................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................6

A. Definisi Qashashul Quran..........................................................................6


a. Kisah Para Nabi Terdahulu...........................................................7
b. Kisah yang berhubungan dengan masa lalu..................................9
c. Kisah-kisah menyangkut peristiwa-peristiwa pada masa
Rasulullah SAW............................................................................9
B. Tujuan dan Fungsi Qashashul Quran........................................................13
C. Perspektif Orlentalis terhadap Qashashul Quran.......................................15

1. Pendapat Orlentalis tentang Kisah.................................................15


2. Bertahan terhadap Orlentalis.........................................................17
3. Membuktikan Kebenaran Risalah Rasulullah SAW.....................18

BAB III PENUTUP.............................................................................................21

A. Kesimpulan .............................................................................................21
B. Saran ........................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu Ushul Fiqh


tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan
Sunnah, Ushul Fiqh tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-
benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat. Masalah utama
yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan
takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah sahabat. Dan di masa
Rasulullah SAW, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu
dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat
langsung merujuk kepada Rasulullah SAW lewat penjelasan beliau
mengenai Al-Qur’an atau melalui sunnah beliau.

Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin


berkembang. Diantara mereka ada yang menempuh metode qiyas
disamping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa
tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum
sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh
para ulama ketika itu.

Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah


tabi’in atau pada masa Al-Aimmat Al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu,
kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga semakin jelas beragam
bentuknya.

Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman


Rasulullah SAW, sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran
hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau
metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis.
Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas penyusun
merumuskan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:

1. Apa Pengertian Dari Ijtihad ?


2. Apa Dasar Hukum Dari Ijtihad ?
3. Apa Kedudukan Ijtihad ?
4. Apa Fungsi Ijtihad ?
5. Apa Objek Ijtihad ?
6. Apa Syarat-syarat Ijtihad ?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Pengertian Dari Ijtihad.
2. Mengetahui Dasar Hukum Dari Ijtihad.
3. Mengetahui Kedudukan Ijtihad.
4. Mengetahui Fungsi Ijtihad.
5. Mengetahui Objek Ijtihad.
6. Mengetahui Syarat-syarat Ijtihad.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad

Kata Ijtihad berasal dari kata ‫ جهد‬yang berarti al-thaqah (daya,


kemampuan, kekuatan). Atau berarti al-masyaqqah (kesulitan,
kesukaran). Dari itu ijtihad menurut pengertian bahasa bermakna “badzl
al-wus’wa al-majhud (pengerahan daya dan kemampuan) atau
pengerahan segala daya dan kemampuan dalam satu aktivitas dari
aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar.1
Dari pengertian bahasa di atas ada dua unsur pokok dalam ijtihad,
yaitu: (1) Daya atau kemampuan; (2) Objek yang sulit dan berat.
Al-Ghazali merumuskan pengertian Ijtihad dari segi bahasa
dengan pencurahan segala daya upaya dan kekuatan untuk meraih
sesuatu yang berat dan sulit.2
Secara terminologi, ijtihad diartikan sebagai segala daya upaya
yang dicurahkan seorang mujtahid dalam mengembangkan dan menggali
bidang teologi, politik, tasawuf, filsafat dan fiqih. Harun Nasution,
Ijtihad Sumber Ketiga Ajaran Islam, dalam Ijtihad Dalam Sorotan
(Bandung: Penerbit Mizan, 1988), 112. Sementara itu para ahli Usul
Fiqih secara terminologi membatasi pengertian ijtihad dalam bidang
fiqih, sebagaimana diungkapkan oleh alShaukani (1172-1250):
‫بذل الوسع في نيل الحكم شرعي عملي بطريق اإلستنباط‬
“Mencurahkan kemampuan untuk memperoleh hukum shara'
amali dengan cara melakukan istinbāt.”

1
Al-Jurjani, al-Ta'rifat (Beirut : Dar al-Kutub, 1988), 10.

2
Al-Ghazali (W. 505 H), al_Mustasfa min Ilmi al-Ushul (Beirut: Dar al-Kutub, 1971),
478.

3
Dalam rumusan definisi tersebut ijtihad mengandung unsur-unsur
sebagai berikut: Pertama, adanya unsur pengerahan daya upaya dan
kemampuan. Kedua, adanya tujuan untuk merumuskan hukum shara'.
Ketiga, hukum shara' yang dimaksud adalah bersifat amali (praktisi).
Keempat, untuk mencapai konklusi dan rumusan hukum itu dengan suatu
metode.
Menurut Wahbah Al Zuhaili Ijtihad adalah melakukan istimbath
hukum syari`at dari segi dalildalilnya yang terperinci di dalam syari`at.3
Namun ijtihad dalam pengertian khusus dan spesifik, yaitu ijtihad
dalam hukum Islam, mengacu ke pada upaya maksimal dalam
mendapatkan ketentuan hukum syara’. Atau mengerahkan segala
kemampuan dalam mendapatkan hukum syara’ yang praktis dengan
menggunakan metode istinbat. Atau upaya seseorg ahli fikih dalam
mengerahkan kemampuan secara optimal dalam mendapatkan suatu
hukum syariat yang bersifat zanni.
Menurut definisi sebagian ulama ushul fiqh seperti dikutip oleh
Saefullah Ma‟shum bahwa ijtihad adalah “mencurahkan segala
kesanggupan dan kemampuan semaksimal mungkin dalam penerapan
hukum.
Muhammad Abu Zahra mendifinisikan ijtihad sebagai
“Pengerahan segala kemampuan seorang ahli fiqh dalam menetapkan
(istimbat ) hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari
dalilnya secara terperinci”.
Dari definisi di atas, dapat difahami bahwa ijtihad itu, pertama
usaha intelektual secara sungguh-sungguh; kedua, usaha yang dilakukan
itu adalah melakukan istibath (menyimpulkan) dan menemukan hukum;
ketiga, pencarian hukum dilakukan melalui dalildalil baik dari alqur’an
dan Sunnah; keempat, orang yang melakukan ijtihad itu adalah seorang
ulama yang memiliki kompetensi, dan keluasan wawasan serta
pengetahuan dalam bidang hukum Islam.

3
1 Wahbah al-Zuhaili, al-Wajiz fi ushul al-Fiqh, (Bairut: dar al-fikr al-Mu’ashir, 1999),
hlm 231.

4
Berdasarkan paparan diatas dapat dipahami bahwa ijtihad adalah
pengerahan segenap kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan
atau per-soalan dalam suatu bidang.

B. Dasar Hukum Ijtihad

Beberapa dasar hukum ijtihad dalam hukum Islam, sebagaimana


berikut:
1. QS. An-Nisa’ ayat 59. Allah berfirman:
ٍ ِ ۚ ِ َّ ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْ َن اٰ َمُن ْٓوا اَ ِطْيعُوا ال ٰلّهَ َواَ ِطْيعُوا‬
ُ‫الر ُس ْو َل َواُوىِل ااْل َ ْم ِر مْن ُك ْم فَا ْن َتنَ َاز ْعتُ ْم يِف ْ َش ْيء َفُر ُّد ْوه‬
ِ ِ ٰ ِ ِ
‫ك َخْيٌر َّواَ ْح َس ُن تَْأ ِويْاًل‬ َّ ‫اىَل ال ٰلّ ِه َو‬
َ ‫الر ُس ْو ِل ا ْن ُكْنتُ ْم تُْؤ ِمُن ْو َن بِاللّ ِه َوالَْي ْوم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذل‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (AlQur‘an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Dalam ayat tersebut, ada beberapa hal yang dapat dipetik:
a. Taat kepada Allah dan Rasul.
b. Ulil amri (ulama dan umara).
c. Ayat (fain tanaza’tum fi syai’in farudduhu ila llahi warrasul) hal
itu dimaksud perintah untuk melakukan qiyas, artinya jika
terbentur dalam menentukan hukum suatu hal yang tidak
terdapat ketegasan hukumnya dalam Al-Qurʼan maupun Sunnah,
maka kembalikanlah dalam arti qiyas-kanlah kepada hukum
yang terdapat dalam Al-Qurʼan maupun Sunnah.
d. Perintah untuk merujuk dan kembali kepada Al-Qurʼan maupun
Sunnah bilamana terjadi silang pendapat dalam hasil pemikiran.
Dalam pengertian ini maka kata akhir terletak pada Al-Qurʼan
dan Sunnah, itu berarti bahwa setiap kegiatan intelektual dalam
bentuk ijtihad hasilnya harus tidak bertentangan dengan Al-

5
Qurʼan maupun Sunnah. Dengan demikian, Al-Qurʼan dan
Sunnah standar kebenaran.
2. Hadist nabi
ِ ‫" َكيف َت ْق‬:‫ قَ َال لَه‬،‫ َأ ّن النَّيِب صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم لَ َّما بعثَه ِإىَل الْيم ِن‬،‫عن مع ِاذ بن جب ٍل‬
‫ضي ِإ ْن‬ َ ْ ُ َ َ ُ ََ َ َ َ ْ َ ُ َ َّ ََ َُ ْ َ
‫ فَبِ ُس ن َِّة‬:‫اب اللَّ ِه؟"قَ َال‬
ِ َ‫"فَ ِإ ْن مَل ي ُكن يِف كِت‬:‫ قَ َال‬،‫اب اللَّ ِه‬
ْ َْ
ِ َ‫ض ي بِ ِكت‬
ِ ْ‫ َأق‬:‫ قَ َال‬،"‫ض اء؟‬
ٌ َ َ‫ك ق‬
َ َ‫ض ل‬
َ ‫َع َر‬
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫"فَ ِإ ْن مَلْ يَ ُك ْن يِف ُس نَّة َر ُس ول اللَّه‬:‫ قَ َال‬،‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم‬
ِ ِ
َ ‫َر ُس ول اللَّه‬
ِ ِ ُ ‫ فَض رب رس‬:‫ قَ َال‬،‫ِد رْأيِي وال آلُ و‬
َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم‬
،ُ‫ص ْد َره‬ َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ ََ َ َ ُ ‫َأجتَه‬ْ :‫َو َس لَّ َم؟"قَ َال‬

َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم لِ َم ا يُْر ِض ي َر ُس‬


‫ول اللَّ ِه‬ ِ ِ َ ‫"احْلَ ْم ُد لِلَّ ِه الَّ ِذي َوفَّ َق َر ُس‬:‫َوقَ َال‬
َ ‫ول َر ُس ول اللَّه‬
‫"صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika
mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika
dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum
dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab
Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah
Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ?
ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”.
Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji
bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa
yang diridhai Rasulullah”. (
Hadis di atas menunjukkan bahwa sebelum Mu‟az bin Jabal
diutus Rasulullah ke Yaman terlebih dahulu memberikan Fit and
proper test kepada Mu‟a>z} bin Jabal, mengenai apa yang akan
dilakukannya ketika mendapatkan suatu pemasalahan hukum. Lalu
Muaz menjawab bahwa dia akan menyelesaikannya dengan al-
Qur‟an dan sunnah Rasul. Jika sekiranya dia tidak mendapatkannya
dalam kedua sumber tersebut maka dia akan putuskan dengan jalan
berijtihad.
Dalam hadist lain dikatakan

6
ِ ِ
‫َأجٌر‬
ْ ُ‫ َفلَه‬،‫َأخطََأ‬ ْ َ‫ َوِإذَا َح َك َم ف‬،‫َأجَران‬
ْ َّ‫اجَت َه َد مُث‬ ْ ُ‫ َفلَه‬،‫اب‬
َ ‫َأص‬ ْ َ‫ِإذَا َح َك َم احْلَاك ُم ف‬
َ َّ‫اجَت َه َد مُث‬
Apabila hakim memutuskan hukum dan ia berijtihad,
kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika
ijtihadnya keliru maka ia mendapat satu pahala. (HR. Bukhari dan
Muslim).
3. Logika
Secara akal, adalah tidak mungkin membiarkan hukum Islam
terjadi kekosongan. Yaitu ketika Rasulullah Saw wafat, nash sudah
berhenti, sementara berbagai persoalan baru muncul.
Persoalanpersoalan baru ini membutuhkan ijtihad para ulama agar
tidak menyimpang dari relnya.
C. Kedudukan Ijtihad

Banyak umat Islam yang belum menyadari bahwa peran ijtihad


juga penting di dalam Islam. Kedudukan ijtihad dapat dikatakan sejajar
dengan hukum Islam lainnya, yakni Alquran dan sunnah.
Sangat penting adanya bagi umat muslim untuk memahami
kedudukan ijtihad sebagai tambahan pengetahuan tentang islam. Agar
tidak ada kesalahpahaman dalam mendalami ijtihad tersebut.
Bukan hanya umatnya, para ulama pun harus melakukan ijtihad
dalam mencari solusi permasalahan yang dihadapi umat Islam. Berbagai
perbedaan mazhab yang kita ketahui saat ini adalah hasil dari ijtihad.
Kita tahu tidak ada yang salah dari mazhab-mazhab tersebut karena itu
semua merupakan hasil terbaik dari para mujtahid untuk menemukan
hukum terbaik.
Berdasarkan diatas, bisa kita pahami bahwa kedudukan ijtihad
dalam sumber hukum islam adalah sebagai penentu hukum setelah al
Quran dan hadist apabila dalam al Quran dan hadist tidak ditemukan
secara jelas dan rinci mengenai hukum yang dimaksud.
Dengan adanya ijtihad, diharapkan Islam mampu menjadi agama
yang luwes, dinamis, fleksibel sesuai dengan dinamika zaman.
D. Fungsi Ijtihad

7
Ijtihad punya kedudukan yang sangat penting disamping al-
Quran dan sunnah Rasul, di antara fungsi ijtihad adalah:
1. Ijtihad berfungsi untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak
sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad.
2. Ijtihad berfungsi sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis
yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat
dipahami kecuali dengan ijtihad.
3. Ijtihad berfungsi untuk mengembangkan prinsip-rinsip hukum yang
terdapat dalam al-Quran dan sunnah seperti dengan qiyas, istihsan
dan maslahah mursalah.
4. Ijtihad berfungsi sebagai pengembangkan prinsip-rinsip hukum yang
terdapat dalam al-Quran dan sunnah lewat metode ijtihad seperti
dengan qiyas, istihsan dan maslahah mursalah, dan itu sangat penting
karena dengan itu ayat-ayat dan hadist-hadist hukum yang terbatas
jumlahnya dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak
terbatas jumlahnya.
Dalam sumber lain dikatakan fungsi ijtihad sendiri ada tiga yaitu:
1. Fungsi al-ruju atau al-I’adah (kembali) yakni mengembalikan ajaran
Islam kepada sumber pokok, yakni Al-Quran dan sunnah shalihah
dari segala interpretasi yang dimungkinkan kurang relevan.
2. Fungsi al-Ihya’ (kehidupan) yaitu menghidupkan kembali bagian-
bagian dari nilai dan semangat ajaran Islam agar mampu menjawab
dan menghadapi tantangan zaman, sehingga Islam mampu sebagai
furqan, hudan dan rahmatan lil ‘alamin.
3. Fungsi al-Inabah (pembenahan), yaotu membenahi ajaran-ajaran
Islam yang telah diijtihadi oleh ilama terdahulu dan dimungkinkan
adanya kesalahan menurut konteks zaman, keadaan dan tempat yang
kini kita hadapi.

E. Objek Ijtihad

8
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai objek
kajian ijtihad. Harun Nasution mengungkapkan bahwa ijtihad dapat
ditetapkan dalam berbagai aspek agama Islam, baik dalam bidang politik,
akidah, tasawuf, dan filsafat. Kesimpulan Harun ini disebabkan oleh
ijtihad dimaknai dalam arti yang umum, yakni dari asal katanya
bersungguh-sungguh. Maka, kata ini pun bisa dibagi dalam aspek-aspek
sebagaimana disebutkan di atas. Bersungguh-sungguhnya untuk
memecahkan masalah dalam bidang-bidang politik, akidah, tasawuf, dan
filsafat
Sedangkan menurut Ibrahim Hosen, Ijtihad memiliki lapangan
yang sangat luas, yaitu segala sesuatu yang tidak ditemukan hukumnya di
dalam nash secara langsung, atau ditemukan hukumnya secara langsung
tetapi hukumnya bersifat zhanny. Dengan kata lain, lapangan ijtihad
adalah semua bidang hukum syara' yang tidak me miliki dalil qat'y
(pasti). Secara garis besar ruang lingkup ijtihad dapat dibagi dua
kelompok, yaitu:
1. Peristiwa yang ketetapan hukumnya masih zhanny. Para mujtahid
berijtihad dalam rangka untuk mereformulasikan hukum Islam
berdasarkan kandungan nash yang ada. Tugas utama para mujtahid
dalam masalah ini adalah menafsirkan kandungan nash kemudian me
netapkan hukum-hukum yang termuat di dalamnya. Hukum-hukum
yang disimpulkan dari nash tersebut dijadikan sebagai dalil untuk
memutuskan persoalan serupa yang muncul di masyarakat.
Contohnya adalah: sentuhan kulit laki-laki dengan perempuan yang
non-muhrim apakah membatalkan wudlu atau tidak, kewajiban
suami-istri, dan lain-lain.
2. Peristiwa yang belum ada nashnya sama sekali. Ijtihad yang
dilakukan mujtahid pada peristiwa ini adalah memformulasikan
ketetapan hukum. Tugas utama para mujtahid adalah merumuskan
hukum baru atas peristiwa tersebut dengan menggunakan kekuatan
ra'y. Dikarenakan tidak ada nashnya, maka mujtahid harus
menginduksikan masalah tersebut dengan mengguna kan metode

9
penetapan hukum, seperti qiyas, istihsan,maslahah mursalah,
istishab, saddudz dzari'ah, dan sebagai nya. Contoh peristiwa jenis
ini adalah: hukum bayi tabung, transplantasi organ tubuh, keluarga
berencana, dan lain-lain.
Dengan demikian, ijtihad tidak dapat dilakukan terhadap
persoalan hukum syara' yang sudah qat'y dalalah, atau memiliki kepastian
hukum dari nas. Suatu masalah yang sudah memiliki ketetapan hukum
dalam al-Qur'an, Hadis, maupun ijmak ulama, maka tidak boleh diijtihadi
lagi. Keqat'iyannya menjadikan persoalan tersebut harus dilak sanakan
apa adanya, tanpa perlu ditafsirkan lagi. Contoh dalam hal ini adalah
tentang kewajiban salat lima waktu. Salat lima waktu hukumnya wajib
secara qat'y, berdasarkan perintah di dalam al-Qur'an dan Hadis, serta
ijmak ulama. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan lagi menafsirkan atau
berijtihad dalam masalah kewajiban salat lima waktu.

F. Syarat-syarat Ijtihad.

Selain fungsi ijtihad, pahami pula dalam melakukan ijtihad ada


rukun yang harus dipenuhi. Ini penjelasan rukun ijtihad
1. Al-Waqi’ yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi
tidak diterangkan oleh nash.
2. Mujtahid ialah orang yang melakukan ijtihad dan mempunyai
kemampuan untuk ber-ijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3. Mujtahid fill ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali
(taklifi), dan
4. Dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fill.
Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Ada
kemampuan khusus yang wajib dimiliki seseorang yang akan melakukan
ijtihad, ini bagian dari rukun ijtihad.
syarat-syarat mujtahid yang dirumuskan oleh Wahbah Zuhaili
sebagai berikut:
1. Mengetahui makna ayat yang terdapat dalam al-Qur‟an baik secara
bahasa maupun secara istilah syara. Tidak perlu dihafal cukup

10
mengetahui tempat ayat-ayat ini berada sehingga mudah untuk
mencarinya ketika dibutuhkan.
2. Mengetahui hadis-hadis ahkam baik secara bahasa maupun istilah.
Tidak perlu dihafal sebagaimana juga alQuran. Menurut ibn Arabi
hadist ahkam berjumlah 3.000 hadis, sedangkan menurut riwayat
dari Ahmad bin Hambal 1.200 hadis. Tetapi Wahbah Zuhaili tidak
sependapat, menurutnya yang terpenting mujtahid mengerti seluruh
hadis-hadis hukum yang terdapat dalam kitab-kitab besar seperti
sahih bukhari, sahih Muslim, dan lain-lain.
3. Mengetahui al-Quran dan Hadis yang telah dinasakh dan mengetahui
ayat dan hadis yang menasakh. Tujuannya agar mujtahid tidak
mengambil kesimpulan dari nas (al-Quran dan hadis) yang tidak
berlaku lagi. Menurut Abdul Wahab al-Khallaf, bahwa maksud
mengetahui (maklum) Alquran adalah benar-benar memahami
tentang hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, memahami
ayat-ayat yang menjadi dalil hukum, memahami metodologi dalam
menetapkan hukum dan juga memahami asbabun nuzul ayat.
Mengetahui ilmu riwayat dan dapat membedakan mana yang shahih,
mana yang hasan, dan mana yang dha‘if.
4. Mengetahui sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma,
sehingga ia tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan
ijma.
5. Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengan qiyas yang
meliputi rukun, syarat, illat hukum dan cara istinbatnya dari nash,
maslahah manusia, dan sumber syariat secara keseluruhan.
Pentingnya mengetahui qiyas karena qiyas adalah metode ijtihad.
6. Menguasai bahasa Arab tentang nahwu saraf, maani, bayan, dan
uslub-nya karena al-Quran dan hadis itu berbahasa Arab. Oleh
karena itu, tidak mungkin dapat mengistinbatkan hukum yang
berdasar dari keduanya tanpa menguasai bahasa keduanya.
7. Mengetahui ilmu ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah tiang ijtihad
berupa dalil-dalil secara terperinci yang menunjukkan hukum

11
melalui cara tertentu seperti amr, nahi, am, dan khas. Istinbat
diharuskan untuk mengetahui cara-cara ini dan semuanya itu ada
dalam ilmu ushul fiqh.
8. Mengetahui maqasid syariah dalam penetapan hukum, karena
pemahaman nas dan penerapannya dalam peristiwa bergantung
kepada maqasid syariah.

Mengenai persyaratan mujtahid ini, memang para ulama ushul


memiliki kriteria yang berbeda-beda. Yusuf Qardlawi mengemukakan 8
syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, yaitu:
1. mengetahui al-Quran.
2. mengetahui al-Sunnah.
3. mengetahui bahasa Arab.
4. mengetahui tempat-tempat ijma.
5. mengetahui ilmu ushul fikih.
6. mengetahui maqashid al-syari‘ah.
7. mengenal kondisi sosial dan problematika kemasyarakatan di
sekitarnya.
8. memiliki sifat adil dan takwa.
Ali Abd al-Kafi as-Subuki dan Taj ad-Din as-Subuki dalam kitab
al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj menjelaskan kriteria mujtahid adalah:
1. menguasai ilmu ‘aqliyah (bahasa, ushul fiqh, dan sebagainya) yang
dapat mempertajam akal dan nuraninya sehingga memiliki kapasitas
yang memadai, tidak mudah tergelincir dalam kesalahan, mengetahui
penggunaan lafal-lafal dengan tepat, serta mampu menyeleksi dalil
yang benar dan dalil yang salah
2. menguasai kaidah-kaidah syarak sehingga memiliki kemampuan
untuk menggunakan dalil-dali syarak secara tepat, sesuai atau tidak
sesuai
3. memahami maqashid al-syri‘ah, sehingga berdasarkan ketajaman
nalurinya, ia mampu menetapkan hukum secara tepat dan benar,

12
mampu menjawab atau memecahkan hukum yang dihadapkan
kepadanya, meskipun masalah tersebut tidak dijelaskan secara
eksplisit dalam nas syarak
Adapun menurut al-Gazali, seorang mujtahid haruslah menguasai
Alquran, Sunah, ijmak, dan kias. Di samping itu, seorang mujtahid juga
harus menguasai dua macam ilmu, yaitu ilmu-ilmu pendahuluan
(muqaddaman) untuk dapat menarik ketentuan hukum dari sumber
hukum yang asli, yaitu Alquran dan atau Sunah. Ini memerlukan
penguasaan penuh terhadap leksikografi dan gramatika sehingga
memahami ungkapan-ungkapan dalam bahasa Arab. Jenis yang kedua
mencakup pengetahuan ‘ulum al-Qur’an dan ‘ulum alhadits sehingga
dapat membedakan hadis yang sahih dan yang palsu, hadis yang salah
dan yang benar. Penguasaan terhadap ilmu-ilmu ini, terutama ‘ulum al-
Qur’an dan ‘ulum al-hadits, leksikografi dan yurisprudensi sangat
mendasar untuk menjadi seorang mujtahid
Meskipun persyaratan mujtahid yang dikemukakan oleh para
ulama ushul beragam, namun pada hakekatnya persyaratan tersebut
merupakan sebuah upaya agar orang-orang yang berijtihad memiliki
standar keilmuan tertentu. Di samping itu, tidak memberi peluang kepada
orang yang tidak memiliki persyaratan di atas untuk melakukan ijtihad
terhadap permasalahan yang belum ditetapkan hukumnya di dalam
masyarakat. Sehingga siapapun yang melakukan ijtihad diharapkan agar
hasil ijtihadnya merupakan sesuatu ketepan hukum yang benar.

BAB III

13
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kandungan
ilmiah
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Achdiat, Nunu. 1998. Seni Berkisah: Memandu Anak


Memahami Al-Qur’an. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Aizid, Rizem. 2015. Sejarah Peradaban Islam Terlengkap. Cet.


1; Yogyakarta: DIVA Press.

Al-Qaththan, Manna’ Khalil. 2007. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.


Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.

An-Nahlawi, Abdurrahman. 1989. Ushulut Tarbiyah wa


Asalibuna, terj. Hery Noer Ali. Cet. I; Bandung: Diponegoro.

Anwar, Hamdani. 1995. Pengantar Ilmu Tafsir: Bagian Ulumul


Qur’an. Cet. I; Jakarta: Fikahati Aneska.

Ash-Shiddieqy, TM Hasbi. 1972. Ilmu-Ilmu Alquran. Jakarta:


Bulan Bintang.

Athaillah, A. 2007. Sejarah Alquran Verifikasi tentang


Otentesitas Alquran. Banjarmasin: Antasari Press.

Chirjin, Muhammad. 1989. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an.


Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa.

Hanafi A. 1984. Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-kisah Al-


Qur’an. Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Husna.

Hasan, Abdillah F. 2011. Ensiklopedi Lengkap Dunia Islam.


Cet. I; Yogyakarta: Mutiara Media.

Hitti, Philip K. 2010. History of the Arabs, From the Earliest


Time to the Present, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi, History of the Arabs. Cet. 1; Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta.

14
Izzan, Ahmad. 2007. Metodologi Ilmu Tafsir. Cet. I; Bandung:
Tafakur.

Jazuli, Ahzami Samiun. 2006. Kehidupan dalam Pandangan


Alquran. Jakarta: Gema Insani Press.

Mardan. 2009. Al-Qur’an Sebuah Pengantar Memahami Al-


Qur’an Secara Utuh. Cet. I; Jakarta: Pustaka Mapan.

Munawir, Fajrul et.,al. 2005. Al-Qur’an. Yogyakarta: Pokja


Akademik UIN Sunan Kalijaga.

Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir.


Yogyakarta: UPBIK Pondok Pesantren Krapyak.

Qutb, Sayyid. 1981. Seni Penggambaran dalam al-Qur’an, terj.


Khadijah Nasution. Yogyakarta: Nur Cahaya.

Renre, Abdullah. 2016. Tafsir Ayat-ayat Sejarah. Makassar:


Alauddin University Press.

RI, Departemen Agama. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya.


Bandung: Syaamil Cipta Media.

Shihab, M Quraish. 1998. Mukjizat Al-Quran. Bandung: Mizan.

Syafe’i, Rachmat. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung:


Pustaka Setia.

Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi,


dan Humaniora)

15

Anda mungkin juga menyukai